PADANAN GRAMATIKAL

A. PADANAN GRAMATIKAL

Untuk memudahkan mencari padanan Bsu dan Bsa secara keseluruhan menurut tingkat satuan bahasa, maka dalam Bab ini padanan gramatikal antara kedua bahasa akan disajikan berdasarkan ilmu linguistik kontemporer yang

mencatat hierarki (tingkat) bahasa sebagai berikut: tingkat fonem, tingkat morfem, tingkat kata, tingkat rangkaian kata (frasa), tingkat kalimat dan teks. 5

1. Terjemahan pada tingkat fonem Fonem adalah bunyi terkecil yang dapat membedakan makna. 6 Untuk

mengidentifikasi sebuah bunyi fonem atau bukan, harus dicari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata yang mengandung bunyi tersebut, lalu dibandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Jika ternyata kedua satuan bahasa itu berbeda maknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia berfungsi membedakan

makna kedua satuan bahasa itu. Misalnya, kata Bsu ﻢﻴﻟﺃ dan ﻢﻴﻠﻋ . Kedua kata

itu mirip benar. Masing-masing terdiri dari empat bunyi. Yang pertama mempunyai bunyi [`a], [l], [î] dan [m]; dan yang kedua mempunyai bunyi [‘a], [l], [î] dan [m]. Dan perbedaan antara keduanya hanya terletak pada huruf pertama yaitu bunyi [`a] dan bunyi [‘a].

Atau satuan Bsa misalnya raba dan laba. Kedua kata itu juga mirip benar, karena masing-masing terdiri dari empat buah bunyi. Yang pertama

mempunyai bunyi [r], [a], [b] dan [a]; dan yang kedua mempunyai bunyi [l],

4 Newmark, About Translation (Clevedon: Multilingual Matters Ltd., 1991), h. 27. 5 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan (Jakarta: Kesaint Blanc, 2006), h. 33. 6 Fonem berbeda dengan huruf. Fonem adalah bunyi dari huruf dan huruf adalah lambang dari

bunyi. Jadi, fonem sama dengan bunyi untuk didengar, sedangkan huruf adalah lambang untuk dilihat. Jumlah huruf hanya 26. Jika seluruh huruf itu dilafalkan berarti 26 bunyi huruf itu telah diperoleh. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia (Jakarta: Diksi Insan Mulia, 2007), h. 73.

[a], [b] dan [a]. Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi [r] dan [l]. Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kedua contoh Bsu dan Bsa di atas merupakan masing-masing dua buah fonem yang berbeda.

Jumlah fonem yang dimiliki suatu bahasa tidak sama jumlahnya dengan jumlah yang dimiliki oleh bahasa lain. Bahasa Arab memiliki jumlah fonem

28 buah. Seluruh fonem tersebut dikategorikan fonem konsonan. Sementara fonem vokalnya terbagi dua, yaitu tiga buah fonem vokal pendek dan tiga

lainnya fonem vokal panjang. Sedangkan bahasa Indonesia memiliki lebih dari

24 buah fonem, yaitu 6 buah fonem vokal (a, i, u, e, o dan ә) dan 18 buah fonem konsonan (p, t, c, k, b, d, j, g, m, n, n, η, s, h, r, l, w dan y). Kemudian

ada yang menambahkan jumlah fonem itu sebanyak empat buah yang berasal dari bahasa asing, yaitu fonem f, z, x dan ∫. Selain itu juga ada yang

menambahkan tiga buah fonem diftong, yaitu aw, ay dan oy. 7 Dalam terjemahan ditemukan, bahwa satuan terjemahan justru adalah

juga fonem, yakni fonem-fonem Bsu diganti dengan fonem-fonem Bsa menurut artikulasi serta bunyi yang lebih dekat. Dan terjemahan di tingkat

fonem secara prinsipil berbeda dengan jenis-jenis terjemahan lainnya, sebab fonem bukan pengemban makna apapun. Karena itu, wajarlah kalau penggunaan jenis terjemahan ini sangat terbatas.

Terjemahan al-Quran Depag RI di tingkat fonem sering digunakan dalam penerjemahan nama, baik nama diri, geografis, menu dan nama lainnya. Nama-nama tersebut dalam terjemahan al-Quran dilakukan sepenuhnya sebagaimana penulis kemukakan pada Bab sebelumnya, misalnya Âdam [Adam], Kitâb [Kitab], Fir’aun [Fir’aun], Masjid al-Harâm [Masjidil haram], Ramadân [Ramadan], Salât [salat].

7 Abdul Chaer, Linguistik Umum (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), h. 132.

Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka terjemahan al-Quran dari Bsu ke Bsa di tingkat fonem tidak menimbulkan kesulitan dalam terjemahan menurut ragam tulis, karena hanya menulis apa yang tertulis dalam teks Bsu.

Meski demikian, ada faktor subjektif menurut ragam terjemahan lisan yang mungkin menyebutkan nama-nama di atas yang sesuai dengan lafal-lafal Bsu, terutama fonem-fonem yang dilambangkan dengan huruf-huruf konsonan

rangkap (ts, ch, kh, dz, sy, sh, dl, th, dh, gh ), vokal rangkap (ai dan au) dan fonem suprasegmental, yaitu fonem yang menempel pada tiga vokal tunggal

(a, i, u) atau jika dalam tulisan Arab fonem tersebut dilambangkan dengan huruf mad (panjang) yaitu alif, wau atau yâ`. 8

2. Terjemahan pada tingkat morfem Berbeda dengan fonem, morfem adalah satuan bahasa terkecil yang mempunyai makna. Morfem juga termasuk dalam satuan terjemahan, yaitu

setiap morfem dalam Bsu berpadanan dengan morfem dalam Bsa. 9 Terjemahan di tingkat morfem relatif jarang sebagaimana terjemahan di

tingkat fonem. Struktur morfem kata yang mengandung makna yang sama dalam berbagai bahasa lebih sering tidak sebangun, terutama yang menyangkut tidak hanya morfem leksikal, tapi juga morfem gramatikal

(perubahan kata), yang komposisinya dalam berbagai bahasa berbeda. Adapun morfem Bsu yang dipadankan dengan morfem Bsa dalam terjemahan al-Quran Depag memang relatif sedikit, yaitu al-Qurân dan Allâh.

8 Fonem dapat dibagi empat, yaitu fonem vokal, fonem konsonan, fonem semivokal, dan fonem suprasegmental. Keempat fonem tersebut yang dimiliki oleh Bsu adalah fonem vokal, konsonan

dan fonem suprasegmental sedangkan fonem yang dimiliki oleh Bsa juga tiga yaitu fonem vokal, fonem konsonan dan fonem semivokal (e (teleng), e (pepet) dan o). Lihat, Sudarno, Kata Serapan dari Bahasa Arab (Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990), h. 25.

9 Menurut bentuk dan maknanya, morfem dapat dibedakan atas dua macam, yaitu: 1) morfem bebas, yaitu morfem yang dapat berdiri sendiri dari segi makna tanpa harus dihubungkan dengan

morfem yang lain, 2) morfem terikat, yaitu morfem yang tidak dapat berdiri sendiri dari segi makna. Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 75.

Dua kata ini tersusun atas dua morfem, yaitu morfem terikat {al} 10 dan morfem bebas yaitu {Qurân} dan {ilâh}.

Dua contoh di atas merupakan morfem Bsu yang mempunyai dua bentuk alomorf, 11 yaitu (1) yang tetap berbentuk {al}, seperti al-Qurân; dan

(2) yang berubah atau berasimilasi dengan fonem awal bentuk dasarnya, seperti Allâh. Kalangan linguis Arab berbeda pendapat mengenai bentuk asal

kata Allah. 12 Namun Sîbawaih menyebutkan bahwa asal kata Allah adalah ilâhun, kemudian melalui proses morfofenemik, yaitu dengan cara

memasukkan al pada kata ilâhun, menjadi al-ilâhu, lalu harakat hamzah yaitu kasrah dipindahkan kepada huruf lâm, dan huruf lâm tersebut dilesapkan

sehingga menjadi alilâhu. Dari bentuk ini baru huruf lâm pertama di-sukûn- kan dan bunyinya dimasukkan ke dalam huruf lâm kedua sambil dibaca tebal sehingga menjadi Allâh.

Jadi pada tingkat ini, terjemahan al-Quran dapat dilakukan pada kata- kata yang mengandung dua morfem, yaitu morfem terikat dan morfem bebas.

3. Terjemahan pada tingkat kata Kata juga dapat bertindak sebagai satuan terjemahan. Jenis terjemahan seperti ini lebih sering digunakan daripada satuan terjemahan sebelumnya.

10 Al atau alif lâm dapat dikategorikan ism atau harf (partikel). Al yang termasuk ism dinamakan ism al-mausûl yang semakna dengan al-ladzî dan yang sejenisnya. Biasanya ia masuk pada

ism al-fâ’il dan ism al-maf’ûl, seperti contoh: ﺪﻳﺯ ﺏﺭﺎﻀﻟﺍ (Yang memukul itu Zaid) dan ﺪﻟﺎﺧ ﺏﻭﺮﻀﳌﺍ (Yang dipukul itu Khalid). Sedangkan al yang termasuk huruf adalah al-Ta’rîf, seperti ﺭﺎﻐﻟﺍ ﰲ ﺎ ﳘ ﺫﺇ dan al-

Zâi`dah, seperti ﻥ ﻵﺍ,ﻱﺬﻟﺍ . Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib (Beirut: Maktabah Libnân Nâsyirûn, 1997), h. 31-33 dan Ibn Hisyâm al-Ans âriy, Mughnî al-Labîb (Indonesia: Maktabah Dâr Ihyâ` al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), jilid 1, h. 47-49.

11 Alomorf adalah bentuk-bentuk realisasi yang berlainan dari morfem yang sama, atau perwujudan konkret dari sebuah morfem. Seperti bentuk me- pada melihat dan merasa, atau {-s}

sebagai morfem jamak reguler pada kata-kata Inggris cats {keits}, books {buks}. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 150.

12 Ada yang menyebutkan asal kata Allâh adalah al-ilâhu, lâhu dan ilâhun. Lihat, Bahjat ‘Abd al-Wâhid Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Mursal (Amman: Dâr al-Fikr, 1998), jilid

1, h. 7.

Meskipun demikian, penggunaan terjemahan di tingkat kata terbatas. Biasanya hanya sebagian kata-kata dalam satu kalimat yang bisa diterjemahkan di tingkat kata, sedangkan sebagian yang lain di tingkat yang lebih tinggi,

misalnya di tingkat rangkaian kata karena tidak bisa diterjemahkan di tingkat kata.

Menurut linguis Arab tradisional bahwa setiap kalimat dalam bahasa Arab tidak hanya berasal dari satu macam bentuk kata, melainkan berasal dari tiga macam bentuk, yaitu ism, fi’l dan harf (huruf). 13 Ketiga bentuk itulah

yang menempati fungsinya masing-masing dalam kalimat dan jenis kata itu pula yang akan mengantarkan arti dan makna dalam terjemahan. Karena itu,

penulis identifikasikan terjemahan pada tingkat kata ini menurut kategori dan jenis katanya sebagai berikut:

a. Kata nominal Nomina yang dapat dipadankan secara gramatikal antara Bsu dan Bsa dalam terjemahan al-Quran Depag RI adalah sebagai berikut:

1) Kata Ganti (Pronomina) Kata ganti yang dimaksud oleh penulis dalam rangka mencari padanan gramatikal Bsu dan Bsa adalah kata ganti yang mengacu

kepada benda (ism) atau dalam tata bahasa Indonesia dikenal dengan istilah Pronomina. Oleh karena itu, ada tiga jenis kata yang harus dipadankan secara gramatikal dalam kategori ini, yaitu pronomina yang

mengacu kepada persona (al-Damaîr), pronomina penunjuk umum (asmâ` al-Isyârah) dan pronomina penghubung (al-Asmâ` al- Mausûlah).

