Aktivitas Perdagangan di Surakarta

2. Perdagangan Surakarta Masa Kini ( 1985-1995 )

Salah satu prasarana ekonomi penting adalah adanya pasar. Pada tahun 1960- an, wajah kota Surakarta masih diwarnai pasar-pasar tradisional seperti: Pasar Gedhe, pasar Klewer, Pasar kliwon, Pasar Tanggul, Pasar Ledoksari, Pasar Jebres, Pasar Legi, Pasar Singosaren, Pasar kembang, Pasar Kadipolo, Pasar Nangka, Pasar Harjodaksino, Pasar Kleco, Pasar Kabangan dan Pasar Laweyan. Pada awal tahun 1970 Pasar Klewer dibangun menjadi bangunan dua lantai yang terdiri atas 1.516 kios dan 345 kapling untuk Pedagang Kaki Lima ( PKL). Pada tahun 1980-an dibangun lagi puluhan pusat pertokoan, beberapa super-market, puluhan hotel, ratusan Bank, puluhan Bioskop, ratusan warung telekomunikasi, dan lain-lain. Ada empat pabrik tekstil raksasa yang dibangun di sekitar wilayah Surakarta, yaitu PT Sritex, PT Batik Keris atau Dan Liris, PT Tyfountex, PT Danarhadi atau Kusumahadi, dan satu perusahaan obat-obatan yang cukup besar, yaitu PT. Konimex,

serta perusahaan jamu yang terkenal, PT Air Mancur. 16

16 Nurhadiantomo., op.cit., hlm 130.

memberikan fasilitas umum yang nyaman juga untuk mendukung perkembangan sektor industri, ekonomi, dan pariwisata, khususnya untuk distribusi barang dan jasa. Pembangunan jalan dalam kota Surakarta disesuaikan dengan suatu pola yang menempatkan Jalan Slamet Riyadi sebagai poros utama kota. Pembangunan jalan ke luar kota disesuaikan atau dihubungkan dengan pusat-pusat ekonomi baru yang merupakan bagian dari perkembangan zona ekonomi Surakarta dan pintu masuk ke dan keluar dari Surakarta, seperti Palur, Solo Baru, Colomadu, dan Kartasura.

Berkembangnya pembangunan jalan dan perekonomian di Kota Surakarta itu seiring dengan perkembangan transportasi perkotaan. Kebutuhan akan transportasi perkotaan bagi masyarakat semakin meningkat, ditandai dengan semakin banyaknya armada-armada angkutan perkotaan dengan berbagai rute yang menjelajahi seluruh sudut kota dan antarkota kecamatan/ kabupaten yang tidak pernah sepi dari penumpang. Oleh karena itu dibutuhkan terminal-terminal bus yang memadai. Selain pembangunan terminal bus Tirtonadi untuk angkutan antarkota dan antarpropinsi, juga dibangun terminal-terminal bus yang lebih kecil di Palur, Kartasura, dan mestinya juga di Solo baru dan Mojosongo. Sedangkan, angkutan kereta api masih digunakan prasarana peninggalan kolonial, seperti stasiun Balapan, stasiun Jebres, stasiun Purwosari, dan stasiun Sangkrah ( Kota ). Angkutan udara, Bandara Adi Sumarmo di panasan ditingkatkan kapasitasnya sebagai bandara internasional,

Yogyakarta.

Meskipun prasarana jalan sudah dilebarkan sedemikian rupa, tetapi setiap kali masih terjadi kemacetan pada simpul-simpul jalan tertentu, terutama pada waktu- waktu berangkat sekolah, berangkat kerja, pulang sekolah, dan pulang bekerja. Kemacetan atau kesemrautan juga terjadi di pusat-pusat kegiatan ekonomi, terutami di jalan-jalan yang melewati Pasar Klewer, Pasar Gedhe, Pasar Legi, Pasar Kadipolo, kompleks pertokoan Coyudan, dan Singosaren. Selain kesibukan orang yang mondar- mandir, juga tempat parker kendaraan yang memenuhi hamper setengah jalan, dan pedagang-pedagang kaki lima yang memenuhi trotoar, bahu jalan dan lain-lainnya.

