Strategi Semantis

C. Strategi Semantis

Strategi semantis adalah strategi terjemahan yang dilakukan atas dasar pertimbangan makna. Tidak semua makna Bsu dapat diterjemahkan sepenuhnya ke dalam Bsa. Oleh karena itu, strategi ini dipergunakan pada tataran kata, frasa maupun klausa atau kalimat.

Di antara strategi semantis yang digunakan dalam terjemah al-Quran Depag RI meliputi beberapa strategi sebagai berikut:

1. Transliterasi

Transliterasi adalah strategi terjemahan yang mempertahankan kata- kata BSu tersebut secara utuh, baik bunyi maupun tulisannya. Dalam karya

tulis maupun karya terjemahan dalam bidang keagamaan (Islam), transliterasi atau alih aksara merupakan sesuatu yang tak terhindarkan. 38 Tujuannya adalah

untuk menjaga konsistensi Bsu baik lafal maupun maknanya. Terjemahan al-Quran Depag RI menggunakan transliterasi pada kata- kata atau frasa tertentu yang memang tidak sepadan dalam konteks yang

dimaksud. Di dalam surah al-Baqarah, penulis menemukan strategi transliterasi pada kata-kata, frasa dan kalimat sebagai berikut: alif lâm mîm (ayat 1), mann dan salwâ (ayat 57), sâbi`în (ayat 62), sabt (ayat 65), râ’inâ

dan unzurnâ (ayat 104), maqâm Ibrahim (ayat 125), Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna (ayat 156), Masy’aril harâm (ayat 198), Qurû` (ayat 228) dan Wustâ (ayat 238).

Semua kata, frasa dan kalimat di atas yang diterjemahkan menurut bunyi dan tulisan ayat al-Quran itu dapat digolongkan pada nama gelar seperti

38 Dalam dunia akademis, terdapat beberapa versi pedoman alih aksara (transliterasi), antara lain versi Turabian, Library of Congress, Pedoman dari Kementerian Agama dan Diknas RI serta versi

Paramadina. Umumnya pedoman alih aksara tesebut meniscayakan digunakannya jenis huruf ( font) tertentu. Lihat, Hamid Nasuhi, dkk., Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: CeQDA, 2007), h. 46.

39 sâbi`în, 40 nama tempat seperti maqâm Ibrahim, nama makanan dan minuman

41 seperti mann dan salwâ, 42 nama hari seperti sabt, dan istilah-istilah seperti

43 44 Qurû`, 45 Wustâ, Sibghat Allah, serta ungkapan-ungkapan seperti râ’inâ dan

46 unzurnâ, 47 Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna. Adapun huruf-huruf Hijaiyyah yang lazim terletak di permulaan surah

(fawâtih al-suwar), seperti alif lâm mîm pada surah al-Baqarah atau pada surah-surah lainnya, seluruh terjemahan al-Quran menerjemahkannya menurut

bunyi dan tulisannya. Huruf-huruf yang terletak di permulaan beberapa surah

ini digolongkan pada ayat-ayat mutasyâbihât, sehingga para mufassir dalam beberapa kitab tafsirnya menafsirkannya dengan Allâhu a’lam bimurâdihi.

Alasan lain penggunaan transliterasi dilakukan pada fawâtih al-suwar (pembukaan surat-surat) karena dinilai oleh Ibn Katsir sebagai bukti adanya

I’jâz al-Qurân, 49 karena manusia tidak mampu untuk membuat karya yang sejenis huruf-huruf tersebut, apalagi seluruh al-Quran. 50

39 Sâbi`în ialah umat sebelum Nabi Muhammad SAW., yang mengetahui adanya Tuhan Yang Maha Esa dan mempercayai adanya pengaruh bintang-bintang.

40 Tempat Nabi Ibrahim, A.S., berdiri ketika membanguna Ka’bah. 41 Mann ialah sejenis madu dan salwâ ialah sejenis burung puyuh. 42 Sabt ialah hari Sabtu, hari khusus bagi orang Yahudi untuk beribadah. 43 Qurû` bentuk jamak dari qar`u yang berarti suci, atau haid. 44 Shalat Wustâ yaitu shalat Ashar menurut hadits shahih. 45 Sibghat Allah artinya celupan Allah, maksudnya agama Allah.

