PADANAN LEKSIKAL

B. PADANAN LEKSIKAL

Bagaimanapun, sebuah terjemahan adalah kreasi dan ijtihad manusia yang tidak luput dari kekurangan. Faktor eksternal juga sangat mempengaruhi dalam terjemahan, yakni bahasa yang akan digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan teks Bsu. Karena itu, tugas penerjemah tidak hanya menyampaikan pesan atau makna teks, melainkan juga menyusunnya dalam Bsa serta memperbaiki kekurangan-kekurangannya akibat tidak berterima oleh pembaca. Oleh karena itu, agar bisa dipahami oleh kalangan umum, para penerjemah al-Quran Depag sepakat untuk tidak menggunakan bahasa ilmu sosial yang sedang berkembang

saat ini, tetapi lebih memilih bahasa Indonesia yang sederhana. 79 Terjemahan al-Quran Depag RI juga tidak berbeda jauh dengan

terjemahan-terjemahan pada umumnya. Harus diketahui bahwa menerjemahkan

78 Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, h. 42. 79 Ahsin Sakho Muhammad, “ Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen

Agama ”, h. 162.

satu ungkapan al-Quran berarti juga menafsirkan terhadap ungkapan tersebut. Jika ungkapan al-Quran tersebut mempunyai beberapa kemungkinan arti, maka penerjemah harus memilih salah satu saja dari sekian arti tersebut. Tidaklah elok,

apabila semua arti tersebut dikemukakan secara keseluruhan. Untuk itu, terjadi tarik ulur antara satu penerjemah dengan penerjemah lainnya. 80

Sehubungan hal itu, antara kata dan arti atau makna tidak bisa dipisahkan dan itulah yang dibicarakan oleh semantik leksikal yang menekankan kajian makna pada tingkat kata. 81 Dengan demikian, kata merupakan momen kebahasaan

yang bersama-sama dalam kalimat untuk menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi.

Melihat kenyataan yang terdapat di dalam al-Quran maupun terjemahannya bentukan kata dapat dibagi atas: 1) bentuk dasar (leksem) yang bermakna leksikal,

2) paduan leksem, 3) bentuk imbuhan, 4) bentuk berulang, 5) bentuk majemuk, 6) bentuk yang terikat dengan konteks kalimat.

1. Leksem dan makna leksikal Setiap kata mempunyai bentuk, dan dalam beberapa hal, ada kata yang memiliki bentuk dasar yang oleh para linguis disebut 82 leksem. Leksikal adalah

bentuk ajektif yang diturunkan dari bentuk nomina leksikon (vokabuler, kosakata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah leksem, yaitu

satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon disamakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat dipersamakan dengan

80 Ahsin Sakho Muhammad, “ Aspek-aspek Penyempurnaan Terjemah dan Tafsir Departemen Agama ”, h. 156.

81 Verhaar berkata, “Perbedaan antara leksikon dan gramatikal menyebabkan bahwa dalam semantik kita bedakan pula antara semantik leksikal dan semantik gramatikal.” Mengenai semantik

leksikal tidak terlalu sulit: sebuah kamus merupakan contoh yang tepat untuk semantik leksikal; makna tiap kata diuraikan di situ. Lihat, Verhaar, Pengantar Linguistik (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1983), h. 9.

82 P.H. Mattews, Morphology an Introduction to The Theory of Word Structures (Cambridge: Cambridge University Press, 1972), h. 22.

kata. 83 Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata.

Kemudian, makna leksikal juga dapat dikatakan makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau

makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Umpamanya kata jannah makna leksikalnya adalah taman yang memiliki pepohonan sehingga

bumi tertutupinya. 84 Jannah dalam bentuk tunggal yang diartikan kebun dalam

surah al-Baqarah hanya terdapat pada dua ayat, yakni ayat 265 dan 266: ِﻞﹶﺜﻤﹶﻛ ﹲﻞِﺑﺍﻭ ﺎﻬﺑﺎﺻﹶﺃ ٍﺓﻮﺑﺮِﺑ ٍﺔﻨﺟ

// seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat. Sedangkan jannah yang diartikan surga bisa

berbentuk tunggal dan jamak. Namun jannah yang mempunyai arti surga secara umum dinyatakan dalam bentuk jamak, yakni jannât seperti pada ayat