13 Muhammad Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy (Kairo: Dâr al-Fikr al- ‘Arabiy, 1997), h. 8.

Al-Damâir dalam Bsu ialah pronomina persona yang menunjukkan mutakallim (persona pertama), mukhâtab (persona kedua)

atau ghâib (persona ketiga), seperti 14 ﺎﻧﺃ , ﺖﻧﺃ , ﻮﻫ . Secara umum, pronomina persona terbagi atas dua bagian, yaitu pronomina yang nyata

bentuknya (bâriz) dan pronomina yang tidak nyata (mustatir). 15 Dalam Bsu, pronomina persona sangat rumit terutama dalam

penentuan jenis kelamin (genitif) dan jumlah. Namun untuk memudahkan dalam mencari padanannya pronomina tersebut dapat

dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu kelompok kata, klausa verbal dan klausa nominal dengan bentuk-bentuk pronomina

personanya sebagaimana yang tertulis dalam tabel berikut:

Tabel 3

Pronomina Persona Bsu dan Bsa

Pronomina Persona Bsu

Pronomina Persona Bsa

Klausa Klausa

Verbal

Nominal

Verbal Nominal

ﳓ {n} kami

ﺎﻧ ... ﻧﺎ ... Kami

Kami {v}

ﺕ ... ﻙ ... Engkau

Engkau {v} {n} mu

Kamu {v} {n} mu

ﻢﺘﻧﺃ {n} mu ﰎ ... ﻢﻛ ...

5. Kamu

Kamu {v}

ﺕ ... ﻙ ... Engkau Engkau {v}

ﲤ {n} mu ... Kamu Kamu {v}

ﻦﺗ ... ﻙ ... Kamu

Kamu {v} {n} mu

14 Iman Saiful Mu`minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf (Jakarta: Amzah, 2008), h. 147. 15 Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 16.

ﳘ {n} mereka ﳘ

Mereka {v}

11. ﺍﻭ Mereka Mereka {v} ﻢﻫ {n} mereka ... ﻢﻫ ...

ﳘ {n} mereka

Mereka

Mereka {v}

14. ﻦﻫ ﻥ ... ﻦﻫ ... Mereka Mereka {v}

{n} mereka

Pronomina persona pada kolom (2) padanan gramatikalnya sama dengan Bsa sebagaimana pronomina persona pada kolom (5), hanya Bsa

tidak menyatakan pronomina tersebut dengan genitif dan jumlah, sehingga perbedaan itu nampak sekali pada personanya. Bsu mengenal

persona tunggal, dual dan jamak, sedangkan Bsa hanya mengenal tunggal dan jamak seperti pronomina persona bahasa Inggris, juga Bsa

tidak mengenal kelas kata persona maskulin dan feminin. 16 Dengan perbedaan itu, maka persona dual Bsu pada nomor (4, 7, 10 dan 13)

tidak dapat dinyatakan dalam Bsa, kecuali dengan persona jamak baik persona II maupun III.

Kemudian pronomina persona pada kolom (2) ada yang diterjemahkan secara lengkap menurut Bsa-nya, seperti dalam surah al-

Baqarah ayat 22: ﹶﻥﻮﻤﹶﻠﻌﺗ ﻢﺘﻧﹶﺃﻭ // padahal kamu mengetahui; dan ada

pronomina yang tidak diterjemahkan, tetapi diganti dengan partikel – lah. Penggantian tersebut dilakukan untuk menunjukkan bahwa persona

tersebut berfungsi sebagai empatik (taukîd). 17 Contohnya seperti pada

16 O. Setiawan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia (Bandung: Yrama Widya, 2005), h. 38. Lihat juga, Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta:

Erlangga, 1985), h. 238-239. 17 Persona yang berfungsi sebagai empatik disebut persona pemisah (Damîr al-Fasl). Nama

ini diistilahkan oleh kalangan linguis Arab untuk memisahkan unit-unit kalimat yang terdiri dari subjek (mubtada`) dan predikat ( khabar), atau predikat ( khabar) dan sifatnya dengan syarat nomina yang terletak sebelum atau sesudah persona tersebut berupa kata nominal definitif ( ism al-ma’rifah). Lihat, ini diistilahkan oleh kalangan linguis Arab untuk memisahkan unit-unit kalimat yang terdiri dari subjek (mubtada`) dan predikat ( khabar), atau predikat ( khabar) dan sifatnya dengan syarat nomina yang terletak sebelum atau sesudah persona tersebut berupa kata nominal definitif ( ism al-ma’rifah). Lihat,

sama: ﻯ ﺪﻬﹾﻟﺍ ﻮﻫ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻯﺪﻫ ﱠﻥِﺇ ﹾﻞﹸﻗ // katakanlah:”Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)” .

Kemudian, pronomina persona pada kolom (3) disebut klausa verbal, karena persona tersebut harus bergandengan dengan verba. 18

Meskipun letak persona itu setelah verba ia bukan merupakan frasa melainkan klausa. Ia termasuk klausa bebas, yakni klausa yang

mempunyai unsur-unsur lengkap, sekurang-kurangnya mempunyai subjek dan predikat. 19 Karena itu, klausa Bsu itu sepadan dengan Bsa

karena terdiri dari S (musnad ilaih) dan P (musnad). Hanya pola terjemahannya harus dilakukan transposisi, yakni mengubah posisi Bsu (P+S) menjadi posisi Bsa (S+P). Contoh: ﻢﺘﻤﻠﻇ // kamu menzalimi bukan menzalimi kamu, ﺍﻮ ﻨﻣﺁ // mereka beriman.

Selain itu, persona yang tidak tampak bentuknya (mustatir) 20 seperti kolom (3) pada nomor 9 dan 12, masih tetap pola terjemahannya

seperti contoh sebelumnya. Contoh: ﻖﹶﻠﺧ // Dia menciptakan, ﺖﹶﻠﺧ //

dia berlalu.

Adapun persona yang terdapat pada kolom (4) merupakan klausa nominal yang termasuk ke dalam klausa terikat, yakni klausa yang tidak

Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 18; dan Must afâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1984), jilid I, h. 126.

18 Persona yang harus bergandengan dengan verba dan nomina disebut Damîr Muttasil. 19 Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 236. 20 Persona yang tidak tampak bentuknya (mustatir) dalam Bsu terbagi atas dua kelompok: (1)

Persona yang wajib disimpan, yakni tidak mungkin meletakkan nomina atau persona yang tampak bentuknya (bariz) pada tempat di mana nomina itu berada, seperti verba imperfektif yang diawali hamzah mutakallim (persona I tunggal), nun mutakallim (persona I jamak), ta`mukhatab mufrad mudzakkar (persona II tunggal maskulin), dan verba perintah untuk persona II tunggal maskulin; (2) Persona yang boleh disimpan, yakni persona yang mengacu pada persona III tunggal baik yang maskulin maupun feminin. Lihat, Iman Saiful Mu`minin, Kamus Ilmu Nahwu dan Sharaf, h. 148.

memiliki struktur kalimat yang lengkap. Karena itu, kemungkinan klausa macam ini hanya menempati kedudukan subjek, objek atau

pelengkap, seperti: ﻢﹸﻜﻬﹶﻟِﺇﻭ // Tuhan kamu, ﻪﹶﻠﻫﹶﺃ // penduduknya, ﻢﹸﻜﹶﻟ //

bagimu. Bentuk-bentuk persona pada kolom (4) juga bisa menjadi klausa bebas, yakni klausa yang mempunyai kecenderungan menjadi kalimat

mayor, jika persona tersebut bergandengan dengan verba dan persona tersebut menempati posisi objek, seperti: ﻢﻫﻮﹸﻠﺘﹾﻗﺍﻭ // bunuhlah mereka,

// mereka bertanya kepadamu. Kemudian, pronomina penunjuk umum (asmâ` al-Isyârah)

banyak dinyatakan dalam ayat-ayat al-Quran sebagai penunjuk nama tertentu dengan menggunakan isyarah baik secara indrawi atau maknawi. Penggunaan pronomina penunjuk dapat dinyatakan dengan

menggunakan kata sarana yang mengandung makna isyarah, seperti: , ﺍﺫ ﺎﻨﻫ 21 , ﻚﺌﻟ ﻭﺃ

, ﻚﻠﺗ , ﻩﺫ . Seluruh pronomina penunjuk terikat oleh genitif

dan jumlah, sebagaimana pronomina yang tampak pada tabel berikut:

Tabel 4 Pronomina Penunjuk Bsu

Pronomina Penunjuk Bsu

21 Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 127.

Berdasarkan tabel di atas, jelaslah bahwa penggunaan pronomina penunjuk (asmâ` al-Isyârah) untuk menunjukkan nomina yang dimaksud (musyâr ilaih) dalam Bsu cukup bervariatif dalam kalimat.

Yang menjadi titik perhatian bagi pronomina penunjuk adalah nominanya, baik nomina yang telah disebutkan sebelum maupun sesudah pronominanya, yakni jika nominanya maskulin maka

pronominanya maskulin; dan jika nominanya feminin maka pronominanya juga femini. Demikian pula harus ada kesesuaian

22 jumlahnya antara keduanya, baik tunggal, dual maupun jamak.

Berkaitan dengan hal itu, maka relasi makna fungsi antara pronomina dan nomina dalam surah al-Baqarah terbagi atas dua kelompok, yaitu: (1) ada nomina yang hanya dinyatakan dengan

pronomina penunjuk, seperti pada ayat 259 surah al-Baqarah: ﻰﻧﹶﺃ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﺎ ﻬِﺗﻮﻣ ﺪﻌﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻩِﺬﻫ ﻲِﻴﺤﻳ // Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan

ini setelah hancur?”. Pronomina pada ayat tersebut mengacu kepada nomina feminin, yakni al-baldah (negeri); 23 (2) ada yang keduanya

dinyatakan dalam kalimat itu, seperti pada ayat 35 dalam surah yang sama: ﹶﺓﺮﺠﺸﻟﺍ ِﻩِﺬﻫ ﺎﺑﺮﹾﻘﺗ ﻻﻭ // Janganlah dekati pohon ini.

Apabila nomina yang ditunjuk itu kata tunggal maskulin, maka pronomina yang digunakan adalah ﻚﻟﺫ atau kata lainnya sebagaimana pada tabel nomor (1) kolom (3) , seperti ayat 2: ِﻪﻴِﻓ ﺐﻳﺭ ﻻ ﺏﺎﺘِﻜﹾﻟﺍ ﻚِﻟﹶﺫ //

kitab ini tidak ada keraguan padanya. Frasa nominal ini menjadi S (musnad ilaih); atau jika nomina yang ditunjuk itu kata tunggal feminin, maka pronomina yang digunakan adalah ﻚﻠﺗ atau kata lainnya

sebagaimana tabel nomor (1) kolom (4), seperti ayat 141: ﺪﹶﻗ ﹲﺔﻣﹸﺃ ﻚﹾﻠِﺗ

22 Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 18. 23 Muhammad ‘Ali al-Sabûniy, Safwah al-Tafâsîr (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid 1, 149.

ﺖﹶﻠﺧ // itu umat yang telah lalu. Fungsi kedua kata itu menjadi S+P dan ini berbeda dengan fungsi kata pada contoh ayat 2.

Antara pronomina penunjuk Bsu dan Bsa sepadan dari segi gramatikalnya. Sedangkan arti atau makna yang dapat dipadankan

dengan Bsa berdasarkan strukturalnya terdapat dua kecenderungan, yaitu: pertama, apabila nomina yang terletak setelah pronomina penunjuk itu berupa kata nominal non definitif, maka strukturnya sama seperti contoh pada ayat 141 di atas; kedua, apabila nomina yang

terletak setelah pronomina penunjuk itu berupa nomina definitif, maka perlu digunakan transposisi dalam struktur terjemahan Bsa-nya, seperti contoh pada ayat 2 di atas. 24

Selain itu, tidak semua pronomina penunjuk dapat ditemukan padanannya dalam struktur Bsa, yakni ketika ia terletak setelah

pronomina persona, seperti contoh ayat 85 surah al-Baqarah, dalam ayat tersebut pronomina penunjuk jamak terletak setelah pronomina persona II jamak: ﻢﹸﻜﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ﹶﻥﻮﹸﻠﺘﹾﻘﺗ ِﺀﻻﺆﻫ ﻢﺘﻧﹶﺃ ﻢﹸﺛ // kemudian kamu membunuh dirimu sendiri. Pronomina penunjuk pada ayat ini tidak diterjemahkan oleh tim penerjemah al-Quran Depag RI sama sekali, karena pronomina tersebut mengandung beberapa kemungkinan fungsi, yakni: (1) sebagai pronomina penghubung (ism mausûl) (2) sebagai pronomina penunjuk, (3) sebagai kata empatik (taukîd) dan (4) sebagai nomina yang dipanggil (munâdâ). Kemungkinan yang pertama adalah

24 Pengubahan posisi kata pada frasa nominal Bsu yang berpola D-M dapat dilakukan, sehingga frasa nominal Bsa menjadi pola M-D, karena transposisi dapat dilakukan dengan cara

mengubah struktur kalimat secara keseluruhan, atau mengubah posisi kata, mengubah bentuk jamak ke dalam bentuk tunggal. Lihat Peter Newmark, A Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988), h. 85.

madzhab Kufah, sedang tiga kemungkinan lainnya menurut madzhab Basrah. 25

Pronomina penghubung (al-Asmâ` al-Mausûlah) dilihat dari segi definisinya tidak berbeda dengan pronomina sebelumnya, yakni

mengacu pada nomina tertentu, hanya dari segi fungsinya ia menghubungkan klausa atau kalimat yang terletak sesudahnya. Dan klausa atau kalimat yang terletak setelahnya disebut dengan Silah al-

Mausûl. 26 Berdasarkan konteks kalimat, pronomina penghubung juga

mengenal berbagai bentuk menurut genitif dan jumlahnya, sebagaimana tabel berikut:

Tabel 5 Pronomina Penghubung Bsu

Pronomina Penunjuk Bsu No.

