3.4 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Pada UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang sebelumnya tidak mengatur tentang tanah, tetapi mengatur tentang ruang dan fungsi ruang baik
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. oleh kerena itu, UU No.26 Tahun 2007 tidak menentukan pemilikan dan penguasaan tanah .Namun demikian, dalam
penetapan fungsi ruang oleh pemerintah terutama di ruang daratan, adakalanya berpengaruh terhadap pemilikan dan penguasaan tanah. Terkait dengan itu, pada
umumnya ketentuan UU No.26 Tahun 2007 mengacu kepada hukum pertanahan yang bersumber pada pokoknya pada UUPA, Hak atas tanah orang yang sudah
ada sebelum penetapan ruang atau hak atas tanah orang yang dirugikan akibat dari penetapan ruang tetap diakui, sehingga kepada pemegang hak diberikan
penggantian. Pada pasal 2 UU Tata Ruang memiliki asas keterbukaan, kebersamaan, keadilan dan perindungan hukum.
Pengakuan hak atas tanah di dalam UU No.26 Tahun 2007 diawali dengan ketentuan pasal 7 ayat 3 yang menyatakan, penyelenggaraan penataan
ruang dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hak yang dimiliki orang dimaksud
bahkan mencakup pula hak yang dimiliki masyarakat adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan penjelasan pasal 7 ayat 3 UU No.26
Tahun 2007 . Sejalan dengan itu jika rencana tata ruang yang telah ditetapkan ditinjau kembali atau direvisi, maka revisi rencana tata ruang dilaksanakan
dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang –undangan pasal 16 ayat 3 UU No.26 Tahun 2007 Tentang
Tata Ruang. tidak hanya itu, insentif dan disintensif dalam pelaksanaan
Universitas Sumatera Utara
pemanfaatan ruang pun diberikan dengan tetap menghormati hak masyarakat pasal 38 ayat 4 UU No.26 Tahun 2007 .Sehingga, apabila jangka waktu 20
tahun rencana tata ruang berakhir, maka dalam penyusunan rencana tata ruang yang baru hak yang telah dimiliki seseorang orang yang jangka waktunya
melebihi jangka waktu rencana tata ruang tetap diakui pasal 20 ayat 3 UU No.26 Tahun2007 .
Menurut UU No.26 Tahun 2007, rencana tata ruang berpengaruh terhadap pelayanan administrasi pertanahan, Pasal 26 ayat 3 menegaskan, bahwa rencana
tata ruang wilayah kebupaten menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dalam administrasi pertanahan. jadi peruntukan ruang menentukan
pelayanan administrasi pertanahan, misalnya sertifikat hak tanah tidak boleh diberikan di atas kawasan lindung. oleh karena itu, jika akibat dari penetapan
ruang ada orang yang kehilangan haknya yang telah diberikan sebelumnya harus diberikan ganti kerugian .
Berkaitan dengan itu secara eksplisit, pasal 60 UU No.26 Tahun 2007 menegaskan
60
: a.
Mengetahui rencana tata ruang; b.
Menikmat pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang: c.
Memperoleh pergantian yang layak atas kerugiannya timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
d. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya
60
Penjelasan pasal 60 UU No.26 tahun 2007 tentan Penataan Ruang
Universitas Sumatera Utara
e. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang ; dan f.
Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah danatau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang menimbulkan kerugian . Khusus mengenai pergantian yang layak sebagai pasal 60 huruf c, UU
No.26 Tahun 2007 merasa perlu memberi penjelasa. Penggantian yang layak adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat
kesejahteraan orang yang diberikan penggantian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bila kita lihat kaitannya dengan UU Kehutanan, daerah kawasan hutan di tentukan oleh tata ruang. Ketidak jelasan Tata ruang yang telah dibuat
mengakibatkan tumpang tindih lahan perekebunan dan lain-lain terhadap kawasan hutan . bila kita lihat Tata Ruang menurut Keputusan Mentri Kehutanan Nomor
44 Mehut-II2005 tentang kawasan hutan di Sumatera Utara dalam penetapan kawasan hutan dengan keluarnya SK tersebut telah banyak menjadi permasalahan
bagi masyarakt yang tinggal di sekitar kawasan hutan. karena dari kawasan hutan yang ditetapkan seluas 3.045.973, HA atau 443,03 persen dari luas Provinsi
Sumatera Utara, hal ini masih di atas batas minimal luasan kawasan hutan yang ditetapkan dalam pasal 18 ayat 2 Undang-undang Nomor 41 tentang Kehutanan
yaitu sebesar 30 persen
61
.dalam pemetaan kawasan hutan menurut SK No.442005 didalamnya terdapat lahan sawah, ladang, perkampungan, perkantoran pemerintah
,lahan adat, perkebunan dan lain-lain, hanya sekitar 667 hektar yang dilepaskan
61
Penjelasan dari Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 44 Mehut-II2005 Tentang Kawasan Hutan.