25: ﺭﺎﻬﻧﹶﺄﹾﻟﺍ ﺎﻬِﺘﺤﺗ ﻦِﻣ ﻱِﺮﺠﺗ ٍﺕﺎﻨﺟ ﻢﻬﹶﻟ ﱠﻥﹶﺃ // sesungguhnya mereka disediakan

surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Menurut Ibn ‘Abbâs jannah yang berarti surga seringkali dijamakkan, karena keberadaan surga itu jumlahnya tujuh, yaitu al-Firdaus, ‘Adn, al-Na’îm, Dâr al-Khuld, al-Ma`wâ`,

Dâr al-Salâm dan ‘Illiyyîn. 85 Sebenarnya yang terjadi adalah pepohonan pada pengertian kebun, lalu digunakan secara metaforis, perbandingan. Yang

diperbandingkan adalah pepohonan sebagai komponen utama kebun, sehingga surga diserupakan dengan kebun atau taman di bumi, meskipun antara keduanya terdapat perbedaan.

Makna yang dimaksud di sini adalah bentuk yang sudah dapat diperhitungkan sebagai kata. Dalam kata-kata al-Quran terdapat kata kharaja, dan kata ini menghasilkan bentuk kata turunan menjadi khurija, akhraja,

83 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 60. 84 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 105.

85 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 106.

kharraja, takharraja dan istikhraja. Demikian pula dalam terjemahannya, kata keluar dapat menghasilkan kata turunan mengeluarkan, dikeluarkan. Dua kata tadi, yakni kharaja dan keluar telah memiliki makna leksikal, dan demikian

pula kata turunannya. Dan bentuk-bentuk kata ini dapat ditemukan di dalam kamus bahasa. Jadi, makna dalam leksem di sini adalah makna leksikal yang terdapat dalam leksem yang berwujud kata, yang makna leksikalnya dapat

dicari dalam kamus.

2. Bentuk paduan leksem dan maknanya

Kata-kata al-Quran yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga banyak ditemukan yang berbentuk paduan leksem, yakni gabungan dua leksem atau lebih yang diperhitungkan sebagai kata. 86

Pada bagian ini, penulis ambil beberapa contoh paduan leksem yang terdapat di dalam surah al-Baqarah dalam bentuk kata Bsu dan terjemahannya

menurut terjemahan al-Quran Depag, di antaranya: Inti

Ahl al-Kitâb

Ahli Kitab

(b) Millah

Millah Ibrâhîm

Agama Ibrahim

(c) Maqâm

Maqâm Ibrâhîm

Maqam Ibrahim

(e) Wajh

Wajh Allâh

Rida Allah

Kata Ahl secara leksikal berarti famili, keluarga, kerabat. Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia di samping bermakna famili, keluarga juga bermakna orang yang mahir dalam sesuatu ilmu (pengetahuan,

kepandaian). 87 Dan al-Kitâb merupakan kata yang memiliki makna kognitif

86 Harimurti Kridalaksana, Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 104.

87 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h. 19.

dan emotif , 88 yakni makna kognitif jika diartikan buku, kitab. Sedangkan makna emotifnya bisa bermacam-macam kitab, seperti kitab al-Quran, kitab

Injil dan Taurat, sebagaimana kata kitâb banyak disebut-sebut dalam al-Quran. Kata Ahl al-Kitâb itu sendiri juga banyak disebutkan dalam al-Quran

sebanyak 31 kali. Delapan surah masuk kategori Madaniyah dan satu surah Makkiyah. Dari beberapa surah yang menceritakan Ahl al-Kitâb itu dapat

dirujukan kepada umat yang beragama Yahudi, Nasrani, dan agama lain seperti Sabiin dan Majusi serta agama lainnya di luar Islam. 89

Sedangkan Ahli Kitab menurut kamus bahasa Indonesia mengandung dua pengertian, yaitu: (1) orang-orang yang berkitab suci; (2) orang yang ahli dalam pengetahuan kitab suci. 90 Dengan demikian, terdapat kesepadanan

leksikal, yaitu kitab. Ia termasuk kata bebas, yakni kata yang dapat berdiri sendiri dalam ujaran tanpa mendapat imbuhan atau tanpa di dampingi kata

yang lain, serta kata bebas maknanya bisa bergeser apabila kata tersebut berada di dalam kalimat. 91