Selain bentuk-bentuk pronomina di atas, ada pronomina yang tidak terikat dengan genitif dan jumlah, seperti ﻦﻣ , ﺎﻣ , ﺍﺫ , ﻱﺃ , ﻭﺫ . Sehubungan seluruh pronomina yang telah disebutkan itu berfungsi menghubungkan nomina dengan klausa atau kalimat yang terletak sesudahnya, maka padanan gramatikalnya dengan Bsa hanya

25 Lihat, Kamâl al-Dîn Abî al-Barakât, al-Insâf fî Masâ`il al-Khilâf (Beirut: Dâr al-Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1998), jilid II, h. 223-225.

26 Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 129.

menggunakan kata sarana penghubung yaitu kata “yang” untuk nomina yang telah disebutkan sebelumnya dan “orang yang” atau “apa yang” untuk nomina yang tidak disebutkan sebelumnya, seperti contoh ayat 21

surah al-Baqarah:

“Wahai manusia! Sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.

Ayat tersebut mengandung dua pronomina penghubung yaitu, alladzî yang mensifati kata rabbukum dengan padanannya “yang”; sedangkan pronomina kedua, yakni alladzîna sebagai objek dari verba

khalaqa bukan mengacu pada nomina sebelumnya, sehingga padanan yang muncul dalam terjemahan Bsa menjadi “orang-orang yang”.

Berdasarkan padanan pronomina di atas, pada ayat 17 surah al- Baqarah,

ﹰﺍﺭﺎﻧ ﺪﹶﻗﻮﺘﺳﺍ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ِﻞﹶﺜﻤﹶﻛ ﻢﻬﹸﻠﹶﺜﻣ ; penerjemahan al-Quran Depag

terhadap pronomina penghubung yang bergaris bawah tersebut ditemukan padanan Bsa-nya yang tidak tepat, yaitu dengan terjemahan:

“Perumpamaan mereka seperti orang-orang yang menyalakan api...”. Padahal pronomina al-Ladzî menunjukkan nomina tunggal maskulin seperti yang tertulis dalam tabel di atas pada kolom (3) nomor (1). Dan terjemahan tersebut seharusnya berbunyi: “Perumpamaan mereka seperti orang yang menyalakan api”, seperti yang diterjemahkan oleh

beberapa terjemahan al-Quran Indonesia maupun asing. 27 Bahkan dalam

27 Mahmud Junus menerjemahkan “Umpama mereka itu seperti orang yang menyalakan api”. Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia (Jakarta: Al-Hidajah, 1971), h. 20. HB.

Jassin menerjemahkan “Perumpamaan mereka adalah seperti orang menyalakan api”. HB. Jassin, al- Quran al-Karim Bacaan Mulia (Djakarta: Djambatan1978), h. 3. Demikian pula Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan “Their similitude is that of a man who kindled a fire” . Lihat Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur-an: Text Translation and Commentary (Lahore: SH Muhammad Ashraf, t.t.), h. 20.

literatur tafsir, pronomina tersebut ditafsiri dengan bentuk tunggal maskulin. 28

Akhirnya, ketiga pronomina di atas dalam tataran gramatikal Bsa, seperti penggunaan pronomina dia, nya, ini, itu, yang atau orang- orang merupakan rujukan anaforis. 29 Dengan menggunakan rujukan

anaforis, maka bagian kalimat yang sama tidak perlu diulang, melainkan diganti dengan pronomina tersebut, seperti contoh kalimat

Indonesia: Mahasiswa itu bahagia sekali. Dia yakin besok akan

diwisuda. Kata dia menjadi alat penghubung kalimat sebelumnya . Unsur dia pada kalimat kedua menunjuk mahasiswa pada kalimat

pertama. Oleh karena itu, kalimat-kalimat tersebut menjadi saling berhubungan. Dan inilah gramatikal yang kohesif, yakni kepaduan bentuk secara struktural.

2) Kata Bilangan (Numeralia) Kata bilangan (numeralia) termasuk rumpun nomina, karena berkaitan dengan nomina yang dibilang. Dilihat dari definisinya, numeralia digunakan dalam kalimat untuk menghitung banyaknya

orang, binatang atau barang. 30

Bilangan Bsu mempunyai aturan yang sangat rumit dibanding dengan Bsa, baik yang berkaitan dengan bilangan (al-‘Adad) itu sendiri maupun dengan nomina yang dibilang (al-Ma’dûd). Bentuk-bentuk

28 Al-Sabûniy menafsirkannya dengan ﺍﺭﺎﻧ ﺪﻗﻭﺃ ﺺﺨﺷ ﻝﺎﺤﻛ , Ibn Katsîr menafsirkan dengan redaksi yang berbeda, yakni ﺍﺭ ﺎﻧ ﺪﻗﻮﺘﺳﺍ ﻦ ﲟ ﻞﺜﳌﺍﺍﺬﻫ ﲔﻘﻓﺎﻨﻤﻠﻟ ﷲﺍ ﺏﺮﺿ . Semuanya dipadankan dengan bentuk

tunggal maskulin. Lihat, Muh ammad ‘Ali al-Sabûniy, Safwah al-Tafâsîr, jilid 1, h. 31. 29 Anaforis merupakan unsur wacana yang menunjuk pada unsur lain yang telah disebutkan

sebelumnya. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 270 dan Mulyana, Kajian Wacana (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h. 27.

30 Hasan Alwi (Ed.), Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2003), h. 301.

bilangan Bsu dan nominanya masing-masing berbeda menurut genitif, dan volumenya sebagaimana tabel berikut:

Tabel 6 Numeralia Bsu dan Bsa

Numeralia Bsu

No.

Numeralia Bsa

Genitif

Volume

Bilangan dan Nomina

(5) 1. 1 ﺪﺣﺍﻭ ﺏﺎﺘﻛ Satu buku

2. 2 ﻥﺎﻨﺛﺍ ﻥﺎﺑﺎﺘﻛ Dua buku

ﺐﺘﻛ ﺓﺮﺸﻋ – ﺐﺘﻛ ﺔﺛﻼﺛ 3 buku – 10 buku

4. M

ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺮﺸﻋ ﺎﻨﺛﺍ – ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺮﺸﻋ ﺪﺣﺃ 11 buku – 12 buku

kul as

ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺮﺸﻋ ﺔﻌﺴﺗ – ﺎﺑﺎﺘﻛ ﺮﺸﻋ ﺔﺛﻼﺛ 13 buku – 19 buku

in

ﺎﺑ ﺎﺘﻛ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﻥﺎﻨﺛﺍ - ﺎﺑﺎﺘﻛ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺪﺣﺍﻭ 21 buku – 22 buku

ﺎﺑﺎﺘﻛ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺔﻌﺴﺗ - ﺎﺑﺎﺘﻛ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺔﺛﻼﺛ

23 buku – 29 buku

ﺏﺎﺘﻛ ﻒﻟﺃ 1000 buku 9. 1 ﺓﺪﺣﺍﻭ ﺔﺼﻗ Satu kisah

10. 2 ﻥﺎﺘﻨﺛﺍ ﻥﺎﺘﺼﻗ Dua kisah

3 kisah – 10 kisah

ini

ﺔﺼﻗ ﺓﺮﺸﻋ ﺎﺘﻨﺛﺍ – ﺔﺼﻗ ﺓﺮﺸﻋ ﻱﺪﺣﺇ 11 kisah – 12 kisah

13 kisah – 19 kisah

ﺔﺼﻗ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﻥﺎﺘﻨﺛﺍ - ﺔﺼﻗ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﻱﺪﺣﺇ

21 kisah – 22 kisah

ﺔﺼﻗ ﻥﻭﺮﺸ ﻋﻭ ﻊﺴﺗ - ﺔﺼﻗ ﻥﻭﺮﺸﻋﻭ ﺙﻼﺛ

23 kisah – 29 kisah

ﺔﺼﻗ ﺔﺋﺎﻣ 100 kisah

ﺔﺼﻗ ﻒﻟﺃ 1000 kisah

Berkaitan dengan bilangan Bsu dan nomina yang dibilangnya serta padanan gramatikalnya dalam Bsa, maka penulis kelompokkan ke dalam tiga bagian sesuai dengan terjemahan al-Quran Depag RI, yaitu:

(1) Padanan bilangan dan nominanya; (2) Padanan bilangan tanpa nomina yang dibilang, dan (3) Padanan nomina yang dibilang tanpa bilangan.

Pertama, padanan bilangan dan nominanya dalam Bsa tidak variatif dan kontradiktif sebagaimana Bsu-nya, yakni semua bilangan

dan nomina dipadankan dengan menggunakan pola DM (Diterangkan mendahului Menerangkan), sebagaimana pada tabel di atas kolom (5).

Kemudian, nomina yang dibilang baik itu bentuk tunggal, dual maupun bentuk jamak dalam Bsu, seluruhnya diubah dengan bentuk tunggal,

seperti contoh dalam surah al-Baqarah ayat 196 dan 226: ٍﻡﺎﻳﹶﺃ ِﺔﹶﺛﻼﹶﺛ // tiga hari bukan tiga hari-hari, ٍﺮﻬﺷﹶﺃ ِﺔﻌﺑﺭﹶﺃ // empat bulan juga bukan empat

bulan-bulan. Sedangkan bilangan dan nomina yang keduanya dipisahkan oleh preposisi, maka padanannya sama dengan padanan

kedua contoh di atas tanpa mengartikan preposisi itu, seperti pada ayat

260: . ِﺮﻴﱠﻄﻟﺍ ﻦِﻣ ﹰﺔﻌﺑﺭﹶﺃ ﹾﺬﺨﹶﻓ // ambillah empat ekor burung.

Kedua, bilangan Bsu tanpa nomina yang dibilang, padanannya sama dengan bagian pertama, dan nomina yang tidak disebutkan dalam teks Bsu dinyatakan dalam Bsa, seperti pada ayat 234 dalam surah yang

sama: 31 ﹰﺍﺮﺸﻋﻭ ٍﺮﻬﺷﹶﺃ ﹶﺔﻌﺑﺭﹶﺃ

// empat bulan sepuluh hari.

Ketiga, nomina yang dibilang tanpa bilangan, padanan yang dapat disesuaikan dengan Bsa melihat bentuknya, yakni apabila nominanya

31 Apabila nomina yang dibilang tidak dinyatakan dalam teks Bsu, maka penentuan bilangannya boleh dalam bentuk maskulin atau feminin sesuai dengan perkiraan nomina yang dibuang

itu, seperti contoh di atas. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib (Beirut: Maktabah Lubnân Nâsyirûn, 1997), h. 351.

itu bentuk tunggal tanpa disertai kata sarana definitif seperti al, maka padanannya Bsa-nya nomina disertai dengan kata “seorang” untuk manusia, seperti pada ayat 101: ﻪ ﱠﻠﻟﺍ ِﺪﻨِﻋ ﻦِﻣ ﹲﻝﻮﺳﺭ ﻢﻫَﺀﺎﺟ ﺎﻤﹶﻟﻭ // dan

tatkala datang kepada mereka seorang rasul dari Allah; atau “seekor” untuk binatang, seperti pada ayat 67: ِﹰﺓﺮﹶﻘﺑ ﺍﻮﺤﺑﹾﺬﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﹸﻛﺮﻣﹾﺄﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺇ // sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyembelih seekor

sapi betina. 32 Sedangkan apabila nominanya berbentuk dual, maka nomina tersebut dinyatakan dengan didahului bilangan “dua”, seperti

pada ayat 102: ِﻦﻴﹶﻜﹶﻠﻤﹾﻟﺍ ﻰﹶﻠﻋ ﹶﻝِﺰﻧﹸﺃ ﺎﻣﻭ // dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat.

