Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

sehingga pasal 1 huruf f No.41 Tahun1999 menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan Negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. 56

3.3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan

Undang-undang No. 18 Tahun 2004 tentang perkebunan tidak secara langsung bersinggungan dengan UUPA, karena obyek yang diaturnya hanya urusan dibidang perkebunan. namun karena perkebunan itu sendiri berada di atas tanah maka kegiatan perkebunan yang diatur dalam UU No. 18 tahun 2004 juga terkait dengan pengaturan di bidang pertanahan. Pasal 1 angka 1 UU No.18 tahun 2004 menyatakan bahwa perkebunan yaitu segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai , mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut ,dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat 57 . Menurut Pasal 2 UU Perkebunan yang menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan berdasarkan asas manfaat dan berkelanjutan, keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan Secara umum terkait dengan penggunaan tanah untuk usaha perkebunan tidak ada masalah karena UU No.18 Tahun 2004 menyatakan bahwa penggunaan tanahnya mengacu kepada hukum pertanahan atau agraria. hal ini dapat kita lihat dari ketentuan Pasal 9 ayat 1 UU No. 18 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa, “dalam rangka menyelenggarakan usaha perkebunan, kepada pelaku usaha perkebunan sesuai dengan kepentingannya dapat diberikan hak atas tanah yang 57 Penjelasan UU No.18 tahun 2004 pasal 1 angka 1 Universitas Sumatera Utara diperlukan untuk usaha perkebunan berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan , dan hak pakai sesuai dengan peraturan perundang-undangn” Sejalan dengan itu, jika perkebunan itu berada di atas hak ulayat masyarakat hukum adat maka pelaku usahanya harus memperoleh persetujuan dari masyarakat hukum adat terlebih dahulu. hal ini ditegaskan pada pasal 9 ayat 2 UU No.18 Tahun 2004 yaitu: dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataannya masih ada, mendahului pemberian hak atas tanahnya, pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh atau mendapat kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalannya 58 .” Hal yang menjadi permasalahan adalah tentang luas tanah yang diberikan untuk usaha perkebunan sesuai dengan hak atas tanah yang dimohonkan. Berdasarkan pada pengawasan yang dilakukan oleh Komite II DPR RI sejak tahun 2006, Undang-undang No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, setelah dikaji, dilihat lebih memudahkan dan menguntungkan para investor perkebunan skala besar, serta lebih banyak merugikan masyarakat dan lingkungan, karena tidak diperhatikannya aspek keberlanjutan perkebunan rakyat, menghilangkan kehidupan sosial budaya masyarakat terutama aspek kearifan lokal dalam memanfaatkan kondisi alam dan lingkungan, Dalam kondisi seperti itu, peran pengawasan sangat penting, terutama untuk melihat sejauh mana pengelolahan perkebunan telah sesuai dengan undang-undang. Pengembangan perkebunan dengan cara membuka kawasan hutan yang tidak mengikuti aturan berpotensi 58 Lihat penjelasan pasal 9 ayat 2 UU No.18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Universitas Sumatera Utara merusak lingkungan, kerena ekosistemnya yang awalnya bersifat heterogen diubah menjadi ekosistem yang bersifat homogen . berubahnya sifat ekosistem ini akan mengancam keanekaragaman hayati dan flora-fauna endemic yang berada di kawasan hutan tersebut. pembukaan kawasan hutan terjadi untuk beberapa komoditas ekspor seperti kelapa sawit, karet, kokoa, kopi, lada. perkembangan terbesar terjadi pada perkebunan kelapa sawit yaitu 593.800 ha pada tahun 1986 menjadi sekitar 9,25 juta pada tahun 2012 59 . Fenomena ini dapat dilihat dengan mudah di wilayah provinsi Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Riau, dan Jambi. selain itu, pembukaan lahan gambut untuk kawasan perkebunan telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar, antara lain kebakaran hutan dan banjir di wilayah sekitar pemukiman. Perencanaan pembangunan yang masih bersifat sektoral dan lambat pengesahan rencana tata ruang wilayah beberapa daerah telah berperan serta dalam terjadinya tumpang tindih penggunaan