PENGUKURAN EFISIENSI PERUSAHAAN DENGAN METODE DEA ( DATA ENVELOPMENT ANALYSIS ) (Studi Kasus Di : PT.Trakindo Utama Surabaya – Branch East Area).

(1)

PENGUKURAN EFISIENSI PERUSAHAAN

DENGAN METODE DEA ( DATA ENVELOPMENT ANALYSIS )

(Studi Kasus Di : PT.Trakindo Utama Surabaya – Branch East Area)

SKRIPSI

Oleh :

NPM : 0532010126

RIA RUBYANTI

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI

FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”

JAWA TIMUR


(2)

iv DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Lembar Pengesahan ... ii

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... iv

Daftar Gambar ... viii

Daftar Tabel ... ix

Daftar Lampiran ... xi

Abstraksi ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 2

1.3 Batasan Masalah ... 3

1.4 Asumsi-asumsi ... 3

1.5 Tujuan Penelitian ... 3

1.6 Manfaat Penelitian ... 4

1.7 Sistematika Penulisan ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Produktivitas ... 6


(3)

v

2.3 Konsep Efisiensi Relatif ... 9

2.4 Data Envelopment Analysis (DEA) ... 11

2.4.1 Pengertian DEA ... 15

2.4.2 Penggunaan DEA ... 16

2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan DEA ... 18

2.4.4 Model Matematis DEA ... 20

2.4.4.1 Model Constant Return to Scale (CRS) 20

2.4.4.2 Model Variable Return to Scale (VRS) 26

2.4.5 Slack pada DEA ... 28

2.4.6 Scale Efficiency dan Pure Technical Efficiency .. 30

2.4.7 Pembatasan Bobot (Weight Restriction) ... 32

2.4.8 Most Productive Scale Size (MPSS) ... 34

2.5 Penetapan Target ... 35

2.6 Identifikasi Operasi Yang Efisien ... 38

2.7 Analisa Korelasi ... 39

2.7.1 Pengantar Analisa Korelasi ... 40

2.7.2 Asumsi Pada Analisa Korelasi ... 41

2.7.3 Proses Dasar Dari Analisa Korelasi ... 41

2.8 Analisis Cluster (Hierarchical Cluster Analysis) ... 42

2.9 Konsep Pengertian Kualitas Jasa ... 44

2.9.1 Konsep dan Pengertian Kualitas ... 44

2.9.2 Konsep dan Pengertian Jasa ... 45

2.9.3 Kualitas Jasa ... 46


(4)

vi BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 49

3.2 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 49

3.3 Flow Chart Pemecahan Masalah ... 52

3.4 Penjelasan Flow Chart Pemecahan Masalah ... 53

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengumpulan Data ... 60

4.2 Pengolahan Data ... 63

4.2.1 Analisa Korelasi Faktor ... 63

4.2.2 Penggunaan Model DEA ... 64

4.2.2.1 Model Matematis DEA CCR CRS Primal 64 4.2.2.2 Model Matematis DEA CCR VRS Dual .. 66

4.2.2.3 Model Matematis Penentuan Target MPSS 67 4.2.2.4 Model Matematis Perangkingan CK ... 67

4.2.3 Perhitungan Efisiensi Tiap DMU ... 68

4.2.4 Penentuan DMU Efisien dan Inefisien ... 69

4.2.5 Analisa Variabel DEA ... 70

4.2.6 Penentuan Peer Group ... 73

4.2.7 Perhitungan Target Input dan Output untuk Peningkatan Produktivitas ... 75

4.2.7.1 Model DEA CRS Dual ... 75

4.2.7.2 Model DEA VRS ... 76


(5)

vii

4.2.7.4 Perhitungan Target ... 78

4.2.8 Strategi Perbaikan dan Analisa Sensivitas ... 83

4.2.9 Perangkingan DMU ... 89

4.3 Analisa dan Pembahasan ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 96

5.2 Saran ... 97


(6)

iii

Perkembangan teknologi industri saat ini telah merubah cara pandang perusahaan untuk memperhitungkan bagaimana menjalankan industri yang efektif dan efisien. Oleh sebab itu diperlukan metode yang tepat untuk mengukur tingkat efisiensi sekaligus memberi evaluasi tentang bagaimana merubah organisasi yang tidak efisien menjadi efisien.

PT. Trakindo Utama adalah salah satu perusahaan Heavy Weigth Industry (HWI) yang merupakan perusahaan dan dealer terbesar yang memberikan pelayanan penjualan alat-alat berat (Caterpillar), pengadaan suku cadang (Caterpillar), dan layanan pemeliharaan. Kebutuhan akan peralatan berat oleh pasar tertentu menjadikan PT. Trakindo Utama harus bekerja dalam kondisi yang efisien untuk terus menjaga kondisi yang ideal agar tetap eksis didunia bisnis. Pada tahun belakangan ini telah terjadi krisis global yang berpengaruh terhadap omset di PT.Trakindo Utama khususnya Branch East Java. Tetapi pada kenyataannya, di PT. Trakindo Utama-Branch East Area masih terdapat masalah yakni tingkat kualitas pekerjaan yang tidak mencapai standard performansi sehingga mengakibatkan adanya redo job yang dapat mengakibatkan biaya operasional tinggi dan mengurangi total pendapatan di PT. Trakindo Utama-Branch East Area khususnya departemen Service.

Dengan adanya permasalahan dalam mencapai standard performansi, maka dalam penelitian ini digunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang merupakan metode pembanding yang bisa menganalisa efisiensi organisasi dari beberapa cabang PT. Trakindo Utama–Branch East Area dengan menggunakan masing-masing input output yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut maka akan diketahui cabang mana yang seharusnya bisa lebih ditingkatkan efisiensi dan langkah apa yang harus ditempuh dalam mewujudkannya.

Dari hasil pengolahan metode DEA, didapatkan 4 (empat) cabang PT. Trakindo Utama – Branch East Area yang efisien yaitu PTTU Mataram, PTTU Kupang, PTTU Denpasar, PTTU Bojonegoro, dengan nilai efisiensi relatif sebesar 1,000000 dan 1 (satu) cabang yang tidak efisien yaitu PTTU Surabaya dengan nilai efisiensi relatif sebesar 0,890961. Dalam rencana strategi perbaikannya, PTTU Surabaya mengacu pada PTTU Denpasar. Untuk meningkatkan efisiensi relatif sebesar 100% maka PTTU Surabaya melakukan perbaikan terhadap faktor Redo Job, Jumlah Man Hours Rating, Biaya Operasional, Jumlah Mekanik, Total Quality, Total Pekerjaan, dan Kelengkapan Suku cadang.

Kata Kunci : Data Envelopment Analysis, efisiensi, PT. Trakindo Utama – Branch East Area.


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan dunia industri ini semakin pesat, baik dalam jenis industri perdagangan, manufaktur, jasa maupun media informasi. Setiap produsen menghendaki peningkatan pendapatan. Dalam hal ini para produsen harus aktif berperan serta dalam proses ditribusi, dan selalu berusaha memberikan pelayanan yang terbaik terhadap konsumen. Hal penting dalam peningkatan produktivitas adalah penetapan target (target setting) input dan output yang diperlukan bagi manajemen dalam melakukan monitoring setelah pengukuran produktivitas. Dengan menetapkan target, akan dapat dilakukan perbaikan input dan output

untuk meningkatkan produktivitas bagi unit yang tidak efisien.

PT. Trakindo Utama adalah salah satu perusahaan Heavy Weigth Industry

(HWI) yang merupakan perusahaan dan dealer terbesar yang memberikan pelayanan penjualan alat-alat berat (Caterpillar), pengadaan suku cadang (Caterpillar), dan layanan pemeliharaan. Kebutuhan akan peralatan berat oleh pasar tertentu menjadikan PT. Trakindo Utama harus bekerja dalam kondisi yang efisien untuk terus menjaga kondisi yang ideal agar tetap eksis didunia bisnis. Pada tahun belakangan ini telah terjadi krisis global yang berpengaruh terhadap omset di PT.Trakindo Utama khususnya Branch East Java. Tetapi pada kenyataannya, di PT. Trakindo Utama-Branch East Area masih terdapat masalah yakni tingkat kualitas pekerjaan yang tidak mencapai standard performansi sehingga mengakibatkan adanya redo job yang dapat mengakibatkan biaya


(8)

operasional tinggi dan mengurangi total pendapatan di PT. Trakindo

Utama-Branch East Area khususnya departemen Service.

Penentuan prioritas perbaikan/peningkatan efisiensi diperlukan agar sumber daya dialokasikan dengan baik, sehingga tidak membuang sumber daya untuk melakukan sesuatu yang tidak memberikan keuntungan bagi perusahaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat efisiensi dari masing-masing cabang dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat efisiensi dari masing-masing cabang tersebut.

Dengan adanya permasalahan dalam mencapai standard performansi, maka dalam penelitian ini digunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) yang merupakan metode pembanding yang bisa menganalisa efisiensi organisasi dari beberapa cabang PT. Trakindo Utama–Branch East Area dengan menggunakan masing-masing input output yang dimiliki. Berdasarkan hal tersebut maka akan diketahui cabang mana yang seharusnya bisa lebih ditingkatkan efisiensi dan langkah apa yang harus ditempuh dalam mewujudkannya.

1.2 Perumusan Masalah

Dari latar belakang diatas, maka perumusan masalah yang diambil dalam penelitan ini adalah :

Seberapa besar tingkat efisiensi pada masing-masing cabang PT.Trakindo Utama–Branch East Area dan bagaimana strategi perbaikan bagi cabang-cabang PT. Trakindo Utama–Branch East Area yang inefisien ”.


(9)

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Pengukuran tingkat efisiensi dilakukan pada PT. Trakindo Utama – Branch East Area Cabang Surabaya, Bojonegoro, Denpasar, Kupang, Mataram 2. Obyek yang diteliti hanya pada Departemen Service

3. Data yang diolah adalah data sekunder yang didapatkan dari PT.Trakindo Utama – Branch East Area pada tahun 2008.

4. Pengukuran efisiensi hanya menyangkut beberapa input dan output yang berasal dari masing-masing cabang PT.Trakindo Utama - Branch East Area.

1.4 Asumsi Penelitian

Asumsi yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Data yang diperoleh untuk digunakan dalam penelitian ini sudah mencerminkan kebutuhan (input) dan pelayanan (output) perusahaan secara keseluruhan.

2. Data yang diperoleh untuk digunakan dalam penelitian ini merupakan rekapitulasi laporan PT.Trakindo Utama–Branch East Area selama satu tahun.

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penulisan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui tingkat efisiensi dari masing-masing cabang yang terdapat di PT. Trakindo Utama–Branch East Area.