Pedagang Kaki Lima ( PKL ) hampir memenuhi semua tempat ekonomi strategis secara liar. Ini menjadi masalah bagi kota karena menutup bangunan- bangunan komersial, membuat wajah kota menjadi semrawut , kotor dan tidak nyaman dipandang. Pemerintah kota Surakarta sudah berusaha menata dengan fasilitas untuk PKL yang dapat digunakan dengan cara membayar pajak ( retribusi ) kepada Pemda. Lokasinya dipilih ditempat-tempat yang strategis di pusat kota atau dipinngir jalan-jalan utama. Lokasi-lokasi PKL itu antara laindi Kedung Lumbung ( untuk pedagang kacamata ), di Purwosari ( untuk pedagang buah ), di Jurug ( untuk pedagang buah ), di Tipes ( untuk warung makan ), di Pasar Legi ( untuk pedagang barang bekas ), di Depok ( untuk pedagang burung ), dan di Terminal Gilingan ( Pedagang Kaki Lima ( PKL ) hampir memenuhi semua tempat ekonomi strategis secara liar. Ini menjadi masalah bagi kota karena menutup bangunan- bangunan komersial, membuat wajah kota menjadi semrawut , kotor dan tidak nyaman dipandang. Pemerintah kota Surakarta sudah berusaha menata dengan fasilitas untuk PKL yang dapat digunakan dengan cara membayar pajak ( retribusi ) kepada Pemda. Lokasinya dipilih ditempat-tempat yang strategis di pusat kota atau dipinngir jalan-jalan utama. Lokasi-lokasi PKL itu antara laindi Kedung Lumbung ( untuk pedagang kacamata ), di Purwosari ( untuk pedagang buah ), di Jurug ( untuk pedagang buah ), di Tipes ( untuk warung makan ), di Pasar Legi ( untuk pedagang barang bekas ), di Depok ( untuk pedagang burung ), dan di Terminal Gilingan (

Kota Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki kegiatan industri yang beragam. Kegiatan industri yang ada di Kota Surakarta ini misalnya berupa kegiatan produksi batik, keris, gamelan, busana jawa serta aktivitas lainnya yang telah ada sejak dulu. Perjalanan sejarah Kota Surakarta dipengaruhi oleh budaya dari Kerajaan Mataram Islam dan pemerintahan Belanda serta budaya sebagai kota

dagang. 18 Dengan demikian, aktivitas ekonomi masyarakat Kota Surakarta tentunya

sangat bervariasi dan beragam, baik yang berlangsung sejak dulu karena keberadaan kerajaan itu sendiri maupun aktivitas yang keberadaannya seiring perkembangan zaman. Pusaka industri yang dimiliki Kota Surakarta perlu dilestarikan dalam rangka mampu mempertahankan eksistensi aktivitas ekonomi masyarakat yang telah ada sejak dulu serta mampu mempertahankan bangunan-bangunan sejarah perkembangan ekonomi bagi Kota Surakarta. Hal ini mengingat bahwa pusaka industri yang dimiliki tentunya berperan penting dalam sejarah perkembangan perekonomian kota sehingga nilai secara keseluruhan yang dikandungnya mampu memberikan simbol identitas bagi skala lokal maupun skala kota. Selain itu, pusaka industri yang dimiliki Kota Surakarta tentunya memiliki keistimewaan terkait dengan pengaruh dari adanya

17 Sudarmono, et.al., “ Solo Pada Masa orde Baru”,Laporan Penelitian,

Surakarta: belum diterbitkan, 2010, hlm. 20 .

