dengan rasio produktivitas titik A ke titik B, yaitu dengan OD
BD OD
AD . Garis tebal
pada gambar 2.1 disebut sebagai batas produksi. Semua titik pada batas produksi adalah technical efficient, sedangkan titik diluar garis batas tersebut adalah
technically inefficient . Dari titik C merupakan titik maximum possible
productivity , yang disebut dengan Scale Efficiency, yang berhubungan dengan
perbedaan antara ukuran produksi ideal dengan ukuran produksi aktual.
2.2 Konsep Efisiensi Relatif
Istilah efisiensi berasal dari bidang teknik yang dipakai untuk menunjukkan rasio antara keluaran output suatu sistem terhadap masukan
input sistem tersebut. Pengukuran – pengukuran dalam ilmu eksak tersebut selalu berpedoman satu situasi ideal dimana kuantitas output yang dihasilkan
sama dengan kuantitas input yang diberikan, atau rasionya tepat sama dengan 1 satu. Efisiensi dalam situasi ideal ini disebut efisiensi ideal absolut yang
nilainya selalu 100, sedangkan efisiensi pada keadaan tidak ideal, maka efisiensi suatu obyek adalah kemampuannya dalam kondisi normal dibandingkan dengan
kondisi ideal. Hal diatas hanya berlaku untuk sistem yang pasti seperti mesin, dimana
kondisi ideal dapat ditentukan berdasarkan asumsi – asumsi teoritis. Namun, untuk sistem yang tidak dapat kondisi idealnya, yaitu sistem yang besar dan
kompleks dimana hubungan antar variabel tidak diketahui dengan pasti atau terlalu sulit untuk diukur misalnya organisasi, maka cara diatas tidak dapat
diterapkan lagi.
Untuk mengatasi hal tersebut, maka digunakan efisiensi relatif, yaitu efisiensi suatu obyek diukur relatif terhadap efisiensi obyek – obyek yang sejenis.
Efisiensi relatif dipakai dengan alasan karena selain adanya kesulitan dalam menentukan hubungan yang pasti antar variabel, juga karena lebih diinginkan
untuk diketahuinya efisiensi suatu obyek dalam konteks perbandingannya dengan kompetitornya, daripada dengan efisiensi ideal yang tidak mungkin dicapai.jadi
dengan cara ini profil ideal tidak ditentukan sendiri oleh obyek yang bersangkutan, tetapi dengan merujuk kepada obyek – obyek yang menghasilkan
kinerja terbaik frontier berada pada garis depan. Ada dua pendekatan utama dalam mengukur efisiensi relatif, yaitu
pendekatan parametrik dan non-parametrik. Berikut adalah perbandingannya :
Tabel 2.1 Perbedaan Pendekatan Parametrik dan Non-Parametrik
Dalam Pengukuran Efisiensi Relatif
Pendekatan Parametrik Pendekatan Non-parametrik
Mengasumsikan adanya hubungan fungsional antara input dan output,
walaupun dalam kenyataannya tidak ada fungsi yang benar – benar pasti
Mengasumsikan tidak adanya hubungan fungsional antara input dan
output Tidak langsung membandingkan
kombinasi output dengan kombinasi input Membandingkan langsung kombinasi
output dengan kombinasi input
Metode yang dipakai adalah Stochastic Frontier
yang melibatkan ekonometrik Metode yang dipakai adalah Data
Envelopment Analysis
yang melibatkan program linier
Konsep pengukuran efisiensi relatif ini diawali oleh Michael James Farrel dengan artikelnya yang berjudul “The Measurement of Productive Efficiency”
pada “Journal of Royal Statistical Society” volume 120 1957. Dimana membandingkan pengukuran relatif untuk sistem dengan multi input dan multi
output , selanjutnya dikembangkan oleh Farrel dan Fieldhouse 1962 yg
menitikberatkan pada penyusunan mengenai unit empiris yang efisien sebagai ratan dengan bobot tertentu dari unit-unit yang efisien yang digunakan sebagai
pembanding untuk unit yang tidak efisien.
Farrel, M. James, Fieldhouse, M; 1962, ”Estimating Efficient Production Function Unit Increasing Return To Scale”
Farrel membandingkan unit yang tidak efisien yang mana keefisienannya telah ditentukan lebih dulu melalui observasi berdasarkan sampel dari industri
terkait. Ini merupakan kelemahan sebab dalam kenyataannya unit yang efisien harus ditemukan melalui perhitungan hanya berdasarkan pada data yang ada, atau
dengan kata lain penentuan unit yang efisien harus diambil dari sampel populasi data tersebut.
Asumsi utama dari efisiensi Farrel adalah digunakanya pembobotan yang sama untuk tiap faktor yang menentukan efisiensi dari semua unit. Permasalahan
yang timbul adalah bagaimana penentuan bobot tersebut. Sebuah unit organisasi mungkin saja memberikan pemahaman yang berbeda dengan unit yang lain dalam
mengolah inputnya sehingga sulit untuk menentukan bobot yang dapat mewakili, demikian pula untuk faktor output. Hal ini berarti bobot untuk input dan output
berbeda antara unit yang satu dengan unit yang lain.
