Ragam Dan Prinsip Terjemahan

B. Ragam Dan Prinsip Terjemahan

Menurut Nababan, munculnya beberapa terjemahan di Indonesia dengan berbagai macam ragamnya disebabkan oleh empat faktor, yaitu: 1) adanya perubahan sistem Bsu dengan sistem Bsa, 2) adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan, 3) adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat

komunikasi dan 4) adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks. 12 Bahasa menurut beberapa pengertian bahasa dalam bahasa Indonesia

merupakan sebuah sistem. Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan makna ‘cara’ atau ‘aturan’, seperti dalam kalimat “Kalau tahu sistemnya, tentu mudah mengerjakannya”. Tetapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem berarti susunan teratur berpola yang membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sistem ini dibentuk oleh sejumlah unsur atau komponen yang satu dengan lainnya berhubungan secara fungsional.

Sebagai sebuah sistem, bahasa itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan sistematis, artinya, bahasa tersusun menurut suatu pola; tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis, artinya, bahasa itu bukan

11 Aspek adalah keadaan peristiwa atau perbuatan. Meskipun bahasa Indonesia memiliki tiga aspek, yakni telah, sedang dan akan, tetapi seluruhnya tidak menggunakan unsur-unsur morfologis

sebagaimana bahasa fleksi. Ketiga aspek tersebut dalam bahasa Indonesia ditandai dengan kata-kata tertentu untuk menunjukkan perbedaan ketiga aspek itu. Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 251.

12 M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003) , h. 29.

merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri dari sub-subsistem; atau sistem bawahan. Di sini subsistem itu dapat disebutkan seperti fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. Ketiga subsistem, yaitu fonologi, morfologi dan sintaksis tersusun secara hierarkial, artinya subsistem yang satu terletak di bawah subsistem yang lain; lalu subsistem yang satu ini terletak di bawah subsistem lainnya lagi. Ketiga subsistem tadi terkait dengan subsistem semantik. Sedangkan subsistem leksikon yang juga diliput subsistem semantik, berada di luar ketiga subsistem struktural

itu. 13 Di dalam literatur terjemahan, ada beberapa ragam terjemahan 14 yang

pernah dikemukakan oleh para ahli, misalnya Nida dan Taber, Larson dan Newmark sekaligus. Konsep-konsep mereka ini berimplikasi terhadap proses penerjemahan. Ragam-ragam tersebut dapat digolongkan menurut jenis sistem tanda yang terlibat, jenis naskah yang diterjemahkan dan menurut proses

penerjemahan. 15 Sehubungan kajian yang dilakukan penulis ini terjemahan al-Quran, maka

ada beberapa contoh ayat yang terjemahannya dapat digolongkan menurut beberapa ragam yang dikemukakan oleh beberapa para ahli di atas. Di antara ragam atau jenis terjemahan itu adalah sebagai berikut:

1. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)

13 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 35. 14 Ragam terjemahan dapat diistilahkan dengan metode terjemahan, yaitu cara terjemahan

yang digunakan para penerjemah dalam mengalihkan makna nas sumber (BSu) secara keseluruhan ke dalam bahasa penerima (BSa). Lihat, Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005), h. 68 dan Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 55.

15 Proses ialah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan sengaja. Proses penerjemahan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang penerjemah pada saat dia

mengalihkan amanat dari Bsu ke dalam Bsa. Atau dapat juga diartikan sebagai suatu sistem kegiatan dalam aktivitas terjemahan. Suryawinata telah membagi proses penerjemahan melalui empat tahap, yaitu: 1) tahap analisis atau pemahaman, 2) tahap transfer, 3) tahap restrukturisasi dan 4) tahap evaluasi dan revisi. Lihat, Suryawinata, Translation, h. 19.

Secara umum terjemahan harfiah adalah terjemahan yang mengutamakan padanan kata atau ekspresi di dalam BSa yang mempunyai rujukan atau makna yang sama dengan kata atau ekspresi dalam BSu.

Terjemahan harfiah dapat juga dikatakan tarjamah lafziyyah atau musâwiyyah yang diikuti oleh Yohânâ ibn al-Batrîq, Ibn Nâ’imah, al-Himsâ

dan sebagainya. 16 Yang menjadi sasaran dalam terjemahan harfiah adalah kata. Sehingga dalam menerjemahkan BSu ke dalam BSa, seorang penerjemah

pertama kali memahami teks, lalu menggantinya dengan BSa pada posisi dan tempat kata BSu. Contoh:

Menyampaikan dosen kuliah = ﺓﺮ ﺿﺎﶈﺍ ﺮﺿﺎﶈﺍ ﻲﻘﻠﻳ

Dengan menggunakan terjemahan harfiyah, penerjemah hanya mencari padanan Bsu dengan Bsa-nya baik dari kata per kata maupun posisi kata itu sendiri, sehingga susunan kata dalam kalimat terjemahan sama persis dengan kalimat aslinya. Terjemahan harfiah semacam itu masih tetap mempertahankan struktur BSu, meskipun struktur itu tidak berterima di dalam BSa.

