Kualitas Terjemahan Dan Kelembagaannya
D. Kualitas Terjemahan Dan Kelembagaannya
Terjemahan dapat dibagi atas dua jenis, yakni: (1) terjemahan tertulis yang dilakukan oleh orang yang disebut “penerjemah”, dan (2) terjemahan lisan yang
dilakukan oleh orang yang disebut “juru bahasa”. 62 Dalam terjemahan tertulis maupun lisan, penerjemah dituntut agar bertanggung jawab terhadap pesan yang
terkandung dalam teks sumber, sehingga mampu dialihkan secara betul dan berterima bagi pembacanya. Tanggung jawab yang besar itu menyebabkan
penerjemah atau juru bahasa harus memiliki kemampuan profesional yang tinggi. Profesionalisme penerjemah, menurut Hoed dapat dilihat dari empat faktor penting, yakni (1) pengetahuan umum, (2) keingintahuan dan berjiwa peneliti (curiosity and research), (3) intelejensia, dan (4) retorika (kemampuan mengolah
bahasa). 63 Dengan demikian, penerjemahan bukan pekerjaan asal-asalan. Dan upaya untuk mengembangkan dan memajukan dunia terjemahan, harus dilakukan
peningkatan dan pengendalian kualitas penerjemah, serta upaya agar etik sebagai moral profesional selalu dijaga dalam kegiatan penerjemahan.
Demikian pula kualitas terjemahan al-Quran secara umum dilihat dari penerjemahnya. Misalnya terjemahan al-Quran di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh kalangan intelektual muslim baik yang berasal dari pendidikan pesantren maupun akademis. Secara historis, sejak abad ke-17 M, di Indonesia
61 M. Rudolf Nababan. Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 9.
62 Terjemahan tertulis ( written translation) dan terjemahan lisan ( oral translation) merupakan jenis terjemahan yang sudah terkenal dan bisa berdiri sendiri serta telah menjadi jenis terjemahan
profesional yang mencakup jenis terjemahan semua ragam bahasa. Kemudian terjemahan lisan dibagi lagi menjadi terjemahan lisan konsekutif (disampaikan secara berurutan-perkalimat atau peralinea) dan terjemahan lisan simultan. Salihen Moentaha, Bahasa dan Terjemahan, h. 31.
63 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 117.
telah muncul upaya penerjemahan al-Quran yang pertama kali oleh ‘Abd al-Ra’ûf al-Sinkiliy (1615-1693 M) dengan nama Tarjumân al-Mustafîd. 64
Menyusul kemudian, pada akhir tahun 1920-an mulai muncul beberapa literatur berbahasa Melayu yag mencoba untuk memberikan kemudahan dalam berinteraksi dengan al-Quran. Di era ini, Mahmud Junus telah memulai menerjemahkan al-Quran yang ditulis dalam tulisan Jawi (bahasa Indonesia atau
Melayu yang ditulis dengan tulisan Arab). 65 Ahmad Hassan, pada tahun 1928, juga telah memulai menerjemahkan al-Quran. Menjelang tahun 1940 ia telah
menyelesaikan terjemahannya hingga surah Maryam. 66
Pada masa orde lama, bermunculan beberapa terjemahan al-Quran yang disertai dengan penjelasannya yang kemudian masuk pada kelompok literatur tafsir Indonesia. Misalnya tafsir al-Azhar karya Hamka atau Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amirullah yang disusun sejak tahun 1962 dan diterbitkan pada tahun 1967, tafsir An-Nur dan kedua adalah tafsir Al-Bayan oleh Teungku
Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 67
64 ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkiliy hidup dalam enam periode kesultanan Aceh, yaitu periode Sultan Iskandar Muda (1607-1636), Sultan Iskandar Tsani (1636-1640), Sultanah Taj al-‘Alam Safiyat al-Din
Syah (1641-1675), Sri Sultan Nur al-‘Alam Nakiyat al-Din Syah (1675-1678), Sultanah Inayat Syah Zakiyat al-Din Syah (1678-1688) dan Sultanah Kamalat Syah (1688-1699). Keempat penguasa yang terakhir ini adalah sultan perempuan yang di dalam kepemimpinan merekalah ‘Abd al-Ra’uf menjadi seorang mufti. Lihat, Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Idiologi (Jakarta: Teraju, 2003), h. 40.
