JENIS MAKNA DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN
C. JENIS MAKNA DALAM TERJEMAHAN AL-QURAN
Makna 107 dalam terjemahan al-Quran tidak berbeda jauh dengan makna atau tipe makna dalam kajian linguistik, karena sarana terjemahan adalah bahasa
juga. Sesungguhnya jenis makna memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang. Pada bagian ini, ternyata ada beberapa makna yang dapat ditemukan dalam terjemahan kaitannya dengan ayat-ayat al-Quran.
Berdasarkan jenis semantiknya, jenis makna dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, yang sebagian sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Kalau makna leksikal itu berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal ini adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatika seperti proses afiksasi,
107 Persoalan makna dalam suatu bahasa tidak lepas dari tiga hal, yang menurut Ullmann tiga hal itu adalah name, sense dan thing. Soal makna terdapat dalam sense, dan terdapat hubungan timbal
balik antara sense dan name. Apabila seseorang mendengar kata tertentu, ia dapat membayangkan bendanya atau sesuatu yang diacu, dan apabila seseorang membayangkan sesuatu, ia segera dapat mengatakan pengertiannya itu. Hubungan antara nama dan pengertiannya itu disebut dengan makna. Acuan dalam makna tidak disebut-sebut oleh Ullmann, karena ia di luar jangkauan linguis. Lihat, Stephen Ullmann, Semantics an Introduction to The Science of Meaning , (Oxford: Basil Balckwell, 1972), h. 57.
proses reduplikasi dan proses komposisi. 108 Proses afiksasi misalnya awalan yâ` dan tâ` pada verba imperfektif (fi’il al-Mudâri’) akan berbeda maknanya, karena
mengandung subjek yang berbeda. Kalau yâ` subjeknya adalah persona ketiga yaitu dia, sedangkan tâ` adalah persona kedua yaitu kamu, dan seterusnya.
Kemudian, berdasarkan acuannya jenis makna dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: (1) makna referensial, dan (2) makna nonreferensial. Bila kata- kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Kalau kata itu tidak
mempunyai referen (acuan), maka kata itu bermakna nonreferensial. Dapat dikatakan bahwa kata-kata yang termasuk kategori kata penuh (full
word) adalah termasuk kata-kata yang bermakna refensial, misalnya syajarah (pohon), nakhîl (kurma), a’nâb (anggur), kursiy (kursi), dan sebagainya. Contoh kata yang terakhir, yakni kursi bisa mengandung beberapa kemungkinan makna. Kata kursi sebagaimana dalam terjemahan ayat 255 surah al-Baqarah yang disandarkan pada pronomina persona ketiga yang mengacu kepada Allah bisa mengandung beberapa makna, antara lain: (1) makna referensial, yaitu apabila kata kursi tersebut masih menunjuk pada referen dasar sesuai dengan berbagai
fakta maupun ciri yang dimiliki, misalnya adalah 109 ; (2) makna konseptual, yaitu apabila denotasi makna kata yang dihasilkan dari konseptualisasi
pemakainya, misalnya kursi ialah “tempat duduk”; (3) makna intensional, yaitu pemberian makna sangat ditentukan oleh motivasi, minat, maksud maupun tujuan
Makna gramatikal ( gramatical meaning) mempunyai kesamaan istilah dengan makna fungsional (fungsional meaning), makna struktural ( structural meaning), makna internal ( internal meaning) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya kata dalam kalimat. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 103.
Pemberian makna referensial suatu kata pada sisi lain tidak dapat dilepaskan dari pemahaman pemberi makna itu sendiri terhadap ciri referen yang diacu. Referen yang dinamai kambing misalnya, dapat diberi ciri “hewan berkaki empat, berbulu, berjanggut, berbau tidak sedap”. Sebenarnya pemberian ciri itu bertolak dari ciri komponen yang terkandung dalam abstraksi wujud kambing secara keseluruhan. Aminuddin, Semantik : Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2003), h. 89.