Terdapat berbagai pendekatan untuk mengukur berbagai efisiensi dari berbagai bidang keilmuan, misalnya pendekatan akutansi dengan analisa rasio dan
pendekatan produktivitas dengan fungsi produktivitas. Namun menurut Golany dan Roll 1989, ada beberapa kekurangan dari metode tersebut antara lain :
1 . Beberapa pengukuran output, seperti juga faktor input bersifat kualitatif. Dalam permasalahan untuk menguantitaskan faktor-faktor tersebut sangat
sulit untuk menentukan bobot yang cocok. 2 . Kesulitan dalam merumuskan fungsi hubungan yang jelas antara input dan
output dengan berbagai bobot yang tetap untuk berbagai faktor.
3 . Perhitungan untuk menetapkan rataan performansi antara beberapa unit seperti regresi statistik tidak dapat menjelaskan sifat unit secara individual.
4 . Sulitnya penentuan bobot yang dapat didekati dengan argumentasi bahwa tiap unit individual memiliki unit tersendiri dalam sistem sehingan dapat
menentukan nilai dari bobotnya sendiri.
Golany, B; Roll, Y; 1989, “An application Procedure For Data Envelopment Analysis”
Argumentasi ini yang kemudian mendasari pengukuran performansi dengan pendekatan data Envelopment Analysis DEA. DEA mengukur efisiensi
relatif mengunakan asumsi yang minimal mengenai hubungan input-output. Ide Farrel kemudian dikembangkan oleh A. Charnes, W.W. Cooper dan E.
Rhodes dalam artikelnya “Measuring the Efficiency of Decision Making Units” pada “European Journal of Operation Research” volume 2 1978. Ini
merupakan publikasi pertama yang memperkenalkan Data Envelopment Analysis DEA
dan sejak itu DEA mulai menjadi alat baru manajemen sains untuk
menganalisa efisiensi teknis Decision Making Units DMU unit pembuat keputusan pada DEA.
Decision Making Unit DMU adalah merupakan unit yang dianalisa
dalam DEA. Penyebutan demikian dengan maksud unit yang dianalisa bisa berupa perusahaan atau organisasi, baik yang komersial maupun non-komersial sampai
pada obyek apapun yang melibatkan banyak input dan output dalam prosesnya. Dibawah ini adalah beberapa istilah dalam DEA beserta ilustrasinya yang
perlu diketahui terlebih dahulu sebelum melangkah ke pembahasan DEA. 1 . Input oriented measure pengukuran berorientasi input
Yaitu pengidentifikasian ketidakefisienan melalui adanya kemungkinan untuk mengurangi input tanpa merubah output.
2 . Output oriented measure pengukuran berorientasi output Yaitu pengidentifikasian ketidakefisienan melalui adanya kemungkinan
untuk menambah output tanpa merubah input. 3 . Constant Return to Scale CRS
Yaitu terdapatnya hubungan yang linier antara input dan output, setiap pertambahan sebuah input akan menghasilkan pertambahan output yang
proporsional dan konstan. Ini juga berarti dalam skala berapapun unit beroperasi, efisiensinya tidak akan berubah.
4 . Variable Return to Scale VRS Merupakan kebalikan dari CRS, yaitu tidak terdapat hubungan linier antara
input dan output. Setiap pertambahan input tidak menghasilkan output yang
proporsional, sehingga efisiensinya bisa saja naik ataupun turun.
P A
D B
Y
X C
P A
D B
Y
X C
a. CRS b. VRS
Gambar 2 - 2. Ilustrasi CRS, VRS, Pengukuran Berorientasi Input Dan Output
Sumber 2 : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis DEA computer Program”
CEPA Working Papers, Department Of Economics University Of New England. Australia.
Keterangan gambar 2 - 2 adalah sebagai berikut : Misalkan hanya terdapat sebuah input X dan sebuah output Y. P adalah
obyek DMU yang dihitung efisiensinya dengan menggunakan dua asumsi keadaan, yaitu :
1. Constant return to scale, dimana setiap pertambahan input juga berkontribusi terhadap pertambahan output yang proporsional dan konstan, sehingga jika
titik – titik yang lain, yang mempunyai efisiensi yang sama, dihubungkan maka akan membentuk garis lurus.
2. Variable return to scale, dimana setiap pertambahan input tidak proporsional terhadap pertambahan output sehingga jika dilakukan penghubungan titik –
titik seperti pada point a maka akan membentuk kurva. 3. Input oriented measure = AB AP terlihat kemungkinan untuk mengurangi
input sebesar BP.
4. Output oriented measure = CP CD terlihat kemungkinan untuk menambah output
sebesar PD
DMU yang efisien =1 pada pengukuran berorientasi input juga efisien
pada orientasi output, kecuali nilai efisiensi DMU yang tidak efisien 1 akan berbeda pada kedua hasil pengukuran tersebut berlaku untuk masing – masing
asumsi return to scale tersebut. a.
Technical Efficiency efisiensi teknis
Kemampuan sebuah unit untuk menghasilkan output semaksimal mungkin dari sejumlah input yang digunakan.
b. Allocative Efficiency efisien alokatif atau Price Efficiency Kemampuan sebuah unit untuk menghasilkan output yang optimal dengan
meminimkan ongkos atas penggunaan sejumlah input. c.
Overall Efficiency efisiensi menyeluruh atau Economic Efficiency
Merupakan kombinasi perkalian dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi suatu unit sebenarnya terdiri atas kedua jenis efisiensi tersebut, yang
dihitung oleh DEA adalah efisiensi teknis.
Bhat, Ramesh, 1998, “Methodologi Note Data Envelopment Analysis DEA”