Namun demikian, ada nomina yang mengandung bilangan dual di dalamnya, tetapi terjemahan al-Quran Depag tidak menerjemahkannya menurut bilangan itu melainkan dalam bentuk tunggal, yaitu pada ayat 128: ﻚﹶﻟ ِﻦﻴﻤِﻠﺴﻣ ﺎﻨﹾﻠﻌﺟﺍﻭ ﺎﻨﺑﺭ // Ya Tuhan kami, jadikanlah kami orang yang berserah diri kepada-Mu. Padahal dalam terjemahan al-Quran lainnya, seperti Mahmud Junus menerjemahkannya : “ Ya Tuhan kami, jadikanlah kami dua orang yang muslim”. Yusuf Ali juga mengungkapkannya dengan bentuk jamak, karena bahasa Inggris tidak mengenal bentuk dual: “Our Lord! Make of us muslims, bowing to Thy

(Will). 33

3) Nomina Abstrak dan Konkrit (Abstract and Concrete Noun)

32 Terjemahan al-Quran versi Depag menerjemahkan baqarah dengan sapi betina dengan dasar tâ` marbûtah menunjukkan tunggal feminin. Sedangkan menurut Quraish Shihab, sebagaimana

dalam kamus bahasa bahwa baqarah adalah bentuk tunggal baqar, sementara tâ marbûtah di situ menunjukkan arti seekor atau sebuah bagi nomina maskulin maupun feminin. Lihat, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi: Al-Quran dan Dinamika Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 324 dan lihat juga Syihâb al-Dîn Ah mad al-Misriy, al-Tibyân fî Tafsîr Gharîb al-Qurân (Kairo: Dâr al-Sah âbah li al-Turâts, 1992), h. 92.

33 Lihat, Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim Bahasa Indonesia, h. 18. Abdullah Yusuf Ali, The Holy Quran: Text, Translation and Commentary, h. 53.

Kedua nomina yang dimaksudkan di sini adalah nomina yang bentuk-bentuknya mengalami perubahan dan penyesuaian dalam kalimat. Pembentukan kedua nomina Bsu terjadi karena proses derivasi,

yakni membentuk kata baru dengan identitas leksikal berbeda dengan kata dasarnya; dan proses inflektif, yakni membentuk kata baru dengan

identitas leksikalnya tidak berbeda dengan kata dasarnya. 34 Umpamanya, dari kata islam terbentuk kata muslim; dari kata iman

terbentuk kata mu`min. Kata Islam dengan muslim keduanya berbeda

identitas leksikalnya, meskipun keduanya berkelas nomina. Berbeda dengan pembentukan secara inflektif, umpamanya kata muslim

terbentuk kata muslimân, muslimûn, muslimah dan muslimât. Semua kata yang terbentuk itu sama identitas leksikalnya, karena semuanya terdiri dari huruf dasar yang sama juga semuanya berkelas nomina, hanya perbedaannya terletak pada makna.

Sehubungan itu, perlu diketahui bahwa nomina-nomina Bsu yang bercirikan demikian itu terbagi atas nomina yang abstrak dan konkrit.

Muhammad Hamâsah mengelompokkan al-Masdar sebagai nomina abstrak. 35

Al-Masdar merupakan nomina yang sekedar menunjukkan makna peristiwa tanpa terikat dengan waktu serta mengandung semua huruf

yang terdapat di dalam verbanya. 36 Karena itu, ia merupakan sumber derivasi bagi bentuk verba maupun nomina lainnya. Ia dapat berfungsi

34 Alat yang digunakan untuk penyesuaian bentuk itu biasanya berupa afiks, yang mungkin berupa prefiks, infiks, dan sufiks; atau juga berupa modifikasi internal, yakni perubahan yang terjadi di

dalam bentuk dasar. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 170; dan O. Setiawan Djuharie, Teknik dan Panduan Menerjemahkan Bahasa Inggris-Bahasa Indonesia, h. 42

35 Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 83. 36 Apabila nomina itu menunjukkan makna peristiwa tetapi tidak mengandung semua huruf

verbanya dinamakan ism al-Masdar, seperti tawadda`a-wudû`an, takallama-kalâman. Lihat, Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 161 verbanya dinamakan ism al-Masdar, seperti tawadda`a-wudû`an, takallama-kalâman. Lihat, Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 161

keterangan, antara lain: (1) untuk menyatakan keterangan cara, seperti pada ayat 235: ﹰﺎﻓﻭﺮﻌﻣ ﹰﻻﻮﹶﻗ ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻘﺗ ﹾﻥﹶﺃ ﺎﱠﻟِﺇ // kecuali kamu mengucapkan kata- kata yang baik; (2) untuk menyatakan keterangan sebab, seperti pada

ayat 90: ﹰﺎﻴﻐﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻝﺰﻧﹶﺃ ﺎﻤِﺑ ﺍﻭﺮﹸﻔﹾﻜﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﻢﻬﺴﹸﻔﻧﹶﺃ ِﻪِﺑ ﺍﻭﺮﺘﺷﺍ ﺎﻤﺴﹾﺌِﺑ // sangatlah

buruk mereka menjual dirinya, dengan mengingkari apa yang

diturunkan Allah karena dengki; (3) untuk menyatakan keterangan similatif, seperti pada ayat 185: ِﺱﺎﻨﻠِﻟ ﻯﺪﻫ ﹸﻥﺁﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ِﻪﻴِﻓ ﹶﻝِﺰﻧﹸﺃ ﻱِﺬﱠﻟﺍ ﹶﻥﺎﻀﻣﺭ ﺮﻬﺷ

// Bulan Ramadan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia; (4) untuk menyatakan keterangan

alasan, seperti pada ayat 207: ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺕﺎﺿﺮﻣ َﺀﺎﻐِﺘﺑﺍ ﻪﺴﹾﻔﻧ ﻱِﺮﺸﻳ ﻦﻣ ِﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦِﻣﻭ

// Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah.

Berbeda dengan Al-Masdar yang dikelompokkan pada nomina abstrak, berikut ini adalah nomina-nomina yang bisa dikategorikan pada nomina abstrak juga konkrit, yaitu: ism al-Fâ’il, ism al-Maf’ûl, al-Sifah

al-Musyabbahah, ism al-Tafdîl, bentuk-bentuk hyperbola (al- Mubâlaghah), ism al-Zamân, ism al-Makân dan ism al-Âlah.

Ism al-Fâ’il biasanya dipadankan dengan menggunakan partikel pe-, seperti pembuat, penulis dan pembaca. Namun, ketika nomina

tersebut sulit dipadankan dengan cara itu, maka bisa dilakukan dengan dua cara lain, yaitu: (1) dengan menggunakan kata kerja, seperti pada ayat 30 : ﹰﺔﹶﻔﻴِﻠﺧ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﹲﻞِﻋﺎﺟ ﻲﻧِﺇ // Sungguh Aku hendak menjadikan

khalifah, juga seperti pada ayat 145: ﻢﻬﺘﹶﻠﺒِﻗ ٍﻊِﺑﺎﺘِﺑ ﺖﻧﹶﺃ ﺎﻣﻭ // dan khalifah, juga seperti pada ayat 145: ﻢﻬﺘﹶﻠﺒِﻗ ٍﻊِﺑﺎﺘِﺑ ﺖﻧﹶﺃ ﺎﻣﻭ // dan

kepada pelaku baik manusia atau lainnya kemudian ditambahkan kata yang, seperti ayat 23 : ﲔِﻗِﺩﺎﺻ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﹾﻥِﺇ // jika kamu orang-orang yang

benar. 37 Dan kedua cara itu sesuai dengan definisi ism al-Fâ’il itu sendiri, yakni sifat yang dipungut dari kata verbal aktif. 38

Kemudian, ism al-Maf’ûl dilihat dari definisinya merupakan

kebalikan dari ism al-Fâ’il, yakni terambil dari verba pasif. Sehingga padanan yang lazim adalah dengan menggunakan partikel di atau ter.

Sehubungan ism al-Maf’ûl juga merupakan sifat, maka terjemahannya selalu diletakkan kata yang setelah acuan namanya. Tetapi ada juga ism al-Maf’ûl yang kemudian dipadankan dengan cara lain, seperti kata

ﻑﻭﺮﻌﻣ pada ayat 263 diartikan yang baik tidak diartikan yang dikenal atau yang diketahui, juga seperti kata ﲔِﻠﺳﺮﻤﹾﻟﺍ pada ayat 252 diartikan

para rasul tidak diartikan orang-orang yang diutus. Terjemahan jenis ini dinamakan terjemahan komunikatif, karena berusaha menciptakan efek yang dialami pembaca Bsa sama dengan efek yang dialami

pembaca Bsu. Keluwesan kata-kata dan struktur diupayakan dengan cara menghilangkan bagian struktur kata atau kalimat, atau

menghilangkan pengulangan serta memodifikasi penggunaan jargon. 39 Kata nominal Bsu yang digunakan untuk menunjukkan dua hal

yang sama sifatnya dan salah satunya melebihi disebut ism al-Tafdîl.

37 Untuk menunjukkan bahwa bentuk ism al-Fâ’il itu jamak ditandai dengan sufiks ﻥﻭ atau ﻦﻳ , kemudian biasanya dipadankan dengan cara reduplikasi, seperti orang-orang.

38 Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 178. 39 Peter Newmark, Approaches to Translation (Oxford: Pergamon Press, 1981), h. 42

Kata yang digunakan untuk menunjukkan kelebihan itu diikutkan pada pola kata 40 ﻞﻌﻓﺃ / af’alu untuk maskulin dan ﻲﻠﻌﻓ / fu’lâ untuk feminin.

Adapun pola ism al-Tafdîl yang dapat dipadankan dalam terjemahan terbagi ke dalam dua pola, yaitu:

(1) Nomina yang tidak disertai al dan tidak disandarkan pada nomina

berikutnya, seperti pada ayat 217: ِﻞﺘﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﺮﺒﹾﻛﹶﺃ ﹸﺔﻨﺘِﻔﹾﻟﺍﻭ // Sedangkan fitnah lebih kejam daripada pembunuhan. Pola ini merupakan

ungkapan perbandingan (The Comparative expresses) antara sifat

dua nomina yang terletak sebelum ism al-Tafdîl dan nomina yang sesudah preposisi ﻦﻣ (al-Mufaddal ‘alaih). Karena itu, ism al-Tafdîl

dan setelahnya terdapat frasa preposisinal ﻦﻣ , maka pola kalimat

tersebut dapat dipadankan secara gramatikal dalam Bsa-nya dengan pola kalimat “lebih ... daripada ...” 41

(2) Nomina yang tidak disertai al dan disandarkan (idâfah) pada

nomina berikutnya, seperti pada ayat 96: ِﺱﺎﻨﻟﺍ ﺹﺮﺣﹶﺃ ﻢﻬﻧﺪِﺠﺘﹶﻟﻭ // Engkau akan mendapati mereka manusia yang paling tamak. Frasa

yang bergaris bawah pada ayat tersebut merupakan ungkapan “paling” atau “ter...” (The Superlative Expresses) dengan tarkîb idâfiy. Ungkapan Bsu ini mengandung pola MD dan secara gramatikal dapat dipadankan ke dalam Bsa-nya dengan pola DM, seperti terjemahan pada ayat di atas.

40 Terkecuali pada tiga nomina, yakni khair, syarr dan habb, hamzah pada pola kata af’alu wajib dibuang, karena tiga kata tersebut secara baku telah banyak digunakan.

41 Ungkapan perbandingan sifat antara dua nomina dalam bahasa Indonesia berbeda dengan bahasa Inggris. Untuk menunjukkan bahwa ajektiva yang melekat pada nomina itu dibandingkan,

bahasa Indonesia hanya menyatakannya dengan lebih ...daripada... tanpa ada perubahan secara flektif pada ajektivanya. Sedangkan bahasa Inggris menyatakannya melalui afiksasi ( -er) pada akhir ajektivanya yang kurang dari dua suku kata dan ditambahkan kata than setelahnya. Ajektiva yang terdiri dari tiga suku kata, sebelumnya ditambahkan kata more tanpa afiksasi pada ajektivanya. Lihat, ‘Abd al-Halîm al-Sayyid Munsiy dan ‘Abd al-Razzâq Ibrâhîm, al-Tarjamah: Usûluhâ wa Mabâdi`uhâ wa Tatbîquhâ (Riyad: Dar al-Murîkh, t.t.), h. 53.