Terjemahan harfiah bisa saja dirubah sedikit agar berterima di dalam

BSa, sehingga terjemahan BSa: misalnya ﺪﺠﺴﳌﺍ ﻡﺎﻣ ﺃ ﺖﻴﺒﻟﺍ ﻚﻟﺫ (itu rumah di

depan masjid) menjadi terjemahan yang berterima: rumah itu di depan masjid. Perubahan terjemahan harfiah ini disebut oleh Larson sebagai terjemahan

harfiah yang dimodifikasi (modified literal translation). 17 Istilah terjemahan harfiah menurut Nida, Taber dan Larson ini disebut dengan terjemahan kata-

demi-kata oleh Newmark, karena dalam terjemahan ini tatabahasa BSu dan

16 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 69. 17 Mildred L. Larson, Meaning-based Translation, h. 16 16 Syihabuddin, Penerjemahan Arab Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 69. 17 Mildred L. Larson, Meaning-based Translation, h. 16

menjadi Dia bekerja di dalam itu rumah. Sehubungan hal itu, menurut al-Zarqâniy, terjemahan harfiah terikat dengan dua hal, yaitu: a) adanya kosa kata yang sama maknanya di dalam BSu

dan BSa dan b) adanya persamaan unit-unit linguistik antara BSu dan BSa. 19 Dalam kaitannya dengan terjemahan Arab sebagai BSu ke dalam bahasa

Indonesia sebagai BSa, penggunaan terjemahan harfiah memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan itu dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: Pertama,

tidak seluruh kosa kata Arab ada terjemahannya yang sepadan dalam bahasa Indonesia, sehingga banyak dijumpai kosa kata BSu yang digunakan atau kosa kata asing. Istilah-istilah dalam al-Quran sulit ditemukan padanan katanya dalam bahasa Indonesia, misalnya kata taqwa, iman, islam, shalat, zakat, infaq, shadaqah, haji dan sebagainya. Sehingga istilah-istilah tersebut menjadi istilah yang baku dalam bahasa Indonesia. Kedua, struktur dan hubungan antara unit linguistik dalam bahasa Arab berbeda dengan struktur bahasa Indonesia.

Terjemahan harfiah maupun terjemahan kata-demi-kata seringkali dikritik dan dibela. Kalangan ulama berbeda pendapat tentang penerjemahan al-Quran dengan menggunakan terjemahan harfiah. Sebagian menyatakan tidak mungkin terjemahan al-Quran secara harfiah, dan sebagian lainnya

menyatakan dimungkinkan dalam beberapa kata, kalimat atau ayat al-Quran. 20 Adapun alasan Ulama yang menyatakan terjemahan al-Quran secara

harfiah itu tidak mungkin atau mustahil 21 adalah sebagai berikut:

18 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 69. 19 Muhammad ‘Abd al-‘Azîm al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fi ‘Ulûm al-Qurân (T.tp, Dâr al-

Fikr, t.t.), jilid II, h. 113. 20 Al-Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân, h. 114.

21 Rasyîd Ridâ menyatakan bahwa terjemahan al-Quran secara harfiah sulit dilakukan dan akan menimbulkan hal-hal yang negatif. Hal itu tidak dibenarkan dalam Islam. Lihat, Ahmad

Syarbasiy, Yas’alûnaka fi al-Dîn wa al-Hayâh (Beirut: Dâr al-Jîl, 1980), jilid I, h. 328 Syarbasiy, Yas’alûnaka fi al-Dîn wa al-Hayâh (Beirut: Dâr al-Jîl, 1980), jilid I, h. 328

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.”

b. Munculnya terjemahan semacam ini akan mendorong orang-orang memahami al-Quran lewat terjemahan tanpa memperhatikan teksnya.