Millah mengandung makna leksikal syariat agama (al-Syarî’ah fî al- Dîn) dan agama (al-Dîn). 92 Baik kata millah maupun al-Dîn keduanya

diterjemahkan dengan agama. Padahal makna keduanya berbeda, yakni kata al-Dîn diungkapkan untuk menyatakan ketaatan dan ketundukan kepada syari’at. 93 Kata millah adalah nama syariat Allah untuk dilaksanakan oleh para

88 Makna kognitif disebut juga makna deskriptif atau denotatif adalah makna yang menunjukkan adanya hubungan antara konsep dengan dunia kenyataan. Ini berarti makna tersebut

memiliki acuan (referent) sesuatu yang telah disepakati oleh masyarakat, karena itu makna kognitif disebut juga makna referensial. Sedangkan makna emotif adalah makna yang melibatkan perasaan (pembicara dan pendengar; penulis dan pembaca). Lihat, T. Fatimah Djajasudarma, Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna (Bandung: Refika Aditama, 1999), h. 11.

89 M. Yudhie R. Haryono, Bahasa Politik al-Quran (Bekasi: Gugus Press, 2002), h. 239. 90 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 19. 91 Mansoer Pateda, Semantik Leksikal (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 139.

92 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1360.

93 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 181.

hamba-Nya melalui para nabi. 94 Perbedaannya bahwa kata millah tidak disandarkan kecuali hanya pada nabi tertentu, seperti pada ayat 135 surah al-

Baqarah: ﹰﺎﻔﻴِﻨﺣ ﻢﻴِﻫﺍﺮﺑِﺇ ﹶﺔﱠﻠِﻣ ﹾﻞﺑ ﹾﻞﹸﻗ // katakanlah: “Tidak! Tetapi kami mengikuti agama Ibrahim yang lurus. Bahkan hampir tidak ditemukan kata millah

disandarkan pada nama Allah, apalagi kepada umat nabi. Kata Maqâm diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menurut transliterasinya, karena sulit untuk dicarikan padanannya, sehingga kata tersebut dijelaskan dalam catatan kaki. Hal itu disebabkan oleh makna yang

terkandung dalam kata Maqâm tidak ditemukan padanannya. Meskipun, bahasa Indonesia memiliki kata makam, kata ini tidak bisa dipadankan, karena

kata makam mempunyai arti (1) tempat tinggal, kediaman ; (2) kubur, permakaman. 95 Padahal Maqâm yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah

batu yang dijadikan tempat berdiri nabi Ibrahim saat membangun Ka’bah. 96 Wajh pada asalnya adalah al-Jârihah (anggota tubuh). Ketika wajh

diartikan muka, maka anggota tubuh itulah yang pertama kali menghadap. 97 Inilah yang dinamakan makna leksikal.

Kata nominal wajh seperti pada ayat 115 dan 272 surah al-Baqarah diterjemahkan dengan arti yang berbeda. Pada ayat 115 diterjemahkan dengan wajah, maksudnya adalah arah Allah (al-Jihah); dan pada ayat 272 diterjemahkan dengan rida (mardât Allah). Meskipun kata yang sama tersebut diterjemahkan dengan terjemahan yang berbeda, pada esensinya kedua kata tersebut disandarkan pada Allah. Sehingga arah Allah yang dimaksudkan

adalah arah yang diridai Allah dan diperintahkah untuk menghadapnya. 98

94 Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 476. 95 W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 622. 96 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid I, h. 83. 97 Lihat, Al-Husain Ibn Muhammad al-Asfahâniy, al-Mufradât fî Gharâ`ib al-Qurân, h. 529.

Lihat juga W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, h. 1145. 98 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir (Beirut: Dar al-Fikr, 2001), jilid I, h. 78.

Sedangkan wajh yang diterjemahkan rida Allah termasuk metaphora (majâz mursal), meskipun yang dinyatakan itu sebagian (wajh) namun yang dimaksudkan adalah keseluruhan. Inilah yang diistilahkan dalam retorika

bahasa Arab dengan majâz mursal 99 ‘alâqatuhu al-Juz`iyyah.