Dengan demikian, ism al-Tafdîl dengan segala bentuknya dapat dipadankan secara gramatikal dengan penyusunan pola lebih ...daripada untuk ungkapan perbandingan (comparative) dan perubahan dari pola

MD ke pola DM untuk ungkapan “paling” atau “ter...” (The Superlative Expresses).

Sedangkan bentuk-bentuk yang hyperbola (mubâlaghah) 42 Bsu dimaksudkan untuk memberikan makna lebih dan banyak pada suatu

perbuatan. Pada umumnya, bentukan katanya terambil dari bentuk

masdar dan terambil dari verba transitif yang memiliki tiga huruf dasar serta mengikuti pola kata (wazn) yang populer, seperti fa’’âl, mif’âl, fa’ûl, fa’îl, fa’il, fi’’îl, fu’alah dan mif’îl . 43 Adapun bentuk hyperbola

yang melekat pada nama dan sifat-sifat Allah dapat dipadankan dengan

menambahkan kata Maha, 44 seperti pada ayat 181: ﻢﻴِﻠﻋ ﻊﻴِﻤﺳ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺇ

// Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Ism al-Makan 45 bisa saja dipadankan dengan keterangan tempat, sehingga terjemahannya memunculkan kata tempat, seperti pada ayat

285 : ﲑِﺼﻤﹾﻟﺍ ﻚﻴﹶﻟِﺇﻭ // dan kepada-Mu tempat kembali; tetapi selain itu

ada juga kata tempat itu tidak dicantumkan untuk penghematan kata,

seperti pada ayat 115 : ﺏِﺮﻐﻤﹾﻟﺍﻭ ﻕِﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ِﻪﱠﻠِﻟﻭ // dan milik Allah timur dan

42 Bentuk-bentuk kata hyperbola diterima sesuai dengan hasil pendengaran ( samâ’iy). Karena itu menurut para peneliti bentuk-bentuknya dikembalikan kepada makna sifat, karena kebanyakan

verba itu dijadikan sebagai sifat yang melekat pada diri seseorang. Must afâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al- Durûs al-‘Arabiyyah, jilid I, h. 193.

43 Yâsîn al-Hâfiz, al-Tahlîl al-Sarfiy (Damsyiq: Dâr al-‘Asmâ`, 1997), h. 123-124. 44 Leksikal Maha mempunyai makna besar atau agung. Ia termasuk unsur prefiks sebagai

padanan leksikal bahasa asing dan sebagai unsur pembentuk kata-kata baru, seperti mahakuasa, mahaadil, maha penyayang, maha pengasih, mahaguru, mahasiswa, mahaputra. Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 80.

45 Ism al-Zamân dan ism al-Makân memiliki bentuk-bentuk kata yang sama, perbedaannya terletak pada definisi, yang pertama menunjukkan waktu terjadinya peristiwa sedangkan yang kedua

menunjukkan tempat terjadinya; juga perbedaan itu terletak pada makna tekstual, yakni suatu kata yang ditentukan oleh hubungannya dengan kata lain.

Barat. Padahal al-Masyriq mempunyai makna leksikal, tempat matahari terbit, kemudian beralih menjadi makna gramatikal, demikian

pula dengan kata al-Maghrib. 46

b. Kata verbal Verba Bsu mengenal adanya tenses atau konsep kala. 47 Kala ini

lazimnya menyatakan waktu sudah lampau, sekarang dan akan datang. Kala yang menunjukkan perbuatan atau kejadian yang lampau disebut kala

perfektif (mâdî) dan kala yang menunjukkan perbuatan atau kejadian yang

sedang berlangsung disebut kala progresif (hâl). Sedangkan kala yang menunjukkan perbuatan yang akan berlangsung disebut kala imperfektif

(istiqbâl). Bsu termasuk salah satu bahasa yang menandai kala secara morfemis; artinya pernyataan kala itu ditandai dengan bentuk kata tertentu pada verbanya. Sehingga verba yang menyatakan kala lampau dikenal dengan verba perfektif (mâdî). Sedangkan verba yang menyatakan kala yang sedang atau akan berlangsung dikenal dengan verba imperfektif (mudâri’). Perubahan verba secara morfemis dari kala perfektif kepada imperfektif dapat dilihat pada contoh berikut: Verba perfektif (Bsu) Verba imperfektif (Bsu)

Verba Bsa

berkata

mengetahui

mengambil

46 Makna Gramatikal disebut juga makna konotasi atau makna struktural adalah makna yang timbul akan bergantung pada struktur tertentu sesuai dengan konteks dan situasi di mana kata itu

berada. Makna gramatikal biasanya digunakan sebagai pigura bahasa untuk memperoleh makna estetis. Lihat, Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 62.

47 Kala atau tenses adalah informasi dalam kalimat yang menyatakan waktu terjadinya perbuatan, kejadian, tindakan, atau pengalaman yang disebutkan dalam predikat. Lihat, Abdul Chaer,

Lingusitik Umum, h. 260.

Berdasarkan contoh di atas, maka bentuk-bentuk verba tersebut merupakan kata yang sama, yang berarti juga mempunyai identitas leksikal yang sama, yakni terdiri dari tiga huruf pada verba perfektif, yang

menunjukkan kala lampau. Kemudian menjadi verba imperfektif setelah mengalami proses derivasional berupa imbuhan (prefiks) huruf yâ`, yang menunjukkan kala sedang atau akan berlangsung. Meskipun telah terjadi

perubahan, keduanya masih merupakan kelas kata yang sama, yakni verba. Berbeda dengan Bsa yang tidak menandai kala secara morfemis,

melainkan secara leksikal, antara lain dengan kata sudah untuk kala lampau, sedang untuk kala kini dan akan untuk kala nanti. Untuk

mengetahui perbedaan ketiga leksikal itu dapat diketahui melalui contoh berikut:

(1) Dosen itu sudah mengajar (2) Dosen itu sedang mengajar (3) Dosen itu akan mengajar

Konsep kala Bsu baik yang lampau, kini maupun akan tidak seluruhnya dipadankan dengan konsep kala Bsa dengan mencantumkan kata sudah, sedang atau akan pada teks terjemahannya, melainkan jika

konsep kala Bsu tersebut sudah jelas dengan ditandai KS yang menunjukkan kala lampau, seperti pada ayat 60: ﻢﻬﺑﺮﺸﻣ ٍﺱﺎﻧﹸﺃ ﱡﻞﹸﻛ ﻢِﻠﻋ ﺪﹶﻗ // Setiap suku telah mengetahui tempat minumnya; atau KS yang

menunjukkan kala kini, seperti pada ayat 241: ِﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦِﻣ ُﺀﺎﻬﹶﻔﺴﻟﺍ ﹸﻝﻮﹸﻘﻴﺳ // Orang-orang yang kurang akal di antara manusia akan berkata; atau KS yang menunjukkan kala akan, seperti pada ayat 71: ﻖﺤﹾﻟﺎِﺑ ﺖﹾﺌِﺟ ﹶﻥﺂﹾﻟﺍ ﺍﻮﹸﻟﺎﹶﻗ //

Mereka berkata, “sekarang barulah engkau menerangkan (hal) yang sebenarnya.”

Contoh pada ayat 60 di atas, kala Bsu yang ditandai dengan qad dapat dipadankan dengan kala Bsa telah. Kedua leksikal tersebut mengandung makna kala lampau. Sementara itu verba yang ditandai dengan qad dan

dipadankan artinya dengan telah terdapat pada enam tempat dari tujuh qad yang ada dalam surah al-Baqarah. Sedangkan satu qad yang tidak dipadankan dengan kata telah adalah seperti contoh pada ayat 144 surah al-

Baqarah: ِﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﻲِﻓ ﻚِﻬﺟﻭ ﺐﱡﻠﹶﻘﺗ ﻯﺮﻧ ﺪﹶﻗ // Kami melihat wajahmu menengadah ke langit.

Adapun alasan terjemahan al-Quran Depag RI tidak menerjemahkan qad dengan kata telah karena memang letaknya sebelum verba imperfektif

(Mudâri’). Dan apabila qad terletak sebelum verba imperfektif (Mudâri’) maka dipastikan tidak berarti telah melainkan dimungkinkan dua makna, yaitu mengandung makna sedikit/ jarang (al-taqlîl) atau makna banyak/ sering (al-taktsîr). Untuk menunjukkan bahwa qad di situ mempunyai makna, seharusnya terjemahan al-Quran Depag menerjemahkannya dengan salah satu maknanya. , yakni jarang atau sering.

Tetapi menurut pendapat al-Zamakhsyariy bahwa qad pada ayat tersebut mengandung arti banyak (al-taktsîr). 48 Dan penggunaan makna

banyak (al-taktsîr) pada kata qad diterapkan terjemahannya oleh terjemahan al-Quran Depag yang diterbitkan oleh Mujamma’ al-Malik

Fahd. 49

c. Kata sarana (Partikel)

48 Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm al-Ansâriy, Mughnî al-Labîb (T.t.p.: Dâr Ihyâ`i al-Kutub al- ‘Arabiyyah, t.t.), jilid 1, h. 150.

49 Lihat, Khâdim al-H aramain al-Syarîfain, al-Qurân al-Karîm wa Tarjamah Ma’ânih bi al- Lughat al-Indûnisiyyah (al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tibâ’at al-Mush af

al-Syarîf, 1418 H), h. 37.

Partikel tidak mempunyai arti leksikal, selama ia tidak berkaitan dengan kelas kata lainnya seperti nomina dan verba. Oleh karena itu, untuk memudahkan padanan kedua bahasa yang berkaitan dengan kata sarana di

dalam surah al-Baqarah, maka semuanya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) Partikel yang berkaitan dengan nomina, seperti fî, ilâ, ‘alâ, min; (2) Partikel yang berkaitan dengan verba, seperti saufa, qad,

lan; (3) Partikel yang dapat berkaitan dengan keduanya, seperti hamzah, hal. 50 Struktur partikel dalam kalimat menempati posisinya sebelum

nomina dan verba, kecuali partikel nûn taukîd (penegas) yang posisinya setelah verba.

Kata sarana (partikel) dalam al-Quran sangat variatif menurut fungsinya, yakni menghubungkan unit-unit kalimat baik kata, frasa, klausa maupun kalimat dan merubah kalimat deklaratif menjadi kalimat tertentu. Kemudian, partikel tersebut terbagi dua macam, yaitu: (1) partikel yang berfungsi sebagai konjungtor yang meliputi preposisi (hurûf al-Jarr), konektor (hurûf al-‘atf) dan ekseptor (âdât al-Istitsnâ`); (2) partikel yang berfungsi sebagai transformator, partikel yang dapat merubah kalimat deklaratif. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7 Kata Sarana Bsu dan Bsa

Kelas Kata yang

No.

Jenis KS Bsu

dimasuki

Padanan KS Bsa

X X Negasi : Bukan, tidak

50 Hamâsah ‘Abd al-Latîf, dkk., al-Nahw al-Asâsiy, h. 201.

(5) 2. Al-Ta`kîd

X X Asertif: Sungguh, hanya 3. Al-Istifhâm

X X Tanya: Apa (kah), siapa 4. Al-Amr

X Perintah: hendaklah 5. Al-Nahy

X Larangan: Janganlah 6. Al-‘Ard

X Sindiran: apakah 7. Al-Tahdîd

X Anjuran: mengapakah 8. al-Tamanniy

X Harapan nihil: andaikan 9. Al-Tarajjiy

X Harapan pasti: andaikan 10. Al-Nidâ’

X Seruan: Wahai, hai 11. al-Syart

X X Syarat: Barangsiapa 12 Al-Qasam

X Sumpah: Demi

Seluruh kata sarana Bsu yang terdapat di dalam bagan di atas, secara struktural menempati posisi sebelum nomina atau verbanya. Demikian pula padanannya dalam Bsa sama, kecuali kata sarana negasi yang masuk pada nomina padanannya melalui pengubahan posisi ( transposisi) seperti contoh

ayat 8 surah al-Baqarah: ﲔِﻨِﻣﺆﻤِﺑ ﻢﻫ ﺎﻣﻭ // mereka bukanlah orang-orang

yang beriman. Bsa menempatkan kata bukan setelah nominanya, karena ini merupakan ciri bahwa kata yang terletak sebelum kata bukan adalah

nomina. 51 Sementara kata sarana bukanlah jenis kata dalam Bsu, berbeda

dengan jenis kata utama, yakni nomina dan verba. Oleh karena itu, seluruh kata sarana tidak mempunyai arti leksikal, yakni arti kata secara lepas tanpa kaitan dengan kata lain. Arti kata sarana barulah jelas setelah dikaitkan dengan kata lain, misalnya inna Allâh // sesungguhnya Allah; bi al-haqq // dengan kebenaran; tsumma antum // kemudian kamu; lâ tufsidû // janganlah berbuat kerusakan. Di samping tidak mempunyai arti leksikal,

51 Ciri kata nominal ada dua, yaitu: (1) dapat diingkari dengan kata bukan; (2) dapat diikuti oleh kata yang+KS atau yang sangat+KS. Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 82.

kata sarana tidak dapat berubah bentuknya dari kata dasar menjadi kata turunan.