Sehingga lama kelamaan, teks al-Quran hilang dengan sendirinya.

c. Jika orang-orang sudah merasa cukup dengan terjemahan al-Quran dan sudah tidak memerlukan teks al-Quran lagi, maka keaslian bahasa al- Quran akan terancam kepunahan, sebagaimana bahasa Ibrani yang menjadi bahasa Taurat dan bahasa Injil.

d. Jika peluang untuk menerjemahkan al-Quran secara bebas, maka orang- orang akan berlomba menerjemahkan al-Quran dengan menggunakan bahasa nasional atau daerah. Munculnya terjemahan dalam berbagai bahasa akan memicu perbedaan dan perselisihan antara yang satu dengan lainnya. Akhirnya muncul fitnah dalam bentuk kefanatikan terhadap terjemahan al-Quran yang paling baik menurutnya.

e. Seluruh umat muslim mengakui bahwa al-Quran adalah kalam Ilahi yang tidak bisa diterjemahkan secara sembarangan baik nama-nama maupun

istilah di dalam al-Quran. 22 Sedangkan di antara ulama yang membolehkan al-Quran itu

diterjemahkan adalah Syaikh Mahmoud Syaltut. Dia menyatakan bahwa: “Sesungguhnya menerjemahkan al-Quran, baik untuk belajar maupun mengajar, untuk pemahaman sendiri maupun memberi pemahaman kepada

22 Ahmad Ibrâhim Mahnâ, Dirâsah haula Tarjamah al-Qurân (T.tp.: Matbû’ât al-Sya’b, 1978), h. 152-153.

orang lain, untuk ceramah atau menasehati orang lain, semuanya diperbolehkan menurut pendapat Hanafi, Hanbali dan Syafi’i. Bahkan pendapat ini diperkuat dengan dihukumi wajib Kifayah oleh Syaikh

Muhammad Bakhit, juru fatwa kawasan Mesir. 23 Terjemahan harfiah banyak dilakukan oleh kalangan pondok pesantren

tradisional dalam pembelajaran teks-teks al-Quran, hadits dan naskah-naskah keagamaan lainnya. Pembacaan teks tersebut disertai dengan terjemahannya secara harfiah. Metode pengajaran ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu metode sorogan dan bandongan.

Dengan kedua metode tersebut, para pelajar atau santri diharapkan mampu menerapkan pengetahuan bahasa Arab secara langsung, terutama struktur kata di dalam kalimat dan mampu memahami isi teks yang dimaksud. Karena itu, menurut Nurachman Hanafi, ragam terjemahan ini memiliki kelebihan, yaitu: a) segi bentuk dan struktur kalimatnya lebih sesuai dengan bahasa aslinya. Penerjemah dalam hal ini bukan hanya sebagai penerjemah melainkan juga sebagai transformer, dan b) gaya penulisan penerjemah lebih sesuai dengan dan tepat menurut bahasa aslinya, sehingga penerjemah telah

berhasil menyentuh keinginan penulisnya. 24

2. Terjemahan Dinamis Ragam terjemahan ini seperti yang dianjurkan oleh Nida dan Taber di dalam bukunya The Theory and Practice of Translation harus berpusat pada konsep tentang padanan dinamis dan sama sekali berusaha menjauhi konsep

padanan formal dan bentuk. 25 Namun secara eksplisit, mereka tidak menjelaskan unsur-unsur terjemahan dinamis ini, kecuali Suryawinata yang

menjelaskan bahwa ragam terjemahan ini mengandung lima unsur, yaitu: 1)

23 Ahmad Ibrâhim Mahnâ, Dirâsah haula Tarjamah al-Qurân, h. 25. 24 Nurachman Hanafi, Teori dan Seni Menerjemahkan (Ende Flores: Nusa Indah, 1986), h. 57 25 Konsep padanan formal dan bentuk ini dekat sekali dengan konsep terjemahan harfiah.

reproduksi pesan, 2) ekuivalensi atau padanan, 3) padanan yang alami, 4) padanan yang paling dekat dan 5) mengutamakan makna. 26

Terjemahan yang baik tentu saja terjemahan yang memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi. Keterbacaan yang tinggi, menurut Nida dan Taber, dapat dicapai apabila si penerjemah mampu melahirkan padanan alami dari BSu yang sedekat mungkin di dalam BSa, sehingga terjemahan itu mempunyai pengaruh dan dampak yang ditimbulkannya pada pembaca BSa

sama dengan yang ditimbulkannya pada pembaca BSu. 27 Seperti yang diuraikan di atas, terjemahan dinamis harus mengandung

padanan yang alami. Dilihat dari teori Semantik, hal ini sepertinya tidak mungkin terwujud, karena pada dasarnya tidak ada dua kata yang mempunyai makna yang persis sama, apalagi bila dua kata itu berasal dari bahasa dengan latar sosial dan budaya yang benar-benar berbeda.

Dalam terjemahan ini, istilah sepadan sering menimbulkan kesulitan bagi penerjemah. Jika keserupaan pesan di dalam BSu terhadap BSa itu tidak menjadi masalah, maka bisa diterjemahkan sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam BSu tadi. Namun, masalahnya apakah pesan tersebut bisa dipahami oleh pembaca BSa. Oleh karena itu, si penerjemah dalam terjemahan dinamis ini jangan berpikir “Bagaimana kalimat ini diterjemahkan?”, tetapi “Bagaimana pesan dalam teks ini terungkapkan dalam BSa?”