46 Râ’inâ artinya perhatikanlah kami, kemudian klausa tersebut diplesetkan oleh orang Yahudi dengan dengan ru’ûnah yang artinya bodoh sekali yang ditujukan kepada Rasulullah. Itulah sebabnya

Allah memerintahkan sahabat Rasulullah untuk menukar râ’inâ dengan unzurnâ yang artinya sama. 47 Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûna adalah kalimat Istirja’ (pernyataan kembali kepada

Allah). Ungkapan ini sunnah diucapkan tatkala ditimpa musibah, baik besar maupun kecil. 48 Ayat-ayat mutasyâbihât merupakan lawan kata ayat-ayat muhkamât. Lihat, Q.S. Ali ‘Imran:

7. Pengertian tentang ayat-ayat mutasyâbihât maupun muhkamât masih diperdebatkan di kalangan ulama. Namun satu definisi yang dapat diambil antara lain, ayat muhkamât yaitu ayat-ayat yang dapat diketahui maksudnya. Dengan demikian ayat mutasyâbihât yaitu ayat yang tidak dapat diketahui maksudnya, kecuali Allah. Di antara ayat-ayat yang termasuk ayat mutasyâbihât ialah ayat-ayat tentang keberadaan Allah dan sifat-sifat-Nya, hakikat hari akhir, tanda-tanda kiamat dan huruf-huruf di permulaan surat. Lihat, Mannâ’ al-Qatt ân, Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qurân (Kairo: Maktabah Wahbah, 2007), h. 207.

49 I’jâz berarti melemahkan. Dan I’jâz al-Qurân bermakna pengokohan al-Quran sebagai

sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk penciptaan karya sejenis. Lihat, al-

2. Naturalisasi Naturalisasi adalah ucapan atau tulisan Bsu tersebut disesuaikan dengan aturan BSa. Naturalisasi merupakan lanjutan dari transliterasi atau sering

disebut adaptasi. 51 Misalnya: Islâm menjadi Islam. Bahasa Indonesia termasuk bahasa yang kaya dengan kata serapan dari

bahasa Arab, diperkirakan sekitar 2.000-3.000 kosakata. Namun frekuensinya tidak terlalu besar dan secara relatif diperikirakan jumlah ini antara 10%- 15%. 52 Sebagian kata-kata Arab ini masih utuh dalam arti yang sesuai antara

lafal dan maknanya seperti awal, akhir, halal, haram, kiamat, kitab dan syari’at. Kemudian lafal dan arti berubah dari lafal semula seperti kabar, lafal,

mungkin, rezeki dan masalah. Bagian lainnya, lafalnya benar, artinya berubah seperti ahli, kalimat dan siasat.

Kata-kata serapan bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh teks-teks keagamaan seperti al-Quran. Karena itu, dalam terjemahan al-Quran juga terdapat kata-kata yang dipungut langsung

dari bahasa al-Quran itu sendiri. Kata-kata al-Quran yang kemudian menjadi kata serapan dalam bahasa Indonesia melalui naturalisasi juga banyak ditemukan di dalam surah al-

Baqarah terjemahan Depag RI. Di antara kata-kata itu adalah Allah, Kitab,

Zarqâniy, Manâhil al-‘Irfân fî ‘Ulûm al-Qurân , jilid 2, h. 331. I’jâz al-Qurân dalam kaitannya dengan fungsi kerasulan Nabi Muhammad SAW., berarti memperlihatkan kebenaran kerasulan dan fungsi kenabiannya serta kitab suci yang dibawanya. Selain itu, untuk memperlihatkan kekeliruan bangsa Arab yang menentangnya, karena tantangan-tantangan yang dilontarkan Allah dalam al-Quran tidak dapat mereka layani. Lihat, Sya’bân Muhammad Ismâil, al-Madkhal li Dirâsah al-Qurân wa al- Sunnah wa al-‘Ulûm al-Islâmiyyah (Kairo: Dâr al-Ansâr, t.th), h. 323.

50 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 2001), jilid 1, h. 25. 51 Naturalisasi disebut juga teknik penerjemahan fonologis, yaitu terjemahan yang dilakukan

dengan cara membuat kata baru yang diambil dari bunyi kata Bsu untuk disesuaikan dengan sistem bunyi (fonologi) dan ejaan (grafologi) Bsa, seperti kata demokratie (Belanda) → demokrasi. Lihat, Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 76.

52 Wikipedia Indonesia, Kata Serapan Bahasa Arab dalam Bahasa Indonesia. Sunting diakses pada tanggal 21 April 2008 dari http://id.wikipedia.org/wiki .

nama-nama malaikat seperti Jibril, Roh Kudus, Mikail, nama-nama nabi, seperti Adam, Musa, Isa, Sulaiman, Ibrahim, Ya’kub, Dawud, nama-nama raja seperti Fir’aun, Talut dan Jalut, nama kaum (umat) seperti Yahudi, Bani

Israil, nama-nama tempat seperti Masjidil haram, Safa dan Marwah, nama bulan seperti Ramadan, serta istilah-istilah dalam Fiqh Islam seperti shalat, zakat, haji, umrah, qisas, riba, sedekah, dan fidyah. Semua kata-kata itu ditulis

menurut bunyi dan tulisan Indonesia, meskipun semuanya berasal dari bahasa al-Quran atau Arab.