Universitas Sumatera Utara
dari kawasan hutan. banyak juga perkebunan yang Hak Guna Usahanya sudah keluar sebelum SK No.442005 tersebut di tetapkan merupakan kawasan hutan
setelah dikeluarkannya SK No442005 tersebut, keputusan yang dibuat oleh mentetri kehutanan tentang kawasan hutan meurut SK No.44 2005 tidak sesuai
dengan tata ruang kawasan hutan yang ada di lapangan. sehingga mengakibatkan ketidak jelasan kawasan hutan di Sumatera Utara, ketentuan tentang batas-batas
kawasn hutan belum diatur secara definitif, sehingga tidak memberikan jamian kepastian hukum khususnya tentang kebenaran kawasan hutan. hal demikian akan
menjadi permasalahan dalam menetapkan Tata Ruang daerah dan terlambatnya penegakan hukum pidana kehutanan.
Penataan ruang dalam suatu wilayah atau provinsi atau kabupaten yang terkait dengan sektor kehutanan secara teknis berkaitan dengan kesesuaian antara
Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Provinsi atau kabupaten kota dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK. Hal ini terjadi karena secara teknis ada
ketidaksesuaian antara penggunaan sektor lain yang sesuai dengan RTRWPRTRWK dengan peruntukan fungsi hutan sesuai TGHK peta kawasan
hutan. Tata Guna Hutan Kesepakatan TGHK yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mentri Pertanian No.13Kpts-II1986 ini merupakan dasar bagi
kementrian kehutanan untuk melakukan penataan ruang di sektor kehutanan
62
. tetapi karena adanya perubahan yang sangat besar terhadap kondisi hutan dan
dianggap TGHK sudah tidak sesuai lagi dengan realita di lapangan maka dilakukan perubahan terhadap TGHK yang ada berdasarkan Surat Keputusan
Metntri Kehutanan tentang Penunjukan Kawasan Hutan sampai saat ini, kawasan
62
M.Fadhil Hasan,ekonomi politik kehutanan,INDEF,2012
Universitas Sumatera Utara
hutan yang belum memiliki kawasan penunjukan hutan adalah Riau dan Kalimantan Tengah.
Bila di lihat penentuan kawasan hutan di Indonesia, Kementrian Kehutanan sendiri tidak konsisten dalam menetapkan kawasan hutan di Indonesia.
hal ini dapat dilihat dalam statistik kehutanan yang diliris Kementrian Kehutanan setiap Tahun. Misalnya pada tahun 2001 Kementrian Kehutanan menyatakan luas
hutan adalah 104.893.504,63 ha, Tahun 2003 meningkat menjadi 109.961.844,05 ha. tahun 2003 terdapat 3 versi yakni paduserasi TGHK-RTRWP 120.353.104 ha,
penunjukan kawasan hutan dan perairan propinsi + Paduserasi TGHKRTRWP 126.829.561.28 ha, dan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi +TGHK
136.751.327,28 ha, Tahun 2005 terdapat 2 versi Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Propinsi Paduserasi TGHKRTRWP 126.976.577,28 ha dan tahun 2006
137.090.468,18 ha dan pada tahun 2009 seluas 136.645.269,91 ha Terjadinya naik turun luas kawasan hutan versi Kementrian Kehutanan tidak saja membingungkan
rakyat, pemerintah daerah, perusahaan, instansi pemerintahan lainnya, tetapi juga para penegak hukum, dan ditakutkan berpotensi mengakibatkan kriminalisasi
terhadap orang-orang yang yang tidak bersalah. meskipun Tata Ruang kawasan hutan di beberapa propinsi masih belum pasti namun aparat penegak hukum dan
kehutanan berusaha memaksakan untuk menjerat para petani, perusahaan perkebunan, dan pertambangan. dengan tindak pidana kehutanan. Padahahal dari
beberapa fakta di lapangan menunjukkan bahwa lokasi pelaku masuk dalam Kawasan Pengembangan Produksi KPP dan Kawasan Pemukiman dan
Peruntukan lainnya KPPL berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Universitas Sumatera Utara
RTRWP, tetapi berdasarkan Peta Tata Guna Kesepakatan TGHK masuk dalam kategori kawasan hutan
63
.