65 Pada tahun 1922, Junus telah menerbitkan tiga bab dari karyanya. Ketika itu pada umumnya sarjana muslim di Indonesia menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran adalah haram.
Beberapa tahun kemudian, ketika menjadi seorang mahasiswa di Universitas al-Azhar, Mesir, menurut salah seorang dosennya menyatakan bahwa menerjemahkan al-Quran hukumnya boleh, bahkan bisa fardlu kifayah. Atas dasar itu, Junus mendapat semangat baru untuk melanjutkan usahanya itu pada bulan Ramadan tahun 1354 H (1935 M) dan pada tahun 1938, tamatlah terjemahan al-Quran tiga puluh serta tafsirnya. Lihat, Mahmud Junus, Tafsir Quran Karim (Djakarta: Al-Hidajah, 1971), h. iii.
66 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 49 67 Tafsir Al Bayan termasuk tafsir generasi ketiga yaitu mulai muncul pada tahun 1970-an, dan merupakan penafsiran yang lengkap. Howard M. Federspiel, Kajian Al-Qur'an di Indonesia: dari Mahmud Yunus hingga Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1994), hal. 137. Sedangkan menurut Ishlah, tafsir ini masuk kategori generasi kedua karena dicetak pada tahun 1966 oleh PT Al-Ma'arif Bandung. Tafsir ini merupakan wujud ketidak puasannya terhadap karya tafsir yang pertama. Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia: dari Hermeneutika hingga Idiologi , hal. 60
Kemudian, muncul terjemahan al-Quran berikutnya pada masa orde baru, yakni terjemahan al-Quran Depag RI. Terjemahan tersebut telah mengalami terbitan kali ketiga, yaitu edisi 1970, 1989 dan 2002. Sebenarnya, Terjemahan al- Quran edisi 1970 penerbitannya tidak dilakukan tepat pada tahun 1970, melainkan terbitan perdananya pada tahun 1965, tepatnya tanggal 17 Agustus, mulai dari juz
1 hingga juz 10. Kemudian terbitan berikutnya mulai dari juz 11 hingga juz 20 dilakukan pada tanggal yang sama dengan tahun yang berbeda, yaitu tahun 1967. Dan pada tahun 1970, tepatnya tanggal 1 Januari, terbitan terakhir mulai dari juz
21 hingga 30 dapat diselesaikan. 68 Penerjemahan dan penerbitan awal terjemahan
al-Quran Depag RI ini langsung ditangani oleh pemerintah sekaligus sebagai fasilitator melalui Departemen Agama RI. Adapun tiga hal penting yang melatarbelakangi terjemahan al-Quran itu dilakukan, yaitu: (1) Adanya keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan No. II/ MPRS/ 1960 tentang Garis-garis besar pola pembangunan semesta berencana tahapan pertama 1961-1969 lampiran A 4 Agama/ Kerohanian: Menerjemahkan kitab-kitab suci ke dalam bahasa Indonesia; (2) Menghadirkan terjemahan al-Quran agar dipahami kandungan al-Quran bagi masyarakat muslim yang belum mengerti bahasa Arab; dan (3) Melalui terjemahan al-Quran ke dalam bahasa Indonesia tersebut bisa memberikan kemudahan bagi masyarakat muslim yang sudah memahami bahasa Arab namun lemah dalam menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
susunan bahasa Indonesia yang baik dan benar. 69 Kemudian, untuk pengadaan aktivitas dan peningkatan efektifitas
terjemahan dibentuklah satu lembaga yang bernama Lembaga Penyelenggara Penerjemah Kitab Suci Al-Quran yang berdasarkan Surat Keputusan No. 91 tahun 1962 dan No. 53 tahun 1963. Struktur lembaga tersebut diketuai oleh diketuai oleh Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., mantan Rektor IAIN Sunan Kalijaga
68 Ismail Lubis, Falsifikasi Terjemahan al-Quran Departemen Agama Edisi 1990 (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 135.