Melalui strategi naturalisasi ini, satu kata bisa juga menghasilkan kata Bsa dengan makna yang berbeda dari makna kata Bsu (al-Quran), seperti

”kitab” diartikan buku dalam kalimat: Mahasiswa itu suka membaca kitab- kitab klasik.

Jadi, pungutan (borrowing) dapat dianggap sebagai strategi semantis dalam terjemahan al-Quran yang berkaitan dengan kata-kata, frasa atau kalimat untuk menerjemahkan nama orang, nama tempat, nama kitab, nama

gelar, nama lembaga (institusi) dan istilah-istilah pengetahuan yang belum didapatkan di Bsa. Hanya kemudian, jika kata, frasa atau kalimat itu sudah menjadi kata serapan dalam Bsa tidak perlu menggunakan transliterasi

melainkan naturalisasi. Mengenai naturalisasi dalam terjemahan al-Quran harus mengacu kepada terjemahan resmi yang telah dibakukan. Untuk itu, penerjemah perlu

memiliki wawasan dan pedoman tentang pengindonesiaan nama atau kata-kata Bsu yang dikeluarkan oleh Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Depdikbud R.I. Di antara kata-kata Arab terdapat kata yang salah satu

hurufnya dilambangkan dengan dua huruf latin, seperti huruf ﺥ (kh) , ﺹ (ş), ﻍ (g). Sehingga terjemahan kata khalifah, shalat dan ghaib tidak menyalahi hurufnya dilambangkan dengan dua huruf latin, seperti huruf ﺥ (kh) , ﺹ (ş), ﻍ (g). Sehingga terjemahan kata khalifah, shalat dan ghaib tidak menyalahi

naturalisasinya menjadi salat dan gaib. 53 Kedua strategi semantis di atas, menurut Suryawinata dinamakan

strategi pungutan (borrowing), yaitu strategi terjemahan yang mengambil kata Bsu ke dalam teks Bsa. Penerjemah sekedar memungut kata Bsu yang ada. Alasan strategi ini digunakan untuk menunjukkan penghargaan terhadap kata-

kata tersebut, atau belum ditemuinya padanan di dalam Bsa. 54

3. Penjelasan Tambahan (Contextual Conditioning) Penjelasan tambahan dalam strategi semantis ini dilakukan karena untuk

memperjelas makna kata-kata. Di sini penerjemah memasukkan informasi tambahan di dalam teks terjemahan, karena ia berpendapat bahwa pembaca memang memerlukannya. Newmark menjelaskan bahwa informasi tambahan itu bisa dimasukkan dalam teks terjemahan atau diletakkan di bawah halaman

(berupa catatan kaki) atau di bagian akhir dari teks terjemahan. 55

Strategi ini digunakan oleh Terjemahan al-Quran Depag RI untuk menjelaskan beberapa aspek, antara lain:

a. Aspek keimanan, seperti pada terjemahan ayat 154: Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh di

jalan Allah (mereka) telah mati. Sebenarnya (mereka) hidup,.... Dalam kata hidup, penerjemah menambahkan informasi dalam bentuk catatan kaki, maksudnya hidup di alam lain yang bukan alam kita ini. Mereka mendapatkan kenikmatan di sisi Allah dan hanya Allah yang mengetahui bagaimana kehidupan di alam itu.

53 Lihat W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 288, 503, 856.

54 Suryawinata, Translation, h. 70. 55 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988)h. 91-92 54 Suryawinata, Translation, h. 70. 55 Newmark, Textbook of Translation (Oxford: Pergamon Press, 1988)h. 91-92

Maka barang siapa beribadah haji ke Baitullah atau berumrah, tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dalam terjemahan ayat ini, penerjemah menjelaskan dua hal, yaitu tidak ada dosa dan sa’i. Frasa tidak ada dosa diperjelas dengan catatan kaki sebagai berikut:

“sebagian sahabat merasa keberatan mengerjakan sa’i di situ, karena pada masa jahiliyyah tempat itu adalah tempat berhala sekaligus

juga sebagai tempat sa’i mereka. Untuk menghilangkan rasa keberatan para sahabat itu, Allah menurunkan ayat ini.”