3. Bentuk kata berimbuhan dan maknanya Setiap leksem atau kata yang mendapatkan imbuhan akan mengakibatkan munculnya makna baru. Bahkan Ibn Jinniy mengakui adanya makna tambahan dari makna kata dasar karena adanya tambahan huruf atau

100 harakat.

Baik kata-kata yang terdapat di dalam al-Quran maupun bahasa Indonesia tidak jauh berbeda mengenai perubahan makna akibat imbuhan itu.

Sehingga kata-kata berimbuhan dalam al-Quran menjadikan kata-kata terjemahanpun berbeda dengan leksem atau kata sebelumnya.

Kebanyakan kata-kata nominal dan verbal Bsu yang mengalami derivasi dan fleksi akan mengalami perubahan makna. Misalnya kata nominal yang ditambahkan ta` marbutah akan berpengaruh terhadap makna, yang semula

maskulin berubah menjadi feminin. Namun tidak semua kata yang ditambahkan ta` marbutah menjadi feminin, seperti kata kitâbah yang berarti tulisan. Untuk itu, imbuhan kata nominal maupun verbal Bsu terdiri dari

morfem bebas dan morfem terikat. Penambahan itu bisa dilakukan dengan cara derivasional (isytiqâqiy) maupun flektif (i’râbiy), seperti contoh berikut ini:

a. Qatala : yaqtulu, qatlah, qitlah, qâtil, maqtûl dan seterusnya.

b. Qatala-yaqtulu : qâtala-yuqâtilu, taqâtala-yataqâtalu, iqtatala-yaqtatilu .

c. Sâdiq : Sâdiqân, Sâdiqûn, Sâdiqah, Sâdiqatân, Sâdiqât.

99 Al-Sâbûniy, Safwah al-Tafâsir, jilid I, h. 91. 100 Abû al-Fath ‘Utsmân Ibn Jinniy, al-Khasâis (Kairo: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1957), jilid I, h. 223.

Contoh pada (a) Qatala verba perfektif dengan makna (telah membunuh); beralih kepada bentuk berikutnya yaitu verba imperfektif dengan imbuhan huruf yâ` dengan makna (akan / sedang membunuh); kemudian dua

kata berikutnya adalah bentuk masdar dengan imbuhan tâ` marbûtah dengan makna (pembunuhan): Qâtil dan Maqtûl adalah ism al-Fâ’il dan ism al-Maf’ûl masing-masing memiliki makna ( orang yang membunuh atau pembunuh) dan

(orang yang terbunuh). Penambahan sejenis ini dinamakan perubahan secara derivasional (isytiqâqiy).

Sedangkan contoh (b) adalah imbuhan yang terjadi pada verba, sehingga yang asalnya verba tersebut terdiri dari tiga huruf dasar menjadi beberapa

empat dan lima huruf. Masuknya imbuhan pada verba akan mempengaruhi maknanya, seperti yang digambarkan dengan jelas serta perbedaan maknanya nampak sekali, jika dilihat dari segi terjemahannya seperti pada ayat 154 surah al-Baqarah : ... ﹸﻞﺘﹾﻘﻳ ﻦﻤِﻟ ﺍﻮﹸﻟﻮﹸﻘﺗ ﻻﻭ // Dan janganlah kamu mengatakan orang-orang yang terbunuh ...191:

ﻢﻫﻮﹸﻠِﺗﺎﹶﻘﺗ ﻻﻭ // Dan janganlah kamu perangi mereka ;ayat 253: ﺍﻮ ﹸﻠﺘﺘﹾﻗﺍ ﺎﻣ ﻪﱠﻠﻟﺍ َﺀﺎﺷ ﻮﹶﻟﻭ // kalau Allah menghendaki tidaklah mereka berbunuh-bunuhan.