Sebagai contoh terjemahan dinamis dengan BSu Inggris adalah frasa Lamb of God. Frasa ini terdapat di dalam kitab Injil yang tidak bisa diterjemahkan dengan domba Allah dengan sasaran pembaca BSa yang berbeda kultur sosial-budaya dan tidak pernah melihat domba. Lamb adalah simbol kebersihan jiwa, apalagi jika dihubungkan dengan konteks pengorbanan dalam kehidupan rohani. Oleh karena itu, padanan frasa alami

26 Suryawinata, Terjemahan: Pengantar Teori dan Praktek (Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, PPLPTK, 1989), h. 8.

27 Eugene A. Nida dan Charles R. Taber The Theory and Practice of Translation (Leiden: E.J. Brill, 1982), h. 22.

yang paling dekat bagi orang-orang Eskimo adalah Anjing Laut Tuhan, karena anjing laut melambangkan ketidakberdosaan di dalam budaya Eskimo.

Sedangkan contoh ayat al-Quran yang bisa dikategorikan terjemahan dinamis seperti terjemahan ayat 268 surah al-Baqarah: “Setan menjanjikan kemiskinan kepadamu...” Kata kemiskinan pada ayat tersebut merupakan terjemahan dari kata al-faqr yang seharusnya diterjemahkan kefakiran. Tetapi beberapa terjemahan al-Quran Indonesia seperti yang disusun oleh Mahmud Junus, HB. Jassin dan Depag RI menerjemahkan al-Faqr dengan kemiskinan. Padahal sebagaimana telah diketahui antara kemiskinan dan kefakiran

berbeda istilah dan makna menurut konteks golongan penerima zakat. Kemudian, penggunaan kemiskinan dalam terjemahan ayat tersebut lebih bermakna dan mudah diterima oleh pembaca Bsa daripada kefakiran, karena istilah-istilah yang banyak digunakan dan diperdengarkan oleh masyarakat Indonesia adalah kemiskinan, misalnya pengentasan kemiskinan, di bawah garis kemiskinan, dan sebagainya.

3. Terjemahan Idiomatis Terjemahan jenis ini tidak jauh berbeda dengan terjemahan harfiah. 28 Si

penerjemah sangat berperan dalam menentukan apakah terjemahan itu harfiah atau idiomatis. Jadi penerjemah berusaha menciptakan kembali makna dalam BSu, yakni makna yang diinginkan penulis atau penutur asli, di dalam kata atau kalimat yang luwes di dalam BSa. Terjemahan yang betul-betul idiomatis

28 Pembahasan terjemahan harfiah dan idiomatis merupakan lanjutan dari perdebatan antara terjemahan literal (harfiah) dan terjemahan bebas yang sudah berlangsung sejak zaman dahulu. Hatim

dan Mason mencatat bahwa pada abad XIV seorang penerjemah Arab, Sâlih al-Dîn al-Safadi mengkritik generasi-generasi penerjemah sebelumnya yang banyak mempraktekan terjemahan harfiah. Mereka mempelajari setiap kata dan makna bahasa Yunani, kemudian mencari padanan kata dan maknanya dalam bahasa Arab lalu meletakkannya dalam susunan yang sama. Al-Safadi menyalahkan pendapat yang menyatakan bahwa padanan satu-satu selalu ada untuk setiap kata BSu dan BSa. Lihat, Basil Hatim dan Ian Mason, Discourse and Translator (Longman: Longman Group Limited, 1990), h.

5. Namun demikian, terjemahan harfiah tetap dibela, seperti Newmark membela terjemahan harfiah dengan cara membedakannya dari terjemahan kata-demi-kata. Lihat, Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 68-69. Larson sendiri menjelaskan bahwa yang dimaksudkan terjemahan menurut Newmark adalah terjemahan harfiah yang telah dimodifikasi. Dan dalam hal ini, ia berpihak pada penerjemahan “bebas” yang disebutnya sebagai terjemahan idiomatis.

tidak akan terasa seperti terjemahan, tetapi terasa seperti tulisan atau ungkapan asli. Oleh karena itu, menurut Larson, 29 tujuan akhir setiap terjemahan

hendaknya terjemahan idiomatis dan seorang penerjemah yang baik adalah penerjemah yang selalu berusaha menciptakan terjemahan idiomatis.

Di dalam contoh berikut, dilihat dari struktur BSu maupun BSa sama persis. Jadi terjemahan ini sudah memadai dalam ragam terjemahan harfiah maupun idiomatis.