Sedangkan kata sa’i diperjelas oleh penerjemah dengan memberikan definisi pada catatan kaki, berjalan dan berlari-lari kecil sebanyak tujuh kali antara Safa dan Marwah ketika melakukan ibadah haji atau umrah.

c. Aspek sejarah, seperti terjemahan ayat 49: “Dan (ingatlah) ketika Kami menyelamatkan kamu dari Fir’aun dan pengikut-pengikut (Fir’aun).” Dalam catatan kaki, penerjemah menjelaskan Fir’aun menurut catatan sejarah, yaitu Fir’aun yang hidup pada masa Nabi Musa AS., ialah Menephthan (1232-1224 SM) anak Ramses.

d. Aspek kemasyarakatan, seperti pada terjemahan ayat 143:

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) “umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.”

pertengahan”, penerjemah menambahkannya dalam bentuk catatan kaki, umat yang adil, yang tidak berat sebelah baik ke dunia maupun ke akhirat, tetapi seimbang antara keduanya.

Dalam

terjemahan

“umat

Strategi di atas oleh Depag dimaksudkan untuk memperjelas makna kata-kata yang dianggap belum dipahami oleh pembaca. Pada umumnya strategi penambahan yang berupa catatan kaki pada terjemahan al-Quran

Depag RI berupa uraian panjang dalam bentuk kalimat. Dan strategi itu tidak jauh berbeda dengan terjemahan al-Quran yang disusun oleh Abdullah Yusuf Ali dengan dalam bentuk komentar yang berdasarkan nomor catatan kaki.

Berbeda dengan penambahan informasi lainnya yang terdapat dalam teks terjemahan al-Quran Depag RI, yakni penjelasan itu cukup singkat dalam

bentuk kata, frasa dan klausa.

a. Penambahan kata nominal banyak dilakukan dalam teks terjemahan untuk memperjelas kata. Selain itu, penambahan nominal banyak dilakukan pada pronomina (kata ganti) yang mengacu pada personifikasi tokoh-tokoh yang

muncul dalam cerita, seperti pada ayat 71: Dia (Musa) menjawab, “Sungguh Dia (Allah) berfirman, sesungguhnya dia (sapi) itu adalah sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah... Pada ayat

tersebut, terdapat kata dia yang terulang sebanyak tiga kali, yakni dia yang mengacu kepada Musa, kepada Allah dan sapi. Kemudian, penambahan kata Musa, Allah dan sapi tersebut dilakukan untuk memperjelas

pronomina yang dimaksudkan serta untuk menghindari kekeliruan dalam penetapan acuan persona yang ada dalam ayat tersebut. Selain itu, ketiaadaan penambahan kata nominal seringkali terjemahan menjadi kabur,

apalagi penetapan persona yang salah. Hal ini terjadi pada terjemahan al- Quran Depag RI, seperti pada ayat 144: ...maka hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam. Dan di mana saja engkau berada maka hadapkanlah

wajahmu ke arah itu; pada ayat 149: ...hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam; dan pada ayat 150: ...maka hadapkanlah wajahmu ke arah

Masjidilharam. Dan di mana saja kamu berada, maka hadapkanlah wajahmu ke arah itu... Ketiga ayat tersebut mengandung perintah untuk menghadap kiblat dengan dua persona kedua (mukhâtab) yang dituju,

yakni anta (engkau) yang mengacu kepada Nabi Muhammad SAW., dan antum (kamu) yang mengacu kepada umat Islam. Akan tetapi, terjemahan ayat 144 dan 150 terdapat perbedaan dalam penetapan acuan pronomina,

yakni kalimat kedua pada ayat 144 menggunakan pronomina engkau, kemudian pada ayat 150 menggunakan pronomina kamu. Padahal

keduanya sama-sama mengacu pada persona kedua jamak, yakni antum. Menurut bahasa standar Bsa, penggunaan engkau ditujukan bagi persona kedua tunggal, sedangkan kamu ditujukan bagi persona kedua jamak. 56 Di

sinilah, ketidaktepatan dalam pemilihan kata untuk terjemahan kedua ayat tersebut.

b. Penambahan kata verbal, seperti pada ayat 44: Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri. Kata verbal yang menunjukkan arti mengerjakan tidak ditemukan pada ayat tersebut. Namun, beberapa terjemahan al-Quran Indonesia menambahkan kata verbal seperti pada contoh ayat di atas. Mahmud Yunus dan HB. Jassin juga menambahkannya dengan verba berbuat.

c. Penambahan frasa dalam teks terjemahan seperti pada ayat 14: Dan apabila mereka berjumpa dengan orang yang beriman, mereka berkata, “Kami telah beriman.” Tetapi apabila mereka kembali kepada setan-setan (para pemimpin) mereka, mereka berkata, “Sesungguhnya kami bersama

