Alat dan Bahan Analisis Data Kualitas Udara Lokasi Penelitian

BAB III METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu terpengaruh debu vulkanik di Kota Solo kontrol. Pembuatan sediaan mikroskopis anatomi daun dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam FMIPA IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai dengan bulan Agustus 2011.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau silet, tabung film, kertas label, termometer air raksa, mikrotom, counter, parafin strectcher, hot plate, mikroskop biasa, mikroskop foto, oven, gelas ukur, kamera digital, dan alat tulis. Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 70, akuades, asam asetat glacial, etanol, entellan, fast-green, clorox, formaldehid, gliserin, parafin oil, parafin, sampel daun akasia dan mahoni, safranin, tertier butyl alcohol TBA dan xilol.

3.3 Jenis Data

Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari pengambilan sampel di lapangan dan pengamatan struktur anatomi daun. Data sekunder yang diambil adalah data kandungan udara Yogyakarta dan Solo dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota.

3.3.1 Data Primer

Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah : a. Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi ukuran stomata panjang dan lebar, kerapatan stomata, indeks stomata, kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata. Kerapatan stomata dan indeks stomata dihitung dengan menggunakan rumus: Kerapatan stomata = � ℎ � � � � � Indeks stomata = � � + � � � x 100 b. Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, jaringan epidermis, jaringan palisade, jaringan bunga karang dan kutikula.

3.3.2 Data Sekunder

Data sekunder penelitian ini berupa data kualitas udara Kota Yogyakarta dan Solo serta kondisi lingkungan yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup BLH dan Biro Pusat Statistik BPS masing-masing kota.

3.4 Metode Pengambilan Data

3.4.1 Penentuan Plot Pengamatan

Plot pengamatan diambil di dua kota yaitu Kota Yogyakarta sebagai daerah yang tercemar debu vulkanik dan daerah Sukoharjo Solo sebagai daerah kontrol. Lokasi pengambilan sampel pohon masing-masing jenis pada kedua kota dilakukan secara acak. Sampel daun tercemar diambil di jalan Cendana Selatan Mandalakrida, Jalan Cendana Depan Mandala Krida, Jalan Gondosuli, Jalan Bimasakti, Jalan Jendral Soedirman dan Pertigaan Munggur Lampiran 1. Sampel daun kontrol diambil di Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jendral Soedirman, dan Jalan Jendral Ahmad Yani Lampiran 2.

3.4.2 Penentuan Jenis Pohon

Penentuan jenis pohon dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap lokasi penelitian. Jenis pohon yang diambil berdasarkan jenis-jenis yang banyak ditanam dalam rangka pemulihan kondisi udara Kota Yogyakarta dan berdasarkan pada tingkat ketebalan daun yaitu sedang dan tipis. Jenis pohon yang dipilih adalah akasia dan mahoni.

3.4.3 Pengambilan Sampel Daun

Sampel daun yang digunakan untuk pengamatan irisan paradermal diambil dari 5 ulangan pohon pada posisi daun ke 6 dari pucuk pada 3 arah percabangan yang berbeda. Kemudian untuk kebutuhan irisan transversal, daun yang diambil adalah daun ke 5 dari pucuk pada 3 percabangan yang berbeda dengan 3 ulangan pohon. Masing-masing daun kemudian dimasukan ke dalam tabung film yang sudah diisi alkohol 70 dan diberi label.

3.4.4 Pembuatan Sediaan Mikroskopis

Sampel daun yang telah diambil kemudian diamati di Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Pengamatan dilakukan terhadap irisan paradermal dan irisan transversal daun. 1. Irisan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan pewarnaan safranin 1 mengikuti metode Wholemount Sass 1951 yaitu : a. Daun difiksasi dalam alkohol 70 b. Larutan fiksatif dibuang dan diganti dengan akuades c. Daun dilunakan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50 selama 2 hari, kemudian daun dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali. d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun akasia disayat dengan menggunakan silet. Untuk jenis tanaman mahoni hanya dilakukan penyayatan lapisan bawah daun saja. Sebab setelah pengamatan pendahuluan diketahui bahwa pada daun mahoni, stomata hanya dijumpai pada permukaan abaksial. e. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikut, sayatan epidermis direndam dalam larutan kloroks bayclean selama beberapa menit dan dicuci dengan akuades. f. Irisan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin 1 aquosa selama 1-3 menit, diletakan pada gelas objek yang telah diberi media gliserin 30 dan ditutup dengan gelas penutup kemudian diamati dibawah mikroskop. Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan paradermal adalah ukuran panjang, lebar, kerapatan dan indeks stomata serta kerusakan sel episermis dan abnormalitas stomata. Penghitungan kerapatan dan indeks stomata serta pengukuran stomata dilakukan pada 5 bidang pandang dengan perbesaran 10 x 40. 2. Irisan transversal menggunakan metode parafin Johansen 1940. Adapun tahapan pembuatan preparat daun adalah sebagai berikut : a. Fiksasi : bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang terdiri dari formaldehid, asam asetat glacial dan alkohol 70 dengan perbandingan 5:5:90. b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50 sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing 1 jam. c. Dehidarasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII Lampiran 3. d. Infiltrasi : wadah berisi material dan campuran TBA, minyak parafin serta parafin beku disimpan pada suku kamar selama 1 sampai 4 jam tutup dibuka, lalu dimasukan dalam oven 58 C selama 12 jam tutup dibuka. Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian parafin setiap 6 jam dalam oven pada suhu 58 C. e. Penanaman blok : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam oven pada suhu 58 C. Selanjutnya material ditanam dalam blok parafin. f. Pelunakan jaringan : blok yang berisi material dilunakan dengan merendam dalam larutan Gifford Lampiran 4 selama dua minggu. g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm. h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 40 C selama 24 jam. i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari sarafin 2 dalam akuades dan fast-green 0,5 dalam etanol 95. j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas penutup, diberi label dan dimasukan ke dalam oven 50 C selama 24 jam. k. Pengamatan di bawah mikroskop. Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan transversal adalah tebal daun, tebal kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan tebal jaringan bunga karang. Pengukuran setiap parameter irisan transversal dilakukan pada 4 bidang pandang di bawah mikroskop.

3.5 Analisis Data

Analisis data menggunakan uji t-student dengan menggunakan software Statistic Product and Service Solution SPSS 17.0 untuk menguji perbandingan anatomi daun antara tanaman daerah yang tercemar debu vulkanik Gunung Merapi dengan daerah kotrol atau daerah yang relatif tidak tercemar. Parameter anatomi yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran stomata, kerusakan sel epidermis, abnormalitas stomata, tebal daun, tebal jaringan kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan jaringan bunga karang. Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95 dengan asumsi: H :Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati. H 1 : Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh yang nyata terhadap parameter yang diamati. Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai signifikansi. Signifikansi 0,05 = Berbeda Nyata Tolak H , terima H 1 Signifikansi 0,05 = Tidak Berbeda Nyata Tolak H 1 , terima H BAB IV KONDISI UMUM LOKASI

4.1 Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta

4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi

Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30 - 8º 15 lintang selatan dan 110º 04 - 110º 52 Bujur Timur. Sebagai identitas daerah, Provinsi D.I.Y. menetapkan identitas flora adalah pohon kepel Stelechocarpus burahol dan faunanya perkutut Geopelia striata. Iklim di Daerah Istimewa Yogyakarta termasuk tipe C Smith dan Ferguson yaitu rata-rata curah hujan 2.070 milimeter pertahun dengan 99 hari hujan. Suhu rata-rata 26,7º C dan kelembaban rata-rata 83,4 . Luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km², kurang lebih hanya 0,17 dari seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari separuh luas wilayahnya merupakan tanah kering, yang penggunaannya dapat dibedakan atas lahan sawah, lahan kering dan hutan. Jenis tanahnya dapat dibedakan atas regosol, latosol, dan alluvial. Provinsi ini mempunyai elevasi yang bervariasi mulai dari vulkano, pegunungan, dataran rendah, dan pesisir. Kawasan hutan DIY berdasarkan SK. 171Kpts-II 2000 tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut: 1. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Darat : 910,34 Ha. 2. Hutan Lindung : 2.067,90 Ha. 3. Hutan Produksi Tetap : 13.851,28 Ha. Daerah Istimewa Yogyakarta luas wilayahnya hampir 50 masuk ke wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan luas 1.485,35 Km², dengan kondisi fisik di sebelah selatan merupakan kawasan pegunungan kapur yang merupakan rangkaian dari Pegunungan Seribu dengan kondisi tanah yang tandus dan rawan kekeringan pada musim kemarau. Sedangkan kawasan utara Kabupaten Sleman khususnya lereng Merapi adalah hulu Sungai Krasak, Boyong, Bedog dan Kuning yang umumnya merupakan sungai-sungai rawan banjir lahar dingin. Kemudian di kawasan Pegunungan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah rawan bencana tanah longsor. Secara administratif Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri atas satu kota Yogyakarta dan empat kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo dan Gunung Kidul.

4.1.2 Topografi

Secara umum, Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan kemiringan relative sama yaitu sekitar 0,5 - 2, kecuali di beberapa tempat terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya luas kurang lebih 1657 ha terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha berada pada ketinggian antara 100-199 m. 4.1.3 Geologi Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang berada di dataran lereng Gunung Merapi fluvia volcanic foot plain yang garis besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.

4.1.4 Hidrologi

Terdapat 3 sungai yang melintasi Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Gede di bagian tengah dan Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase utama kota Yogyakarta. Wilayah Kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakn disebabkan oleh praktek-paraktek sanitasi yang buruk, baik pada lingkungan pemukiman maupun non pemukiman.Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan dan air tanah.

4.1.5 Iklim

Berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, wilayah Kota Yogyakarta termasuk tipe iklim “Am dan Aw”, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan tropic dengan suhu bulan tertinggi 18 ºC Handoko 1994. Curah hujan rata-rata 2,012 mmtahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembapan rata-rata 75. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 kmjam.

4.2 Kota Solo Surakarta

Kota Surakarta adalah Kota terbesar kedua setelah Kota Semarang di Provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta terletak disebelah barat sungai Bengawan Solo. Pertumbuhan Kota Surakarta berkembang kedua arah, yaitu perkembangannya terjadi ke arah utara dan ke arah barat. Perkembangan ke arah utara terjadi karena arah tersebut masih banyak lahan kosong dan resiko untuk banjir relatif kecil dibandingkan dengan arah selatan. Kota Surakarta memiliki sejarah yang panjang serta memiliki tradisi yang khas, dan sudah lama menjadi pusat peradaban kebudayaan di Jawa. Kota ini didirikan pada tahun 1745, ketika Sultan Pakubuwono II memindahkan ibukota dari Kartosura ke Desa Sala di tepi Bengawan Solo, yang kelak namanya berubah menjadi Kota Surakarta. Pada tahun 1795 kota ini dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran, akibat terdapat dua istana menyebabkan adanya fokus kembar di Kota Surakarta hingga saat ini.

4.2.1 Letak Geografis dan Administrasi

Secara Geografis Kota Surakarta terletak diantara 110 45 15- 110 4535 Bujur Timur dan 7º 36 - 7º 56 Lintang Selatan. Kota Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang ini lebih dikenal dengan Kota Solo. Lokasi kota ini berada di dataran rendah yakni ± 92 m di atas permukaan laut yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur. Di sebelah selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Solo. Batas administrasi Kota Surakarta adalah sebagai berikut : a. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar. b. Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar. Luas Kota Surakarta yaitu 4404,06 hektar yang terdiri dari lima kecamatan dan 51 kelurahan

4.2.2 Topografi

Kota Surakarta terletak pada ketinggian rata-rata 92 m dari permukaan laut. Topografinya relatif dasar dengan kemiringan 0-3. Daerah terendah di daerah timur dengan ketinggian 85 m dari permukaan laut, memiliki kemiringan rata-rata 0,3. Kota Surakarta dilalui oleh beberapa sungai yang merupakan anak Sungai Bengawan Solo. Dengan kondisi topografi yang demikian, maka sering terjadi genangan banjir akibat meluapnya sungai-sungai tersebut, terutama di daerah yang berada di sepanjang aliran sungai.

4.2.3 Geologi

Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir regosol kelabu dengan nilai permeabilitas k bervariasi 10-4 – 10-6 yang relatif dapat membantu penyerapan percolation drainage selama belum jenuh air tergantung kondisi muka air tanah. Dibeberapa tempat pada elevasi tinggi terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta bagian timur berbatasan dengan Sungai Bengawan Solo daerah Keraton dan Kedunglumbu merupakan endapan lumpur relatif padat bekas rawa pada zaman dahulu. Daya dukung tanah bearing capacity pada dataran Kota Surakarta antara 0,50-1,75 Kgcm 2 , Rata-rata 0,80 Kgcm 2 . 4.2.4 Hidrologi Kondisi hidrologi di wilayah Kota Surakarta mencakup air permukaan yang berupa sungai dan air tanah dangkal dan dalam. Di wilayah perencanaan Kota Surakarta, terdapat beberapa sungai yang merupakan bagian dari sistem drainase Kota Surakarta, yaitu : a. Bengawan Solo Terletak di perbatasan timur Kota Surakarta, yang menjadi muara semua sungai yang ada di Kota Surakarta, kondisi air mengalir sepanjang tahun. b. Kali Anyar Terletak di bagian tengah Kota Surakarta dari arah barat menuju ke timur yang bermuara di Bengawan Solo. Kondisi air Kali Anyar mengalir sepanjang tahun, namun pada Kali Anyar Hilir pada musim kemarau tidak ada aliran air karena dari Kali Anyar hulu dialirkan menuju Kali Pepe sebagai glontoran. c. Kali Pepe Kali Pepe terletak di bagian tengah Kota Surakarta dan merupakan anak Kali Anyar yang berfungsi sebagai jaringan drainase dan pengglontor yang bermuara di Bengawan Solo. d. Kali Palemwulung Kali Pelemwulung terletak di perbatasan selatan Kota Surakarta dari arah barat mengalir ke arah timur dan bermuara di Bengawan Solo. e. Kali Jenes Kali Jenes terletak di bagian Selatan Kota Surakarta yang merupakan anak sungai Kali Pelemwulung yang mengalir menuju muara Kali Pepe. Sedangkan kondisi air tanah dangkal, memiliki kedalaman relatif dangkal, yaitu antara 5-10 m di Kota Surakarta bagian selatan dan 10-20m di Kota Surakarta bagian utara. Sebagian wilayah, masyarakat masih menggunakan air tanah dangkal tersebut untuk kebutuhan air bersih. Sedangkan air tanah dalam 100m dimanfaatkan oleh PDAM untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, serta sebagian oleh perusahaan swasta industri untuk memenuhi kebutuhan proses produksinya.

4.2.5 Iklim

Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta pada tahun 2010 berkisar antara 24,9ºC sampai dengan 28,6 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Juni sedangkan yang tertinggi pada bulan September. Kelembaban udara relatif berkisar antara 64 bulan September sampai dengan 85 bulan Februari. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian

Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan Lingkungan Hidup masing-masing kota Lampiran 5 – 8. Kemudian dilakukan perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO 2 , NO 2 , dan TSP pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010 Parameter Lokasi Yogyakarta Solo Sebelum Sesudah BML 1 Sebelum Sesudah BML 2 SO 2 µgNm 3 535,60 53,6 900 9,28 15,41 632 NO 2 µgNm 3 57,59 533,6 400 24,80 81,54 316 TSPµgNm 3 172 418 230 - - 230 Keterangan : kurang dari 10µgNm 3 Sumber : BLH Solo dan BLH Yogyakarta 2010 Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 Tabel 4. Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah pengambilan sampel daun. Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui bahwa konsentrasi SO 2 , NO 2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO 2 adalah parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi. Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan SO 2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO 2 dikarenakan gas SO 2 sudah lebih dulu dikeluarkan pada saat erupsi-erupsi kecil dari Gunung Merapi. Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO 2 sudah jauh berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO 2 pada data pengukuran pasca letusan Gunung Merapi. Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001 tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan hasil yang sangat kecil 10 µg sehingga parameter tersebut termasuk dalam parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi. Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO 2 900 µgNm 3 , NO 2 400 µgNm 3 , dan TSP 230 µgm 3 . Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999 pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambient nasional. Peristiwa meletusnya Gunung Merapi memberikan dampak yang terlihat nyata pada kandungan bahan pencemar di udara terutama TSP. Hal ini terlihat dari data hasil pemantauan kualitas udara yang secara khusus dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta pada tanggal 5 November 2010. Laporan hasil uji udara ambien Kota Yogyakarta pasca meletusnya gunung Merapi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010 Lokasi Parameter CO SO x NO x PM 2,5 PM 10 BML = 35 ppm BML = 0.340 ppm BML = 0.212 ppm BML = 65 µgNm 3 BML = 150 µgNm 3 1 9 0.03 0.28 192 204 2 12 0.01 0.31 224 253 3 9 0.02 0.29 205 418 4 3 0.09 0.28 159 180 5 0.1 0.05 13 35 Keterangan : 1. Perempatan jalan Magelang 2. Jalan Urip Sumoharjo 3. Perempatan Tugu 4. Perempatan Wirobrajan 5. Terminal Giwangan Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu Perempatan Jalan Magelang 1, Jalan Urip Sumoharjo 2, Perempatan Tugu 3, Perempatan Wirobrajan 4, dan Terminal Giwangan 5 menunjukan perubahan yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3 merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5 yang letaknya lebih jauh. Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran diameter aerodinamik 10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM 10 . Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik 2,5 µm. Kandungan PM 2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µ gNm 3 terpantau di daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM 10 tertinggi terpantau di daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µgNm 3 . Angka ini sangat jauh melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153 tahun 2002 yaitu 65 µgm 3 untuk PM 2.5 dan 150 µgNm 3 untuk PM 10. Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah baku mutu udara 13 µgNm 3 untuk PM 2.5 dan 35 µgNm 3 untuk PM 10 . Kandungan bahan pencemar yang lain seperti CO dan SO 2 secara keseluruhan masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO 2 pada daerah jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML. Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO 2 dan NO 2 di udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO 1996 dalam Pudjiastuti 2002 pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman Riikonen et al. 2010. Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis. Kristanto 2004 menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke permukaan daun dan menghambat pertukaran CO 2 ke atmosfer. Terganggunya proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka pada jaringan epidermis, hal ini disebabkan karena debu vulkanik mengandungsilika SiO 2 yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO 2 dan NO 2 dapat mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun bila terserap Sinuhaji 2011. Sedangkan gas SO 2 dan NO 2 dapat menyebabkan kerusakan pada bagian sel penjaga dan sel epidermis dalam konsentrasi tertentu. Respon masing-masing tanaman terhadap tingginya konsentrasi bahan pencemar berbeda pada masing-masing tanaman. Jahar and Iqbal 1992 menyebutkan bahwa tiap jenis tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri dalam merespon pencemar udara. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis tanaman dan susunan genetiknya. USDA Forest Service 1989 menjelaskan bahwa faktor lain seperti pertumbuhan pohon dan jarak terhadap sumber polusi, konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan. Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan terhadap gas pencemar yang ada Fitter dan Hay 1981.

5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia

Dokumen yang terkait

Strategi Pengembangan Pariwisata di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta Sebagai Tonggak Awal Bangkitnya Masyarakat Sleman Pasca Letusan Merapi

0 5 15

Identifikasi Struktur Anatomi Daun Angsana dan Beringin Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Erupsi Gunung Merapi

3 42 165

Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari, Akasia dan Kayu Manis terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor

0 3 76

PENELITIAN HUKUM/SKRIPSI PELAKSANAAN REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN LINDUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI (TNGM) AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI MELALUI PENGHIJAUAN DI KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

0 2 11

BAB 1 PENDAHULUAN PELAKSANAAN REHABILITASI KERUSAKAN HUTAN LINDUNG TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI (TNGM) AKIBAT LETUSAN GUNUNG MERAPI MELALUI PENGHIJAUAN DI KABUPATEN SLEMAN PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

0 4 19

INVENTARISASI TUMBUHAN PADA KETINGGIAN YANG BERBEDA PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI JALUR Inventarisasi Tumbuhan Pada Ketinggian Yang Berbeda Pasca Letusan Gunung Merapi Jalur Pendakian Balerante Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten.

0 0 16

INVENTARISASI TUMBUHAN PADA KETINGGIAN YANG BERBEDA PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI JALUR Inventarisasi Tumbuhan Pada Ketinggian Yang Berbeda Pasca Letusan Gunung Merapi Jalur Pendakian Balerante Kecamatan Kemalang Kabupaten Klaten.

0 1 16

SEJARAH LETUSAN GUNUNG MERAPI BERDASARKA (1)

0 0 8

SEJARAH LETUSAN GUNUNG MERAPI BERDASARKAN FASIES GUNUNGAPI DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BEDOG, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

0 0 8

Hubungan antara stres kronis pasca letusan gunung merapi dengan penurunan libido seksual pada pria

0 0 51