‘Abbas dan Ibn Katsir, kursi dimaksudkan ilmu Allah. 110
Dan kata yang bermakna nonreferensial adalah kata tugas (al-adâwât), seperti preposisi (hurûf al-Jarr) dan konjungsi (hurûf al-‘Atf) dan kata tugas lainnya. Semua kata tugas tidak mempunyai referen, maka kata-kata ini tidak memiliki makna. Kata-kata ini hanya memiliki fungsi atau tugas. Oleh karena itu,
kata tugas ini akan mempunyai makna jika berdampingan dengan kelas kata lainnya, seperti nomina dan verba. Dari sinilah, kata tugas akan mempunyai
makna, tetapi bukan makna referensial tetapi makna fungsi (al-Ma’nâ al- Wazîfiy). 111
Perlu diketahui bahwa ada kata-kata yang referennya tidak tetap, dapat berpindah dari satu rujukan kepada rujukan lain atau dapat juga berubah
ukurannya. Kata-kata ini disebut deiktis. 112 Di antara kata yang masuk kategori deiktis adalah kata ganti (pronomina). Meskipun pronomina dalam Bsu menjadi
kata definitif (ism mu’ayyan), namun acuannya berpindah-pindah. Misalnya ini pada terjemahan surah al-Baqarah ayat 25: Mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu; ayat 79: Kemudian mereka berkata, “Ini dari Allah,”; ayat 126: Ya Tuhanku, jadikanlah ini negeri yang aman. Yang dijadikan acuan kata ini yang pertama adalah rezeki dari surga; acuan kata ini yang kedua adalah catatan-catatan kitab yang ditulis oleh ahli kitab; dan acuan kata ini yang ketiga adalah negeri Mekkah.
Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir, jilid 1, h. 147. Bandingkan dengan al- Zamakhsyariy, al-Kasyyâf (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), h. 297.
111 Tammâm Hassân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, h. 342. 112 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 64.
Selanjutnya, makna yang berdasarkan ada atau tidaknya “nilai rasa” pada sebuah kata terbagi atas dua bagian, yaitu: (1) makna denotatif; dan (2) makna konotatif. Makna denotatif disebut juga makna konseptual, makna kognitif,
makna referensial, sebab makna ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi, menurut penglihatan, penciuman, pendengaran,
perasaan, atau pengalaman lainnya. 113 Karena itu, makna denotatif disebut juga sebagai “makna yang sebenarnya”. Umpamanya, dalam beberapa ayat al-Quran
yang berkaitan dengan pernikahan, perceraian dalam surah al-Baqarah lebih
banyak menggunakan kata perempuan, seperti perempuan musyrik, hamba sahaya perempuan, perempuan-perempuan yang diceraikan, dan selainnya lebih
banyak menggunakan kata istri untuk menerjemahkan kata al-Nisâ`. Istri sebagai terjemahan dari kata al-Nisâ`pada beberapa ayat yang berkaitan dengan kehidupan keluarga merupakan cara mendekatkan makna dari perempuan atau wanita. Cara ini bisa dilakukan melalui dua pendekatan, yakni
pendekatan analitik (referensial) dan pendekatan operasional. 114 Dilihat dari pendekatan analitik, kata istri dapat diuraikan menjadi: istri = manusia,
perempuan, telah bersuami, kemungkinan telah beranak, pendamping suami, mempunyai hak dan kewajiban dalam keluarga. Jika dilihat dari pendekatan operasional, kata istri dapat terlihat dari beberapa kemungkinan kalimat yang muncul seperti: Si Dulah mempunyai istri, istri Ali telah meninggal; tetapi tidak mungkin orang mengatakan: Istri Ali berkaki tiga, istri tidak pernah melahirkan.
Kata perempuan mempunyai makna denotasi yang sama dengan kata wanita. Walaupun kedua kata ini memiliki makna yang sama, namun dewasa ini kedua kata itu mempunyai nilai rasa yang berbeda. Kata perempuan mempunyai
113 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 66.
Pendekatan analitik bertujuan untuk mencari makna dengan cara menguraikannya atas segmen-segmen utama, sedangkan pendekatan operasional bertujuan untuk mempelajari kata dalam penggunaannya. Mansoer Pateda, Semantik Leksikal, h. 86.
nama lembaga dan organisasi, seperti Dharma Wanita, gedung wanita, Ikatan Wanita Pengusaha. Persamaan itu disebabkan oleh adanya ciri-ciri semantik yang
melekat pada dua nama tersebut, misalnya dengan ciri-ciri sebagai berikut:
Perempuan Insan
- Dua buah kata atau lebih yang makna denotasinya sama dapat menjadi
berbeda makna keseluruhannya, akibat pandangan masyarakat berdasarkan nilai- nilai atau norma-norma budaya yang berlaku dalam masyarakat itu. Seperti kata yahudi, pada awalnya mengandung makna orang hidup yang memeluk agama Yahudi, tetapi kemudian dewasa ini beralih makna, yakni orang yang rakus, bakhil, banyak menipu dan selalu melakukan intervensi. Dan ini yang kemudian
menjadi makna tambahan atau al-Ma’nâ al-Idâfiy. 116 Demikian halnya, perbedaan makna kata perempuan dan wanita bisa terjadi akibat peristiwa sejarah
atau juga adanya perbedaan fungsi sosial kata tersebut. Kemudian, makna konotasi disebut sebagai makna tambahan. Makna tambahan juga mengandung makna yang bernilai rasa, baik positif maupun negatif. Teks-teks al-Quran tidak pernah mengungkapkan kata-kata secara vulgar. Bahkan kata-kata itu lebih banyak diperhalus dengan menggunakan kata-kata
115 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1147. 116 Lihat, Ahmad Mukhtâr ‘Umar, ‘Ilm al-Dilâlah (Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982),
h. 37.