(10)

2. Merencanakan strategi perbaikan bagi PT. Trakindo Utama – Branch East Area yang inefisien.

1.6 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan penelitian ini adalah : 1. Bagi peneliti :

a. Mengetahui dan mempelajari pengukuran serta perbaikan tingkat efisiensi dari sebuah perusahaan yaitu PT. Trakindo Utama.

b. Dapat mengetahui dan mengaplikasikan metode DEA dalam penyelesaian suatu masalah.

2. Bagi Universitas :

Sebagai masukkan bagi mahasiswa lain guna menyelesaikan masalah efisiensitas terutama menggunakan metode DEA.

3. Bagi Perusahaan :

Sebagai bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam usaha pengembangan dan meningkatkan efisiensi perusahaan.

1.7 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan pada penelitian ini sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini memberikan gambaran secara umum tentang bagaimana penulisan laporan ini, yang berisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, asumsi penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah dan sistematika penulisan.


(11)

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan landasan teori pendukung analisa produktivitas, konsep efisiensi relative dan metode DEA yang akan diterapkan untuk mengukur tingkat efisiensi Decision Making Unit (DMU)

BAB III :METODE PENELITIAN

Bab ini menggambarkan tahapan penelitian agar dicapai suatu perencanaan yang terarah dan sistematis dan bab ini juga berisi pencarian data, langkah - langkah penelitian, indentifikasi variabel, metode pengumpulan data dan metode pengolahan data.

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pengolahan data yang dapat sesuai dengan langkah – langkah dalam metode penelitian, melakukan analisis dan pembahasan hasil penelitian

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini berisi kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian dan saran yang dapat diberikan bagi obyek penelitian.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Produktivitas

Kata produktivitas seringkali dikacaukan dengan kata produksi. Banyak orang menganggap bahwa semakin tinggi produksinya maka semakin tinggi pula tingkat produktivitasnya, padahal kenyataannya tidak selalu demikian. Bisa saja tingkat produksi yang tinggi mengakibatkan tingkat produktivitas yang rendah. Kata produksi pada umumnya berkaitan dengan aktifitas menghasilkan suatu produk ataupun jasa. Sedangkan kata produktivitas berkaitan dengan efisiensi, utilitas dari sumber-sumber daya (input) dalam menghasilkan produk ataupun jasa (output).

Beberapa definisi produktivitas adalah sebagai berikut:

1. Produktivitas adalah nilai yang diperoleh dengan membagi output dengan salah satu faktor produksi

2. Produktivitas adalah selalu merupakan suatu rasio output terhadap input

3. Produktivitas merupakan definisi fungsional untuk produktivitas parsial, produktivitas total dan faktor total produktivitas

4. Produktivitas berkenaan dengan sekumpulan perbandingan antara output

dengan input.

Dalam arti luas, pengertian produktivitas menyangkut hubungan antara keluaran (output) dengan masukan (input yang digunakan untuk menghasilkan

output tersebut). Produktivitas adalah rasio dari beberapa output dengan beberapa


(13)

Produktivitas bukan merupakan ukuran dari produksi atau output yang dihasilkan, melainkan ukuran tentang tingkat penggunaan sumber-sumber untuk mencapai hasil yang diharapkan sehingga:

Produktivitas =

digunakan yang

Sumber

didapatkan yang

Hasil Input

Output =

Secara umum terdapat tiga tipe dasar dari produktivitas yang akan didefinisikan berikut ini, antara lain:

1. Produktivitas Parsial (Partial Productivity)

Produktivitas parsial merupakan rasio dari output terhadap satu jenis input

tertentu. Sebagai contoh: produktivitas tenaga kerja (rasio dari output terhadap

input tenaga kerja), produktivitas material (rasio dari output terhadap input

material) ataupun produktivitas modal (rasio output terhadap input modal). 2. Produktivitas Total Faktor (Total Factor Productivity)

Produktivitas total faktor merupakan rasio dari “net ouput” terhadap jumlah faktor input langsung. Net output disini adalah total output dikurangi barang setengah jadi maupun servis yang diberikan.

3. Produktivitas Total (Total Productivity)

Produktivitas total merupakan rasio dari total output terhadap jumlah dari seluruh faktor input yang ada. Jadi, suatu produktivitas total merefleksikan dampak gabungan dari semua input dalam memproduksi output.

2.2 Produktivitas dan Efisiensi

Produktivitas dan efisiensi adalah dua konsep penting dalam mengukur


(14)

sebagai rasio output dengan input. Sedangkan efisiensi adalah tingkat penggunaan sumber daya yang sebesar-besarnya (berhubungan dengan utilitas sumber daya).

Perbedaan produktivitas dan efisiensi dapat diilustrasikan dengan mudah seperti pada gambar 2.1. titik A, B, dan C merupakan tiga unit yang berbeda. Produktivitas dari titik A dapat diukur dengan rasio

OD

DA menurut definisi

produktivitas dalam x-axis merepresentasikan input dan y-axis merepresentasikan ouput.

Gambar 2.1

Ilustrasi Produktivitas dan Efisiensi

Sumber 1 : Vincent Gaspersz, 1998, “Manajemen produktivitas Total”, Penerbit Vincent Foundation kerja sama dengan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Dengan input yang sama, terlihat bahwa produktivitas dapat ditingkatkan dari titik A ke titik B. Tingkat produktivitas yang baru diberikan oleh perbandingan

OD

BD . Sedangkan efisiensi titik A dapat diukur dengan rasio

C

B

E A

D O

Y (output)

X (input)


(15)

produktivitas titik A ke titik B yaitu dengan perbandingan

OD BD

OD AD

. Garis tebal

pada gambar 2.1 disebut sebagai batas produksi. Semua titik pada batas produksi adalah technically efficient, sedangkan titik diluar garis batas tersebut adalah

technically inefficient. Dan titik C merupakan titik maksimum possible productivity, yang disebut dengan scale efficiency, yang berhubungan dengan perbedaan antara ukuran produksi ideal dengan ukuran produksi aktual.

2.3 Konsep Efisiensi Relatif

Terdapat peningkatan dalam pengukuran dan perbandingan efisiensi suatu unit organisasi yang sama. Pengukuran efisiensi sederhana (rasio efisiensi) yang sering digunakan didefinisikan sebagai berikut:

Efisiensi =

input output

Rasio efisiensi di atas lebih banyak digunakan ketika sebuah unit atau proses memiliki satu input atau satu output. Namun dalam kenyataannya, sebuah proses atau unit organisasi memiliki berbagai input dan output yang beragam (imcommensurate). Untuk mengatasi hal tersebut maka digunakan Efficiency Relatif, yaitu efisiensi suatu obyek diukur relatif terhadap efisiensi obyek-obyek yang sejenis.

Ada dua pendekatan utama dalam mengukur efisiensi relatif, yaitu pendekatan parametrik dan non-parametrik. Berikut adalah perbandingannya :


(16)

Tabel 2-1

Perbedaan pendekatan parametrik dan non-parametrik Dalam pengukuran efisiensi relatif

Pendekatan Parametrik Pendekatan Non-parametrik Mengasumsikan adanya hubungan

fungsional antara input dan output, walaupun dalam kenyataannya tidak ada fungsi yang benar-benar pasti.

Mengasumsikan tidak adanya hubungan fungsional antara input dan output.

Tidak langsung membandingkan kombinasi output dengan kombinasi input.

Membandingkan langsung kombinasi output dengan kombinasi input.

Metode yang dipakai adalah Stochastic Frontier yang melibatkan ekonometrik.

Metode yang dipakai adalah Data Envelopment Analysis yang melibatkan program linier.

Pembahasan tentang pengukuran efisiensi relatif bermula dari sebuah konsep yang dikembangkan oleh Farrel (1957) yang menjelaskan bahwa sebuah garis batas produksi (production frontier) adalah sebuah hubungan teknologi yang menggambarkan output maksimum yang dihasilkan oleh sebuah perusahaan yang efisien dari sebuah penggunaan kombinasi input dalam beberapa periode. Farrel mengembangkan pengukuran efisiensi relatif untuk sistem yang memiliki multi input dan multi output. Fokusnya adalah pada pembuatan unit empiris yang efisien, sebagai rataan bobot dari unit-unit efisien, yang digunakan sebagai pembanding untuk unit yang inefisien. Perumusan ratio efisiensi Farrel tersebut adalah:

Efisiensi =

entu bobot tert dengan

input jumlah

entu bobot tert dengan

output jumlah


(17)

Efisiensi unit j = ... ... 2 2 1 1 2 2 1 1 + + + + j j j j x v x v y u y u

... (2.1)

Dimana:

u1 = bobot untuk output 1 v1 = bobot untuk input 1

yij = nilai dari output 1 dari unit j xij

2.4 Data Envelopment Analysis (DEA)

= nilai dari input 1 dari unit j

Asumsi utama dari efiseinsi Farrel adalah pengukuran efisiensi ini membutuhkan pembobotan yang sama untuk tiap faktor yang menentukan efisiensi dari semua unit. Permasalahan yang timbul adalah bagaimana menentukan bobot tersebut. Sebuah unit organisasi mungkin saja memberikan penekanan yang berbeda dengan unit yang lain dalam mengolah inputnya, sehingga sulit untuk menentukan bobot yangh dapat mewakili. Demikian pula pada faktor output. Hal ini berarti bobot untuk input dan output berbeda antara unit yang satu dengan unit yang lain. (Farrel, M. James, Fieldhouse, M; 1962, “Estimating Efficient Production Function Unit Increasing Return To Scale”).

Ide Farrel kemudian dikembangkan oleh A. Charnes, W.W. Cooper dan E. Rhodes dalam artikelnya “Measuring the Efficiency of Decision Making Units”

pada “European Journal of Operation Research” volume 2 (1978). Ini merupakan publikasi pertama yang memperkenalkan Data Envelopment Analysis (DEA) dan sejak itu DEA mulai menjadi alat baru manajemen sains untuk menganalisa efisiensi teknis Decision Making Units (DMU / unit pembuat keputusan) pada DEA.


(18)

Decision Making Unit (DMU) adalah merupakan unit yang dianalisa dalam

DEA. Penyebutan demikian dengan maksud unit yang dianalisa bisa berupa perusahaan atau organisasi, baik yang komersial maupun non-komersial sampai pada obyek apapun yang melibatkan banyak input dan output dalam prosesnya.

Dibawah ini adalah beberapa istilah dalam DEA beserta ilustrasinya yang perlu diketahui terlebih dahulu sebelum melangkah ke pembahasan DEA.

1 . Input oriented measure (pengukuran berorientasi input)

Yaitu pengidentifikasian ketidakefisienan melalui adanya kemungkinan untuk mengurangi input tanpa merubah output.

2 . Output oriented measure (pengukuran berorientasi output)

Yaitu pengidentifikasian ketidakefisienan melalui adanya kemungkinan untuk menambah output tanpa merubah input.