Padanan kata dan maknanya dalam Bsu maupun Bsa tidak selamanya mengacu pada makna leksikal, tetapi banyak kata-kata yang dapat

ditentukan maknanya jika kata itu telah berada dalam satuan yang disebut kalimat. Untuk mengetahui padanan leksikal dan maknanya tentang partikel, akan penulis jelaskan pada sub bab berikutnya. Itu sebabnya kata- kata seperti itu disebut kata yang terikat konteks. Kata-kata yang dimaksud

adalah kata sarana.

4. Terjemahan pada tingkat rangkaian kata (Frasa) Jenis terjemahan di tingkat frasa biasanya merupakan frasa idiom atau konstruksi frasa yang mapan. Namun frasa yang dimaksudkan di sini adalah

frasa non idiom. Dalam kajian Bsu, frasa dinamakan tarkîb yang

52 dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tarkîb wasfiy 53 dan tarkîb idâfiy. Sedangkan dalam kajian Bsa, frasa non idiom dibentuk menurut hukum DM

(Diterangkan mendahului Menerangkan). Dengan demikian, kedua frasa Bsu di atas tidak ditemukan kesulitan terjemahannya ke dalam Bsa, karena kesamaan konstruksi, seperti ayat 211 dan 144 surah al-Baqarah:

Contoh:

Frasa yang bergaris bawah pada contoh (1) adalah tarkîb wasfiy. Dan konstruksi Bsu yang digunakan menggunakan hukum DM. Jika diperhatikan dari susunannya terjemahannya sepadan dengan Bsa (12 = 12), yaitu âyah //

52 Tarkîb Wasfiy ialah dua kata atau lebih yang membentuk satuan frasa dengan pola hubungan benda yang disifati (man’ût) dan sifatnya (na’t).

53 Tarkîb idâfiy ialah dua kata atau lebih yang membentuk satuan frasa dengan pola hubungan kata pokok yang disandarkan ( mudâf) dan kata tambahan yang disandari ( mudâf ilaih).

bayyinah (bukti // nyata). Hanya saja, pada frasa Bsu ini seringkali diterjemahkan dalam Bsa dengan penambahan leksikal “yang” di antara dua kata, karena memang susunannya tersusun dari nomina dan adjektiva seperti

contoh di atas, sehingga terjemahan itu bisa ditambahkan kata “yang”, dan terjemahannya menjadi bukti (yang) nyata. Namun ada juga yang terjemahannya dengan penambahan leksikal “dan”, seperti halâlan // tayyiban

(halan dan baik). 54 Bahkan terjemahan sejenis frasa di atas tanpa melalui penambahan apapun, seperti contoh (1) atau contoh-contoh frasa yang sudah

mapan dan lazim digunakan seperti al-lughah // al-‘arabiyyah (bahasa // Arab), al-mujtama’ // al-hadîts (masyarakat // modern) dan al-tafkîr // al-

siyâsiy (pemikiran // politik). Frasa yang bergaris bawah pada contoh (2) adalah tarkîb idâfiy. Jika dilihat dari segi konstruksinya frasa tersebut tidak berbeda dengan frasa Bsu pertama, yaitu frasa yang dibentuk menurut hukum DM, sehingga terjemahan di tingkat frasa ini sepadan (12 = 12), yaitu:

Wajah mu = ﻙ ﻪﺟﻭ

Ayat lain, yaitu ayat 164 dalam surah yang sama juga dipadankan dengan hukum DM, seperti khalqi // al-samâwât (penciptaan // langit), ikhtilâfi

// al-lail (pergantian // malam). Atau juga frasa yang tersusun dari lebih dua kata terjemahannya sepadan (123 = 123), seperti frasa yang terletak pada ayat 207, ibtighâ`a // mardâti // Allâh (mencari // keridaan // Allah).

Berbeda dengan frasa bahasa Inggris yang konstruksinya menggunakan hukum MD (Menerangkan mendahului Diterangkan). Terjemahan rangkaian kata itu dibalik dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan hukum DM,

54 Ibnu Burdah, Menjadi Penerjemah: Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 76.

sehingga padanannya bukan (12 = 12), tetapi (12 ↔ 21), seperti wajha // ka (your face). Sementara frasa yang tersusun lebih dari dua kata dan rangkaian kata pertama tetap diterjemahkan seperti Bsu-nya dan rangkaian dua kata

terakhir menggunakan hukum MD, sehingga padanannya (123 ↔ 132), seperti ibtighâ`a // mardât // Allâh (gain // God’s // Pleasure). 55 Namun, ada juga

frasa bahasa Inggris yang tersusun lebih dari dua kata menggunakan hukum DM seperti bahasa Indonesia dan itupun hanya berlaku pada dua kata yang

terakhir dengan menggunakan kata of sebagai penghubung, seperti ibtighâ`a //

mardât // Allâh (to earn // the pleasure // of Allah). Namun demikian, kedua frasa Bsu di atas dalam terjemahan Bsa ada

yang menggunakan hukum MD seperti bahasa Inggris. Hal itu berarti padanannya menjadi (12 ↔ 21), seperti frasa Bsu yang menggunakan tarkîb wasfiy, ummatan // wâhidatan (satu // umat) atau dalam bahasa Inggrisnya (one // nation), ta’âmin // wâhidin (satu // makanan). Tetapi pada frasa ilâhun // wâhidun dalam terjemahan al-Quran tidak menerjemahkannya dengan satu // Tuhan melainkan dengan terjemahan padanan budaya yaitu Tuhan // Yang

Maha Esa. 57 Dan terjemahan seperti ini dilakukan pada semua frasa yang bertuliskan ilâhun wâhidun di sebelas tempat, yaitu surah al-Baqarah/163, al-

Nisâ`/ 171, al-Mâ`idah/ 73, al-An’âm/ 19, Ibrâhîm/ 52, al-Nahl/ 22 dan 51, al- Kahf/ 110, al-Anbiyâ`/ 108, al-Hajj/ 34 dan Fussilat/ 6.beberapa ayat dan surah lainnya.

5. Terjemahan pada tingkat kalimat

55 Ahmad Zidan dan Dina Zidan, The Glorious Qur`an: Text and Translation (Kairo: Islamic Inc. Publishing & Distribution, 1996), h. 22 dan 32.

56 Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur-an: Text, Translation & Commentary (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, t.t.), h. 82.

57 Lihat juga, HB. Jassin, al-Quran al-Karim: Bacaan Mulia (Djakarta: Djambatan, 1978), h. 32 dan Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim (Djakarta: Al-Hidajah, 1971), h. 22.

Dalam beberapa hal, jika ternyata tingkat frasa tidak bisa dijadikan satuan terjemahan, maka untuk mencapai padanan yang tepat terjemahan dilakukan pada tingkat kalimat. Kalimat yang dimaksud di sini adalah kalimat

menurut struktur gramatikal, kalimat menurut fungsi, dan kalimat menurut bentuk gayanya. Pengelompokan kalimat seperti itu dimaksudkan untuk mencari padanan kalimat Bsu dengan Bsa dalam terjemahan.

Kalimat menurut struktur gramatikalnya meliputi beberapa kalimat, antara lain: a) kalimat tunggal; b) kalimat majemuk; c) kalimat majemuk

setara; d) kalimat majemuk bertingkat. Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri atas satu subjek dan satu

predikat. Gramatika bahasa Arab menyebutnya kalimat sederhana (al-Jumlah al-Basîtah). 58 Kalimat ini terdiri dua macam, yaitu kalimat nominal ( al-

Jumlah al-Ismiyyah) dan kalimat verbal (al-Jumlah al-Fi’liyyah). Adapun padanan gramatikal Bsu dan Bsa yang berkaitan dengan terjemahan adalah mengubah pola struktur kata (transposisi). Kalimat verbal Bsu diubah menjadi

kalimat nominal Bsa, seperti pada ayat 7: ... ﻢِﻬِﺑﻮﹸﻠﹸﻗ ﻰﹶﻠﻋ ﻪﱠﻠﻟﺍ ��� // Allah telah mengunci hati mereka.... Ayat tersebut tidak diterjemahkan mengunci Allah hati mereka... Kalimat ini tidak lazim dalam bahasa Indonesia, kecuali pada

kalimat yang dianggap kalimat inversi, seperti contoh dalam bahasa Indonesia: Sepakat kami untuk membantu mereka.

Kalimat majemuk adalah kalimat yang merupakan gabungan dari dua kalimat tunggal atau lebih. Kalimat majemuk disebut dalam gramatika bahasa

Arab dengan istilah kalimat bersusun (al-Jumlah al-Murakkabah). Mengingat hal yang dibicarakan adalah kalimat majemuk, maka maksud dari dua kalimat tunggal adalah dua klausa. Kalimat majemuk terbagi atas dua macam, yaitu:

58 Muhammad Ibrâhîm ‘Ubâdah, al-Jumlah al-‘Arabiyyah: Mukawwanâtuhâ-Anwâ’uhâ- Tahlîluhâ (Kairo: Maktabah al-Âdâb, 2001), h. 136.

a) Kalimat majemuk setara, seperti contoh terjemahan ayat 7: Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka. Terjemahan ini mengandung dua klausa yang setara dengan subjek dan predikat yang sama. Kemudian dua

klausa itu dihubungkan dengan menggunakan kata dan. Biasanya kalimat majemuk setara menggunakan kata penghubung untuk menunjukkan jenis hubungan antarklausa. Adapaun jenis hubungan yang muncul dalam

kalimat majemuk setara ini bermacam-macam, antara lain: (1) jenis penjumlahan, biasanya menggunakan kata penghubung dan, serta, baik,

maupun. Kata-kata ini berfungsi untuk menyatakan penjumlahan atau gabungan kegiatan, keadaan, peristiwa dan proses, contohnya seperti di

atas; (2) jenis pertentangan, kata yang digunakannya seperti tetapi, sedangkan, melainkan. Kata-kata ini berfungsi untuk menyatakan bahwa hal yang dinyatakan dalam klausa pertama bertentangan dengan klausa kedua, seperti pada ayat 12 surah al-Baqarah: Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari; (3) jenis pemilihan, biasanya kata yang sering digunakan adalah atau. Kata ini berfungsi untuk menyatakan pilihan di antara dua kemungkinan, seperti pada ayat 135: Dan mereka berkata: “Jadilah kamu (penganut) Yahudi atau Nasrani; (4) jenis perurutan, dan kata penghubung yang digunakannya adalah lalu, kemudian. Kata penghubung ini digunakan untuk menyatakan kejadian yang berurutan, seperti pada ayat 28: Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali.

b) Kalimat majemuk bertingkat, seperti pada terjemahan ayat 23:

“Dan jika kamu meragukan (al-Quran) yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surah semisal dengannya...” Terjemahan ayat di atas adalah kalimat majemuk tak setara, karena terdiri

dari dua klausa, salah satunya klausa bebas dan lainnya terikat. Induk gagasan dituangkan ke dalam induk kalimat, sedangkan pertaliannya dari sudut pandang yang lain dituangkan ke dalam anak kalimat. Maka

terjemahan ayat itu yang menjadi induk kalimat adalah maka buatlah satu surah semisal dengannya; sedangkan jika kamu meragukan(al-Quran) yang

Kami turunkan kepada hamba Kami adalah anak kalimat, dengan ciri adanya penanda kata jika.