69 Departemen Agama Republik Indonesia, al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta: Yamunu, 1965), h. 9.
Yogyakarta dan 10 anggota yang terdiri dari pakar tafsir, pakar terjemahan dan intelektual pesantren serta akademikus. 70
Dalam dekade 1980-an, terjemahan al-Quran juga telah dilakukan dengan menggunakan bahasa non-Melayu dalam bentuk aksara Jawi (Arab pegon)
sebagai media penulisannya. 71 Karya-karya terjemahan itu antara lain al-Ibrîz karya K.H. Bisyri Mushthofa. 72
Kualitas terjemahan al-Quran harus tetap diupayakan agar pesan-pesan al- Quran mudah dipahami dengan cepat dan tepat melalui bahasa terjemahannya. Kekurangan dalam bahasa terjemahan al-Quran seringkali diakibatkan oleh
pemilihan kata (diksi) yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan maknanya. Pendayagunaan kata dalam bahasa terjemahan pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu: (1) ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan, (2) kesesuaian dalam
mempergunakan kata tadi. 73 Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi
pembaca atau pendengar, seperti apa yang diamanatkan oleh al-Quran.
Setelah terjemahan al-Quran diterbitkan dan diedarkan, ternyata membuahkan kritik dan saran dari pembaca terutama yang berhubungan dengan
70 Mereka itu adalah Prof. T.M. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. H. Bustami A. Gani, Prof. H. Muchtar Jahya, Prof. H.M. Toha Jahya Omar, Dr. H.A. Mukti Ali, Drs. Kamal Muchtar, H. Gazali
Thaib, K.H.A. Musaddad, K.H. Ali Maksum, Drs. Busjairi Madjidi. Khâdim al-H aramain al-Syarîfain, al-Qurân al-Karîm wa Tarjamah Ma’ânih bi al-Lughat al-Indûnisiyyah (al-Madînah al-Munawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd li Tibâ’at al-Mush af al-Syarîf, 1418 H), tanpa hal.
71 Islah Gusmian, Khazanah Tafsir Indonesia, h. 62. 72 Al-Ibrîz (Kudus: Menara Kudus, t.th) diterbitkan dalam dua edisi, yaitu edisi per- juz
sebanyak 30 jilid dan edisi hard cover sebanyak 3 volume. Tafsir al-Ibrîz ini ditulis dengan huruf Arab pegon dan bahasa Jawa. Makna per-ayat menggunakan sistem makna gandul seperti yang lumrah dipakai oleh kebanyakan pondok pesantren di Jawa, sedangkan untuk tafsirnya ditulis di bagian pinggir (hâmisy).
73 Berkaitan dengan dua hal pokok di atas, maka ada beberapa syarat agar bisa mencapai ketepatan pilihann kata, antara lain: (1) membedakan secara cermat kata-kata yang bermakna denotasi
dan konotasi, kata yang hampir bersinonim, kata yang mirip dalam ejaannya; (2) menghindari kata- kata ciptaan sendiri; (3) memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal dan sebagainya. Lihat Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 87.
bahasa terjemahannya. Sehubungan dengan hal itu, terjemahan al-Quran Depag RI edisi pertama dilakukan perbaikan sebanyak dua kali, yakni: Pertama, pada tahun 1989 yang diketuai oleh Drs. H. A. Hafizh Dasuki, MA dengan anggota beberapa tim ahli. Satu tahun kemudian, tim itu menghasilkan terjemahan al- Quran yang dicetak oleh Pemerintah Saudi Arabia pada tahun 1990; Kedua, pada tahun 1998 yang membutuhkan waktu cukup lama sehingga finalisasi baru terealisir pada tahun 2002 dan menghasilkan terjemahan al-Quran Depag RI edisi
2002. 74 Dalam bidang terjemahan teks-teks keagamaan, termasuk teks al-Quran,
terdapat kendala kualitas yang disebabkan oleh tidak adanya dukungan dari segi pembinaan dan dari segi standarisasi kualitas. Selain itu, kendala sosial juga menghambat kualitas terjemahan al-Quran dan kendala itu bisa terjadi karena profesi penerjemah memang belum disadari oleh masyarakat sebagai profesi yang strategis dan yang harus didukung oleh profesionalisme yang tinggi berbeda dengan profesi lainnya.
