Prosedur Terjemahan

C. Prosedur Terjemahan

Kata prosedur berarti urutan yang formal. Prosedur dalam suatu terjemahan perlu diadakan untuk menghindari kesalahan dan memudahkan proses terjemahan, karena penerjemahan tidak lepas dari berbagai persoalan. Pada umumnya dalam penerjemahan, terdapat dua persoalan praktis yang dihadapi oleh para penerjemah. Pertama, penerjemah tidak memahami makna satuan bahasa seperti kata, kalimat atau paragraf sehingga tidak menangkap pesannya. Kedua, penerjemah mengalami kesulitan untuk menerjemahkannya, meskipun sudah

memahami Bsu-nya. 43 Untuk mengatasi hal itu, penerjemah perlu menempuh prosedur, yang

menurut Nida dan Taber, terdiri dari tiga langkah penerjemahan, yaitu: (1)

41 Polemik H. Oemar Bakry dengan H.B. Jassin tentang al-Quranul Karim Bacaan Mulia (Jakarta: Mutiara, 1979), h. 10-12.

42 Nazwar Syamsu, Koreksi Terjemahan Bacaan Mulia HB. Jassin (Padang Panjang: Pustaka Saadiyah, 1916).

43 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Bandung: Pustaka Jaya, 2006), h. 11.

analisis (memahami Bsu); (2) transfer (menerjemahkan dalam pikiran); dan (3) restrukturisasi (menerjemahkan). 44

Analisis dilakukan dengan cara teks dibaca secara keseluruhan dan pesannya dipahami secara garis besar. Teks yang dibaca itu meliputi struktur, semantik dan gaya bahasa. Pada langkah pertama ini, sering ditemukan problem pemahaman dan pemecahannya harus dicari di luar teks. Apalagi al-Quran mengandung banyak makna dan pesan yang pemecahannya harus ditemukan dari berbagai sumber, misalnya kamus, literatur tafsir baik klasik maupun kontemporer, dan sebagainya. Langkah kedua, transfer dengan cara teks

diterjemahkan di dalam pikiran dan ditulis jika perlu sambil mencari pemecahan problem yang harus dicari di luar teks. Pada langkah ini, menurut Hoed, adanya “deverbalisasi”, yakni melepaskan diri dari ikatan bentuk teks atau kalimat-

kalimat Bsu untuk menangkap pesannya secara rinci. 45 Namun untuk menjaga agar makna dan pesan teks Bsu tidak hilang, teks sumber harus tetap dijadikan

acuan utama agar melahirkan satuan terjemahan terkecil yang dapat dicermati dan dilakukan dan proses ini dinamakan close translation. 46

Langkah ketiga, restrukturisasi yang dimulai dari cara mengatur susunan kalimat secara teliti. Di sinilah, struktur gramatikal dan semantik Bsu mulai diubah menjadi struktur gramatikal dan semantik Bsa.

Ketiga langkah dalam proses penerjemahan di atas dinilai belum sepenuhnya dilakukan, oleh karena itu Newmark menambahkan satu langkah sehingga jumlahnya empat langkah dan keempat langkah ini kemudian disebutnya sebagai approach. Dengan demikian, prosedur terjemahan sepenuhnya harus melewati empat tataran penerjemahan, yakni: (1) tataran teks (the textual level);

44 Nida dan Taber, The Theory and Practice of Translation, h. 22. 45 Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 11. 46 Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 11.

(2) tataran referensial; (3) tataran kohesi; (4) tataran kewajaran (the level of naturalness). 47

Perbedaan yang mencolok antara Nida dan Newmark mengenai prosedur terjemahan itu terdapat pada langkah ketiga, yakni restrukturisasi menurut Nida dan tataran kohesi dan kewajaran menurut Newmark. Tataran kohesi dimaksudkan sama dengan restrukturisasi, yakni keterpaduan antara gramatikal Bsa dan maknanya terhadap gramatikal dan makna Bsu. Sedangkan tataran kewajaran inilah yang kemudian sebagai langkah evaluasi dari langkah ketiga, apakah hasil terjemahan itu berterima bagi pembaca atau tidak. Oleh karena itu, perlu

dilakukan pemeriksaan ulang dengan maksud apakah terjemahan ini sudah sesuai dengan desain sasaran (audience design) dan analisis kepentingan (need analysis).