Kemudian, contoh (c) adalah bentuk nomina yang perubahannya secara inflektif, di mana imbuhan-imbuhan yang terletak di akhir kata itu akan

menjadi penentu dalam kalimat dari segi perubahan akhir kata (i’râb). Contohnya pada ayat 23 surah al-Baqarah: ﲔِﻗِﺩﺎﺻ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﹾﻥِﺇ // Jika kamu orang- orang yang benar. Kata ﲔِﻗِﺩﺎﺻ adalah bentuk jamak maskulin, sehingga

terjemahannya ditunjukkan dengan cara reduplikasi. Dengan demikian, bahwa kata-kata Bsu yang mengalami imbuhan tersusun dari tiga morfem, yaitu: (1) morfem hurr (bebas), seperti qatala, sâdiq; (2) morfem muqayyad isytiqâqiy (terikat), seperti huruf yâ` pada verba terjemahannya ditunjukkan dengan cara reduplikasi. Dengan demikian, bahwa kata-kata Bsu yang mengalami imbuhan tersusun dari tiga morfem, yaitu: (1) morfem hurr (bebas), seperti qatala, sâdiq; (2) morfem muqayyad isytiqâqiy (terikat), seperti huruf yâ` pada verba

yaitu morfem terikat yang terletak di awal atau pertengahan kata dan morfem yang terletak di akhir sebagai tanda perubahan (i’râb). 101

4. Bentuk kata berulang dan maknanya Bentuk kata berulang banyak digunakan oleh Bsa, sementara Bsu tidak menggunakannya kecuali untuk menegaskan (taukîd) kata yang dimaksud. 102

Kata berulang atau reduplikasi merupakan pengulangan satuan gramatik, baik seluruhnya maupun sebagiannya, baik dengan variasi fonem maupun tidak. 103

Adapun pengulangan bentuk kata Bsa mengandung beberapa makna, antara lain: 1) menyatakan banyak (jamak). Kata-kata Bsu yang dianggap jamak dipadankan secara leksikal dengan pengulangan kata, seperti al- Khâsyi’ûn/ al-Khâsyi’în // orang-orang yang khusyuk bermakna banyak orang yang khusyuk, al-Malâikat // malaikat-malaikat bermakna banyak malaikat , Syayâtîn // setan-setan bermakna banyak setan; 2) menyatakan bermacam- macam, seperti tsamarah // buah-buahan; 3) menyatakan perbuatan yang disebutkan pada leksem dilaksanakan berulang-ulang, seperti yastahzi`u // memperolok-olokkan, ya’mahûn // terombang-ambing. 4) menyatakan paling, tingkat yang paling tinggi yang dapat diperoleh, seperti asyadd al-‘Adzâb// siksa yang seberat-beratnya yang bermakna siksa yang paling berat.

5. Bentuk kata majemuk dan maknanya

101 Morfem utuh dinamakan juga morfem bebas, yakni morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam pertuturan, seperti rumah, satu. Sedangkan morfem terbagi adalah sebuah

morfem yang terdiri dari dua buah bagian yang terpisah, seperti kata rumah menjadi perumahan; satu menjadi kesatuan. Lihat, Abdul Chaer, Linguistik Umum, h. 153.

102 Pengulangan kelas kata yang sama baik berupa nomina maupun verba dimaksudkan untuk menegaskan. Penegasan bisa dilakukan dengan mengulang kata yang sama, klausa atau kalimat yang

sama. Lihat, Mustafâ al-Ghalâyainiy, Jâmi’ al-Durûs al-‘Arabiyyah, jilid III, h. 232. 103 M. Ramlan, Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif (Yogyakarta: CV. Karyono, 1983), h. 55.

Ramlan mendefinisikan kata majemuk adalah kata yang terdiri dari dua kata sebagai unsurnya. 104 Dari batasan ini, makna yang muncul bukanlah

gabungan makna pada tiap unsurnya, melainkan makna lain dari unsur yang membentuknya. Misalnya rumah sakit. Kata rumah mempunyai makna

leksikal, kata sakit mempunyai makna leksikal, tetapi yang dimaksud dengan makna rumah sakit adalah rumah tempat orang sakit.

Dengan demikian, kata majemuk dapat ditelusuri melalui kategori kata yang membentuknya. Kemudian, yang perlu diketahui di sini, adalah kata-kata

105 Bsu yang dipadankan secara leksikal dalam bentuk kata majemuk.

Adapun makna yang terkandung dalam kata majemuk antara lain: (a) waktu, seperti syahr Ramadân// bulan Ramadan; (b) warna, seperti al-Khait al-Abyad// benang putih; (c) bentuk, seperti al-Ahillah // bulan sabit; (d) dan,

seperti dzurriyyah // anak cucu; (e) dari, seperti lahm al-Khinzîr// daging babi. Berdasarkan contoh-contoh dan maknanya di atas, maka tidak semua kata majemuk (tarkîb) Bsu dapat dipadankan secara leksikal dengan padanan

kata majemuk Bsa lagi, karena seringkali kata majemuk (tarkîb) Bsu hanya merupakan paduan leksem dalam Bsa, seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, atau merupakan kata majemuk itu sendiri.