Upaya peningkatan kualitas terjemahan itu dapat diprioritaskan pada lembaga-lembaga penerjemahan dengan melakukan berbagai penataran (kursus, lokakarya, seminar, dan diskusi), atau ujian kualifikasi seperti yang dilakukan oleh Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI). Bahkan mulai tahun 2005 FIB UI telah membuka program Linguistik Terapan untuk bidang praktik Penerjemahan sehingga lulusannya akan
memperoleh gelar Magister. 75 Berbeda dengan terjemahan teks-teks Arab dan teks-teks keagamaan, pada umumnya para penerjemahnya memasuki profesinya
74 Adapun penyelesaian edisi 2002 ini dilakukan, ketika Tim itu dipimpin oleh Drs.H. Fadhal AR. Bafadal, M.Sc dan Tim Ahli yang terdiri dari Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, Prof. K. H. Ali
Mustofa Ya’qub, MA., Dr. H. Ali Audah, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi Nawawi, MA., dan H. Junanda P. Syarfuan dengan anggota yang terdiri dari Drs. H. M. Shohib Tahar, Drs. H. Mazmur Sya’roni, Drs. H. M. Syatibi AH, H. Ahmad Fathoni, Lc., M.Ag., dan Drs. H. Bunyamin Yusuf, M.Ag. Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya (Surabaya: Mekar Surabaya, 2004), h. v.
75 FIB UI telah menyelenggarakan pendidikan spesialis 1 penerjemahan untuk bahasa Perancis dan Inggris. Lihat, Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 118.
secara “tidak sengaja” atau “belajar sendiri” (otodidak). Di antara mereka banyak yang tidak menempuh pendidikan formal sebagai penerjemah pada tingkat perguruan tinggi. Namun, tidak sedikit di antara mereka yang kualitas terjemahannya sangat baik.
Kendala kualitas pada penerjemahan al-Quran memang berbeda dengan penerjemahan teks Arab atau teks asing lainnya, karena penerjemahan al-Quran tidak hanya berkisar pada tataran teks (the textual level), tetapi pada tataran berikutnya, yakni tataran referensial. Pada tataran ini membutuhkan penerjemah yang berkualitas di bidang tafsir. Sebab terjemahan al-Quran acuan maknanya
tidak lepas dari para mufassir. Oleh karena itu, terjemahan al-Quran Depag RI baik dalam penetapan tim pertama kali terjemahan al-Quran itu disusun hingga perbaikan berikutnya, tim ahli di bidang tafsir masih tetap dilibatkan seperti Prof. T.M. Hasbi Ashshiddiqi, Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A., Prof. Dr. H. Said Agil Husin Al Munawar, M.A., Dr. H. Ahsin Sakho Muhammad, Prof. K.H. Ali
Mustofa Ya’qub, M.A., Dr. H. Ali Audah. 76 Terjemahan al-Quran pada hakikatnya bukan menerjemahkan al-Quran itu
sendiri, karena itu terjemahan al-Quran bukan duplikat al-Quran. Tetapi terjemahan al-Quran adalah menerjemahkan makna-maknanya, sehingga sebagian besar ulama lebih setuju menggunakan istilah terjemahan makna-makna
al-Quran. 77 Kemudian, upaya peningkatan kualitas terjemahan al-Quran dikembalikan pada kualitas individual yang diserahi tugas untuk menerjemahkan
dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagaimana syarat-syarat mufassir, antara lain: harus memahami secara benar bahasa al-Quran dan bahasa terjemahan, memahami benar gaya dan karakteristik bahasa al-Quran, versi terjemahan harus otentik dan sedapat mungkin sesuai dengan bahasa aslinya,
76 Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, h. v. 77 Departemen Agama, al-Quran dan Terjemahnya, h. iii. Lihat juga, M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi,( Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 323.
menyempurnakan terjemahan dengan seluruh makna aslinya dan maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. 78
Demikian selektifnya untuk menentukan makna yang sepadan dalam penerjemahan al-Quran, sehingga penunjukkan tim penerjemah al-Quran versi Departemen Agama juga sangat selektif, terutama penerjemah yang berkompeten dalam bidang tafsir. Sebab tafsir merupakan referensi utama bagi penetapan makna-makna al-Quran di luar teks al-Quran itu sendiri.
78 Muhammad ‘Ali al-Sâbûniy, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qurân (Damsyiq: Maktabah al- Ghazâliy, 1981), h. 207-208.