Dengan demikian, kalimat majemuk bertingkat ini memiliki jenis hubungan yang lebih banyak daripada kalimat majemuk setara, antara lain: (1) waktu, biasanya menggunakan kata penghubung sejak, setelah, sebelum, ketika. Kata-kata ini mempunyai fungsi untuk menyatakan waktu terjadinya peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 254: Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli; (2) syarat, seperti kata penghubung apabila, jika, kalau, seandainya. Fungsi kata ini untuk menyatakan syarat atau pengandaian terlaksananya hal yang disebut dalam klausa utama, contohnya seperti pada ayat 23 di atas; (3) tujuan, seperti kata penghubung agar, supaya, untuk. Fungsi kata ini untuk menyatakan satu tujuan yang disebutkan dalam klausa utama, seperti pada ayat 207: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah; (4) konsesif, seperti kata penghubung walaupun, sekalipun, meskipun. Kata ini digunakan untuk menyatakan pernyataan klausa bawahan yang tidak akan mengubah pernyataan yang Dengan demikian, kalimat majemuk bertingkat ini memiliki jenis hubungan yang lebih banyak daripada kalimat majemuk setara, antara lain: (1) waktu, biasanya menggunakan kata penghubung sejak, setelah, sebelum, ketika. Kata-kata ini mempunyai fungsi untuk menyatakan waktu terjadinya peristiwa atau keadaan yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 254: Infakkanlah sebagian dari rezeki yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang tidak ada lagi jual beli; (2) syarat, seperti kata penghubung apabila, jika, kalau, seandainya. Fungsi kata ini untuk menyatakan syarat atau pengandaian terlaksananya hal yang disebut dalam klausa utama, contohnya seperti pada ayat 23 di atas; (3) tujuan, seperti kata penghubung agar, supaya, untuk. Fungsi kata ini untuk menyatakan satu tujuan yang disebutkan dalam klausa utama, seperti pada ayat 207: Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah; (4) konsesif, seperti kata penghubung walaupun, sekalipun, meskipun. Kata ini digunakan untuk menyatakan pernyataan klausa bawahan yang tidak akan mengubah pernyataan yang

seperti, bagaikan, laksana, sebagaimana. Kata ini berfungsi untuk menyatakan perbandingan antara pernyataan pada klausa utama dengan pernyataan pada klausa bawahan, seperti pada ayat 17: Perumpamaan

mereka seperti orang yang menyalakan api; (6) penyebaban, seperti kata penghubung sebab, karena, oleh karena. Kata ini berfungsi untuk

menyatakan sebab atau alasan terjadinya sesuatu yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 10: dan mereka mendapat azab yang pedih,

karena mereka berdusta; (7) pengakibatkan, seperti kata penghubung sehingga, maka. Kata ini berfungsi untuk menyatakan akibat apa yang dinyatakan dalam klausa utama, seperti pada ayat 55: Kami tidak akan beriman kepadamu sehingga kami melihat Allah dengan jelas; (8) cara, seperti kata penghubung dengan, tanpa. Kata ini digunakan untuk menyatakan cara pelaksanaan dan alat dari apa yang dinyatakan oleh klausa utama, seperti pada ayat 212: Dan Allah memberi rezeki kepada orang yang Dia kehendaki tanpa perhitungan; (9) kemiripan, seperti kata penghubung seolah-olah, seakan-akan. Kata ini untuk menyatakan adanya kenyataan yang mirip dengan keadaan yang sebenarnya, seperti pada ayat 101: Seakan-akan mereka tidak tahu. Dalam contoh di atas dapat dilihat dengan jelas jenis hubungan antarklausa, konjungtor atau kata penghubung, dan fungsinya dalam kalimat majemuk bertingkat.

Adapun kalimat Bsu menurut fungsinya lebih banyak jenisnya daripada kalimat Bsa. Perbandingan itu dapat dilihat pada tabel partikel Bsu dan Bsa Adapun kalimat Bsu menurut fungsinya lebih banyak jenisnya daripada kalimat Bsa. Perbandingan itu dapat dilihat pada tabel partikel Bsu dan Bsa

kalimat Bsa yang meliputi empat macam kalimat, yaitu: a) kalimat berita (deklaratif); b) kalimat tanya (interogatif); c) kalimat perintah (imperatif); d)

kalimat seru. 59

a) Kalimat berita (deklaratif) adalah kalimat yang dipakai oleh penutur untuk menyatakan suatu berita kepada mitra komunikasinya. Bentuk kalimat

berita bersifat bebas, boleh inversi atau versi, aktif atau pasif, tunggal atau majemuk, dan sebagainya. Yang terpenting isinya merupakan pemberitaan. 60 Kalimat berita Bsu dapat diungkapkan dalam bentuk kalimat

positif (itsbât), kalimat negatif (nafy), dan kalimat penegas (ta`kîd), seperti pada ayat 12 surah al-Baqarah: ﹶﻥﻭﺪِﺴﹾﻔﻤﹾﻟﺍ ﻢﻫ ﻢﻬﻧِﺇ ﻻﹶﺃ . Ayat ini merupakan kalimat berita yang mengandung penegasan melalui empat partikel, yaitu ﻻ ﹶﺃ untuk peringatan; ﻥﺇ untuk menegaskan; pronomina ﻢﻫ sebagai damîr al- Fasl; 61 ﹶﻥﻭﺪِﺴﹾﻔﻤﹾﻟﺍ

kata definitif yang ditandai dengan adanya al, sehingga kalimat terjemahannya : ingatlah sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan.

b) Kalimat tanya (interogatif) dipakai oleh penutur/ penulis untuk memperoleh informasi atau reaksi berupa jawaban yang diharapkan dari mitra komunikasinya. Kalimat tanya pada ayat-ayat al-Quran tidak terdapat

59 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 142-145. 60 Kalimat berita mengandung konsekuensi pada pembicara/ penutur dan menimbulkan efek

pada pembaca atau pendengar, apakah berita itu benar atau dusta. Sehingga kalimat yang mengandung pemberitaan itu, dalam Balaghah dinamakan kalâm khabar. Berbeda dengan kalâm insyâ` , pembicaranya tidak bisa disebut sebagai orang yang benar atau dusta. Lihat, ‘Ali al-Jârim dan Must afâ Amîn, al-Balâghah al-Wâdihah. Penerjemah Mujiyo Nurkholis, dkk. (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1993), h. 198.

61 Muhammad Husain Salâmah, al-I’jâz al-Balâghiy fî al-Qurân al-Kârim (Kairo: Dâr al- Âfâq al-‘Arabiyyah, 2002), h. 18.

penanda berupa tanda tanya, hanya seringkali kalimat itu diawali dengan kata tanya. Oleh karena itu, dilihat dari bentuknya kalimat tanya Bsu sepadan dengan kalimat Bsa, yakni penggunaan kata tanya. Namun, dalam

beberapa ayat yang berbentuk kalimat tanya, terjemahan al-Quran Depag menggunakan tanda tanya di samping kata tanya, seperti pada ayat 44 surah al-Baqarah: ﹶﻥﻮﹸﻠِﻘﻌﺗ ﻼﹶﻓﹶﺃ // tidakkah kamu mengerti?.

c) Kalimat perintah (imperatif) digunakan oleh penutur untuk menyuruh atau melarang orang berbuat sesuatu. Dengan demikian, kalimat perintah Bsu

dapat dipadankan dengan kalimat perintah Bsa pada dua macam kalimat, yaitu: a) kalimat perintah suruhan (jumlah al-Amr); b) kalimat perintah

larangan (jumlah al-Nahy). Keduanya dapat dicontohkan seperti pada ayat

60 surah al-Baqarah: ﻦﻳِﺪِﺴﹾﻔﻣ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﺍﻮﹶﺜﻌﺗ ﻻﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﻕﺯِﺭ ﻦِﻣ ﺍﻮﺑﺮﺷﺍﻭ ﺍﻮﹸﻠﹸﻛ //

makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu melakukan kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.

d) Kalimat seru (esklamatif) dipakai oleh penutur untuk mengungkapkan perasaan emosi yang kuat, termasuk kejadian yang tiba-tiba dan

memerlukan reaksi spontan. Pada bahasa tulisan, kalimat ini diakhiri dengan tanda seru, akan tetapi ayat-ayat al-Quran tidak menggunakannya, tetapi cukup menggunakan kata sarana yang mengandung perasaan emosi dan reaksi spontan, misalnya nama-nama yang diawali dengan partikel yâ`

nidâ` atau sejenisnya yang berarti wahai atau hai. 62 Kalimat efektif adalah kalimat yang dapat mengungkapkan gagasan

penutur/ penulis secara tepat sehingga dapat dipahami oleh pendengar/ pembaca secara tepat pula. 63 Sebuah kalimat bisa dikatakan kalimat efektif

62 Ya` nida dalam beberapa tempat boleh dibuang, namun mengandung makna kalimat seru, seperti seruan nabi Ibrahim kepada Allah dalam bacaan doanya, seperti pada ayat 127: Rabbanâ

taqabbal minnâ // sehingga terjemahannya Ya Tuhan kami, terimalah amal kami.” 63 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 146.

jika memenuhi beberapa ciri, antara lain: kesepadanan struktur, keparalelan bentuk, ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan penalaran, kepaduan

gagasan, dan kelogisan bahasa. 64 Di sini, kalimat efektif yang dimaksudkan adalah kalimat Bsa dalam

bentuk terjemahan al-Quran oleh Depag RI. Oleh karena itu, ciri-ciri kalimat efektif perlu diterapkan dalam terjemahan al-Quran agar pembaca terjemahan langsung memahami dengan cepat dan tepat.

Di antara kriteria kalimat yang sepadan strukturnya dan kehematan kata

adalah tidak ditemukan subjek yang ganda dalam kalimat itu. Kalimat Bsu banyak ditemukan subjek yang ganda, misalnya subjek yang berkelas nomina

yang terdiri dari dua pronomina yang terletak setelah partikel penegas, seperti

pada ayat 37: ﻢﻴِﺣﺮﻟﺍ ﺏﺍﻮﺘﻟﺍ ﻮﻫ ﻪﻧِﺇ // Sungguh Allah Maha Penerima taubat,

Maha Penyayang. Ayat tersebut mengandung dua pronomina, yakni Hû yang mengiringi kata penegas inna dan huwa, yang kalau diterjemahkan sungguh Dia Dia.... dan ini memunculkan dua subjek, dan untuk menjadikan kalimat

efektif, salah satunya digantikan dengan partikel –lah sebagai penegasan makna.

Kemudian di antara ciri kalimat efektif adalah ketegasan makna. Ketegasan makna dapat dinyatakan dengan penggunaan partikel penekanan

(penegasan) seperti partikel –lah pada contoh ayat di atas. Di samping itu, ayat-ayat al-Quran banyak menggunakan partikel penekanan lainnya baik dalam kalimat nominal maupun verbal. Partikel-partikel penegasan ( taukîd) dalam terjemahan harus dicarikan padanannya dan juga harus diterjemahkan untuk menunjukkan adanya ketegasan makna dalam kalimat tersebut.

64 E. Zainal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo, 2006), h. 99.

Ada beberapa ayat yang mengandung kalimat penegasan itu tidak

diterjemahkan oleh Depag RI, seperti pada ayat 30: ﹰﺔﹶﻔﻴِﻠﺧ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ﹲﻞِﻋﺎﺟ ﻲﻧِﺇ // Aku hendak menjadikan khalifah ; dan pada ayat 67: ﻢﹸﻛﺮﻣﹾﺄﻳ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺇ // Allah memerintahkan kamu. Yang seharusnya terjemahan itu menggunakan kata

sarana penegasan, seperti sungguh atau sesungguhnya. 65 Kalimat tidak lengkap (minor) biasa ditemukan dalam bahasa lisan

maupun tulisan. Kalimat itu bisa dinamakan kalimat tidak lengkap, karena ada unsur-unsur atau satuan-satuan kebahasaan yang dilesapkan. Harimurti

mengistilahkan kalimat ini dengan elipsis. Elipsis dalam mikro struktur teks memegang peranan penting dalam teks susastra, sehingga al-Jurjaniy memandangnya sebagai aspek keindahan ungkapan ( maziyyah al-khitab). 67

Tujuan pemakaian elipsis ini, salah satunya yang terpenting adalah untuk mendapatkan kepraktisan bahasa sehingga bahasa lebih singkat, padat dan

mudah dimengerti dengan cepat. Dalam struktur Bsu mulai dari huruf, kata, frasa hingga klausa dapat dilesapkan di dalam kalimat yang mengandung kesejajaran struktur (paralelisme). Menurut pakar gramatika Bsu bahwa struktur Bsu dapat dinilai paralel jika memenuhi dua komponen kalimat, yaitu fi’l – fâ’il dan mubtada` - khabar atau diistilahkan Sîbawaih dengan sebutan musnad – musnad ilaih. Jika salah satu komponennya tidak terdapat dalam kalimat tersebut, maka

65 Di antara partikel yang termasuk kata sarana penegas adalah inna, anna, lâm al-ibtidâ`, nûn taukîd, lâm yang terletak sebagai bentuk jawaban sumpah dan qad. Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-

Durûs al-‘Arabiyyah, jilid 3, h. 264. 66 Harimurti Kridalaksana, Kamus Lingustik (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 40. Elipsis ( al-

hadzf) termasuk kajian penting dalam sintaksis Bahasa Arab terutama tentang kajian i’râb, mulai dari penggantian vokal tunggal ( dammah, fathah, kasrah) dengan sukun atau vokal rangkap ( tanwîn) dengan vokal tunggal (fathah) ketika penghentian bacaan dilakukan pada kata atau kalimat, hingga penghilangan huruf pada kata dan penghilangan kata serta klausa pada struktur kalimat. Lihat, Ah mad Sa’d Muhammad, al-Usûl al-Balâghiyyah fî Kitâb Sîbawaih (Kairo: Maktabah al-Âdab, 1999), h. 76. Dan menurut Fokker, unsur yang biasa dilesapkan dalam suatu kalimat adalah subjek atau predikat. Lihat, AA Fokker, Sintaksis Indonesia (Jakarta: Pradnya Paramita, 1988), h. 88.