6. Bentuk kata yang terikat dengan konteks kalimat Padanan kata dan maknanya dalam Bsu maupun Bsa tidak selamanya mengacu pada makna leksikal, tetapi banyak kata-kata yang dapat ditentukan

maknanya jika kata itu telah berada dalam satuan yang disebut kalimat. Itu sebabnya kata-kata seperti itu disebut kata yang terikat konteks, sebagaimana

M. Ramlan, Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif , h. 145.

Ada beberapa ciri yang dapat membedakan kata majemuk dengan unsur lainnya, antara

lain: (1) tidak dapat diperluas, (2) tidak dapat disela, (3) tidak dapat diubah strukturnya, (4) tidak dapat dijauhkan. Lihat, Hasan Alwi, dkk., Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Jakarta: Depdikbud, 1993),

h. 165.

yang penulis jelaskan sebelumnya bahwa kata yang maknanya terikat dengan konteks adalah kata sarana. Kata sarana bukanlah merupakan kata yang mandiri dan tidak mempunyai makna leksikal. Oleh karena itu, dia harus

disandingkan dengan kata utama lainnya, seperti nomina dan verba. 106 Adapun makna kata yang berdampingan dengan nomina antara lain: (a)

pembatasan, seperti kata hanya dan saja. Contohnya pada ayat 102: Sesungguhnya kami hanyalah cobaan; (b) tempat berada, seperti kata di,

pada, dalam. Contohnya pada ayat 11: Janganlah berbuat kerusakan di

bumi; (c) asal, seperti kata dari. Contohnya pada ayat 4: Mereka mendapat petunjuk dari Tuhannya; (d) hal atau perkara, seperti kata tentang. Contohnya

pada ayat 189: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit; (e) batas tempat dan waktu, seperti kata sejak, hingga. Contohnya pada ayat 187: Kemudian sempurnakanlah puasa hingga (datang) malam.

Sedangkan makna kata yang berdampingan dengan verba antara lain: (a) pembatasan, seperti kata hanya dan saja. Contohnya pada ayat 169: Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji; (b) pengingkaran, seperti kata tidak. Contohnya pada ayat 48: Dan mereka tidak akan ditolong; (c) berbagai aspek, seperti kata telah, sedang, akan. Contohnya pada ayat 47: Dan sungguh Aku telah melebihkan kamu dari semua umat yang lain di alam ini.

Demikian leksikal dan maknanya dalam terjemahan al-Quran yang semestinya dicarikan padanannya, untuk lebih mengetahui sejauh mana

Kata sarana pada umumnya memiliki karakteristik sendiri, antara lain: (1) urutannya terletak sebelum kelas kata lainnya, (2) persandingannya dengan kata lain tidak bisa dipisahkan dalam kalimat, (3) relasi maknanya mengubah makna leksikal menjadi makna fungsi, (4) makna kalimat menjadi berubah dengan kehadirannya, (5) penulisannya menjadi berubah ketika dia bersambungan atau tidak bersambungan dengan nomina, seperti preposisi dalam bahasa Arab yang bersambungan dengan pronomina persona dan dengan non pronomina persona. Karakteristik yang kelima ini tidak dimiliki oleh bahasa lainnya, kecuali bahasa Arab. Lihat Tammâm H assân, al-Lughah al-‘Arabiyyah: Ma’nâhâ wa Mabnâhâ, (Kairo: ‘Âlam al-Kutub, 1998), h. 125-127.

perbedaan dan persamaan itu harus dibuktikan dengan contoh-contoh dan alasan yang sesuai menurut kaidah-kaidah kebahasaan. Begitu pula al-Quran yang memuat berbagai macam leksem atau kata mengandung berbagai macam

makna (multi makna) yang dikontrastifkan dengan bahasa terjemahannya, yakni bahasa Indonesia. Sehingga, keterpaduan antara kata dan makna dapat

dipahami dengan mudah oleh para pembaca, yang sekiranya mereka membaca terjemahan seperti membaca teks aslinya.