3.5 Sinkronisasi Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,Undang-undang No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok
Agraria, Undang-udang No.18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, Undang-undang 26 Tahun 2007 Tentang Tata Ruang dan in-
sinkronisasi Peraturan-peraturan Tersebut.
Dapat di lihat bahwa undang-undang Kehutanan, undang-undang Pokok- pokok Agraria, undang-undang perkebunan, dan undang-undang Tata Ruang
memiliki tujuan yang bersamaan yaitu untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, dan untuk menciptakan keadilan di masyarakat. Walaupun faktanya
di lapangan masih tidak sesuai dengan tujuan undang-undang tersebut. Dapat di lihat masih banyak in-sinkronisasi peraturan-peraturan tersebut dan tidak
sesuainya kenyataan di lapangan, tidak itu saja kita juga dapat melihat antara peraturan-peraturan itu sendiri juga masih terdapat ketidak cocokan.inkonsistensi
peraturan-peraturan tersebut : 1.
Bila di lihat hak atas tanah pada undang-undang ini yaitu ,hutan ini berasaskan Asas Manfaat, Asas Kelestarian, Asas Perusahaan, Asas
Perlindungan Hutan. Dari Asas tersebut dapat di lihat bahwa tujuan hukum kehutanan yaitu untuk melindungi, memanfaatkan, dan melestarikan hutan
agar dapat berfungsi dan memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat secara lestari. Undang-udang kehutanan juga mengatur hak masyarakat
dalam menikmati kualitas lingkungan hidup yan dihasilkan hutan; memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-
63
Sadino,ibid.,hlm.10-11
Universitas Sumatera Utara
undangan yang berlaku; mengetahui rencana peruntukan hutan, pemnafaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan; memberi informasi,
saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung
maupun tidak langsung; masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya
sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku; setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan
sesuai dengan perudang-undangan yang berlaku
64
. Bila di lihat dari masyarakat hukum adat sepanjang keberadaannya masih ada dan diakui
keberadaannya berhak malakukan pemungutan hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidp sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan;
melakukan kegiatan pengelolahan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang dan mendapatkan
pemberdayaan dalam rangka untuk meningkatkan kesejahteraannya
65
. Dalam Undang-undang Kehutanan menurut pasal 1 angka 3 “kawasan
hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh peerintah untuk di pertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.” ,dan
pada pasal 15 UU Kehutanan menyatakan bahwa untuk menetapkan kawasan hutan pemerintah harus melakukan empat tahapan terlebih dahulu
yaitu penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan
64
Penjelasan pasal 68 undang-undang Kehutanan
65
Pasal 67 udang-undang Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
kawasan hutan, penetapan kawasan hutan. Dalam kenyataannya di lapangan bahwa pemerintah untuk menetapkan kawasan hutan tidak melalui tahapan-
tahapan tersebut .sebagian besar areal-real hutan belum memiliki penataan batas yang jelas. Sehingga banyak kawasan pemukiman, perkebunan, dan
pertanian masuk dalam kawasan hutan menurut peraturan pemerintah yang ada pada saat ini. Hal tersebut sangat berdampak terhadap masyarakat, dan
membawa kerugian terhadap masyarakat . 2.
Bila di lihat dari hak atas tanah menurut UUPA terdiri dari hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah,
hak memungut hasil hutan, hak lain-lain.UUPA memiliki tujuan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang akan
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kabahagian dan keadilan bagi negara dan rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur,
meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum pertanahan, meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian
hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat.UUPA juga memiliki Asas Kebangsaan, Asas Hak Menguasai Negara, Asas pengakuan Hak Ulayat,
Asas Hukum Agraria Nasional berdasarkan hukum adat, Asas Fungsi Sosial, Asas Landreform, Asas Tata Guna Tanah, Asas Kepentingan
Umum, Asas Pendaftaran Tanah. Dalam Undang-undang Pokok Agararia dan Undnag-undang Kehutanan cukup jelas terdapat ketidak sinkronan
antara undang-undang tersebut dalam hak ulayat, dalam pasal 3 UUPA secara tegas mengakui keberadaan hak ulayat sebagai entitas status tanah.
