Dominasi Etnis Cina dalam perekonomian di Surakarta

D. Dominasi Etnis Cina dalam perekonomian di Surakarta

Penegasahan bahwa lebih dari 80% perekonomian Indonesia didominasi oleh etnis China merupakan angka yang berlebihan dan sering digambar-gemborkan. Membiarkan angka ini bergulir dan dikutip terus-terusan oleh media tanpa adanya kualifikasi ataupun cek ulang dapat berdampak buruk. Ketika kaum fasis berkuasa, Menteri Penerangan Jerman Goebbels menuai sentimen-sentimen rasialis dan membiarkannya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dengan mengutip angka- angka yang salah. Ini tidak berarti bahwa tidak ada angka pasti bisa mencerminkan situasi ekonomi saat itu. Secara umum diketahui bahwa pada tahun 1970-an, lebih dari 50% sampai 70% pendapatan Negara berasal dari minyak dan sektor terkait. Jelas ini semua tidak dikendalikan oleh etnis minoritas Cina, melainkan oleh Badan Usaha Milik Negara ( BUMN ) seperti Pertamina atau perusahaan swasta yang dimiliki keluarga Soeharto.

27 Wawancara denganK.G.PH Puger(Kepala Museum dan Pariwisata Keraton Kasunanan) tanggal 29 Maret 2012

Christianto Wibisono ( 1981 ) member sumbangan yang sangat berarti dalam studinya. Ia menemukan bahwa antara tahun 1969 sampai dengan tahun 1980, perusahaan etnis Cina hanya memiliki saham 9% pada Perusahaan Modal Asing ( PMA ) dan 26% pada Perusahaan Modal Dalam Negeri ( PMDN ). Pada tahun 1997, melalui Pusat Data Bisnis Indonesia ( PDBI ), Wibisono juga menyatakan bahwa sektor swasta ( yang hanya sebagian terdiri dari pengusaha etnis Cina ) hanya mencakup sekitar 45 sampai 49% dari perekonomian Indonesia, sedang sektor pemerintah dengan anggarannya ( APBN ) , BUMN serta BUMD meliputi lebih dari 50% perekonomian Indonesia. Jadi, angka yang mendukung teori ekonomi mengenai pendominasian ekonomi oleh etnis Cina sepenuhnya merupakan mitos belaka.

Premis ini juga didukung oleh studi-studi kecenderungan dominasi etnis Cina dalam perekonomian pada tahun 1978, ketika topik ini menjadi sorotan. Dari penelitian di Kota Medan, Jasin dan Smith menemukan bahwa etnis minoritas Cina tidak hanya diwakili 50% dari perusahaan grosir besar, tetapi juga 30% adri perusahaan-perusahaan impor besar. Presentase ini pun menurun bahkan pada

pedagang eceran. 28 Hal ini menjadi pengesahan teori perkembangan ekonomi yang

menyatakan kemampuan wirausaha tidak dapat ditawar-tawar. Dalam prakteknya, proses ini berpuncak pada peluncuran berbagai perusahaan Cina sebelum Perang Dunia Kedua. Yang paling terkenal adalah Oei Tiong-Ham, yang tidak hanya

28 Dr. Yusui Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina; Evaluasi 33 tahun di bawah rejim Soeharto ,Jakarta: Pena Klasik, Jambatan, 2000, hlm. 52 28 Dr. Yusui Liem, Prasangka Terhadap Etnis Cina; Evaluasi 33 tahun di bawah rejim Soeharto ,Jakarta: Pena Klasik, Jambatan, 2000, hlm. 52

industrial, perusahaan ini terhitung sebagai perusahaan multinasional. 29

Menurut penelitian Benny Juwono ada 320 etnis Cina totok yang melakukan perdagangan kain tekstil. Jumlah tersebut jauh lebih banyak daripada jumlah orang Cina peranakan yang melakukan perdagangan yang sama, yaitu hanya 144 orang. Kalangan etnis Cina totok tersebut menguasai perdagangan tekstil untuk seluruh wilayah Karesidenan Surakarta, disamping berbagai macam perdagangan eceran seperti toko kelontong dan penjaja keliling serta perkreditan. Pada tahun 1930, 103 (80%) orang Cina totok bergerak dibidang perkreditan, sedangkan Cina peranakan hanya 22 orang. Dalam bidang penerbitan sejak tahun 1905 orang Cina mulai bergerak dalam perusahaan penerbitan surat kabar. Pada tahun 1907 sudah terdapat 5