BSu: I love her atau ﺎﻬ ﺒﺣﺃ ﺎﻧﺃ

BSa: Aku mencintainya. Karena kesamaan struktur dalam BSu dan BSa pada contoh di atas,

maka terjemahan tersebut dapat dikategorikan pada terjemahan kata-demi-kata (word-for-word)

Akan tetapi dalam banyak kasus, struktur ini tidak bisa diterima di dalam BSa. Misalnya:

: ؟ ﻚﲰ ﺍ ﺎﻣ atau what is your name?

Bsu

Harfiah

: Apa namamu?

Idiomatis : Siapa namamu? Terjemahan harfiah di atas tidak bisa berterima bagi orang Indonesia,

karena pertanyaan tentang nama tidak diungkapkan dengan ungkapan Apa namamu? Melainkan dengan ungkapan siapa namamu?

Masih banyak lagi contoh-contoh terjemahan idiomatis, 30 seperti ungkapan-ungkapan BSu yang disampaikan saat berjumpa atau berpisah

29 Larson, Meaning-based Translation, h. 16. 30 Terjemahan idiomatis menghasilkan makna leksikal yang terbentuk dari beberapa kata. Kata-kata yang disusun dengan kombinasi kata lain akan menghasilkan makna yang berlainan. Sebagian idiom merupakan bentuk beku (tidak berubah), artinya bentuk tersebut tidak dapat diubah berdasarkan kaidah sintaksis yang berlaku bagi suatu bahasa. Karena itu makna idiomatik didapatkan dalam ungkapan-ungkapan dan peribahasa. T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2 Pemahaman Ilmu Makna (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 16.

dengan teman atau saudara, yaitu: “ahlan wa sahlan” (selamat datang),” sabâh al-khair” (selamat pagi), “masâ` al-khair” (selamat sore), “kaifa hâluk“ (bagaimana khabarmu?), “bi al-khair” (baik-baik saja), “syukran” (terima kasih), “ma’a al-salâmah” (selamat jalan) dan sebagainya.

Ada beberapa ungkapan al-Quran yang identik dengan ungkapan di atas yang dapat diterjemahkan menurut terjemahan idiomatis seperti ayat 54 surah

al-An’âm : ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﻡﻼﺳ ﹾﻞﹸﻘﹶﻓ // maka katakanlah:” salam sejahtera untuk kamu.”

Ungkapan salâm ‘alaikum banyak ditemukan di dalam al-Quran hingga 19

tempat. Kemudian, ungkapan ini dapat juga dialihkan makna Bsa menjadi salam sejahtera. Pengalihan makna tersebut bisa saja terjadi dalam terjemahan menurut ragam terjemahan idiomatis, karena ungkapan salam sejahtera sudah menjadi ungkapan resmi dalam bahasa lisan maupun tulisan di kalangan masyarakat Indonesia.

Dalam terjemahan, ragam terjemahan idiomatis jarang sekali terjadi secara keseluruhan. Yang sering adalah campuran antara terjemah harfiah, terjemah idiomatis; sebagian diterjemahkan secara harfiah karena memang sudah cukup dan sebagian yang lain diterjemahkan secara idiomatis. Menurut

Larson, urutan terjemahan dapat digambarkan seperti dalam bagan berikut: 31

idiomatic unduly free literal

very

literal

modified inconsistent near

TRANSLATOR’S GOAL

Berdasarkan diagram di atas, maka ragam terjemahan bermula dari ujung kiri, terjemahan sangat harfiah yang terikat dengan BSu dalam hal kata dan struktur kalimat. Semakin ke kanan, terjemahan makin mencapai

31 Larson, Meaning-based Translation, h. 17.

tujuannya dengan mementingkan penyampaian makna dan pesan yang luwes sesuai dengan BSu dan pembaca BSa.

4. Terjemahan Semantis dan Terjemahan Komunikatif Terjemahan semantis dan terjemahan komunikatif merupakan konsep yang diajukan oleh Peter Newmark, dan ia mengakuinya sebagai sumbangan terpenting pada teori terjemahan. Dalam rangka memperkenalkan kedua konsep itu, ia meletakkannya dalam satu bagan yang memuat beberapa jenis

terjemahan sebagai berikut: 32 Berpihak pada Bsu

Berpihak pada Bsa

harfiah (literal)

bebas (free)

setia (faithful)

idiomatik (idiomatic)

Semantis

Komunikatif

Di dalam bagan di atas, jenis atau ragam terjemahan suatu naskah dapat ditentukan dari segi hasil terjemahan yang berpihak pada penulis asli atau teks BSu dan pembaca BSa. Hasil terjemahan yang berpihak pada teks BSu, maka ragam tersebut dapat dikategorikan pada terjemahan harfiah. Sedangkan hasil terjemahan yang berpihak pada pembaca BSa, maka terjemahan tersebut dinamakan terjemahan idiomatis.