18 Renni Nur Hayati.,op.cit.,hlm .18.

tetap dipertahankan dan dilestarikan maka tidak hanya mampu menjaga simbol identitas yang terbentuk tetapi juga mampu menjaga sejarah perkembangan perekonomian kota dan menjaga keutuhan urban fabric ( perkotaan yang lain)yang dimiliki.

3. Komoditas Perdagangan dan Budaya Surakarta dengan Dominasi Orang Cina

Keberadaan kampung-kampung dagang yang didukung oleh pasar dengan berbagai komoditi, menempatkan kota Surakarta sebagai kota pusat bisnis dan perdagangan pada tahun 1985. Adanya kantong-kantong kegiatan kesenian ditambah berbagai ritual upacara yang dilaksanakan Keraton Kasunanan maupun Mangkunegaran, menjadikan kota Surakarta menyandang predikat sebagai kota budaya sekaligus daerah tujuan wisata. Warisan budaya lokal yang meliputi kemegahan budaya dan sejarah kerajaan-pun membuat wisatawan baik domestik

maupun mancanegara mengunjungi kota ini. 19

Batik sebagai identitas kota Surakarta

Batik Surakata atau sering dikenal batik Solo merupakan sebuah perlambang atau ikon dari kota itu sendiri, Surakarta. Sebagai kota yang terkenal dengan sebutan kota batik, Surakarta memiliki banyak tempat atau pasar tradisional yang khusus menjual batik dari berbagai macam jenis dan beragam harga. Inilah yang kemudian

19 Shabrina O. Rahajeng, “Solo: The Spirit of Java”, Makalah, Semarang: Universitas Diponegoro, 2007, hlm.III

kuantitas dan juga kualitas. Batik pada abad 18-19 digunakan oleh para pedagang lokal untuk melawan perekonomian Belanda pada saat itu. Ini dimaksudkan sebagai salah satu perjuangan ekonomi melawan Belanda. Batik sendiri sudah ada sejak zaman Majapahit. Sebenarnya membatik dianggap sebagai salah satu kesenian menggambar diatas sehelai kain dengan menggunakan kain khusus. Di zaman tersebut, batik hanya dikhususkan untuk kalangan kraton saja; untuk raja dan keluarganya. Meluasnya batik dimulai pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Setelah kerajaan Majapahit, batik disebarluaskan oleh kerajaan-kerajaan berikutnya, sampai di kerajaan Mataram, yang kemudian oleh Belanda dibagi dua menjadi kerajaan Solo dan Yogyakarta. Dari

situlah kemudian terkenal sebutan batik Solo dan batik Yogyakarta. 20 Sejarah batik erat kaitannya dengan perkembangan sistem monarki atau kerajaan di Indonesia pada jaman dahulu, yakni pada jaman kerajaan Majapahit. Selain itu, perkembangan batik juga disebut-sebut memiliki keterkaitan pula dengan perkembangan agama Islam khususnya di Pulau Jawa. Pada masa kerajaan Mataram, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta, sejarah batik Indonesia pun mengalami perkembangan yang sangat pesat baik corak maupun warna. Pada masa itu pun batik mulai dikenal turun temurun oleh raja-raja berikutnya pada suatu kerajaan. Setelah

20 Artikel “Sejarah Batik Indonesia Sebagai Nuansa Budaya Anak Negeri”Januari 2012 : WordPress (diakses pada :

http://search.gipoco.com/cached/218507/ ) http://search.gipoco.com/cached/218507/ )