29 Pada awal abad ke-20 orang-orang Cina di Surakarta membentuk perkumpulan dagang yang diberi nama karta membentuk perkumpulan dagang yang diberi nama

Kong Sing. Perkumpulan ini mula-mula hanya beranggotakan kalangan pedagang kecil Cina yang miskin, dan tujuannya untuk membantu mereka dalam urusan kematian, pesta, dan perdagangan. Sejak ditemukan metode batik cap dan bahan pewarna kimiawi, pedagang-pedagang Cina di Surakarta mengalami kemajuan. Dengan kata lain, orang Cina menguasai sektor perdagangan ini terutama dalam hal impor bahan baku batik. Mereka memonopoli dan menjadi pedagang perantara dalam menyuplai berbagai bahan baku batik impor. Beberapa diantaranya memiliki industri batik sekaligus menjadi supplier bahan baku, sehingga dapat memproduksi kain batik dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan harga kain batik produksi orang Jawa. Orang Jawa menjual batik dengan harga lebih tinggi karena seluruh ongkos produksi yang dikeluarkan lebih besar dari orang Cina. Hal tersebut terjadi karena bahan baku yang diperoleh dari orang Cina dan orang Arab harganya sangat mahal. Selain itu, aktivitas perdagangan mereka yang tidak kalah penting adalah bidang opium dan pegadaian

Surakarta terbit 4 surat kabar, 3 diantaranya adalah milik orang Cina. 30

Pada masa pasca kemerdekaan kedudukan ekonomi orang-orang Cina tetap kuat. Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan kebijaksanaan pribumisme melalui program Benteng ( 1951-1957 ) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 ( PP 10 ). Tujuannya adalah untuk melemahkan kedudukan ekonomi orang-orang Cina dan membantu pedagang pribumi. Oleh Karena program tersebut tidak berhasil, bahkan memungkinkan terjadinya kehancuran ekonomi dan ketidakstabilan politik, maka

program Benteng dan PP 10/1959 dibekukan. 31

Berlakunya pasar bebas pada pemerintahan Orde Baru (1966-1998) yang menganut sistem ekonomi terbuka, sekaligus mengakhiri perlindungan terhadap pengusaha pribumi. Masuknya bahan dan bumbu batik impor secara bebas, juga tekstil dan produk tekstil, mesin printing, industri substitusi impor pertekstilan yang tanpa kendali telah menghancurkan industri batik tradisional yang menjadi andalan pengusaha (kecil dan menengah) pribumi. Implikasinya, koperasi-koperasi batik primer juga ambruk. Sebaliknya, posisi ekonomi orang-orang Cina di Surakarta pada

30 Ibid., hlm. 73-75.

31 Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Jakarta: LP3ES dan Centre for Political Studies, 2002, hlm. 124.

hubungan sosial antara orang Cina dan pribumi. 32

Menurut penelitian Hari Mulyadi dan Sudarmono serta Nurhadiantomo, pada tahun 1996/1997 terdapat 204 industri pabrikan skala menengah dan besar di Kota Surakarta dan sekitarnya yang terdiri atas:65 pabrik tekstil, 42 pabrik batik tradisional dan printing, 28 pabrik makanan ( tahu, bihun, gula, kecap, sirup, MSG, Saccarin, mete, minyak goring, roti, dll ), 19 pabrik plastic, 14 pabrik rokok, 12 perbengkelan/mesin, 9 pabrik kimia, alcohol, dan cata, 5 pabrik jamu tradisional, 4 perusahaan real-estate, 3 agen kayu gelondongan, 2 pabrik logam dan kaca, dan 1 pabrik penyamakan kulit. Diantara pabrik tekstil yang ada, 38 perusahaan (58,5%) adalah milik orang-orang Cina, 13 perusahaan (20%) milik orang Jawa, 9 perusahaan (13,8%) milik PMA (diantaranya Hongkong dan Taiwan), 5 buah perusahaan (7,7%)milik patungan Arab-Cina. Dari 42 perusahaan batik dan printing, 20 perusahaan (47,7%)milik orang Jawa, 17 perusahaan (40,5%) milik orang Cina, dan 5 perusahaan (11,9%)milik orang Arab.