Di antara terjemahan harfiah dan idiomatis ini ada terjemahan semantis dan komunikatif. Keduanya saling bersinggungan. Terkadang keduanya tidak bisa dibedakan untuk beberapa kasus, namun untuk kasus-kasus yang lain keduanya bisa dibedakan.

Terjemahan semantis pada dasarnya terjemahan yang bersifat objektif. Karena berusaha menerjemahkan apa yang ada, tidak menambah, mengurangi atau mempercantik. Ragam terjemahan ini hanya ingin memindahkan makna

32 Peter Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1991), h. 41.

dan gaya bahasa teks BSu ke dalam teks BSa. Gaya bahasa BSu tidak bisa dikorbankan selama bisa dimengerti di dalam BSa. Banyak ayat-ayat al-Quran yang mengandung gaya bahasa yang memang maknanya langsung bisa dipahami, sehingga teks Indonesia tetap mencerminkan teks Bahasa al-Quran. Di antara ayat yang dapat diterjemahkan secara semantis adalah ayat 223

surah al-Baqarah: ﻢﺘﹾﺌِﺷ ﻰﻧﹶﺃ ﻢﹸﻜﹶﺛﺮﺣ ﺍﻮﺗﹾﺄﹶﻓ ﻢﹸﻜﹶﻟ ﹲﺙﺮﺣ ﻢﹸﻛﺅﺎﺴِﻧ // Isteri-isterimu

adalah ladang bagimu, Maka datangilah ladangmu itu kapan saja dengan cara yang kamu sukai.

Contoh ayat di atas terdapat kata nisa`ukum yang diterjemahkan dengan makna istri-istrimu. Kata nisâ` merupakan bentuk jamak dari kata mar`ah atau imra`ah yang berarti orang perempuan atau wanita. Meskipun kata wanita, dan perempuan memiliki perbedaan, tetapi semuanya memiliki unsur kesesuaian ciri-ciri semantik antara unsur leksikal yang satu dengan unsur leksikal yang lain, sebagaimana yang akan penulis jelaskan di bab IV.

Kemudian ayat tersebut diterjemahkan sesuai dengan bunyi teks apa adanya dengan tidak membubuhkan kata seperti yang mengandung arti perumpamaan dan makna ayat tersebut dapat dipahami meskipun tanpa ada penambahan atau pengurangan atau mempercantik gaya bahasa Indonesia.

Sedangkan terjemahan komunikatif lebih bersifat subjektif, karena berusaha menciptakan efek pikiran dan tindakan pada pembaca BSa. Dengan demikian, terjemahan ini mengakibatkan hilangnya sebagian makna BSu. Menurut Newmark, kata mempunyai banyak makna yang luwes dan sekaligus ruwet serta menimbulkan tafsiran yang beragam. Oleh karena itu, setiap penyederhanaan dalam terjemahan komunikatif selalu mengakibatkan

hilangnya sebagian makna itu. 33

33 Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 51

Terjemahan komunikatif juga berlaku pada terjemahan al-Quran, seperti

ayat 47 surah al-Dzâriyât: .. ٍﺪﻳﹶﺄِﺑ ﺎﻫﺎﻨﻴﻨﺑ َﺀﺎﻤﺴﻟﺍﻭ // Dan langit itu Kami bangun

dengan tangan (kami). Menurut kajian stylistik, gaya bahasa al-Quran pada ayat tersebut

menggunakan majâz mursal atau sepadan dengan gaya bahasa sinekdoke dalam bahasa Indonesia. 34 Dengan munculnya arti tangan pada ayat tersebut,

berarti ada sebagian makna yang hilang. Karena itu, penyederhanaan makna pada ayat-ayat seperti di atas menciptakan sikap, pemikiran dan penafsiran

para pembacanya. Oleh karena itu, terjemahan al-Quran Depag RI mengartikan kata aidî (tangan) dengan kekuasaan.

Newmark menyatakan bahwa terjemahan semantis biasa digunakan untuk menerjemahkan teks-teks otoritatif (authoritative) atau teks ekspresif, yakni teks-teks yang isi dan gayanya, gagasan dan kata-kata serta strukturnya sama-sama pentingnya. Jenis teks ini meliputi teks sastra, atau teks-teks lain yang ditulis dengan indah dan bagus. Yang penting teks tersebut ditulis oleh

penulis yang mempunyai status yang tinggi. 35 Karena itu, Suryawinata menambahkan bahwa terjemahan al-Quran sebagai wacana otoritatif, termasuk

ke dalam ragam terjemahan semantis, karena penerjemahannya harus sedekat dan setepat mungkin dengan teks aslinya baik gramatika, kosakata, konsep dan makna, amanat maupun stilistiknya. 36

Selanjutnya, meskipun banyak ragam terjemahan sebagai alternatif dan model pengembangan dalam terjemahan, penerjemah tetap harus memiliki

34 Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang menggunakan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhan atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian.

Misalnya: Setiap kepala dikenakan sumbangan sebesar Rp. 10.000,-. Dalam bahasa Arab disebut majâz mursal ‘alâqatuhu al-juz`iyyah. .

35 Peter Newmark, Paraghrafs on Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd, 1993), h. 1.

36 Suryawinata, Translation, h. 51.

prinsip-prinsip dasar yang harus dimilikinya. Yang dimaksud dengan prinsip- prinsip terjemahan di sini adalah seperangkat acuan dasar yang seharusnya dipertimbangkan oleh para penerjemah. Tentunya para penerjemah bisa melakukan aktivitas terjemahan dengan berbagai macam ragam atau jenis terjemahan yang telah dikemukakan sebelumnya, seperti terjemahan harfiah, kata- demi-kata, dinamis, idiomatis, semantis hingga komunikatif.

Namun, semua ragam tersebut secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua prinsip terjemahan, yaitu prinsip yang setia pada teks Bsu dan yang setia pada pembaca atau teks Bsa.

Menurut Suryawinata, 37 ragam terjemahan yang berdasarkan prinsip pertama dapat diketahui melalui hasil karya penerjemah, yakni antara lain: (a)

lebih banyak menggunakan kata-kata teks Bsu, (b) teks Bsa yang dibaca seperti terjemahan teks Bsu, (c) gaya bahasa Bsu masih tercermin dalam teks terjemahannya, (d) terjemahan Bsa masih mencerminkan waktu teks ditulis (contemporary of the author), (e) tidak ditemukan penambahan dan pengurangan.

dalam teks Bsa, (f) genre sastra (literary genre) tertentu 38 masih tetap dipertahankan dalam terjemahan.

Sedangkan prinsip kedua, yakni setia pada pembaca atau teks Bsa juga dapat diketahui melalui hasil karya penerjemah, antara lain: (a) dalam hal keluwesannya, ketika dibaca seperti teks aslinya, (b) memiliki gaya sendiri dalam terjemahannya, (c) terjemahan harus menggambarkan waktu saat teks Bsu itu diterjemahkan, (d) penambahan dan pengurangan diperbolehkan dalam terjemahan bahkan dianjurkan, (e) genre sastra tidak harus dipertahankanPrinsip- prinsip terjemahan yang setia kepada teks Bsu

Dari beberapa prinsip di atas, maka dapat dipahami bahwa ragam terjemahan yang digunakan adalah terjemahan harfiah atau terjemahan dari kata-

37 Suryawinata, Translation, h. 59. 38 Wacana yang mempunyai ciri-ciri struktural dan stilistis yang khusus; misalnya dongeng,

parabel, lirik dan sebagainya. Lihat, Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 64.

kata yang dipakai teks Bsu. Kemudian, yang perlu dipertahankan dari teks Bsu adalah gaya bahasanya, sehingga jika dibaca akan terasa seperti terjemahannya. Pengurangan dan penambahan dalam terjemahan yang setia dengan teks Bsu tidak berlaku sama sekali. Sedangkan dalam wacana sastra harus diterjemahkan dalam bentuk sastra lagi, misalnya puisi harus diterjemahkan menjadi puisi, demikian pula sebuah prosa diterjemahkan menjadi prosa.

Penerjemah yang mengikuti terjemahan setia pada teks Bsu, menurut Rachmadie, akan mengalami beberapa kesulitan, karena pada kenyataannya jarang sekali ada teks yang bisa diterjemahkan secara harfiah dengan ketepatan,

kejelasan, dan ketelitian yang sama dengan teks Bsu. 39 Dengan mengikuti prinsip-prinsip terjemahan di atas, maka ragam

terjemahan yang setia mengikuti teks Bsa adalah terjemahan dinamis, idiomatik dan komunikatif.

Pada kenyataannya, Terjemahan al-Quran Depag RI tetap menganut dua prinsip di atas, karena ragam terjemahan yang diembannya tidak sebatas terjemahan harfiyah, melainkan terjemahan semantis, idiomatis dan komunikatif yang semuanya bisa dan mungkin terjadi. Hal itu disebabkan oleh teks al-Quran sebagai teks keagamaan yang berbentuk prosa dengan bahasa yang puitis. Di samping itu, teks al-Quran mengandung ajaran-ajaran teologis yang tentunya akan berpengaruh dalam memahami teks aslinya dan bagaimana menetapkan terjemahannya. Dalam al-Quran, terdapat beberapa kasus yang dinamakan iltifât

(alih pronomina), seperti: ﹶﻥﻮﻌﺟﺮﺗ ِﻪﻴﹶﻟِﺇﻭ ﻲِﻧﺮﹶﻄﹶﻓ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ﺪﺒﻋﹶﺃ ﻻ ﻲِﻟ ﺎﻣﻭ . Ayat ini terdapat

dalam surah Yâsîn ayat 22 yang mengandung dua subjek dalam struktur yang sama , yakni orang pertama tunggal (Aku) dan orang kedua jamak (kamu).

Selain itu, penggunaan kala dalam konteks hari kiamat yang belum atau masih akan terjadi, seperti pada ayat 87 surah al-Naml berikut ini:

39 Sabrony Rachmadie, Zuchridin Suryawinata dan Achmad Efendi, Materi Pokok Translation, Modul 1-6 (Jakarta: Karunika dan Universitas Terbuka, 1988), h. 124

Contoh ayat di atas menunjukkan adanya penggunaan kala lampau pada verba fazi’a, sementara konteks peristiwa itu belum terjadi. Bahasa Indonesia tidak mengenal kala seperti bahasa Arab atau bahasa Inggris. Kemudian untuk memberikan makna pada kata fazi’a, maka tidak perlu menyertakan kata telah tetapi cukup menambahkan partikel –lah pada terjemahan verbanya sebagai penekanan makna bahwa peristiwa tersebut benar-benar akan terjadi, sehingga terjemahan verba fafazi’a menjadi maka terkejutlah.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Suyawinata di atas, secara khusus memang tidak ada aturan yang mengikat untuk memilih kedua prinsip tersebut. Semua itu dikembalikan secara bebas kepada para penerjemah. Secara historis, kegiatan terjemahan telah muncul sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang silam. Namun prinsip-prinsip terjemahan hingga kini masih diperbincangkan dan diperdebatkan oleh kalangan penerjemah dan pakar terjemahan. Sebagai contoh, sekitar tahun 834 M, Paus Damasus menugaskan Jerome untuk menerjemahkan kitab suci Perjanjian Baru, karena terjemahan kitab suci sebelumnya terikat dan setia dengan Bsu-nya. Kemudian, Jerome mencoba untuk menerjemahkan kitab suci itu dengan prinsip terjemahan yang setia kepada Bsa. Akhirnya, selama hidupnya Jerome mendapat tantangan dan kecaman dari

masyarakat pembaca. 40 Contoh lainnya berkaitan erat dengan terjemahan kitab suci al-Quran secara puitis oleh Hans Bague Jassin berjudul “Bacaan Mulia” dan

diterbitkan pada tahun 1978 oleh Penerbit Djambatan di Jakarta. Ternyata karya terjemahannya menimbulkan polemik dan menjadi perhatian bagi umat Islam, bahkan Menteri Agama, Majelis Ulama Indonesia dan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia turut berbicara untuk upaya perbaikan terjemahan al-Quran itu. Di antara alasan utamanya polemik itu muncul, karena HB. Jassin menerjemahkan al-

40 Suhendra Yusuf, Teori Terjemah: Pengantar ke Arah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik (Bandung: Mandar Maju, 1994), h. 63.

Quran terlalu setia pada Bsa pada ayat-ayat tertentu, misalnya kata “hudâ” tidak diterjemahkan secara konsisten, sehingga muncul maknanya bermacam-macam seperti petunjuk (ayat 2 surah al-Baqarah), pimpinan (ayat 16 surah al-Baqarah), “ummatan wasatan” diterjemahkan dengan umat yang adil (ayat 143 surah al-

Baqarah), “fatall diterjemahkan dengan embun dan sebagainya. 41 Selain itu, terjemahan al-Quran yang dianggap melenceng dari makna kandungannya adalah

terjemahan oleh Nazwar Syamsu dalam bentuk buku sebagai koreksi terhadap terjemahan Bacaan Mulia HB. Jassin. Penyimpangan terjemahan dalam buku tersebut misalnya “al-Qarnain” diterjemahkan dua golongan (halaman 60), “din

al-Haqq” diterjemahkan agama logis (halaman 68), “wa al-mu`allafah qulubuhum” diterjemahkan kekuatan penjagaan (halaman 74), “fa ummuhû

hâwiyah” diterjemahkan maka ibunya ialah yang menarik jatuh (halaman 152). 42