Pematangan Buatan TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan suhu rendah pada penyimpanan berbeda untuk setiap jenis buah. Suhu yang lebih rendah dari suhu optimum dapat menyebabkan kerusakan karena pendinginan chilling injury. Berdasarkan penelitian Camara et al. 1993 didapat bahwa suhu optimum untuk penyimpanan buah pepaya Solo Carica papaya Solo adalah 8-12°C, sedangkan penyimpanan dibawah suhu 7°C dapat mengakibatkan chilling injury. Buah pepaya Solo varietas H-5 dengan tingkat kematangan 10 yang disimpan pada suhu ruang 24-25°C mempunyai daya simpan selama 6 hari, sedangkan buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin 15-18°C mempunyai daya simpan mencapai 9.9 hari Dominica, 1998. Penelitian lain dilakukan Fitradesi 1999 pada buah pepaya Solo cv. Tainung 3 yang disimpan pada suhu ruang 27-31°C mempunyai daya simpan 5.3 hari, sedangkan buah pepaya yang disimpan pada suhu dingin 18-20°C mempunyai daya simpan 8.7 hari. Buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada umur yang berbeda yaitu 130 HSA, 135 HSA, 140 HSA dan disimpan pada suhu ruang mempunyai daya simpan masing-masing yaitu 7-9 hari, 6-8 hari, dan 6-7 hari Purba, 2006. Sedangkan Priyono 2005 menyatakan bahwa buah pepaya IPB 1 yang dipanen pada 120- 130 HSA dan disimpan pada suhu dingin 16-20°C akan masak pada 9 HSP hari setelah panen.

F. Pematangan Buatan

Pematangan buatan artificial ripening dapat diartikan sebagai suatu usaha mengatur proses pematangan sehingga tidak hanya mengandalkan proses pematangan alami. Pematangan buatan dilakukan secara komersial untuk dapat memenuhi permintaan pasar terhadap buah yang masak optimum pada saat yang terjadwal, bisa mempercepat atau memperlambat proses pematangan tersebut. Pematangan buatan atau pemeraman bertujuan untuk mempercepat dan menyeragamkan kematangan buah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi mutu hasil pemeraman diantaranya tingkat kematangan buah, suhu dan kelembaban ruang pemeraman serta pemeraman dengan pemberian gas etilen. Etilen terkenal mampu menstimulasi proses pematangan buah dan sayuran. Namun efek pematangan etilen pada suhu rendah misalnya pada O°C tidak bermakna, tetapi menjadi penting perannya pada suhu yang lebih tinggi. Efek pemberian gas etilen pada buah nonklimakterik yaitu menaikkan laju respirasi yang mengakibatkan meningkatnya laju pematangan buah, selain itu berhubungan juga dengan jumlah konsentrasi gas yang diberikan serta tidak berpengaruh terhadap waktu terjadinya puncak klimakterik. Pada buah klimakterik pemberian etilen akan mempercepat tercapainya puncak klimakterik tetapi tidak mempengaruhi laju respirasi Winarno, 2002. Konsentrasi etilen juga dapat mempengaruhi mutu buah setelah pemeraman. Buah sirsak yang dipanen pada 9, 10 dan 11 minggu sesudah pembuahan dan diperam dengan gas asetilen 0, 2 500 dan 5 000 ppm untuk pematangannya menunjukkan bahwa buah sirsak yang masak penuh dan bermutu pascapanen terbaik diberikan oleh buah sirsak pada tingkat ketuaan 11 minggu sesudah pembuahan dan diperam dengan 2 500 ppm gas asetilen. Buah tersebut mampu masak secara merata, tidak mengalami kerusakan selama pemeraman dan mengandung 71.40 sari buah Sjaifullah et al., 1996. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Syska 2006 pada buah pepaya IPB1 yang menyatakan bahwa konsentrasi etilen dan suhu pematangan berpengaruh terhadap buah pepaya selama pematangan. Pematangan pada suhu 20°C dengan konsentrasi etilen 50 ppm cukup efektif untuk memicu pematangan dan mempertahankan mutu buah pepaya secara fisik dan kimia warna kulit, kekerasan, padatan terlarut total, dan susut bobot hingga hari ke-4 setelah pematangan buatan. Suhu dan kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap mutu buah yang diperam. Suhu ruang yang tinggi dapat mengakibatkan kelainan fisiologis pada buah. Kelainan ini dapat ditandai dengan terjadinya fermentasi. Tanda-tanda kelainan fisiologis pada buah ialah warna kulit dan daging buah tidak sempurna. Buah yang diperam pada suhu tinggi menghasilkan warna kusam dan tidak cerah serta daging buah rusak. Semakin tinggi suhu ruang pemeraman semakin parah kerusakan fisiologisnya. Pemeraman pada suhu rendah dapat menghasilkan warna lebih menarik dibandingkan pada suhu lebih tinggi. Warna kuning pada pisang misalnya, timbul lebih cerah dan lebih menarik. Di daerah Puncak buah pisang diperam dalam suhu ruang yang rendah, berkisar antara 15- 23° C. Kelembaban ruang pemeraman sangat berpengaruh terhadap mutu buah yang diperam, terutama terhadap warna dan tekstur. Kelembaban yang baik berkisar antara 85-90. Kelembapan tinggi dapat memperlambat terbentuknya wama kuning pada kulit buah dan menghambat laju respirasi serta produksi etilen dari buah tersebut. Pada pemeraman buah pisang kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan buah menjadi lunak, kulit buah mudah robek dan buah mudah lepas rontok dari tangkainya. Kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan tingginya kehilangan bobot selama pemeraman dan wama buah kurang menarik. Kadang-kadang buah gagal menjadi matang, wama kulit menjadi hitam, dan kulit buah mengerut akibat penguapan berlebihan Satuhu, 1995.

G. Teknologi Near Infra Red NIR