Surakarta merupakan salah satu pusat industri sandang di Indonesia. Industri tekstil raksasa milik orang Cina adalah PT Sritex dan PT Batik Keris atau PT Dan Liris. Industri besar milik orang Cina lainnya adalah pabrik obat-obatan PT Konimex dan Pabrik Jamu Air Mancur. Selebihnya, PT Tyfontex milik PMA, dan PT Danar

32 Sudarmono, dkk, Runtuhnya Keraton Alit: Studi Radikalisasi Wong Solo dan Kerusuhan Mei 1998 , Surakarta: LPTP, 1999, hlm. 257.

tergolong besar adalah PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri yang bergerak dibidang penerbitan dan percetakan, yang memiliki toko-toko buku dan swalayan pusat grosir Goro Assalam. Adapun dominasi perdagangan oleh orang Cina di Surakarta dapat dilihat dari penguasaan tempat-tempat strategis bagi usahanya, yaitu di jalan utama dan jalan-jalan penyangganya. Jalan utama di Kota Surakarta adalah Jalan Slamet Riyadi, sedangkan jalan-jalan penyangganya meliputi jalan-jalan: Honggowongso, Gatot Subroto, Yos Sudarso, dr.Radjiman, Veteran, Brigjen Sudiarto, Kapten Mulyadi, Yosodipuro, Gajah Mada, Diponegoro, S.Parman, MT Martadinata, Kol Sutarto, Juanda, Urip Sumohardjo, Ir.Sutami,dan A.Yani. dari 18 jalan tersebut terdapat 1.794 tempat usaha yang terdiri atas: 1,125 (62,7%) tempat usaha milik orang Cina, 623 (34,2%) milik orang Jawa, 38 (2,2%)milik orang Arab, 10 (0,6%) milik orang Madura, 5 (0,3%) milik orang Minangkabau, 3 (0,2%) masing-masing milik orang Sunda, India, dan Pakistan.

Selain itu diwilayah Surakarta khususnya Coyudan merupakan salah satu wilayah perdagangan yang didominasi oleh orang-orang Cina sebagai pengusaha atau pemilik modal. Di Coyudan banyak terdapat toko-toko milik orang Cina dengan buruh orang pribumi, toko-toko tersebut terdiri dari; toko batik, toko pakaian anak, toko pakaian dewasa, toko patung plastik dan toko emas. Toko emas inilah yang banyak dimilik pedagang Cina di Coyudan Surakarta untuk transaksi jual beli emas sejak tahun 1930-an. Surakarta selama masa Orde Baru diintegrasikan sebagai puncak Selain itu diwilayah Surakarta khususnya Coyudan merupakan salah satu wilayah perdagangan yang didominasi oleh orang-orang Cina sebagai pengusaha atau pemilik modal. Di Coyudan banyak terdapat toko-toko milik orang Cina dengan buruh orang pribumi, toko-toko tersebut terdiri dari; toko batik, toko pakaian anak, toko pakaian dewasa, toko patung plastik dan toko emas. Toko emas inilah yang banyak dimilik pedagang Cina di Coyudan Surakarta untuk transaksi jual beli emas sejak tahun 1930-an. Surakarta selama masa Orde Baru diintegrasikan sebagai puncak

Secara geografis Kawasan Coyudan terletak di timur Kota Surakarta. Kawasan ini menghubungkan bagian timur dan bagian barat Kota Surakarta dengan kota Yogyakarta dan Sukoharjo. Kawasan yang terletak antara Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran ini juga merupakan penghubung daerah komersial di sekitarnya, yaitu antara Pasar Klewer dengan Pasar Singosaren, serta Kawasan Nonongan dengan Kawasan Singosaren. Kawasan Coyudan merupakan kawasan yang padat, baik oleh bangunan maupun aktivitas kawasan. Padatnya aktivitas fomal kawasan memicu tumbuhnya sektor informal, yaitu PKL. Selain itu, padatnya bangunan mengakibatkan penggunaan jalan untuk parkir pengunjung kawasan. Kepadatan ini ditambah dengan aktivitas lalu lintas di kawasan ini, dimana jalur ini merupakan jalur utama menuju kawasan perdagangan Singosaren, serta merupakan

jalur penghubung antara kota solo dengan kota sekitarnya. 33

33 Fitri Wulandari, “Arahan penataan ruang jalan di Jalan DR. Rajiman Coyudan Solo ditinjau dari setting fisik dan aktivitas pengguna ruang

kawasan ”,TesisUniversitas Gajah Mada Yogyakarta, 2009, hlm. 3. diunduh melaluihttp://etd.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=( diakses pada tanggal 8 Juli 2012)