56 Pronomina yang mengandung makna persona kedua tunggal menurut bahasa standar dapat berbentuk engkau, saudara, bung, anda, tuan, nyonya, nona . Sedangkan yang mengandung makna

persona kedua jamak dapat berbentuk kamu, kalian, saudara-saudara, tuan-tuan. Di samping itu, pronomina yang dianggap sub-standar seperti lu, jang, neng. Lihat, Samsuri, Analisis Bahasa (Jakarta: Erlangga, 1985), h. 283.

kamu, kami hanya berolok-olok”. Pada ayat ini penambahannya dalam bentuk frasa partikel, yakni para pemimpin.

d. Penambahan klausa dalam teks terjemahan seperti pada ayat 30: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Klausa ingatlah merupakan verba imperatif yang dilesapkan dengan memperkirakan klausa Bsu-nya “ udzkur idz” atau

“udzkur waqta (hîna)” // ingatlah ketika. 57 Berkaitan dengan partikel idz, al-Mubarrid membedakan antara partikel idz dan idzâ. Menurutnya,

apabila partikel idz berbarengan dengan verba imperfektif, maka makna aspek yang dikandungnya adalah aspek perfektif, seperti pada ayat 30

surah al-Anfal: ﻚِﺑ ﺮﹸﻜﻤﻳ ﹾﺫِﺇﻭ ; kemudian apabila partikel idzâ

berdampingan dengan verba perfektif, maka aspeknya bermakna

prospektif, seperti pada ayat 1 surah al-Nasr: 58 ﺢﺘﹶﻔﹾﻟﺍﻭ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﺮﺼﻧ َﺀﺎﺟ ﺍﹶﺫِﺇ

. Beberapa contoh penambahan dalam teks terjemahan al-Quran itu pada umumnya diselipkan di antara dua kurung (...) untuk membedakan bahwa

kata, frasa atau klausa dalam kurung tersebut bukan teks Bsu yang orsinil melainkan teks tambahan yang dipahami penerjemah.

Selain itu, penambahan juga dilakukan ketika bagian teks Bsu dianggapnya elipsis (al-hadzf) dari komponen kalimat, seperti pada ayat 196

dan 127 surah al-Baqarah berikut ini: (1) ﺞﺤﹾﻟﺍ ﻲِﻓ ٍﻡﺎﻳﹶﺃ ِﺔﹶﺛﻼﹶﺛ ﻡﺎﻴِﺼﹶﻓ ... // Maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam musim haji; (2) ﺎ ﻨِﻣ ﹾﻞﺒﹶﻘﺗ ﺎﻨﺑﺭ ... // (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami.”

57 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsîr, jilid 1, h. 40. 58 Muhammad Ibn Ahmad al-Ansâriy al-Qurtubiy, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qurân (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), jilid 1, h. 181.

Bagian teks pada contoh (1) yang dianggap hilang adalah khabar yang terletak setelah kata sarana konjungtif fâ` al-jawâb. Dan bagian teks yang

diperkirakannya adalah 59 ﻡﺎﻴﺻ ﻪﻴﻠﻌﻓ .

Bagian teks pada contoh (2) yang dianggap hilang adalah fi’l al-qaul (verba ucapan) yang terdiri dari kata qâla, yaqûlu, yuqâlu. Penghilangan kata- kata tersebut di dalam al-Quran banyak dijumpai dalam beberapa surah. Di

antaranya contoh (2), menurut al-Zajjâj bahwa makna kata yang terkandung dalam teks tersebut adalah yaqûlâni, yang mengandung subjek persona ketiga

60 dual yang mengacu kepada dua orang, yakni Ibrahim dan Isma’il.

4. Penghapusan (omission atau deletion) Penghapusan berarti penghilangan kata atau bagian teks Bsu di dalam teks Bsa. Atau dengan kata lain, penghapusan berarti kata atau bagian teks Bsu

itu tidak diterjemahkan dalam Bsa. Pertimbangannya adalah kata itu tidak penting bagi keseluruhan teks, atau kalaupun penting tetap sulit untuk diterjemahkan. Meskipun penerjemah memaksakan kata atau bagian teks itu

diterjemahkan perbedaan maknanya tidak signifikan, karena Bsu menghendaki adanya penghapusan.

Dalam terjemahan al-Quran Depag RI penghapusan itu dilakukan pada salah satu tataran sintaksis, yaitu kata. Di antara kata yang dihilangkan dalam

terjemahan Bsa adalah râbit atau kata sarana (KS). Dan di antara KS yang dihapus dalam terjemahan Bsa adalah preposisi dan konjungtif.