metonimia (kinâyah), 117 seperti kata 187: “Dihalalkan bagimu pada malam hari puasa bercampur dengan istrimu..... Maka sekarang campurilah mereka.” Kata
bercampur yang pertama adalah terjemahan dari nomina al-Rafats dan kata bercampur yang kedua merupakan terjemahan verba bâsyirû. Kata lainnya yang
identik maknanya dengan kata bercampur adalah kata fa`tû hartsakum yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 223, dan taghasysyâhâ yang terdapat di dalam surah al-A’râf ayat 189.
Berdasarkan ketepatan makna dalam penggunaannya secara umum dan
khusus, makna dalam terjemahan al-Quran dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu: (1) makna kata, dan (2) makna istilah. Makna sebuah kata, walaupun secara
sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi bersifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan di dalam suatu kalimat. Misalnya kata Tuhan. Apa makna Tuhan? Mungkin saja yang dimaksud adalah Allah bagi orang-orang yang beriman, atau bisa saja Tuhan lainnya, seperti yang diyakini oleh orang-orang kafir Arab pada zaman Rasulullah.
Berbeda dengan makna istilah, ia memiliki makna yang pasti. Ketepatan makna istilah karena hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan
tertentu. 118 Terjemahan al-Quran banyak memuat istilah-istilah, misalnya salat, zakat, puasa, haji, ‘umrah dan sebagainya. Istilah-istilah tersebut sudah tidak
117 Metonimia adalah suatu gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat. Lihat, Gorys Keraf, Diksi dan Gaya
Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 142. Kinayah adalah lafadz yang dimaksudkan untuk menunjukkan pengertian lazimnya, tetapi dimaksudkan untuk makna asalnya. Lihat, ‘Ali al- Jârim dan Mustafâ Utsmân, al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk., h. 175.
118 Di sinilah letak perbedaan antara istilah sebagai hasil pengistilahan dan nama sebagai hasil penamaan. Istilah memiliki makna yang tepat dan cermat serta digunakan hanya untuk satu bidang
tertentu, sedangkan nama masih bersifat umum, karena digunakan tidak dalam bidang tertentu. Misalnya kata <telinga> dan <kuping> sebagai nama dianggap bersinonim. Tetapi dalam bidang kedokteran telinga dan kuping digunakan sebagai istilah untuk acuan yang berbeda; telinga adalah alat pendengaran bagian dalam, sedangkan kuping adalah bagian luarnya. Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 53.
dijelaskan secara singkat maupun dengan uraian panjang, karena frekuensi penggunaanya lebih tinggi digunakan oleh umat Islam sendiri serta istilah tersebut sudah merupakan istilah dalam bidang keagamaan, sehingga maka
masyarakat umum lebih mengenal kata-kata ini sebagai istilah keagamaan. Oleh karena itu, kata-kata dapat berubah maknanya disebabkan oleh beberapa faktor,
antara lain faktor keagamaan. 119 Demikian, padanan gramatikal dan leksikal serta maknanya dalam
terjemahan al-Quran. Perbedaan gramatikal maupun leksikal al-Quran menuntut
adanya suatu kiat (a craft) penerjemah untuk mencari padanannya. Perbedaan antara kedua teks selalu membayangi proses penerjemahan. Terjemahan dapat
dinilai salah jika kesalahan itu muncul semata-mata karena kesalahan bahasa. Di samping itu pula penerjemah berhadapan dengan pemahaman pembaca. Karena terjemahan adalah teks juga, maka terjemahannya pun bersifat “terbuka”.
‘Abd al-Karîm Mujâhid, al-Dilâlah al-Lughawiyyah ‘inda al-‘Arab (Kuwait: Maktabah Dâr al-‘Arûbah, 1982), h. 144.