Kemudian, langkah-langkah tersebut di atas memunculkan berbagai macam strategi terjemahan. 48 Dalam prakteknya, penerjemah tidak mengambil seluruh

teknik yang digunakan sebagai strategi terjemahan, tetapi dia memilih beberapa teknik yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan itu dilakukan. Ada banyak teknik yang ditawarkan, tetapi hanya beberapa yang dianggap umum yang akan dikemukakan di sini.

1. Transposisi (Transposition) Teknik ini dilakukan oleh penerjemah untuk mengubah struktur asli Bsu di dalam Bsa agar mencapai efek yang padan. Pengubahan ini meliputi pengubahan struktur kalimat secara keseluruhan, seperti bentuk jamak kepada

bentuk tunggal, bentuk kata kepada bentuk kata lainnya dan posisi kata. 49 Misalnya dalam bahasa Inggris bentuk jamak musical instruments

diterjemahkan dengan bentuk tunggal alat musik. Di samping pengubahan, termasuk juga pemisahan satu kalimat Bsu menjadi dua kalimat Bsa atau lebih,

47 Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 20-30. 48 Dalam literatur terjemahan, strategi terjemahan disebut prosedur terjemahan ( translation procedures). Suryawinata, Translation, h. 67.

49 Lihat, Newmark, A Textbook of Translation, h. 85 dan Rachmadie dkk., Materi Pokok Translation (Jakarta: Karunika dan Universitas Terbuka, 1988), h. 136.

atau penggabungan dua kalimat Bsu atau lebih menjadi satu kalimat Bsa juga termasuk dalam teknik ini. Pemisahan atau penggabungan kalimat itu bisa

dilakukan karena pertimbangan gaya bahasa atau stilistika. 50

2. Modulasi Modulasi adalah strategi untuk menerjemahkan frasa, klausa atau kalimat. Di sini penerjemah memandang pesan dalam kalimat Bsu dari sudut

yang berbeda atau cara berpikir yang berbeda. 51 Teknik ini dilakukan karena teks Bsu yang diterjemahkan tidak menghasilkan terjemahan Bsa yang wajar

atau luwes, seperti teks bahasa Inggris I broke my leg kemudian diterjemahkan

ke dalam Bsa menjadi kakiku patah. Contoh ini memberikan padanan yang secara semantik berbeda sudut pandang atau cakupan maknanya, tetapi dalam konteks yang bersangkutan memberikan pesan yang sama.

3. Padanan Deskriptif (Descriptive Equivalent) Seperti yang tercermin dalam namanya, padanan ini berusaha

mendeskripsikan makna atau fungsi kata Bsu. 52 Strategi ini dilakukan karena kata Bsu tersebut sangat terkait dengan budaya khas Bsu dan penggunaan

padanan budaya dirasa tidak bisa memberikan derajat ketepatan yang dikehendaki.

4. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) Penjelasan tambahan dilakukan karena pertimbangan kejelasan makna. Di sini penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahannya karena ia berpendapat bahwa pembaca memerlukannya. Informasi tambahan ini bisa diletakkan di dalam teks, di bagian bawah

halaman berupa catatan kaki atau di bagian akhir dari teks. 53

5. Penerjemahan Fonologis

50 Newmark, A Textbook of Translation, h. 87. 51 Newmark, A Textbook of Translation, h. 88. 52 Newmark, A Textbook of Translation, h. 83-84. 53 Newmark, A Textbook of Translation, h. 91-92.

Penerjemah tidak menemukan padanan yang sesuai dalam Bsa sehingga ia memutuskan untuk membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata itu dalam Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) Bsa. Penerjemahan sejenis ini, Suryawinta menamakannya dengan

dengan transliterasi. 54

6. Penerjemahan Resmi/ Baku Ada sejumlan istilah, nama, dan ungkapan yang sudah baku atau resmi

dalam Bsa sehingga penerjemah langsung menggunakannya sebagai padanan. 55 Untuk itu, penerjemah yang mengerjakan naskah dari bahasa asing ke dalam