Preposisi atau hurûf al-Jarr termasuk kata yang tidak berdiri sendiri, maka dia mempunyai relasi dengan kata lainnya yaitu ism (nomina) dan fi’l (verba). Fungsi preposisi dalam kalimat Bsu bisa dinilai sebagai hurûf al-

59 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh (Beirut: ‘Âlam al-Kutub, 1998), jilid 1, h. 257. 60 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h.188.

Ma’ânî, huruf tambahan gramatikal atau bisa sebagai penjelas dari unsur kata sebelumnya.

Adapun contoh preposisi yang berfungsi sebagai hurûf al-Ma’ânî seperti pada ayat 130 dan 238 surah al-Baqarah berikut ini:

Dan orang yang membenci agama Ibrahim hanyalah orang yang memperbodoh dirinya sendiri.

Peliharalah semua salat dan salat wusta. Kata yang bergaris bawah pada contoh (1) dan (2) adalah preposisi yang

dikategorikan sebagai huruf ma’ânî, dan salah satu makna yang dikandungnya adalah untuk menghubungkan verba transitif terhadap objeknya (al- Ta’diyyah). Kedua verba yang terletak sebelum preposisi, maknanya tergantung pada preposisi yang mengikutinya. Dan kedua preposisi yang bergaris bawah itu tidak diterjemahkan di dalam Bsa, karena verba yang terletak sebelumnya merupakan relasi kata dan makna yang tidak bisa

dipisahkan. 61 Preposisi yang berfungsi sebagai huruf tambahan gramatikal dan

maknanya dilesapkan dalam terjemahan, seperti pada ayat 105 surah al- Baqarah: ﻢﹸﻜﺑﺭ ﻦِﻣ ٍﺮﻴﺧ ﻦِﻣ ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ ﹶﻝﺰﻨﻳ ﹾﻥﹶﺃ // suatu kebaikan apapun dari Tuhanmu diturunkan kepadamu. Demikian pula pada ayat 120 dalam surah

yang sama: ٍﲑِﺼﻧ ﻻﻭ ﻲِﻟﻭ ﻦِﻣ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﻦِﻣ ﻚﹶﻟ ﺎﻣ // Tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari Allah. Preposisi yang bergaris bawah tersebut dinilai oleh al-

61 Rofi’i, Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia (Jakarta: Persada Kemala, 2002), jilid 1, h. 29.

Zajjâj sebagai huruf tambahan gramatikal, karena itu makna ayat tersebut menjadi mâ laka min Allâhi waliyyun wa lâ nasîr. Tujuan adanya penambahan

huruf tersebut untuk penegasan makna (al-taukîd). 62 Kemudian, preposisi yang berfungsi sebagai penjelas kata yang terletak

sebelumnya, seperti pada ayat 272: ﻢﹸﻜِﺴﹸﻔﻧﹶﺄِﻠﹶﻓ ٍﺮﻴﺧ ﻦِﻣ ﺍﻮﹸﻘِﻔﻨﺗ ﺎﻣﻭ // Harta apapun yang kamu infakkan, maka (kebaikannya) untuk dirimu sendiri. Preposisi yang bergaris bawah itu sebagai penjelas dari kata yang terletak sebelumnya, yakni ﺎﻣ. Oleh karena itu preposisi tersebut dinamakan min bayâniyyah dengan pola

ﺔﻴﻧﺎﻴﺑ ﻦﻣ + ﺔﻴﻟﻮﺻﻮﻣﺎﻣ . Pola seperti ini dan pola-pola lainnya yang hampir serupa, seperti ﺎﻣ + ﻦﻣ , ﻦﻣ + ﻦﻣ , dan ﻦﻣ + ﻦﻣ seringkali menyulitkan penerjemah

untuk merekonstruksi terjemahannya ke dalam Bsa, dan tidak sedikit penerjemah terjebak pada terjemahan harfiah, karena pola seperti ini tidak

ditemukan dalam Bsa. 63 Mengenai strategi untuk menerjemahkan kalimat

yang mengandung ﺔﻴﻧﺎﻴﺑ ﻦﻣ dengan pola ﻦﻣ + ﺎﻣ , atau ﻦﻣ + ﻦﻣ adalah seperti

contoh berikut:

Di pasar ada barang-barang yang dibutuhkan para konsumen.

62 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 166 dan 181. Preposisi min yang dinilai sebagai huruf tambahan gramatikal harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: 1) sebelumnya

didahului oleh kata sarana negasi, larangan, atau tanya; 2) nomina yang di- jar-kannya dalam bentuk nomina non definitif ( nakirah) serta menempati sebagai subjek atau musnad ilaih. Lihat, Sanâ Jihâd, Mu’jam al-Tâlib wa al-Kâtib, h. 148.