3 . Constant Return to Scale (CRS)

Yaitu terdapatnya hubungan yang linier antara input dan output, setiap pertambahan sebuah input akan menghasilkan pertambahan output yang proporsional dan konstan. Ini juga berarti dalam skala berapapun unit beroperasi, efisiensinya tidak akan berubah.

4 . Variable Return to Scale (VRS)

Merupakan kebalikan dari CRS, yaitu tidak terdapat hubungan linier antara

input dan output. Setiap pertambahan input tidak menghasilkan output yang proporsional, sehingga efisiensinya bisa saja naik ataupun turun.


(19)

P A

D

B Y

X C

P A

D

B Y

X C

(a). CRS (b). VRS

Gambar 2 - 2. Ilustrasi CRS, VRS, Pengukuran Berorientasi Input Dan Output

Sumber : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis (DEA) (computer) Program” CEPA Working Papers, Department Of Economics University Of New England. Australia.

Keterangan gambar 2 - 2 adalah sebagai berikut :

Misalkan hanya terdapat sebuah input (X) dan sebuah output (Y). P adalah obyek/DMU yang dihitung efisiensinya dengan menggunakan dua asumsi keadaan, yaitu :

1. Constant return to scale, dimana setiap pertambahan input juga berkontribusi terhadap pertambahan output yang proporsional dan konstan, sehingga jika titik – titik yang lain, yang mempunyai efisiensi yang sama, dihubungkan maka akan membentuk garis lurus.

2. Variable return to scale, dimana setiap pertambahan input tidak proporsional terhadap pertambahan output sehingga jika dilakukan penghubungan titik – titik seperti pada point (a) maka akan membentuk kurva.

3. Input oriented measure = AB / AP (terlihat kemungkinan untuk mengurangi


(20)

4. Output oriented measure = CP / CD (terlihat kemungkinan untuk menambah

output sebesar PD)

DMU yang efisien (=1) pada pengukuran berorientasi input juga efisien pada orientasi output, kecuali nilai efisiensi DMU yang tidak efisien (<1) akan berbeda pada kedua hasil pengukuran tersebut (berlaku untuk masing – masing asumsi

return to scale tersebut).

a. Technical Efficiency (efisiensi teknis)

Kemampuan sebuah unit untuk menghasilkan output semaksimal mungkin dari sejumlah input yang digunakan.

b. Allocative Efficiency (efisien alokatif) atau Price Efficiency

Kemampuan sebuah unit untuk menghasilkan output yang optimal dengan meminimkan ongkos atas penggunaan sejumlah input.

c. Overall Efficiency (efisiensi menyeluruh) atau Economic Efficiency

Merupakan kombinasi (perkalian) dari efisiensi teknis dan efisiensi alokatif. Efisiensi suatu unit sebenarnya terdiri atas kedua jenis efisiensi tersebut, yang dihitung oleh DEA adalah efisiensi teknis.

(Bhat, Ramesh, 1998, “Methodologi Note Data Envelopment Analysis (DEA)”)

Charnes, Cooper, dan Rhodes memperkenalkan Data Envelopment Analysis

(DEA) yang diaplikasikan untuk mengukur efisiensi Institusi Pendidikan. DEA merupakan teknik dengan standar programa linier untuk mengukur performansi relative dari unit-unit organisasi dengan multi input dan multi output yang menyulitkan perbandingan antara unit-unit organisasi tersebut.


(21)

2.4.1 Pengertian DEA

Data Envelopment Analysis (DEA)merupakan suatu alat penting yang dapat digunakan untuk mengevaluasi dan memperbaiki kinerja suatu usaha

manufacturing atau jasa. DEA diaplikasikan secara luas dalam evaluasi

performance dan benchmarking pada institusi pendidikan, rumah sakit, cabang bank, production plan dan lain-lain. DEA adalah model analisis multifaktor produktivitas untuk mengukur efisiensi dari sekelompok homogenous Decision Making Unit (DMU). Efficiency score untuk multiple output dan multiple input

ditentukan sebagai berikut:

Efficiency score =

input bobot Jumlah

output bobot Jumlah

... (2.2)

DEA dapat berorientasi pada input maupun pada output. Jika berorientasi pada input maka dilakukan pengurangan atau minimalis dari penggunaan input

dengan level output ditetapkan konstan dan jika berorientasi ouput, maka dilakukan maksimalisasi dari output dengan level input ditetapkan konstan.

DEA menggunakan efficiency frontier (batas efisiensi) untuk menghitung efisiensi dari suatu Decision Making Unit (DMU) dan menyediakan informasi mengenai DMU mana yang tidak menggunakan input secara efisien. Untuk kasus orientasi input dapat diilustrasikan sebagai berikut. Misal akan diukur Technical efficiency (TE) enam daerah yang masing-masing memproduksi suatu output

dengan menggunakan dua input X1 dan X2, dimana daerah A, B, dan C merupakan daerah yang efisien karena mereka membentuk batasan produksi Q-Q’. sedangkan D, E, dan F merupakan daerah inefisien.


(22)

Dari gambar 2.3 terlihat bahwa daerah A dan B menjadi peer group

(kelompok daerah yang efisien yang berada di luar daerah efisien) dari daerah D dan F. Sedangakan daerah E memiliki peer group daerah B dan C.

Gambar 2.3 Peer Group

Sumber : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis (DEA) (computer) Program” CEPA Working Papers, University Of New England.

Untuk mengukur technical efficiency daerah inefisien (contoh daerah D) didapatkan persamaan sebagai berikut:

TED

OD OD'

= ………..… (2.3)

2.4.2 Penggunaan DEA

DEA digunakan untuk mengukur efisiensi relatif unit, yang mempresentasikan proporsi maksimal dari input yang digunakannya. Namun,

Efficient frontier Q

A

F’ F

D

D’

B E

E’

C Q’

X2

X1 O


(23)

DEA juga dapat digunakan lebih dari sekedar menentukan efisiensi relatif unit yang dievaluasi, antara lain:

1. PeerGroup

Peer group merupakan pengelompokan antara unit-unit yang tidak efisien, sehingga dengan pengelompokan yang dilakukan ini diharapkan evaluasi terhadap unit yang tidak efisien dapat ditindak lanjuti dengan perencanaan untuk mencanangkan target perbaikan dengan memperhatikan indeks efisiensi dari unit yang efisien.

2. Identifikasi unit yang efisien

Identifikasi unit yang efisien dengan model DEA dapat diklasifikasikan menjadi unit yang efisien dan unit yang tidak efisien. Masing-masing unit nantinya diberikan derajat efisiensinya dan untuk unit yang efisien akan ditentukan perangkingan sedangkan unit yang tidak efisien akan dibentuk peer groupnya.

3. DEA mengidentifikasi sekelompok unit yang efisien yang digunakan sebagai

benchmark untuk improvement. Sedangkan sebuah peer group memiliki kombinasi yang sama dari unit-unit yang tidak efisien, sehingga bermanfaat dalam mengidentifikasi faktor yang menyebankan ketidakefisinan. Peer group

juga akan memberikan contoh yang baik mengenai proses operasi untuk meningkatkan performansi unit yang tidak efisien.

4. Penentuan target

Sebuah unit yang relatif tidak efisien harus menentukan target tertentu untuk meningkatkan performansinya. Beberapa model yang digunakan untuk mengestimasikan target adalah sebagai berikut:


(24)

a. Menentukan prioritas untuk peningkatan salah satu input atau ouput dengan menjaga agar input atau output lain tidak terganggu

b. Menantukan target ideal untuk target tertentu

c. Menentukan salah satu input atau output denagn nilai tetap (fixed) 5. Alokasi sumber daya

DEA mengidentifikasi relatif efisiensi dan relatif tidak efisiensi dari sebuah unit. Dengan adanya fleksibilitas bobot, maka dapat diestimasi konversi sumber daya yang potensial atau peningkatan output pada unit yang tidak efisien. Kedua metode ini bertujuan untuk pengalokasian sumber daya yang tepat. Namun alokasi sumber daya merupakan permasalahan yang sangat kompleks.

2.4.3 Kelebihan dan Kekurangan DEA

a Kelebihan DEA adalah sebagai berikut:

1). Mampu memberikan penilaian tunggal berupa penilaian efisiensi relatif sejumlah DMU yang memiliki banyak input dan output yang sama

2). Dapat mengatasi multiple input dan multiple output

3). Tidak memerlukan asumsi dari bentuk fungsi hubungan fungsional yang pasti antar input dan output untuk tujuan perbandingan

4). DMU yang dibandingkan secara langsung pada peer atau kombinasi peer. Perbandingan ini akan mengarahkan unit yang tidak efisien kepada pertanyaan untuk peningkatan, yaitu berapa input yang bisa dikurangi atau berapa banyak output yang bisa ditambah untuk mencapai tingkat efisien


(25)

5). Input dan output dapat memiliki unit yang berbeda atau dapat memiliki banyak dimensi yang berbeda

6). Khusus untuk model yang menggunakan pengukuran secara radial atau proporsional seperti model yang dibahas CRS atau VRS, boleh menggunakan satuan pengukuran yang berbeda (unit invariant)

7). Memberikan kepastian atas ketidakefisienan yang dihasilkan oleh perhitungan, karena DEA telah memiliki bobot yang paling tepat untuk memaksimalkan nilai efisiensinya.

b Kekurangan DEA

1). Karena DEA adalah teknik nilai ekstrim, error pengukuran dapat menyebabkan masalah yang signifikan

2). DEA hanya bagus untuk mengestimasi relatif efisiensi DMU, tetapi tidak nilai mutlak atau absolute efisiensi

3). Karena DEA merupakan metode non-parametrik yang tidak mengetahui hubungan fungsional antara input dan output yang dihitungnya, maka test hipotesis statistik sulit dilakukan

4). DEA tidak menangani nilai negatif karena teori yang melandasi, pemrograman linier mengharuskan terdapatnya kendala non negatif dalam perhitungan (Anderson, D.R, Sweeney, D.J. dan Williams, T.A., 1996, hal. 35). Data yang dihitung DEA diasumsikan sebagai kuantitas, selain itu DEA juga bisa menangani output yang tidak dikehendaki atau diminimumkan, tetapi pada perkembangan terakhir telah ditemukan cara untuk mengatasi kelemahan tersebut


(26)

5). Jika terlalu banyak jenis input dan output yang dilibatkan, sementara jumlah DMU ynag dilibatkan sedikit (jumlah DMU ≤ input x output) maka tiap unit bisa menjadi efisien sesuai dengan konteksnya masing-masing.

6). Bobot yang dipilih oleh DEA sangat mungkin tidak mewakili keadaan sebenarnya, namun karena ketidaktahuan akan hubungan input dan output

maka pembobotan ini boleh diserahkan sepenuhnya kepada DEA. Pembatasan terhadap bobot boleh dilakukan jika diperlukan

7). Karena Linier Programming harus dipecahkan untuk setiap DMU, masalah ini harus dilakukan secara komputerisasi.