Sedangkan pada undang-undang kehutanan tidak mengakui keberadaan hak
Universitas Sumatera Utara
ulayat di kawasan hutan, sehingga dapat kita lihat pasal 1 huru f UU Kehutanan menyatakan bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada
dalam wilayah masyarakat hukum adat. 3.
Bila di lihat di dalam undang-undang perkebunan berdasarkan atas Asas Manfaat dan Berkelanjutan, Asas Keterpaduan, Asas Kebersamaan, Asas
Keterbukaan, Asas Keadilan. Undang-undang tersebut bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara,
meningkatkan penerimaan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi
kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negri, mengoptimalkan pengelolahan sumber daya alam secara berkelanjutan. Kegiatan usaha
perkebunan merupakan suatu usaha yang membutuhkan tanah yang sangat luas sehingga usaha perkebunan ini dalam determinologi hukum agraria
merupakan kategori penggunaan hak atas tanah yang bersifat Hak Guna Usaha. Pola penggunaan atau penguasaan hak atas tanah yang sifatnya Hak
Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang bersifat sekunder, karena kedudukannya berada di bawah hak milik atas tanah, Hak Guna Usaha
dalam perkebunan memiliki prosedur tersndiri bila tanah yang di usahakan untuk perkebunan di atas 5 ha, dalam pemberian hak atas tanah untuk
dijadikan usaha perkebunan juga harus memiliki prosedur untuk mengajukannya. DalamUndang-undang perkebunan disebutkan bahwa
menunjukan kawasan perkebunan harus berbasis pada rencana tata ruang wilayah,namun pada kenyataannya saat ini masih banyak daerah yang
masih menunggu disahkannya RTRW mereka, hal ini menjadi perencanaan
Universitas Sumatera Utara
pengembangan ekonomi dan infastruktur kurang terpadu sehingga terjadi tumpang tindih pemanfaatan yang menimbulkan konflik sosial. Di sisi lain
UU Perkebunan terkesan akan membuka ruang eksploitasi perusahaan perkebunan terhadap tanah-tanah negara dan rakyat. Hal ini disebabkan
karena adanya pegaturan mengenai luas maksimum dan minimum tanah yang dapt dijadikan lahan perkebunan. Selain itu dengan dikeluarkannya
keputusan MK Nomor 45 Tahun 2011 yang merubah pasal 1 ayat 3 Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan maka status kawasan hutan yang belum
mendapatkan pengukuhan menjadi tidak jelas. 4.
Bila di lihat, undang-undang Tata Ruang memiliki asas yang berdasarkan Asas Keterpaduan; Asas Keserasian, keselarasan, dan keseimbangn; Asas
Keberlanjutan; Asas Keberdayagunaan dan Keberhasilgunaan; Asas Keterbukaan; Asas Kebersamaan dan Kemitraan; Asas Perlindungan
Kepentingan Umum; Asas Kepastian Hukum dan Keadilan; dan Asas Akuntabilitas, Undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan ruang
wilayah nasional yang aman,nyaman utuk masyarakat, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketanahan Nasional.
Dalam Undang-undang Tata Ruang masyarakat berhak mengetahui Rencana Tata Ruang; menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang; memperoleh penggantian yang layat atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
perencanaan Tata Ruang; mengajukan keberatan kepada pejabat yang berwenang terhadap pembangunan yang tak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang Daerah. Pada undang-undang ini hak atas tanah di ataur tidak secara
Universitas Sumatera Utara
jelas atau langsung. Dalam Undang-undang Tata Ruang dengan undang- undang Kehutanan daerah kawasan hutan belum mengalami kejelasan. Bila
kita lihat Keputusan Mentri Kehutanan Nomor 44 Tahun 2005 tentang kawasab hutan Sumatera Utara, dengan dikeluarkannya SK tersebut telah
banyak menjadi permasalahan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Karena tidak sesuainya dengan tata ruang kawasan hutan
yang ada di lapangan terdapat pemukiman masyarakat dan pertanian masyarakat masuk dalam kawasan hutan di dalam SK tersebut, sehingga
tidak memberikan jaminan kepastian hukum khususnya tentang kebenaran kawasan hutan.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV PROBLEMATIKA PENEGAKAN HUKUM DALAM MASALAH