63 Moh. Mansyur dan Kustiwan, Pedoman Bagi Penerjemah Arab-Indonesia (Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002), h. 96.

Kami menghormati guru-guru yang mengajar dan membimbing kami.

Kemudian di antara preposisi lainnya yang dinilai sebagai huruf

tambahan gramatikal adalah partikel bâ` ( ﺀﺎﺒﻟﺍ ) , seperti pada ayat 8 surah al- Baqarah: ﲔِﻨِﻣﺆﻤِﺑ ﻢﻫ ﺎﻣﻭ // Mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman. Partikel yang bergaris bawah itu merupakan huruf tambahan yang mempunyai fungsi untuk menegaskan makna negatif. 64 Dengan demikian, setiap preposisi

yang dianggap sebagai huruf tambahan gramatikal dilesapkan dalam terjemahannya.

Kemudian, di antara kata sarana konjungtif yang dilesapkan dalam terjemahannya adalah partikel ﺎﻣ . Partikel ﺎﻣ memiliki banyak fungsi yang dapat merubah kalimat deklaratif menjadi non deklaratif, seperti kalimat tanya, kalimat negatif, kalimat syarat. Karena itu, partikel ﺎﻣ menyandang banyak nama tergantung letaknya di dalam kalimat.

Sementara partikel ﺎﻣ yang biasa dilesapkan dalam terjemahan Bsa adalah ﺎﻣ huruf tambahan, seperti pada ayat 26 surah al-Baqarah: ﹰﺔﺿﻮﻌﺑ ﺎﻣ ﹰﻼﹶﺜﻣ // perumpamaan seekor nyamuk; ﺎﻣ masdariyyah, seperti pada ayat 13 surah al- Baqarah:

ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻦﻣﺁ ﺎﻤﹶﻛ ﺍﻮﻨِﻣﺁ // berimanlah sebagaimana orang lain telah beriman; ﺎﻣ syartiyyah, seperti pada ayat 106: ٍﺔﻳﺁ ﻦِﻣ ﺦﺴﻨﻧ ﺎﻣ // Ayat yang Kami

batalkan. Partikel ﺎﻣ pertama, seperti pada ayat 26 terletak di antara badal (kata pengganti), yakni ba’ûdah dan mubdal minh (kata yang digantikan), yakni matsalan. Sehubungan partikel tersebut dinilai sebagai huruf tambahan,

64 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 50. Lihat juga Bahjat ‘Abd al-Wâh id Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Murattal (Amman: Dâr al-Fikr, 1998), jilid 1, h. 17.

maka partikel tersebut dilesapkan dan makna terjemahannya menjadi matsalan ba’ûdah. 65 Sedangkan partikel ﺎﻣ kedua, seperti pada ayat 13 terletak sebelum

klausa verbal tanpa relasi kata atau makna yang kembali kepada partikel tersebut, dan partikel ini disebut ﺎﻣ masdariyyah. Partikel tersebut dilesapkan

dan makna terjemahannya menjadi 66 ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻥﺎﳝﺈﻛ . Kemudian partikel ﺎﻣ ketiga, seperti pada ayat 106 terletak sebelum klausa verbal dan antara keduanya

tidak terdapat relasi kecuali relasi makna, yakni frasa preposisional sebagai

penjelas partikel ﺎﻣ . Kebanyakan preposisi ﻦﻣ yang terletak setelah partikel ﺎﻣ

67 berfungsi sebagai penjelas, karena maknanya yang terlalu samar. Dengan

demikian, semua partikel tersebut di atas mengalami penghapusan atau pelesapan dalam terjemahan.

5. Penggantian (Replacement) Penggantian yang dimaksud dalam terjemahan adalah menggantikan

satuan gramatikal Bsu dengan satuan gramatikal yang lain dalam Bsa. Penggantian tersebut dimaksudkan untuk menjadikan teks terjemahan lebih efektif. Di antara satuan gramatikal Bsu yang dapat digantikan adalah kata

sarana atau partikel. Kata sarana konjungtif, yakni partikel ﻭ biasanya diganti dengan tanda baca koma dalam Bsa, seperti pada ayat 83 surah al-Baqarah:

ِﲔِﻛﺎﺴﻤﹾﻟﺍﻭ ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍﻭ ﻰﺑﺮﹸﻘﹾﻟﺍ ﻱِﺫﻭ ﹰﺎﻧﺎﺴﺣِﺇ ِﻦﻳﺪِﻟﺍﻮﹾﻟﺎِﺑﻭ . Pada ayat ini terdapat empat partikel ﻭ yang fungsinya menghubungkan makna kata atau klausa yang terletak sesudahnya dengan kata atau klausa sebelumnya. Kata sarana