2.4.4 Model Matematis DEA

Ada 2 dasar model DEA yang dikembangkan oleh ahli:

1. Charnes, Cooper dan Rhodes (1978) menggunakan teknik multiple output dan multiple input Constant Return to Scale (CRS) dan pengembangan CRS model.

2. Fare, Grosskopt dan Lovell (1985) memperkenalkan model Variabel Return to Scale (VRS).

2.4.4.1 Model Constant Return to Scale (CRS)

Model CRS berasumsi bahwa setiap DMU telah beroperasi pada skala optimal (Charnes, Cooper & Rhodes, 1978). Model awal yang digunakan dikenal dengan istilah rasio CCR, merupakan persamaan non-linier sebagai berikut:


(27)

= i ik i r rk r k X V Y U h _ Max

i ij i r rj r X V Y U : st

Ur,Vi ≥ε ………. (2.4) Notasi yang umum digunakan dalam model DEA adalah:

Indeks : j : DMU, j = 1, 2, ….., n. r : output, r = 1, 2, ….., s. i : input, I = 1, 2, ….., m.

Data: Yrj : nilai dari output ke-r dari DMU ke-j Xij

ε

: nilai dari input ke-i dari DMU ke-j : angka positif yang kecil (1x 10-6 +

− r i ,s s

)

Variabel: : slack dari input i, slack dari output r (≥ 0)

j

λ : bobot DMUj ( 0) terhadap DMU yang dievaluasi ≥ i

r ,V

U : bobot untuk output r, input i (>ε) k

h : efisiensi relatif DMUyang dicari Notasi Ur dan Vi

ε

sebagai bobot untuk output dan input dibatasi sama dengan atau lebih besar dari sebuah nilai positif kecil , dalam praktek umumnya digunakan 10-6. Nilai secara matematis dimaksudkan agar penyebut pada rasio ε efisiensi pada sisi sebelah kiri formulasi (2.4), tidak pernah mencapai nilai nol. Secara konseptual, penggunaan nilai ε adalah untuk menjamin secara input atau


(28)

Persamaan 2.3 sampai dengan 2.4 merupakan persamaan non-linier atau persamaan linier fraksional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam bentuk linier sehingga diaplikasikan dalam persamaan linier berikut ini:

a. Persamaan primal model CRS berorientasi input:

=

k

rk r

k U Y

h

Max ... (2.5)

=

i ik iX 1 V : st

≤ r i ij i rj

rY VX 0

U

ε Y ,

Ur i≥ ... (2.6) dimana: hk : efisiensi DMU yang dicari

Ur, Vi : bobot untuk output r, input i ( > ) ε Yrj : nilai dari output ke-r dari DMUke-j Xij

ε

: nilai dari input ke-i dari DMU ke-j : angka positif yang kecil ( 1 x 10-6 )

Tujuan persamaan 2.6 adalah untuk menemukan jumlah terbesar output yang dibobotkan dari DMUk

Setiap persamaan linier dapat dirumuskan sebagai sebuah persamaan linier

yang sepadan dengan menggunakan data yang sama. Persamaan linier yang pertama disebut primal, dan yang kedua disebut dual, memberikan hasil yang sama dengan informasi yang berbeda mengenai permasalahan yang dimodelkan. Demikian juga dengan DEA, model dual dibangun dengan memberikan variabel (variable dual) untuk tiap pembatas dari model primal

dengan menjaga jumlah dari input yang dibobotkan pada suatu DMU agar rasio antara output yang dibobotkan dengan input yang dibobotkan kurang dari atau sama dengan satu.


(29)

dan membangun model baru dengan variabel-variabel tersebut. Pada kasus DEA, menggunakan duality akan mengurangi jumlah konstrain dalam model.

b. Persamaan dual dari model CCR berorientasi input,

Model dari dual CCR berorientasi input adalah sebagai berikut:       + − =

+

− i i r r k

k s s

Z

Minimum θ ε ... (2.7)

− = + + r r j rj

rk Y s 0

Y : st λ

= − − − i j ij i ik

kX s X λ 0

θ

0 s , s , r i

j ≥ − + λ dibatasi tidak k

θ ... (2.8) dimana : Zk

sr+ =

adalah efisiensi dari DMU nilai slack dari output

si− = nilai slack dari input

k =

θ nilai hk j =

λ

(efisiensi relatif) DMU dari primal

beban variabel tiap DMU

Fungsi tujuan dari persamaan 2.8 adalah untuk menemukan nilai minimal faktor θk yang mengindikasikan pengurangan proporsional yang potensial untuk semua input DMUk. fungsi tujuan juga mencari nilai slack terbesar dalam semua dimensi input-output. Dengan kata lain persamaan tersebut menemukan titik rujukan pada fungsi produksi empiris yang menampilkan DMUk dalam karakter efisiensi terburuk. Pembatas model menunjukkan prinsip menutupi yang sudah dijelaskan sebelumnya. Unit jk dikatakan efisien,


(30)

jika nilai slack adalah nol dan θk adalah satu. Sedangkan inefisiensi jika nilai k

θ kurang dari satu dan salah satu nilai slack mungkin positif. Hal ini berarti tiap unit lain yang melebihi unit jk

c. Persamaan dari model CCR berorientasi output

.

Model berorientasi output adalah kebalikan dari model berorientasi input. Sebab itu hasilnya juga harus dibalik atau di-invers atau dipangkatkan negatif satu. Bentuk model ini berlawanan dengan model input. Berikut adalah dasar model rasio berorientasi output:

Minimum

= r rk r i ij i k Y U X V

h , ... (2.9)

(hk adalah efisiensi DMUk

1 Y U X V : st r rk r i ij i ≥

yang dicari) ,

Vi,Ur ≥ε ... (2.10) dimana: hk : efisiensi DMU yang dicari

Ur, Vk : bobot untuk output r, input i ( > ) ε Yrj : nilai dari output ke-r dari DMU ke-j Xij

d. Persamaan Primal dari CCR berorientasi output

: nilai dari input ke-i dari DMU ke-j

Model ini juga masih berbentuk pecahan sehingga juga perlu diubah ke bentuk

linier biasa sebagai berikut:

Minimum hk =

Vi,Xij ... (2.11) (hk adalah efisiensi yang dicari)


(31)

st

UrYrj =1

+

≥ − r i ij i rj

rY VX 0

U

Vi, Ur ≥ε ... (2.12) Dimana: hk : efisiensi DMUyang dicari

Ur, Vk : bobot untuk output r, input i ( > ) ε Yrj : nilai dari output ke-r dari DMU ke-j Xij

ε

: nilai dari input ke-i dari DMU ke-j

: angka positif yang kecil (1x10-6

e. Persamaan dual dari CCR berorientasi output:

) Sedangkan model dual-nya adalah sebagai berikut:

Maksimumkan Zk 

     + +

∑ ∑

+ − r i i r

k ε s s

θ

= ... (2.13)

(Zk adalah efisiensi DMUk 0 X X s ik i j ij

i +

− =

λ ) st 0 Y s Y r j rj r rk

k + −

=

+ λ θ 0 s , s , r i

j ≥

− +

λ ... (2.14) dimana: Zk

+ r s

adalah efisiensi dari DMU = nilai slack dari output

i

s = nilai slack dari input

k

θ = nilai hk (efisiensi relatif) DMUk j

λ

dari primal


(32)

2.4.4.2 Model Variable Return to Scale (VRS)

Asumsi Constant Return to Scale hanya tepat ketika semua unit dioperasikan pada skala optimal. Namun karena kompetisi yang tidak sempurna, keterbatasan dana dan lain-lain yang mungkin menyebabkan unit tidak beroperasi secara optimal. Untuk mengatasi masalah ini model DEA dengan Variable Return to Scale (VRS) telah dikembangkan, dimana variabel technical efficiency yang dipengaruhi oleh scale efficiency pada model CRS akibat ada unit yang tidak beroperasi secara optimal dapat diatasi. Hal ini dilakukan dengan menambah

konstrain konveksitas

= j

j 1

λ , dimana λj adalah batas atas untuk output dan batas bawah untuk input dari DMUj atau dengan kata lain adalah bobot DMUj

0 ≥

( ) terhadap DMU yang dievaluasi.

Berikut adalah equivalent dari persamaan 2.10 untuk formulasi VRS:

a. Persamaan Dual Model VRS berorientasi Input

      + − =

+

− i i r r k

k s s

Z

Minimum θ ε ... (2.15)

− = + + r r j rj

rk Y s 0

Y : st λ

= − − − i j ij i ik

kX s X λ 0

θ

= j j 1 λ 0 s , s , r i

j ≥

− +

λ ... (2.16)

b. Persamaan Dual dari Model VRS berorientasi Output

      + + =

∑ ∑

+ − r i i r k

k s s

Z


(33)

0 s X X : st i i j ij

ik +

+ =

− λ 0 Y s Y r j rj r rk

k − −

=

+ λ θ

= j j 1 λ 0 s , s , r i

j ≥

− +

λ ... (2.18) Perbedaan antara model CRS (2.7 s/d 2.8) dan model VRS (2.15 s/d2.18) adalah ditunjukkan pada λj saat ini yang dibatasi sama dengan 1. Pada model VRS ini ditambahkan sebuah kendala pada model VRS dual (model primal tidak dibahas lagi karena membutuhkan yang lebih rumit, yaitu lebih banyak kendala, namun memberikan hasil yang sama dengan model dualnya). Kendala yang ditambahkan adalah

=

j

j 1

λ yang tidak terdapat pada model CRS. Kendala ini mengakibatkan didapatkannya nilai efisiensi yang lebih tinggi dari pada model CRS, karena pada model CRS tidak hanya dihasilkan efisiensi teknis murni tetapi juga mengikutsertakan skala ketidakefisienan (scale efficiencies) sedangkan yang diukur oleh model VRS adalah efisiensi murni.

Inilah efek dari menghilangkan batasan tersebut pada model CRS yang mengharuskan DMU-DMU pada scale efficient. Sehingga konsekuensinya model VRS mengizinkan variabel kembali pada bentuk skala dan hanya mengukur

Technical Efficiency untuk tiap DMU. Jadi, untuk DMU yang dipertimbangkan menjadi efisien secara CCR, DMU tersebut harus memenuhi Scale Efficiency dan

Technical Efficiency. Sedangkan untuk DMU yang dipertimbangkan menjadi efisien secara VRS, hanya membutuhkan efisien secara teknis (Technical Efficiency).


(34)

2.4.5 Slack pada DEA

Seperti yang sudah diketahui pada pemrograman linier bahwa variabel slack

adalah variabel yang ditambahkan pada kendala pertidaksamaan lebih kecil dari atau sama dengan () untuk mengubah kendala tersebut menjadi bentuk persamaan. Nilai variabel ini diinteprestasikan sebagai jumlah sumber daya yang digunakan. Begitupun pada DEA variabel slack mewakili output yang under production atau input yang over use, sehingga variabel slack dapat dinyatakan sebagai peningkatan (improvement) yang dapat dilakukan untuk membuat DMU tersebut efisien. Peningkatan dapat berupa penambahan output atau pengurangan

input. Slack hanya terjadi jika DMU diproyeksikan ke bidang frontier yang paralel dengan sumbu koordinat.

Gambar 2.4 berikut memberikan ilustrasi tentang variabel slack pada pengukuran efisiensi yang berorientasi input.

Gambar 2.4 Ilustrasi inputslack

Sumber 3 : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis (DEA) (computer) Program” CEPA Working Papers, University Of New England. X2/Y

A’

A

B

C B’

D

O X


(35)

Terdapat dua buah input (X1 dan X2) dan sebuah output (Y). DMU C dan D efisien (=1) sehingga menjadi bungkus atau mendefinisikan frontier bagi DMUA dan B yang tidak efisien (<1). Nilai efisiensi teknis dari DMU A = OA’/OA dan DMU B = OB’/OB. Terlihat bahwa ternyata titik A’ pada frontier masih bisa dikurangi lagi penggunaan input X2 sebesar C-A’ tanpa terjadinya penurunan jumlah output. Inilah yang dimaksud dengan slack pada DEA. Pada sistem yang lebih besar, dengan banyak DMU, input dan output, bisa terdapat input slack

maupun outputslack.

Dengan penjelasan yang setara pada input slack, juga dapat memberi penjelasan bagi gambar 2.5 yang mencontohkan output slack. Efisiensi teknis DMU A = OA/OA’ dan DMU B = OB/OB’. Output slack terjadi pada DMU A sebesar A’-C. Artinya untuk mencapai keefisienan, bagi DMU A selain harus menambah dua jenis output Y1 dan Y2 sejumlah prosentasi yang masih kurang, juga masih harus menambah produksi Y1

Gambar 2.5 Ilustrasi outputslack

Sumber 4 : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis (DEA) (computer) Program” CEPA Working Papers, University Of New England

sejumlah A’-C.

Y2/X

A’

A

B

C B’

D

O Y


(36)

2.4.6 Scale Efficiency dan Pure Technical Efficiency

Beberapa penelitian membagi Technical Efficiency (TE score) yang didapatkan dari CRSDEA kedalam 2 komponen, yaitu Scale Efficiency dan Pure Scal Efficiency, sedangkan output VRS DEA hanya berupa nilai Pure Technical Efficiency dan tidak mengandung Scale Efficiensy. Nilai Scale Efficiency dapat ditunjukkan dengan menghubungkan CRSDEA dan VRSDEA dengan data yang sama.

Sebuah DMU yang menaikkan atau menurunkan skala operasinya dari skala operasi yang optimal, akan menyebabkan turunnya efisiensi. Dengan penggunaan model VRS, DMU tersebut akan dihitung tanpa memperhatikan skala operasinya. Perbedaan efisiensi hasil perhitungan DMU tersebut oleh model VRS dan CRS itulah yang disebut Scale Inefficiency (skala ketidakefisienan). Dapat dilihat dalam ilustrasi gambar 2.6 berikut ini:

Gambar 2.6 Ilustrasi skala ketidakefisienan

Sumber 5 : Coelli T. J., 1996, “A Guide to DEAP Version 2.1: A Data Envelopment Analysis (DEA) (computer) Program” CEPA Working Papers, University Of New England.

Pada gambar 2.5 diterapkan dua macam model yaitu CRS dan VRS pada empat buah DMU yang hanya mempunyai sebuah input dan sebuah output. Jika

Y (Rp)

A

CRS VRS

P V

P P

C

O


(37)

dilakukan pengukuran berorientasi input maka Technical Efficiency

(ketidakefisienan teknis = 1 – efisiensi teknis) yang dihasilkan CRS sebesar P-Pc, sedangkan oleh VRS hanya P-Pv. Perbedaan ini menghasilkan hal yang disebut dengan skala ketidakefisienan dan ikut terkandung dalam hasil CRS sehingga efisiensi yang dihasilkan tidak sebesar pada hasil VRS yang mengandung efisiensi teknis murni saja (efisiensi teknis VRS ≥ CRS). Oleh karena itu untuk penerapan DEA pada DMU yang tidak beroperasi pada skala optimal, lebih baik digunakan model asumsi Variable Return to Scale (VRS).

Sedangkan untuk perhitungannya lebih disukai untuk dikonversikan kedalam kebalikannya, yaitu Skala Efisiensi (SE) yang merupakan perbandingan antara efisiensi yang dihasilakan CRS terhadap efisiensi yang dihasilkan VRS.

Tabel 2.2 Scale Efficiency

DMU CRS Q VRS Q Scale Q

1 0.500 1.00 0.500

2 0.800 0.900 0.889

Pada tabel 2.2 dapat dilihat bahwa TE dapat dibagi menjadi Pure Technical Efficiency dan Scale Efficiency. Scale Efficiency adalah rasio antara TE CRS dan

TE VRS (kolom empat dapat dihitung dengan membagi kolom dua dengan kolom tiga).

VRS Teknis Effisiensi

CRS Teknis Effisiensi Efficiency

Scale = ... (2.19)

atau jika dilihat dari gambar 2.5, scale efficiency-nya adalah:

A.Pv A.Pc A.P

A.Pv A.P A.Pc


(38)

Untuk DMU 2 memiliki Technical Efficiency CRS sebesar 80% dan Technical Efficiency VRS sebesar 90% dan Scale Efficiency 88.9%. apabila output CRS DEA dan VRS DEA sama, dengan kata lain Scale Efficiency sama dengan 1, maka DMU tersebut dikatakan telah beroperasi secara optimal.

2.4.7 Pembatasan Bobot (Weight Restriction)

Dalam model DEA, efisiensi ditentukan dengan memberikan bobot tertentu terhadap input dan output dari DMU, sehingga rasio antara jumlah output yang dibobotkan dengan jumlah input yang dibobotkan akan maksimal. Terlepas dari batasan bahwa bobot untuk input atau output tidak bersifat negatif (total weight input/outpu ≤ 1 ), maka secara implisit, pembatasan bobot adalah kombinasi bobot tersebut tidak membuat nilai salah satu DMU lebih besar dari satu. Dengan adanya fleksibilitas bobot, berarti jika suatu unit didefinisikan sebagai relatif tidak efisien, maka hal ini merupakan suatu pernyataan yang kuat, karena struktur bobot yang digunakan benar-benar merepresentasikan nilai unit yang dievaluasi.

Fleksibilitas bobot merupakan perbedaan utama antara DEA dengan analisa fungsi produksi klasik. Fleksibilitas bobot ini dapat dipahami dengan dua pengertian yaitu :

1 . Tidak ada nilai yang diberikan sebelumnya pada bobot, namun bobot haruslah merupakan suatu nilai positif.

2 . Faktor yang sama mungkin mendapat bobot yang berbeda dalam menentukan efisiensi DMU yang berbeda.

Namun, fleksibilitas bobot ini menyebabkan DEA memiliki kemampuan membedakan (descriminating power) yang lemah. Dalam DEA, unit yang


(39)

memiliki rasio tertinggi antara satu output dengan satu input akan efisien atau hampir mencapai efisien, dengan memberikan bobot tertinggi pada rasio tersebut dan memberikan bobot minimum (ε) pada input dan output yang lain. Rasio yang demikian mungkin terdapat pada banyak unit, sejumlah hasil perkalian dari jumlah output dikali jumlah input. Artinya dalam analisa DEA dengan tiga input

dan empat output, terdapat kemungkinan adanya dua belas unit yang efisien. Berkaitan dengan hal ini, jumlah unit yang dievaluasi seharusnya lebih banyak dari jumlah output dikali jumlah input, agar didapatkan kemampuan membedakan antara unit-unit tersebut.

Pertimbangan lain dengan adanya flesibilitas bobot, maka suatu unit yang efisien, mungkin disebabkan oleh kombinasi bobotnya, bukan oleh sifat efisien sebenarnya dari unit tersebut. Pendekatan untuk mengatasi kelemahan DEA ini adalah dengan pembatasan bobot (weight restriction), yaitu memformulasikan batasan tambahan mengenai bobot untuk menjamin semua faktor menjadi pertimbangan dalam nilai efisiensi dan batasan maksimum untuk menjaga agar suatu faktor tidak direpresentasikan secara berlebihan. Namun penentuan batasan untuk bobot harus sedemikian rupa sehingga tidak menyebabkan terjadinya kecenderungan semua unit diukur dengan bobot yang sama. Jadi pembatasan bobot merupakan kombinasi dari fleksibilitas bobot untuk tiap unit di satu sisi DEA penggunaan bobot yang sama untuk seluruh sistem pada sisi yang lain.


(40)

2.4.8 Most Productive Scale Size (MPSS)

Menurut Banker (1984) Most Productive Scale Size (MPSS) dari input dan

output merupakan ukuran skala dimana output yang dihasilkan per unit input dimaksimasi. Sebelumnya, didefinisikan Production Possibility Set (PPS) yang merupakan penentuan titik sebagai suatu cara yang mungkin dalam memproduksi

output dimana Production Possibility Set (X,Y) ε Tidak adalah α/β ≤ 1. (Banker, R. D., Charnes, A., Cooper, W. W. (1984). (“Some models for estimating technical and scale inefficiencies in Data Envelopment Analysis”).

Konsep MPSS berdasarkan perbandingan produktivitas rata-rata. Dalam memaksimasi produktivitas rata-rata, salah satu harus dapat meningkatkan ukuran skala jika increasting return to scale dan menurunkan ukuran skala jika

descreasing return to scale.

Metode linier programming pada MPSS dapat juga digunakan untuk menentukan target bagi DMU yang memiliki scale inefficiency. Model MPSS adalah sebagai berikut :

a. Input : n ij0

1 j j 0 j x h x             =

= * * λ

... (2.20)

b. Output : n ij0

1 j j 0 r y h y             =

= * * λ

... (2.21)

Sumber 6 : Banker, R. D., Charnes, A., Cooper, W. W. (1984). “Some models for estimating

technical and scale inefficiencies in Data Envelopment Analysis”, Management

Science, vol. 30, pp. 1078-92.


(41)

2.5 Penetapan Target

Data Envelopment Analysis (DEA) tidak hanya mengidentifikasikan unit inefisien, tetapi juga derajat ketidakefisienannya. Analisa ini menjelaskan bagaimana unit yang inefisien agar menjadi efisien.

Dalam situasi praktis, sangat diperlukan penetapan target bagi unit yang relatif inefisien untuk memperbaiki produktivitas. Beberapa target memberikan perbandingan yang kongrit dengan unit mana dapat memonitor produktivitasnya. Semua penetapan DEA menghasilkan suatu penembahan set tingkat input/output.

Beberapa model telah dikembangkan untuk estimasi terget berdasarkan mesing-masing kasus sebagai berikut :

Salah satu input atau output diberikan prioritas untuk diperbaiki.

1 . Input Oriented

Tingkat target input (output) untuk mengembalikan unit menjadi relatif efisien ditentukan dengan mengurangi (meningkatkan) pada tingkat terendah (tertinggi) input (output) yang diberikan prioritas untuk diperbaiki tanpa merusak tingkat input dan output yang lain.

Bagian ini membahas kasus dimana suatu DMU meningkatkan target yang akan memaksimasi salah satu tingkat output atau minimasi salah satu tingkat

input.

Dalam hal ini hanya mempertimbangkan tingkat input. Jika i0 adalah input yang tingkatnya akan diminimasi dalam target DMUj0

   

+

=

= − =

+ m

1 i

i s

1 r

r k

k S S

Z

Minimize θ ε

, maka model berikut ini yang digunakan dalam mengestimasi target.


(42)

0 X X : to Subject m 1 i j ij ij

k

=

= λ

θ

X Si Xik i i0 i 1,2,3...,m

m

1 i

j

ij − −= ≠ =

− =

λ ,

Y Sr Yrk r 1,2,3......,s

s

1 r

j

rj − −= =

+ =

λ

λj,Sr+,Si− ≥0 θk =tidakdibatasi

Definisi simbol telah didefinisikan dalam model (2.3) dengan input i0 yang tingkatnya diberikan prioritas untuk diminimasi dalam target yang telah ditetapkan

Penetapan unit yang efisien dan inefisien sama seperti dalam model (2.14). jika DMUk

k 0 i 0

ij X

Xˆ =θ*

adalah relatif inefisien, maka model berikut memberikan target.

m , ... 1,2,3... i , i i S X

Xˆik = iki−* ≠ 0 =

s , ... 1,2,3... r S Y

Yrk = rk + r =

+*

ˆ ... (2.23)

Sumber 7 : Banker, R. D., Charnes, A., Cooper, W. W. (1984). Some models for estimating

technical and scale inefficiencies in Data Envelopment Analysis”, Management

Science, vol. 30, pp. 1078-92.

Target tersebut menunjukan suatu set tingkat input-output yang mengembalikan DMUk relatif inefisien dengan mereduksi input i0

2 . Output Oriented

sampai pada tingkat terendah dengan tidak memberikan input lain meningkat atau menurun

Dalam hal ini hanya mempertimbangkan tingkat output. DMU menginginkan untuk memaksimasi tingkat output dalam penetapan target, maka model yang dalam estimasi target adalah :


(43)

      + +

= + = − s 1 r r m 1 i i

0 t t

g

Maximize ε ... (2.24)

0 Y Y g : to Subject n j j 0 r j rk

k

α =

m ..., 1,2,3... i X t

X i ik

n

1 j

ij

j + −= =

− =

α s ., 1,2,3... r , r r X t

Y r ik 0

n

1 j

rj

j + −= ≠ =

+ =

α

0 t tr i

j ≥ − +, , α dibatasi tidak k = θ

Dimana simbol telah didefinisikan dalam model (2.3). Dalam proporsi g0, tingkat output r0 diberikan perioritas untuk maksimasi. Jika nilai optimal g0

0 t ti = r =

+ −* *

= 1 dan maka DMU dikatakan relatif efisien. Sebaliknya, maka DMU dikatakan relatif inefisien. Target yang dihasilkan dari model tersebut adalah :

k 0 r k

0

r g Y

Yˆ = *

m , ... 1,2,3... i t X

Xik = iki =

−* ˆ s , ... 1,2,3... r 0, r t Y

Yˆrk = rk + r+* ≠ = ... (2.25)

Sumber 8 : Banker, R. D., Charnes, A., Cooper, W. W. (1984). “Some models for estimating

technical and scale inefficiencies in Data Envelopment Analysis”, Management

Science, vol. 30, pp. 1078-92

Model (2.25) diatas mengukur faktor output yang dapat ditingkatkan untuk mengembalikan DMUk efisien tanpa meningkatkan tingkat input atau menurunkan tingkat output lain.


(44)

2.6 Identifikasi Operasi Yang Efisien

Cook dan Kress (1990) dalam penelitian Green, Doylen, dan Cook (1996), menyarankan bahwa setiap kandidat DMU yang akan dirangking dapat memberikan bobotnya untuk memaksimumkan keinginannya terbatas pada beberapa konstrain dari beberapa kandidat. Batas kelayakan CK (desireability frontier) meliputi kandidat yang menginginkan nilai 1, dimana nilai ini analog dengan efficiency frontier untuk DMU dalam DEA. Model metematis CK untuk kandidat i dan j kandidat adalah:

( )

=

= k

1 j

ij ij

ii Maximize w v

Z ε ... (2.26)

( )

= ≤

= k 1 j

ij ij

iq w v 1

Z :

subject to ε untuk q = 1,2,….,m ... (2.27) dan

( )

j,ε d w wijij+1

( )

k,ε d wik

( )

0d

( )

0 0 d .,ε ,ε ≥ , ., =

( )

ε monotonicincreasingin ε

d ., ... (2.28) Disini, wij adalah bobot dimana kandidat i menempati pilihan j.notasi Zii digunakan sebagai fungsi tujuan untuk menekan bahwa ini adalah evaluasi kandidat i. Sedangkan vqj

Batasan (2.27) merupakan batasan DEA dimana tidak ada kandidat q memiliki nilai lebih dari 1. Berdasarkan Green R.H (1996), Sexton (1998) menyatakan Z

merupakan faktor (input dan output) untuk kandidat q pada faktor ke-j.


(45)

terhadap kelayakan kandidat q. Batasan (2.28) menspesifikasikan suatu set kondisi bobot. Pada prinsipnya, batasan tersebut daerah yang diijinkan untuk bobot. Notasi d(j,ε) menunjukkan fungsi intensitas pemisihan (discrimination intensity function), yang memastikan bahwa pilihan pertama dinilai sedikit lebih tinggi dari pilihan kedua yang dinilai sedikit lebih tinggi dari pilihan ketiga dan seterusnya. Sehingga jika d

( )

j,ε yang digunakan dan tentunya nilai untuk ε . Skor layak, Zij

( )

j,ε d

, didapatkan melalui (2.26)-(2.28), dan perangkingan tergantung pada dan nilai discrimination power (ε). Untuk itu, penggunaan CK memiliki masalah yaitu pemilihan bentuk d

( )

j,ε dan nilai ε. CK mengatasi masalah ini dengan memilih nilai ε. Dengan asumsi d

( )

j,ε > 0 untuk semua j, maka gantikan persamaan (2.26)-(2.28) dengan:

Maximize ε ... (2.29) Subject to :

= ≤

k

1 j

qj ijv 1

w untuk q = 1, 2, …., m ... (2.30)

dan

( )

j,ε

d w

wijij+1 = untuk j = 1, 2, …, k-1

( )

k,ε

d

wik = ... (2.31) Batasan (2.31) telah ditulis dalam sama dengan dan bukan ≥ sebagaimana dalam (2.28)

2.7 Analisa Korelasi

Analisa Korelasi bertujuan untuk menentukan ada tidaknya hubungan dalam dua variabel pada suatu data pengamatan, dan bagaimana serta arah besarnya hubungan tersebut.


(46)

2.7.1 Pengantar Analisis Korelasi

Pada prinsipnya, prosedur korelasi bertujuan untuk mengetahui dua hal pada hubungan antar dua variabel :

1. Apakah kedua variabel tersebut memang mempunyai hubungan yang signifikan.

2. Jika terbukti hubungan adalah signifikan, bagaimana arah hubungan dan seberapa kuat hubungan tersebut.

Analisis korelasi adalah studi yang membahas tentang derajat hubungan antara variabel-variabel, sedangkan yang dimaksud dengan koefisien korelasi

adalah ukuran yang dipakai untuk mengetahui derajat hubungan, terutama untuk data kuantitatif.

Sedangkan uji Korelasi Faktor dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor, dimana suatu faktor tersebut dapat memiliki nilai yang tergantung dari faktor yang lain sehingga faktor tersebut dapat diwakilkan. Analisa korelasi juga berguna untuk mengetahui hubungan antara input-output, dimana peningkatan dalam input seharusnya juga akan meningkatkan output. Analisa korelasi faktor dilakukan dengan menggunakan Software SPSS 11.00, yaitu

Correlate Bivariate dimana parameter yang digunakan adalah nilai dari Pearson Correlation.

Jika nilai Pearson Correlation mendekati 1 maka variabel yang diteliti memiliki keterkaitan yang kuat dengan variabel pembanding. Semakin besar angka korelasi mengidikasikan bahwa faktor yang terkait tersebut sangat dipengaruhi oleh perubahan variabel pembanding karena memliki korelasi yang


(47)

kuat terhadap variabel pembanding sehingga kenaikan atau penurunan nilai variabel ditentukan pula kenaikan atau penurunan nilai dari variabel pembanding.

2.7.2 Asumsi pada Analisa Korelasi

Asumsi – asumsi terkait dengan korelasi yang harus dipenuhi pada analisis korelasi adalah :

1. Besar korelasi atau korelasi antar independen variabel harus cukup kuat, misal diatas 0,5.

2. Pengujian seluruh matrik korelasi (korelasi antar variabel), yang diukur dengan besaran Pearson Correlation.digunakan pilihan Pearson karena korelasi Pearson untuk penggunaan data jenis interval dan rasio. (Santoso, Singgih., 2002., hal 187). Pengujian ini mengharuskan adanya korelasi yang signifikan diantara paling sedikit beberapa variabel.

3. Pada beberapa kasus, asumsi Normalitas dari variabel – variabel atau faktor yang terjadi sebaiknya dipenuhi. (Santoso, Singgih., 2002., hal 187)

2.7.3 Proses Dasar dari Analisis Korelasi

Proses dasar dalam analisis korelasi (Pearson Correlation) adalah meliputi 1. Menentukan variabel apa saja yang akan dianalisis.

2. Menguji variabel – variabel yang telah ditentukan, dengan menggunakan metode Pearson Correlation.

Dimana hipotesis untuk signifikansinya adalah sebagai berikut : Ho : Tidak ada hubungan (korelasi) antara dua variabel.


(48)

Dasar pengambilan keputusan Kriteria dengan melihat probabilitas (signifikan):

- Angka Sig.>0.05, maka Ho - Angka Sig.<0.05, maka H

diterima. o

Secara teori, dikatakan bahwa angka korelasi akan berkisar diantara : ditolak.