bahasa Indonesia perlu memiliki “Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing” yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud RI. Sisi lain kelebihan teknik ini adalah penerjemah bisa memperoleh dua keuntungan: Pertama, ia bisa menyingkat waktu; dan kedua ia bisa ikut serta memberi arah perkembangan bahasa Indonesia pada jalur

yang benar. 56

7. Padanan Budaya (Cultural Equivalent) Teknik ini berkaitan dengan budaya Bsu dan Bsa yang keduanya memang berbeda. Kemudian dalam terjemahan, teknik ini digunakan untuk memudahkan penerjemah agar bisa membuat kalimat Bsa yang mulus dan enak dibaca, meskipun kemungkinan besar teknik ini tidak bisa menjaga ketepatan makna. Hal yang terpenting dari teknik ini adalah mengganti kata yang khas dalam Bsu dengan kata yang khas dalam Bsa. Untuk teks yang bersifat umum, misalnya pengumuman atau propaganda, strategi ini bisa digunakan karena

pada umumnya pembaca Bsa tidak begitu peduli akan budaya Bsu. 57

Selain tujuh teknik di atas, ada beberapa teknik yang ditawarkan oleh beberapa pakar terjemahan, yang secara substansial merupakan hasil adaptasi dari

54 Suryawinata, Translation, h. 71. 55 Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 76. 56 Suryawinata, Translation, h. 74. 57 Newmark, A Textbook of Translation, h. 82-83.

teknik-teknik di atas. Tim dosen terjemah di fakultas-fakultas dan lembaga- lembaga khusus di Beirut mengemukakan bahwa terjemahan maknawiah ( al- Tarjamah bi al-Tasarruf) hendaknya berdasarkan kepada enam teknik, yakni mendahulukan (al-taqdîm), mengganti (al-tabdîl), mengakhirkan (al-ta`khîr),

membuang (al-hadzf), mengutip (al-iqtibâs), dan menambahkan (al-ziyâdah). 58 Sementara itu, al-Didâwî menyebutkan tujuh butir kunci penerjemahan, yaitu

adopsi (iqtibâs), metafora (isti’ârah), terjemah harfiah, alterasi (tabdîl), implikasi (idkhâl), asimilasi (mu’âdalah), dan approximasi (taqrîb). 59

Beberapa teknik penerjemahan, baik yang dikemukakan oleh lembaga

khusus di Beirut maupun oleh al-Didâwî, oleh Vinney Darbalini, secara garis besar dikelompokkan ke dalam dua jenis terjemahan, yakni: (1) Terjemahan setia (terikat) yang meliputi beberapa teknik antara lain: adopsi, metafora dan terjemah harfiah; (2) terjemahan bebas yang meliputi beberapa teknik antara lain: aliterasi,

implikasi, asimilasi dan approximasi. 60 Strategi atau teknik penerjemahan yang ditulis oleh beberapa pakar di atas

mendasarkan pemikirannya pada pengalaman mereka sebagai penerjemah. Karena didasarkan pada pengalaman pribadi, pandangan-pandangan itu tidak bisa dikatakan sebagai konstruk teoritis bagi penilaian yang sistematis terhadap teori penerjemahan. Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan-pandangan itu berubah menjadi konsep umum sebagai pedoman dalam melakukan aktivitas penerjemahan.

Adapun yang terpenting menurut Lauven-Zwart, sebagaimana yang dikutip oleh Nababan bahwa menghasilkan penerjemah dan terjemahan yang baik bukan merupakan tujuan utama teori penerjemahan. Penerjemah dan terjemahan yang

58 Jamâ’ah Mudarris al-Tarjamah fî al-Ma’âhid, al-Uslûb al-Sahîh fî al-Tarjamah (Beirut: Mansyûrât Maktabah al-Hayât, t.t.), h. 9.

59 Al-Dîdâwî, Muhammad. ‘Ilm al-Tarjamah baina al-Nazariyyah wa al-Tatbîqiyyah (Tunis: Dâr al-Ma’ârif wa al-Nasyr, 1992), h. 171.

60 A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Jakarta: Kanisius, 1989), h. 30-36.

lebih baik mungkin saja merupakan produk teori dan metode penerjemahan. Akan tetapi, tugas itu pada umumnya diserahkan pada studi Penerjemahan Terapan. 61