ruang antara sektor perkebunan dengan sektor lain misalnya keutanan ,pemukiman , dan pertambangan . Dalam UU Perkebunan disebutkan bahwa penunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah, namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang masih menunggu disahkannya RTRW mereka. Hal ini menjadikan perencanaan pembangunan ekonomi dan infrastuktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih dalam pengelolahan ruang dan terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan yang berpotensi menimbulkan konflik social . selain itu, penyusunan RTRW masih bersifat naik turun dan secara utuh menerapkan prinsip transparansi dan partisipasi yang hakiki sehingga masyarakat yang mengetahui kondisi sesungguhnya tidak dapat 59 Naskah akademik RUU perkebunan 280513 Universitas Sumatera Utara memberikan masukan yang konstruktif terhadap dokumen tersebut. ketiadaan transparanan dan partisipasi ini memudahkan terjadinya aktivitas penggunaan lahan yang tidak direncanakan dalam RTRW namun tejadi dilapangan. Di sisi lain benturan dan ketidak harmonisan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan perkebunan dengan peraturan perundangan lain dapat terjadi secara horizontalantar sektor atau vertical antar pusat dan daerah misalnya peraturan mengenai pembukaan lahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 dengan UU Kehutanan. Selain itu ketidak jelasan peraturan akan memudahkan terjadinya penyimpangan –penyimpangan dalam pelaksanaan khususnya terkait dengan pembukaan perkebunan.Walaupun UU Kehutanan mengatur bahwa seharusnya untuk perkebunan dilakukan perubahan peruntukan kawasan hutan terlebih dahulu, namun kenyataannya hal ini tidak berjalan di lapangan . UU Perkebunan terkesan akan membuka ruang eksploitasi perusahaan perkebunan terhadap tanah-tanah negar dan rakyat . Hal ini disebabkan karena tidak adanya pengaturan mengernai luas maksimum dan minimum tanah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkebunan, yang pada akhirnya menimbulkan adanya konsentrasi hak pengguna tanah yang berlebihan oleh perusahaan. lebih jauh, sebagai besar hak guna usaha yang dimiliki perusahaan perkebunan, lambat laut menggusur keberadaan masyarakat adat atau petani yang berada di sekitar atau di dalam lahan perkebunan . akibatnya masyarakat adat atau petani tersebut tidak lagi memiliki akses terhadap hak milik yan telah turun temurun mereka kuasai , atau bahkan kehilangan lahannya. Bila kita lihat keterkaitannya dengan undang-undang Kehutanan sangat nyata dalam hal begitu banyaknnya kejadian alih fungsi lahan kehutanan menjadi Universitas Sumatera Utara areal perkebunan. selain itu, dengan adanya keputusan MK Nomor 45PUU- XI2011 yang merubah pasal 1 ayat 3 Nomor 41 Tahun 1999 tenang Kehutanan, maka status kawasan hutan yang belum mendapatkan pengukuhan menjadi tidak jelas. Hal itu tentu saja perlu mendapatkan perhatikan lebih.sedangkan dalam kaitannya dengan hak masyarakat adat, mengacu pada keputusan MK Nomor 34PUU-XI2011 tentang pengujian UU Nomor 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 2 dan 3 tentang kehutanan, yang menajamkan kata “ memperhatikan” menjadi “menghormati” hak-hak masyarakat adat ,juga perlu mendapatkan porsi perhatian dalam perubahan UU perkebunan . Persoalan lain dalam kaitannya dengan UU Kehutanan akan terkait dengan kewenangan penetapan status kawasan hutan. Kewenangan pemerintahan untuk menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 2 huruf b UU Kehutanan adalah salah satu bentuk penguasaan negara atas bumi dan air yang dimungkinkan berdasarkan konstitusi dengan ketentuan penetapan kawasan tersebut harus berdasarkan ketentuan hukum yangberlaku dengan memerhatikan hak-hak masyarakat yang terlebih dahulu ada di wilayah tersebut. Dalam hal ini, apabila dalam wilayah tersebut terdapat hak-hak masyarakat, termasuk hak masyarakat tradisional , hak milik, atau hak-hak lainnya, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan penyelesaian terlebih dahulu secara adil dengan para pemegan hak.Penegasan ini dituangkan juga dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan MK Nomor34PUU-XI2011tentang pengujian UU Nomor 411999. Universitas Sumatera Utara

3.4 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang