Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

commit to user xx

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kebudayaan suatu bangsa terekam melalui berbagai media, diantaranya adalah media tulis. Pada masa lampau peralatan belum canggih, media tulis tersebut kita kenal dengan sebutan naskah kuno. Pada kajian filologi yang dimaksud naskah adalah hasil karya cipta budaya yang ditulis tangan di atas media daun lontar, daun nipah, papirus, daluang, kain, tanduk, rotan, bambu, kulit kayu, dan kertas Eropa. Naskah memuat sejarah, cerita rakyat, hikayat, seni budaya, keagamaan, pengobatan tradisional, pertanian, hukum, adat istiadat, ajaran moral, teknik membuat rumah atau barang tertentu, dan lain-lain. Berbagai kandungan tersebut menuntut naskah untuk dipelihara dan dilestarikan. Pemeliharaan tidak berhenti terhadap pemeliharaan secara fisik saja, akan tetapi lebih dari itu pemeliharaan isi kandungan teks harus senantiasa terjaga. Pemeliharaan naskah lama sangat penting untuk dilakukan, karena sastra lama yang ruang lingkupnya amat luas dapat merupakan sumber yang tak ternilai bagi pengertian terhadap berbagai aspek kebudayaan yang pada hakikatnya bersumber pada kebudayaan tradisional Ikram, 1997: 29. Kandungan teks yang dimaksud, sesuai dengan zaman pembuatannya dikenal sebagai sastra lama. Pemahaman terhadap sastra lama tidak semudah memahami sastra modern. Kendala yang dihadapi diantaranya: aksara dan bahasa yang digunakan tidak lagi dikenal oleh masyarakat modern, tradisi menyalin secara terbuka yang sangat jarang ditemui penyalin dapat menyalin sama persis commit to user xxi dengan yang disalin, pemahaman konteks masyarakat zaman pembuatan naskah, terbatasnya sumber sejarah yang berkaitan dengan naskah, dan lain-lain. Naskah kuno menurut Girardet–Soetanto 1964: 64 dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu: a. Kronik, Legende dan Mite; Di dalamnya termasuk naskah–naskah: 1 babad, 2 pakem, 3 wayang purwa, 4 menak, 5 panji, 6 pustakaraja dan 7 silsilah. b. Agama, Filsafat dan Etika; Di dalamnya termasuk naskah–naskah yang mengandung unsur– unsur: 1 Hinduisme–Budhisme, 2 Islam, 3 mistik Jawa, 4 Kristen, 5 magic dan ramalan, 6 sastra wulang. c. Peristiwa Karaton, hukum, peraturan-peraturan d. Buku teks dan penuntun, kamus, ensiklopedi tentang linguistik, obat–obatan, pertanian, antropologi, geografi, perjalanan, perdagangan, masak–memasak dan sebagainya. Dari berbagai naskah terdapat Sêrat Wêwulang. Berdasarkan pengelompokan tersebut Sêrat Wêwulang termasuk dalam kelompok b. Serat Wêwulang ini berisi ajaran moral yang bijak, bahasanya indah dan mudah dipahami. Sedangkan menurut Nancy 1996, naskah dapat dikelompokan menjadi beberapa jenis yaitu naskah babad, suluk, wayang, piwulang, sejarah, historis roman, islam roman, dan lain-lain. Berdasarkan pengelompokan tersebut Sêrat Wêwulang merupakan jenis naskah piwulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sêrat Wêwulang merupakan piwulang yang mengajarkan agama, filsafat, dan etika. Inti dari ajaran tersebut mengenai etika, etiket dan pandangan hidup orang Jawa agar menjadi manusia utama. Terdapat unsur sastra wulang dan agama Islam dalam penyampaian etika, etiket dan pandangan hidup tersebut. Selanjutnya, dilakukan penelusuran informasi keberadaan naskah Sêrat Wêwulang. Berdasar informasi katalog, yaitu: commit to user xxii 1. Descriptive Catalogus of the Javanese Manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta Girardet-Sutanto, 1983, 2. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II Nancy K. Florida, 1996, 3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana Budaya Yogyakarta T.E. Behrend, 1990, 4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton Yogyakarta, 5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A FSUI, 1998, 6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3B FSUI, 1998, 7. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Lindstay, Jennifer, 1994, 8. Katalog Naksah Carik Koleksi Perpustakaan Museum Radyapustaka Surakarta, 9. Daftar Naskah Perpustakaan Sasanapustaka Keraton Surakarta, 10. Daftar Naskah Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta, ditemukan satu naskah Sêrat Wêwulang yang tersimpan di Perpustakaan Sasana Pustaka Keraton Surakarta yang diinformasikan Girardet 1983: 110; Nancy 1996: 216; dan katalog lokal 1998: 7. Judul naskah Sêrat Wêwulang terdapat pada cover depan. Sêrat Wêwulang selanjutnya disingkat SW. Berdasarkan asal kata, SW terdiri dari dua kata, yaitu: 1 sêrat 1939: 559 berarti buku yang memuat cerita karya sastra, 2 wêwulang yang merupakan bentuk dwipurwa dari kata wulang 1939: 667 yang berarti ajaran, sehingga wêwulang commit to user xxiii berarti ajaran-ajaran. Berdasarkan asal usul kata tersebut dapat diduga bahwa SW merupakan karya sastra yang berisi ajaran-ajaran. Teks SW berbentuk têmbang yang terdiri dari dua pupuh têmbang Dhandhanggula. Antara pupuh I dan pupuh II terdapat mandrawa, sebagai akhir dari pupuh I dan awal dari pupuh II. Penentuan têmbang Dhandhanggula pada pupuh I berdasarkan jumlah guru gatra, guru wilangan dan guru lagu, sedangkan pada pupuh II berdasarkan sasmita têmbang yaitu kata artati 1939: 19 yang berarti têmbang Dhandhanggula. Berikut kutipannya: Gambar 1. Kata artati sebagai sasmita têmbang Dhandhanggula Sumber: Naskah SW h. 19 Pupuh I terdiri dari 48 bait, pupuh II terdiri dari 26 bait, jumlah seluruh bait adalah 74 bait. Pupuh I berisi ajaran mengenai manusia utama. Pupuh II berisi ajaran yang keteladanan Sèh Tèkawerdi. Ejaan yang digunakan dalam penulisan teks adalah ejaan standar, maksudnya cenderung mengacu pada ejaan Sriwedari, di antaranya adalah penulisan sastra laku. Berikut kutipannya: commit to user xxiv Gambar 2. Penulisan Sastra Laku Sumber: Naskah SW, h. 21 bait 55 datan nêdya angling jroning ati ‘tidak pernah berniat berkata dalam hati’ Keseluruhan teks berisi ajaran moral, yaitu bagaimana seseorang mencapai sujalma utama ‘manusia utama’. Pada awal teks ditandai purwapada dengan ciri khas gaya yang lazim digunakan pada masa pemerintahan Paku Buwana IX. Terdapat mandrawa pada halaman 19 sebagai permulaan pupuh II, namun pada akhir penulisan teks tidak diakhiri iti melainkan dengan tanda :. Berikut kutipannya: Gambar 3. Purwapada dalam SW Sumber: Naskah SW, h. 1. Gambar 4. Mandrawa dalam SW Sumber: Naskah SW, h. 19. commit to user xxv Gambar 5. Akhir teks SW diakhiri dengan tanda : Sumber: Naskah SW, h. 28. Kemungkinan besar naskah ini belum selesai ditulis, mengingat sebagian besar naskah pada zaman tersebut diakhiri dengan iti, jika menilik pada teks yang disampaikan terdapat dugaan bahwa penulis hendak menambahnya dengan ajaran moral yang lain. Dugaan tersebut diperkuat dengan adanya sisa 100 halaman kosong, setelah teks tersebut. SW merupakan naskah tulisan tangan manuscript dengan Aksara Jawa Ha Na Ca Ra Ka berbahasa Jawa Baru ragam krama dan ngoko. Disisipi kata- kata dari bahasa Kawi dan Arab. Naskah ini merupakan naskah anonim. Disamping keunikan kelebihan naskah SW di atas, dua alasan lain yang mendasari penulis mengangkat naskah tersebut sebagai bahan kajian ialah segi filologis dan segi isi. commit to user xxvi 1. Segi Filologis Dari segi filologis naskah diteliti dikarenakan adanya kelainan bacaan atau sering disebut varian. Pengelompokan varian pada SW sebagai berikut: a. Lacuna yaitu bagian yang terlampaui atau kelewatan, baik suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat. Bagian ini adalah ketidaksesuaian konvensi têmbang dhandanggula yaitu kekurangan jumlah guru wilangan dan kekurangan suku kata. Berikut contohnya: Gambar 6. Kekurangan Guru Wilangan Sumber: Naskah SW, h. 7 bait 44 baris 3 yèn tutut langkung mbune ‘apabila sampai melebihi baunya’ Gambar 7. Kekurangan Suku Kata Sumber: Naskah SW, h. 21 bait 54 baris 5 kabakitan ‘kebangkitan’ b. Adisi yaitu bagian yang kelebihan atau penambahan baik suku kata, kata, kelompok kata maupun kalimat. Bagian ini adalah ketidaksesuaian konvensi commit to user xxvii têmbang Dhandanggula yaitu kelebihan jumlah guru wilangan dan kelebihan suku kata. Berikut contohnya: Gambar 8. Kelebihan Guru Wilangan Sumber: Naskah SW, h. 23 bait 60 baris 4 tapa ingkang tinemu ‘tapa yang ditemukan’ Gambar 9. Kelebihan suku kata Sumber: Naskah SW, h. 15 bait 38 baris 1 jating ‘sejati’ c. Ketidaksesuaian konvensi linguistik yaitu ketidaktepatan dalam penggunaan kata yang dimaksud oleh pengarang. Kemungkinan dikarenakan pengarang naskah SW kurang dalam membubuhkan tanda baca dan atau kelebihan membubuhkan tanda baca. Dalam SW ketidaksesuaian konvensi linguistik ditemukan dalam bentuk kata. Berikut contohnya: Gambar 10. Penulisan kata têpane Sumber: Naskah SW, h. 1. commit to user xxviii d. Terdapat ejaan yang tidak lazim, yaitu penulisan aksara Jawa yang ditulis ganda walaupun bukan sastra laku. Gambar 11. Penulisan aksara Jawa ganda walau bukan sastra laku Sumber: Naskah SW h.7, bait 17 nanging ana massalahe malih ‘tetapi terdapat permasalahan lagi’ 2. Segi Isi Berdasarkan deskripsi singkat katalog Nancy 1996:216, SW diduga merupakan kompilasi dari beberapa naskah. Pada teks SW ditemukan keterangan mengenai dugaan tersebut. Dugaan tersebut berdasar pada piwulang ‘ajaran’ moral SW, yaitu adanya bait-bait yang mirip atau sama dengan ajaran dari naskah Bima Suci, Dewa Ruci dan Sêrat Waringin Sungsang,. Unsur ajaran moral Bima Suci dan Dewa Ruci terdapat pada pupuh I yaitu ajaran ilmu hati kuning, merah, hitam dan putih. Unsur ajaran moral Sêrat Waringin Sungsang terdapat pada bait- bait yang menjelaskan mengenai Sèh Tèkawrêdi yang terdapat pada pupuh II. Keseluruhan teks SW berisi ajaran moral, yaitu bagaimana seseorang mencapai sujalma utama ‘manusia utama’. Proses pencapaian manusia utama tersebut sebagian besar terjadi pada masa muda, sehingga pemuda adalah sosok yang tepat untuk dididik sedemikian rupa agar menjadi manusia utama. Dalam penggemblengan ‘didikan yang ketat’ tersebut, pemuda hendaknya menerima pembelajaran dengan seksama, menyiapkan fisik kesehatan dan mampu commit to user xxix menahan diri, memenangkan rohani melalui keprihatinan, bersungguh-sungguh, mengekang diri dari nafsu yang buruk, dan lain sebagainya. Piwulang SW dimulai dengan memahami takdir kehidupan yang terdpat pada pupuh I. Pada pupuh tersebut dijelaskah, bahwa takdir setiap orang berbeda, ada yang ditakdirkan menjadi orang besar, ada juga yang ditakdirkan menjadi rakyat kecil. Apapun takdir yang diperoleh, seorang manusia dituntut menjadi manusia utama. Setelah memahami takdir kehidupan, ajaran yang harus ditempuh, yaitu: melaksanakan hati putih, serta menjauhi: 1 hati kuning, 2 hati merah, dan 3 hati hitam. Pada pupuh II dijelaskan mengenai ajaran Sèh Tèkawrêdi. Ajaran yang disampaikan oleh Sèh Tèkawrêdi merupakan ajaran yang selaras dengan pupuh I, yaitu hal-hal yang menuju hati putih, dan menjauhi perkara hati kuning, hati merah, dan hati hitam. Berdasarkan alasan tersebut di atas, maka naskah ini penting untuk diteliti, baik dari segi filologis maupun isi.

B. Batasan Masalah