65 Al-Zajjâj, Ma’ânî al-Qurân wa I’râbuh, jilid 1, h. 70. Ada beberapa partikel ﺎﻣ yang dianggap sebagai huruf tambahan selain yang terletak seperti di atas, misalnya partikel ﺎﻣ yang terletak

setelah kata qalîlan, seperti pada ayat 88 surah al-Baqarah: ﹶﻥﻮﻨِﻣﺆﻳ ﺎﻣ ﹰﻼﻴِﻠﹶﻘﹶﻓ // tetapi sedikit sekali mereka yang beriman. Lihat, Muhammad Ahmad Khidîr, ‘Alâqah al-Zawâhir al-Nahwiyyah bi al-Ma’nâ fi al- Qurân al-Karîm (Kairo: Maktabah Anglo al-Misriyyah, t.t.) h, 83.

66 Bahjat ‘Abd al-Wâhid Sâlih, al-I’râb al-Mufassal li Kitâb Allâh al-Murattal , jilid 1, h. 20. 67 Jamâl al-Dîn Ibn Hisyâm al-Ansâriy, Awdah al-Masâlik ilâ Alfiyyah Ibn Mâlik (Beirut: al-

Maktabah al-‘Asriyyah, 1994), jilid 3, h. 21.

konjungtif Bsu yang sering digunakan untuk itu adalah partikel ﻭ . Kalimat yang di dalamnya terdapat satuan kata sarana konjungtif biasanya diterjemahkan apa adanya, kecuali terdiri dari beberapa kata sarana konjungtif

yang sama seperti pada ayat di atas. Dengan demikian, penggantian partikel ﻭ dengan tanda koma perlu dilakukan agar kalimat itu menjadi efektif, karena tidak melakukan pengulangan kata yang sama. Penggantian tersebut

menunjukkan bahwa kalimat itu paralel dan hemat, padahal keparalelan dan kehematan merupakan di antara syarat yang harus dipenuhi dalam kalimat

68 efektif. Sehingga melalui penggantian, terjemahan ayat itu menjadi “ Dan

berbuat baiklah kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin.”

Penggantian juga terjadi pada beberapa kelas kata yang dilesapkan maknanya namun kemudian diganti dengan kelas kata lainnya. Kelas kata itu

antara lain nomina dalam bentuk pronomina (kata ganti) yang menempati posisi sebagai pronomina pemisah antara S (musnad ilaih) dan P (musnad). Contohnya dapat ditemukan dalam beberapa ayat surah al-Baqarah, misalnya pada ayat 5: ﹶﻥﻮﺤِﻠﹾﻔﻤﹾﻟﺍ ﻢﻫ ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ ; dan ayat 37: ﻢﻴِﺣﺮﻟﺍ ﺏﺍﻮﺘﻟﺍ ﻮﻫ ﻪﻧِﺇ . Kata yang bergaris bawah pada dua contoh tersebut adalah pronomina pemisah yang dilesapkan maknanya, kemudian untuk menunjukkan ketegasan maknanya kelas kata itu diganti dengan partikel –lah. Sehingga terjemahan kedua ayat tersebut menjadi “Sungguh Dialah Penerima taubat, Maha Penyayang” dan “Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” Penggantian dengan

68 Lihat, Lamuddin Finoza, Komposisi Bahasa Indonesia, h. 148.

partikel –lah pada dua contoh tersebut dimaksudkan untuk menegaskan makna. 69

Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Terjemahan al- Quran Depag RI ternyata juga memiliki strategi terjemahan baik strategi struktural

maupun semantis. Kedua strategi tersebut dimaksudkan untuk menerjemahkan kata- kata atau kelompok kata, atau kalimat penuh bila kalimat tersebut tidak bisa dipecah lagi menjadi unit yang lebih kecil untuk diterjemahkan.

Strategi struktural dan strategi semantis merupakan jenis strategi utama dalam terjemahan. Pertama adalah strategi yang berkenaan dengan struktur kalimat. Strategi ini bersifat wajib diupayakan, sebab jika tidak maka hasil terjemahannya akan tidak berterima secara struktural di dalam Bsa. Jenis kedua adalah strategi yang langsung terkait dengan makna kata atau kalimat yang diterjemahkan.

69 -lah merupakan partikel yang gunanya untuk menekankan kata yang di depannya baik yang mengandung arti suruhan, penguatan maksud, penunjuk aspek dsb. Lihat, W.J.S. Poerwadarminta,

Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 550.