- -1, berarti hubungan negatif sempurna. - 0, berarti tidak ada hubungan sama sekali. - +1, berarti hubungan positif sempurna.

Angka Pearson Correlation berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria: - Korelasi antara 0 – 0.5, korelasi cukup kuat.

- Korelasi antara 0.5-1, korelasi kuat.

3. Reduksi dan brainstorming dilakukan berdasarkan nilai korelasi faktor input

dan output, dimana faktor-faktor input dan output yang memiliki nilai korelasi yang sangat kuat agar efektif diringkas menjadi satu faktor.

4. Signifikansi hasil dan interpretasinya, jika terbukti ada hubungan antarvariabel yang signifikan baru interpretasi boleh dilakukan. Jika ternyata tidak ada hubungan yang signifikan, tentu tidak perlu dilakukan interpretasi atas besar korelasi yang diperoleh. (Santoso, Singgih., 2002., hal 191)

2.8 Analisis Cluster (Hierarchical Cluster Analysis)

Proses clustering dengan menggunakan prosedur hierarki didasari konsep “treelike structure“. Konsep ini dimulai dengan menggabungkan dua obyek yang paling mirip, kemudian gabungan dua obyek tersebut akan bergabung lagi dengan satu atau lebih obyek yang paling mirip lainnya. Demikian seterusnya sehingga


(49)

ada semacam hierarki (urutan) dari obyek yang membentuk kelompok (cluster). Urutan – urutan tersebut dapat dianalogikan seperti pohon (treelike) yang dimulai dari akar, batang, dahan, daun, dan seterusnya, yang bercabang – cabang. Secara logika proses clustering tersebut pada akhirnya akan menggumpal menjadi satu

cluster besar yang mencakup semua obyek. Metode ini disebut sebagai metode

agglomerasi (agglomerative Methods), yaitu metode atau cara pembuatan cluster

yang dimulai dari dua atau lebih variabel yang paling mirip membentuk satu

cluster, kemudian cluster memasukan lagi satu variabel yang paling mirip. (S. Singgih, Tjiptono Affandi, 2001, Riset Pemasaranan Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS : hal 74).

Pada proses penentuan peer groups dari unit yang tidak efisien, diperlukan metode yang dapat membantu dalam pengelompokan dari unit-unit yang memiliki karakteristik yang sama. Metode yang digunakan untuk ini adalah Hierarchical Cluster Analysis (HCA). Konsep dasar dari HCA mi adalah proses clustering dengan menggunakan hierarki didasari dengan konsep “treelike structure”. Konsep ini dimulai dengan menggabungkan dua objek yang mirip kemudian gabungan dua objek tersebut akan bergabung lagi dengan objek yang satu atau lebih objek yang paling mirip lainnya dan demikian seterusnya sehingga ada semacam hierarki dan objek yang membentuk cluster, urut-urutan tersebut bisa dianalogikan sebagai pohon yang bercabang-cabang mulai dari akar, daun, dahan dan seterusnya. Secara logika proses clustering tersebut akan membentuk satu cluster besar yang mencakup keseluruhan objek. Metode ini disebut sebagai “agglomerative methods” yang akan digambarkan secara diagram yang disebut sebagai dendogram. (S. Singgih, Tjiptono Affandi, 2001, Riset Pemasaranan Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS : hal 74)


(50)

Kelebihan-kelebihan yang dimiliki HCA technique mendukung dalam perhitungan DEA , antara lain:

1. Hierarchical Cluster Analysis disesuaikan untuk menyelesaikan persamaan yang terdiri atas output jamak maupun input jamak.

2. Dapat membantu dalam pembuktian keabsahan penelitian yang memiliki sampel penelitian yang kecil.

3. Mengelompokkan unit-unit yang berkarakteristik sama secara statistik sehingga memudahkan dalam pembentukan peer group bagi unit yang tidak efisien.

Memperbaiki DEA origin karena dapat menggantikan asumsi umum DEA bahwa data penelitian dianggap representatif terhadap penelitian yang akan dilakukan, sehingga memudahkan dalam penentuan unit yang efisien maupun yang tidak efisien.

2.9. Konsep Pengertian Kualitas Jasa.

Konsep kualitas sendiri pada dasarnya bersifat relative yaitu perspektif yang digunakan untuk menetukan ciri-ciri dan spesifikasi suatu produk.

Jasa sering dipandang sebagai suatu fenomena yang rumit. Kata jasa itu sendiri mempunyai banyak arti, dari mulai pelayanan personal (Personal Service) sampai jasa sebagai produk.

2.9.1.Konsep Dan Pengertian Kualitas.

Menurut The American Society for Quality Control (kotler,1997), kualitas adalah totalitas sifat dan karakter dari produk dan jasa berhubungan dengan


(51)

kemampuan memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Definisi diatas menyiratkan bahwa sebuah perusahaan telah menyampaikan mutu kalau produk atau jasanya sesuai atau melebihi kebutuhan, persyaratan, dan harapan pelanggan.

Pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok berikut ini (Juran,1995) :

• Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan teknologi maupun langsung yan memenuhi kebutuhan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atas penggunaaan produk tersebut. • Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kelemahan atau

kerusakan sehingga dapat mengurangi kepuasan pelanggan.

Berdasarkan pengertian tentang kualitas, tampak bahwa kualitas selalu berfokus kepada pelanggan (customer focused quality), kualitas mencakup produk, jasa dan lingkungan. Kualitas juga merupakan kondisi yang selalu berubah (misalkan apa yang yang dianggap kualitas saat ini mungkin dianggap kurang berkualitas pada masa datang).

2.9.2.Konsep Dan Pengertian Jasa

Kotler (1994) mendefinisikan jasa sebagai suatu tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh suatu pihak kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun (Lupiyadi,2001).

Berdasarkan definisi diatas bahwa di dalam jasa selalu ada interaksi antara pihak konsumen dan pemberi jasa, meskipun pihak yang terlibat tidak selalu menyadari. Jasa adalah suatu proses atau aktivitas, dan aktivitas tersebut tidak berwujud.


(52)

2.9.3.Kualitas Jasa.

Salah satu factor yang menentukan tingkat keberhasilan dan kualitas perusahaan menurut John Sviokla, adalah kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan kepada pelanggan. Pengertian kualitas layanan (service quality) adalah seberapa jauh perbedaan antara kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan mereka yang mereka peroleh atau terima (Lupiyoadi, 2001).

Kualitas layanan dibangun atas adanya perbandingan dua factor utama, yaitu :

Perceived service, yaitu pelayanan yang nyata mereka terima.

Expected service, yaitu pelayanan yang sesungguhnya diharapkan atau diinginkan.

2.10. Peneliti Terdahulu.

Nama/NPM/Tahun : Ujang Purnomo / 0132010075 / 2006

Judul : Analisa Efisiensi Pada Bengkel Perawatan Motor Dengan Metode Data Envelopment Analysis ( DEA )

( Studi Kasus : AHASS Motor Wilayah Mojokerto )

Hasil perhitungan : Hasil yang diperoleh dari perhitungan efisiensi relatif (Technical Efficiency) pada AHASS 0993, AHASS 1466, AHASS 1467, AHASS 0999, AHASS 1472, dan AHASS 1457 terdapat 3 AHASS yang efisien yaitu AHASS 0993, AHASS 1466, AHASS 0972 dengan nilai efisisensi relatifnya masing-masing


(53)

adalah 1,000 dan terdapat 3 AHASS yang inefisien

yaitu AHASS 1467 nilai efisiensi relatifnya 0,873; AHASS 0999 nilai efisiensi relatifnya 0,791; dan AHASS 1957 nilai efisiensi relatifnya 0,866.

Persamaan : Sama–sama menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dalam penelitian.

Perbedaan : Penulis mengambil data dari PT. Trakindo Utama –

Branch East Area, sedangkan peneliti terdahulu yang tersebut diatas mengambil data dari AHASS Motor Wilayah Mojokerto.

Nama /NPM/Tahun : Eko Edy Saputro / 0232010188 / 2007

Judul : Analisa Efisiensi Pada Bengkel Resmi AUTO2000 Dengan Metode Data Envelopment Analysis ( DEA )

( Studi Kasus : di Wilayah Surabaya )

Hasil perhitungan : Hasil yang diperoleh dari perhitungan efisiensi relatif (Technical Efficiency) terdapat 3 (tiga) Bengkel Resmi Toyota AUTO2000 yaitu AUTO2000 Ahmad Yani, AUTO2000 Mayjend Sungkono, dan AUTO2000 Jemursari. Sedangkan AUTO2000 Basuki Rahmat adalah bengkel resmi AUTO2000 yang inefisien atau tidak efisien dengan nilai efisiensi relatifnya sebesar 0.9901661.


(54)

Persamaan : Sama–sama menggunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dalam penelitian.

Perbedaan : Penulis mengambil data dari PT. Trakindo Utama –

Branch East Area, sedangkan peneliti terdahulu yang tersebut diatas mengambil data dari Bengkel Resmi AUTO2000 Wilayah Surabaya


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian ini, pengumpulan data dilakukan di PT. Trakindo Utama–Branch East Area yang bertempat di Jl. Raya Rungkut Industri no.2 Surabaya. Waktu pengumpulan data beserta penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2009 hingga data yang dibutuhkan terpenuhi.

3.2 Identifikasi dan Definisi Variabel

Dalam penyelesaian permasalahan pengukuran efisiensi tiap-tiap Decision Making Unit (DMU), yang diambil dari PT. Trakindo Utama – Branch East Java

Yang mana dalam pengukuran tersebut penulis menggunakan pemecahan masalah dengan model DEA. Dan diharapkan dengan perhitungan menggunakan model DEA ini dapat diketahui tingkat efisiensi dari tiap-tiap DMU tersebut. Adapun variabel-variabel yang digunakan:

1. Variabel Terikat

Yaitu variabel yang nilainya tergantung dari variasi perubahan variabel bebas. Variabel terikat yang diteliti adalah efisiensi relatif masing-masing cabang. Nilai efisiensi relatif DMU yang dicari (hk

2. Variabel Bebas

), yang merupakan efisiensi teknis yaitu kemampuan sebuah unit untuk menghasilkan output semaksimal mungkin dari sejumlah input yang digunakan.


(56)

Dimana variabel dari masing-masing DMU yang nantinya diambil datanya yaitu sebagai berikut :

a. Input

- Redo Job, yaitu banyaknya pekerjaan yang dilakukan secara berulang ulang karena kerusakan yang sama.

- Jumlah mekanik, yaitu jumlah tenaga kerja yang memperbaiki segala keluhan customer.

- Biaya operasional yaitu biaya total yang digunakan dalam proses servis itu sendiri.

- Jumlah Man Hours Rating, adalah jumlah jam kerja mekanik dalam penyelesaian pekerjaan.

b. Output

- Total pekerjaan, yaitu jumlah pekerjaan yang terselesaikan oleh pegawai (mekanik).

- Total pendapatan, yaitu total pendapatan yang diterima oleh PT. trakindo Utama dari pelayanan servis dan pekerjaan yang terselesaikan.

- Total Quality, yaitu nilai kualitas dalam setiap penyelesaian pekerjaan sehingga menghasilkan kepuasan pelanggan.

- Jumlah customer, yaitu jumlah customer yang menggunakan jasa pelayanan di PT. Trakindo Utama

- Kelengkapan suku cadang, yaitu kelengkapan suku cadang yang disediakan oleh PT. Trakindo Utama-Branch East Area.

Notasi input dan output dalam penelitian ini didefinisikan dalam bentuk Xij dan Yrj dimana Xij menunjukan banyaknya input ke-i pada DMU ke-j, sedangkan


(57)

Yrj menunjukan banyaknya output ke-r pada DMU ke-j. Deskripsi lebih lanjut dapat dilihat pada tabel 3 – 1. berikut:

Tabel 3 – 1. Simbol input dan output

Simbol

i Input

Simbol

r Output

i = 1 Redo Job r = 1 Total Pendapatan

i = 2 Jumlah Man Hours Rating r = 2 Total Pekerjaan i = 3 Biaya Operasional r = 3 Total Quality

i = 4 Jumlah Mekanik r = 4 Jumlah Customer

r = 5 Kelengkapan suku cadang

Sedangkan untuk Decision Making Unit (DMU) adalah sebagai berikut : Tabel 3 – 2. Simbol Decision Making Unit (DMU)

Simbol j

DMU

PT. Trakindo Utama KOTA

j = 1 PTTU Surabaya Surabaya

j = 2 PTTU Bojonegoro Bojonegoro

j = 3 PTTU Denpasar Denpasar

j = 4 PTTU Kupang Kupang


(58)

3.3. Flow Chart Pemecahan Masalah

Mulai

Tinjauan Pustaka

Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Identifikasi Variabel

Pengumpulan Data Input-Output

Analisa Faktor Uji Korelasi Faktor Correlate Bivariate-Person

Correlation

Orientasi Perusahaan

A

Penggunaan Model DEA

Perhitungan Efisiensi Relatif Tiap DMU

Penentuan DMU yang Efisien dan

Inefisien

Analisa Faktor DEA


(1)

= 747,4504 2. DMU 3

=2,717857(0,00) + 1,717857(471) + 1,217857(233) + 0,884524(4) + 0,634524(848) + 0,434524(78,18) + 0,267857(87) + 0,125000(77)

= 1701,385 3. DMU 4

=2,717857(39,22) + 1,717857(631) + 1,217857(332) + 0,884524(3) + 0,634524(176) + 0,434524(69,83) + 0,267857(103) + 0,125000(70)

= 1775,903 4. DMU 5

=2,717857(3,31) + 1,717857(1361) + 1,217857(83) + 0,884524(6) + 0,634524(212) + 0,434524(48,68) + 0,267857(105) + 0,125000(77)

= 2646,81

Dari hasil pengolahan pada lampiran VII didapatkan nilai maksimum e adalah 0,000378. nilai pada tabel 4.19 dikalikan dengan nilai e, sehingga didapatkan hasil pada tabel 4.20 dibawah ini:

Tabel 4.20 Ranking DMU Efisien

No.

Sebelum Diurutkan Setelah Diurutkan

DMU Cross-Efficiency DMU Cross-Efficiency

1 2 0,282536 5 1,000494

2 3 0,643124 4 0,671291

3 4 0,671291 3 0,643124


(2)

1

0.671291

0.643124

0.282536

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

DMU 5 DMU 4 DMU 3 DMU 2

Gambar 4.3 Perankingan DMU Efisien

Keterangan:

1. Ranking 1 : DMU 5 (PTTU MATARAM) 2. Ranking 2 : DMU 4 (PTTU KUPANG) 3. Ranking 3 : DMU 3 (PTTU DENPASAR) 4. Ranking 4 : DMU 2 (PTTU BOJONEGORO)

DMU 1 (PTTU SURABAYA) tidak masuk dalam perankingan DMU karena DMU 1 memiliki nilai TE < 1. Sedangkan yang dilakukan perankingan hanya DMU yang efisien (memiliki nilai TE = 1)

4.3 Analisa dan Pembahasan

Dari hasil keseluruhan perhitungan dan hasil pengolahan data yang telah dilakukan sebelumnya dapat diketahui:

1. Berdasarkan hasil korelasi faktor terhadap variabel input dan output yang berpengaruh pada tingkat efisiensi PT.Trakindo Utama – Branch East Area

didapatkan spesifikasi sebagai berikut: a. Variabel input terdiri dari:


(3)

- Redo Job

- Jumlah Man Hours Rating

- Biaya Operasional - Jumlah Mekanik

b. Variabel output terdiri dari: - Total Pendapatan - Total Quality

- Total Pekerjaan

- Kelengkapan Suku Cadang

2. Dengan menggunakan model DEA CRS Primal didapatkan 4 DMU yang efisien yaitu DMU 2, DMU 3, DMU 4, dan DMU 5 yang memiliki nilai efisiensi relatif sebesar 1,000000 (TE = 1), dan 1 DMU yang inefisien yaitu DMU 1 yang memiliki nilai efisiensi reltif sebesar 0,8909106 (TE<1)

3. Dari perhitungan CRS Primal didapatkan nilai bobot rata-rata untuk tiap faktor yang berpengaruh pada efisiensi DMU 1 tersebut berdasarkan nilai bobot masing-masing yaitu:

1. Variabel Redo Job dengan bobot sebesar 0,0000002

2. Variabel Man Hours Rating dengan bobot sebesar 0,0013116 3. Variabel Biaya Operasional dengan bobot sebesar 0,0004726 4. Variabel Jumlah Mekanik dengan bobot sebesar 0,0591258 5. Variabel Total Pendapatan dengan bobot sebesar 0,000268 6. Variabel Total Quality dengan bobot sebesar 0,0000002 7. Variabel Total Pekerjaan dengan bobot sebesar 0,0019050


(4)

Faktor yang memiliki nilai bobot yang kecil memiliki pengaruh yang kecil pula terhadap peningkatan produktivitas. Jika nilai bobot faktor besar maka memiliki pengaruh yang kuat terhadap efisiensi relatif DMU.

4. Penentuan Peer Group untuk DMU inefisien yaitu DMU 1 (PTTU SURABAYA) dilakukan dengan metode HCA (Hierarchical Cluster Analysis). Didapatkan jarak Eucledian terkecil yang terbentuk antara DMU 1 dan DMU 3 yaitu sebesar 10954511.

5. Dan sebagai strategi perbaikan bagi DMU 1 dalam meningkatkan efisiensi relatifnya menjadi 1 atau sebesar 100% antara lain :

Pada PTTU Surabaya, Redo Job dari 5,00% dikurangi menjadi 0,00% (meminimasi sebesar 100%), Jumlah Man Hours Rating 2125 jam dikurangi menjadi 1895 jam (meminimasi sebesar 10,82%), Biaya Operasional Rp.3.411.000.000 dikurangi menjadi Rp. 937.219.900 (meminimasi sebesar 33,07%), jumlah mekanik 47 orang dikurangi menjadi 16 orang (meminimasi sebesar 65,96%). Sedangkan output yang perlu ditingkatkan adalah total Quality 83,21% menjadi 86% (memaksimasi sebesar 3,35%), total pekerjaan 252 unit menjadi 350 unit (memaksimasi sebesar 38,89%), kelengkapan suku cadang 72% menjadi 76% (memaksimasi sebesar 2,78%) dan output yang tidak perlu ditingkatkan adalah total pendapatan sebesar Rp.3.411.000.000. 6. Perangkingan pada PT.Trakindo Utama – Branch East Area menunjukkan

bahwa PTTU Mataram menduduki rangking pertama dari kelima cabang lain, yang kemudian berturut-turut diikuti oleh cabang lainnya, yaitu PTTU Kupang, PTTU Denpasar, PTTU Bojonegoro dan PTTU Surabaya.


(5)

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil pengolahan data serta analisa yang telah dilakukan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Nilai efisiensi relatif tiap cabang di PT.Trakindo Utama-Branch East Area

yang didapat dari hasil pengolahan data dengan menggunakan model DEA CRS Primal yaitu:

a. Untuk PTTU Bojonegoro, PTTU Denpasar, PTTU Kupang dan PTTU Mataram nilai efisiensi relatifnya masing-masing adalah 1,000000 artinya ke cabang di PT.Trakindo Utama-Branchg East Area tersebut efisien. b. Untuk PTTU Surabaya nilai efisiensi relatifnya 0,8909106, karena lebih

kecil dari 1 maka PTTU Surabaya adalah cabang yang inefisien.

2. Berdasarkan strategi perbaikan input dan output untuk cabang yang inefisien yaitu PTTU Surabaya perlu melakukan perbaikan (pengurangan) untuk variabel input dan perbaikan (peningkatan) untuk variabel output, seperti: redo job dari 5,00% dikurangi menjadi 0,00% (meminimasi sebesar 100%), jumlah man hours rating 2125 jam dikurangi menjadi 1895 jam (meminimasi sebesar 10,82%), biaya operasional Rp.3.411.000.000 dikurangi menjadi Rp. 937.219.900 (meminimasi sebesar 33,07%), jumlah mekanik 47 orang dikurangi menjadi 16 orang (meminimasi sebesar 65,96%). Sedangkan output yang perlu ditingkatkan adalah total Quality 83,21% menjadi 86% (memaksimasi sebesar 3,35%), total pekerjaan 252 unit menjadi 350 unit


(6)

(memaksimasi sebesar 38,89%), kelengkapan suku cadang 72% menjadi 74% (memaksimasi sebesar 2,78%) dan output yang tidak perlu ditingkatkan adalah total pendapatan sebesar Rp.3.411.000.000.

5.2 Saran

Adapun saran yang dapat kami berikan seperti:

1. Untuk meningkatkan efisiensi relatifnya, DMU 1 (PTTU Surabaya) perlu melakukan perbaikanseperti Redo Job adalah suatu pekerjaan yang dikerjakan ulang, maka harus dikurangi, kelengkapan suku cadang ditingkatkan guna meningkatkan total Quality. Jumlah Man Hours Rating dikurangi, biaya operasional dikecilkan dan total pekerjaan ditambah untuk meningkatkan total pendapatan, jumlah mekanik terlalu banyak dapat dipindahkan ke cabang yang masih memerlukan tenaga mekanik.

2. Bagi cabang yang telah efisien, bukan berarti tidak ada yang harus diperbaiki atau ditingkatkan tetapi harus terus dikontrol segala faktor yang berpengaruh pada operasional setiap unit kerja sehingga cabang-cabang tetap efisien.