67 ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy, Dalâ`il al-I’jâz (Kairo: ‘Abd al-Salâm Hârûn, t.t.), h. 40.

komponen yang dilesapkan itu harus diperkirakan untuk menciptakan kalimat yang sempurna atau berfaedah. 68

Meskipun dalam beberapa ayat al-Quran elipsis digunakan, namun elipsis itu tidak bisa dipadankan dalam terjemahan Bsa, karena keterpahaman

pembaca terhadap terjemahan diperlukan dalam memahami ayat-ayat al- Quran, sehingga terjemahan al-Quran Depag tetap menampilkan satuan-satuan bahasa yang dianggap elipsis.

Adapun di antara komponen kalimat Bsu yang dilesapkan dalam surah

al-Baqarah kemudian pelesapan itu muncul dalam terjemahan al-Quran Depag RI, antara lain:

a) Nomina, seperti pada ayat 220 surah al-Baqarah berikut : ﻢﻫﻮﹸﻄِﻟﺎﺨﺗ ﹾﻥِﺇﻭ ﻢﹸﻜﻧﺍﻮﺧِﺈﹶﻓ // ‘’Dan jika kamu mempergauli mereka, maka mereka adalah

saudara-saudaramu.’’ Kata yang bergaris bawah, seperti yang terdapat pada ayat 220 surah al-Baqarah adalah kata nominal yang dilesapkan yaitu kata ganti nama (pronomina). Adapun pronomina yang dimaksud pada

contoh itu adalah damîr ﻢﻫ (persona ketiga jamak) yang merujuk kepada ﻲﻣﺎﺘﻴﻟﺍ 69 (anak-anak yatim). Damîr tersebut menempati posisi S atau musnad

ilaih dengan subfungsinya mubtada`.

b) Verba, seperti pada ayat 127: ﺎ ﻨِﻣ ﹾﻞﺒﹶﻘﺗ ﺎﻨﺑﺭ // (seraya berdoa), “Ya Tuhan

kami, terimalah (amal) dari kami. Kata verbal yang dilesapkan adalah kata yaqûlâni (mereka berdua berkata) yang terletak sebelum frasa rabbanâ. Verba yaqûlâni mengandung S eksplisit yang merujuk kepada Nabi

Ibrahim dan Ismail. 70

68 Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir al-Nahwiyyah bi al-Ma’nâ fi al-Qurân al- Karîm (Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, t.t.) h, 107-108.

69 Demikian menurut pendapat para pakar i’râb al-Quran seperti al-Akhfasy, al-Farrâ`, Abû ‘Ubaidah, al-Zajjâj dan al-Nahhâs. Lihat, Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir al-

Nahwiyyah bi al-Ma’nâ fi al-Qurân al-Karîm, h, 116. 70 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 188.

c) Frasa, seperti pada ayat 196 dalam surah yang sama: ﺞﺤﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ٍﻡﺎﻳﹶﺃ ِﺔﹶﺛﻼﹶﺛ ﻡﺎﻴِﺼﹶﻓ

// ‘’Maka dia wajib berpuasa tiga hari dalam ( musim) haji.’’ Pada contoh itu pelesapan terjadi pada fungsi P atau musnad dengan subfungsi khabar yang terletak setelah KS fâ` jawâb. Dan P yang dimaksud di sini adalah predikat yang didahulukan (khabar muqaddam) yang terdiri dari frasa

preposisional 71 ﻪﻴﻠﻌﻓ yang mengandung makna verba imperatif dia wajib.

d) klausa, seperti pada ayat 58 surah al-Baqarah: ﹲﺔﱠﻄِﺣ ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻗﻭ // Dan katakanlah,

“Bebaskanlah kami (dari dosa-dosa kami).” Pelesapan yang terjadi pada

contoh tersebut adalah pelesapan fungsi S atau musnad ilaih dengan subfungsi mubtada` yang terletak setelah kata qaul atau setelah kata-kata

yang secara morfemis berasal dari kata qaul, seperti verba perfektif aktif (qâla), verba perfektif pasif (qîla), verba imperfektif aktif (yaqûlu), verba imperfektif pasif (yuqâlu), verba imperatif (qul) dan verba noun (qaul). Sementara verba yang terdapat pada contoh itu adalah verba imperatif dengan S persona kedua jamak yang merujuk kepada Bani Israil. Sedangkan klausa yang dilesapakan dari konstruksi kalimat ada dua

kemungkinan yaitu klausa 72 ﺔﻄﺣ ﺎﻨﻋ ﻂﻄﺣﺍ dan ﺔﻄﺣ ﺎﻨﺘﻠﺌﺴﻣ . Selain itu,

elipsis juga terjadi pada klausa lain, yakni verba imperatif, seperti pada ayat 135 surah al-Baqarah: ﹰﺎﻔﻴِﻨﺣ ﻢﻴِﻫﺍﺮﺑِﺇ ﹶﺔﱠﻠِﻣ ﹾﻞﺑ ﹾﻞﹸﻗ // ‘’ Katakanlah, “(tidak!)

Tetapi (ikutilah) agama Ibrahim yang lurus.‘’ Menurut Abû ‘Ubaidah, verba imperatif yang dihilangkan pada ayat tersebut adalah ittabi’û

(ikutilah). 73 Kalimat inversi adalah kalimat yang P-nya mendahului S. Urutan P-S

dipakai untuk penekanan atau ketegasan makna. Kata atau frasa yang

71 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 257. 72 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid 1, h. 110. 73 Abû ‘Ubaidah, Majâz al-Qurân (Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 1981), jilid 1, h. 57.

menempati posisi pertama dalam kalimat itu akan menjadi kata kunci yang mempengaruhi makna dalam hal menimbulkan kesan tertentu. 74 Dengan

demikian, pada kalimat inversi ini tidak terjadi transposisi teks Bsu terhadap teks Bsa, seperti perubahan fungsi P-S menjadi P-S atau jumlah fi’liyyah

menjadi jumlah ismiyyah. Pada kenyataannya, kalimat inversi Bsu tidak hanya terjadi pada pola P- S semata, melainkan pola-pola lainnya juga banyak ditemukan dalam beberapa ayat al-Quran. Namun, kesepadanan kalimat inversi Bsu dan Bsa harus terjadi

pada Terjemahan al-Quran. Dalam beberapa ayat yang termasuk kalimat inversi, terjemahan al-Quran Depag juga menerjemahkan dengan kalimat

inversi juga. Oleh karena itu, padanan kalimat inversi Bsu dengan Bsa dapat dikelompokkan pada dua jenis kalimat (jumlah), yaitu :

a) kalimat nominal (jumlah ismiyyah), seperti pada ayat 142 surah al-Baqarah:

ﺏِﺮﻐﻤﹾﻟﺍﻭ ﻕِﺮﺸﻤﹾﻟﺍ ِﻪﱠﻠِﻟ ﹾﻞﹸﻗ // katakanlah: “Milik Allah-lah timur dan barat.” Pada contoh ini, kata yang bergaris bawah adalah mubtadâ` (S) yang seharusnya di permulaan kalimat 75 dan khabarnya (P) setelahnya.

b) kalimat verbal (jumlah fi’liyyah), seperti pada ayat 215 surah al-Baqarah: ﻢﻴِﻠﻋ ِﻪِﺑ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﱠﻥِﺈﹶﻓ ٍﺮﻴﺧ ﻦِﻣ ﺍﻮﹸﻠﻌﹾﻔﺗ ﺎﻣﻭ // dan kebaikan apa saja yang kamu

kerjakan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. Pada contoh ini yang didahulukan dalam kalimat tersebut adalah objek (maf’ûl bih) sementara verbanya diakhirkan. Hal itu disebabkan oleh pentakwilan mâ`

mausûlah sebagai pentakwilan syarat dan jawab, yakni Wa ayya khairin taf’alû fa inna Allâha bihî ‘alîm . 76

74 Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 146. 75 Berdasarkan definisi mubtadâ`, yakni nomina definitif yang dibaca rafa’ yang mestinya

didahulukan serta tidak terdapat faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka menurut Tammâm Hassân ini merupakan kaidah pokok bagi mubtadâ`. Lihat, Tammâm Hassân, al-Usûl: Dirâsah Istimûlujiyyah li al-Fikr al-Lughawiy ‘inda al-‘Arab (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 2000), h. 125.

76 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuhu, jilid I, h. 452.

Berkaitan dengan inversi dalam kalimat verbal, ternyata ada ayat yang tidak diterjemahkan menurut kalimat inversi Bsu, seperti pada ayat 41 surah al-Baqarah: ِﻥﻮﹸﻘﺗﺎﹶﻓ ﻱﺎﻳِﺇﻭ // dan bertakwalah hanya kepada-Ku dan juga pada

ayat sebelumnya, ayat 40: ِﻥﻮﺒﻫﺭﺎﹶﻓ ﻱﺎﻳِﺇﻭ // dan takutlah kepada-Ku saja. Ayat

tersebut maf’ûl bih (O) didahulukan daripada verbanya. Padahal dilihat dari bentuknya ayat ini sama dengan ayat 5 surah al-Fâtihah yang terjemahannya : Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Perbedaannya terletak pada verbanya, yakni verba

di atas menggunakan verba imperatif, sedangkan verba dalam surah al-Fatihah menggunakan verba imperfektif. Padanan terjemahan yang menunjukkan

kalimat inversi pada dua ayat tersebut memang sulit, sehingga terjemahan al- Quran pada edisi baru merevisinya dengan mendahulukan verbanya seperti terjemahan di atas. Di sinilah, inkonsistensi terjadi dalam terjemahan al-Quran Depag edisi baru. Revisi ini seharusnya juga melihat terjemahan al-Quran Depag sebelumnya yang dicetak oleh pemerintah Saudi Arabia yang berbunyi: Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus bertakwa. Dalam terjemahan al-Quran itu, kalimat inversi Bsu tetap diterjemahkan menurut kalimat inversi Bsu-nya. Sebab kalimat itu merupakan kalimat efektif dan indah serta mempunyai maksud, jika ditinjau dari segi gaya bahasa (retorika) yang benar-benar

diperhatikan dan dipentingkan pembahasannya oleh ahli Balaghah. 77 Mungkin ini sebagai alternatif terjemahan yang berorientasi pada kalimat

inversi, meskipun tidak sepenuhnya benar, yakni dan hanya kepada Aku, hendaklah kamu bertakwa; dan hanya kepada Aku, hendaklah kamu takut. Munculnya kata hendaklah merupakan apresiasi makna dari verba imperatif,

sebagaimana verba imperfektif yang dimasuki partikel lâm al-Amr (partikel

77 Lihat ‘Abd al-Qâhir al-Jurjâniy, Dalâ`il al-I’jâz, h. 108.

imperatif), seperti pada ayat 29: ”Barang siapa menghendaki (beriman) maka hendaklah dia beriman, dan barang siapa menghendaki (kafir) biarlah dia kafir.”

6. Terjemahan pada tingkat teks Terjemahan jenis ini dilakukan apabila terjemahan pada tingkat kalimat sudah tidak menjadi satuan terjemahan. Teks terjemahannya ialah teks secara

keseluruhan dari beberapa kelompok kalimat mandiri. Menurut Salihen, bahwa teks yang digunakan untuk terjemahan tingkat ini adalah teks-teks

puisi. Alasan teks puisi menjadi satuan terjemahan, karena antara teks Bsu dan Bsa tidak bisa ditentukan padanan-padanannya baik di tingkat kata, frasa, maupun di tingkat kalimat. 78