Sebagai akibat meluasnya kekuasaan kerajaan Mataram baik Mataram Surakarta maupun Yogyakarta di Pulau Jawa maka, berdasarkan sejarah batik Indonesia, pusat perbatikan di Indonesia banyak bertempat di pulau ini. Sehingga kemudian batik mulai menjadi tiang penyangga kehidupan ekonomi masyarakat Pulau Jawa terutama Jogja dan Solo. Pada masa penjajahan Belanda dimana perekonomian Indonesia dibawah kendali Belanda, rakyat bahu membahu menjadikan batik sebagai alat untuk berjuang melawan Belanda di bidang ekonomi. Untuk itulah, sejarah batik Indonesia menunjukkan bahwa batik tidak sekedar nilai seni yang sangat tinggi melainkan wujud dan bentuk nasionalisme sejati dari masyarakat Indonesia secara turun temurun. Dengan kata lain, selain sebagai warisan leluhur, batik juga merupakan bentuk rasa cinta dan perjuangan yang harus dipupuk dan dilestarikan oleh para generasi penerus. Itulah cara sigap membekali generasi penerus untuk bertahan di tengah gempuran global.

Dalam perkembangannya, batik dikembangkan oleh Go Tik Swan sebagai salah satu pembatik Surakarta yang cukup terkenal. Sejak kecil Go Tik Swan ikut neneknya, Tjan Khay Sing, raja batik Kota Surakarta yang memiliki tiga pusat pembatikan. Ada 1.000 orang yang bekerja di perusahaan batik Tjan Khay Sing. Go Tik Swan sejak kecil sudah tertarik dengan para pembatik yang menorehkan canthing-nya di atas mori/ kain dengan melantunkan tembang-tembang Jawa

macam usaha. 21 Go Tik Swan adalah putra sulung dari empat bersaudara, putra kandung dari pasangan Go Dhian Ik dan Tjan Ging Nio ( keduanya sudah meninggal dunia ). Go Dhiam Ik ( 1904-1989 ) adalah putra keempat dari pasangan Go Pik Thay dan Gan Tioe Nio. Go Pik Thay adalah putra dari Pasangan Go Kiem Liong dan ( Sie ) Oeyek Nio. Inu yang melahirkan ( Sie ) Oeyek Nio , juga ibu yang melahirkan Go Kiem Liong adalah perempuan Jawa. Go Kiem Liong adalah seorang Luitenant der Chinizen van Boyolali pada zaman Pakubuwana IX dan Pakubuwana X, pemegang

lisensi perdagangan opium ( candu ) dan garam di Boyolali. 22

Tja Ging Nio ( 1916-1996 ), ibu kandung Go Tik Swan adalah salah satu putra dari Tjan Khay Sing, seorang etnis Cina totok (peranakan), pengusaha ( raja ) batik Kota Surakarta tahun 1920-1940an. Nyonya Tjan Khay Sing adalah salah satu putrid dari Tjan Sie Ing. Ibu yan melahirkan Nyonya Tjan Khay Sing ( salah satu istri Tjan Sie Ing ) adalah perempuan Jawa yang berprofesi sebagai pembatik. Tjan Sie Ing adalah seorang Luitenant der Chinezen van Surakarta pada zaman pemerintahan Pakubuwana IX dan Pakubuwana X, orang pertama yang mendapat pacht ( sewa ) dari sebuah pasar terbesar di Kota Surakarta pada waktu itu. Nama pasar itu adalah Hardjonagoro, yang sekarang lebih dikenal sebagai Pasar Ghede ( Pasar Besar ). Jadi

21 Rustopo, Menjadi Jawa:Orang-orang Tionghoa dan kebudayaan Jawa di Surakarta1895-1998 , Yogyakarta: Ombak, 2007, hlm. 102.

22 Ibid. ,hlm. 104.

terhormat dan kaya. Dalam Kiprah Go Tik Swan berkenaan dengan upayanya membangun citra dan identitas kejawaanya, berdasarkan pengamatan langsung ataupun informasi dari berbagai tulisan dan media masa lalu, hampir semua simbol kebudayaan Jawa diadopsi sebagai bagian dari hidupnya, dn sebagian diproduksi kembali. Dari itu Go Tik Swan muncul sebagai pelestari dan pengembang budaya Jawa, terutama dalam seni batik, keris, dan benda-benda purbakala.