Pengaruh Perlakuan Bahan Pengisi Kemasan terhadap Mutu Fisik Buah Pepaya Varietas IPB 9 (Callina) Selama Transportasi

(1)

ii

THE EFFECT OF PAPAYA IPB 9 (CALLINA) FILLER MATERIAL

PACKAGING TREATMENT TOWARDS THE PHYSICAL QUALITY IN

TRANSPORTATION

Wendianing Putri Luketsi and Lilik Pujantoro

Departement of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia.

Phone +62 852 33795201 , e-mail : wendianing@gmail.com

ABSTRACT

Packaging is the most important method to keep horticultural comodity still maintained in the best quality. Filler material that will be used to package the horticultural comodity. Papaya is one of the horticultural comodity that has a great potential to be developed commercially. The objectives of this research was to asses the endurance of physical quality parameters of its fruits, such as mechanical damage on papaya, hardness, total solid soluble and weight losses.

The first treatment is used sliced filler paper, sliced and sheet of spons, partition of cardboard for the filler material in the pack and control pack without filler. The second treatment is arranged the papaya position in packaging by using two different methods, such as horizontal and vertikal methods. The result has sown the papaya which arranged horizontal and packaged with the sliced filler paper is the suitable treatment for packaging. After transportation simulation, the treatment showed 16.67 % of mechanical damaged, 3.6 Kgf of hardness, 0.02 % of weight loss and 7.42 0Brix of total solid soluble. At the 8th days, showed 75 % of mechanical damaged, 0.405 Kgf of hardness, 10.26 % of weight loss and 8.39 0Brix of total solid soluble. The papaya which arranged horizontal and packaged with the sliced filler paper can reduce the vibration better than other.


(2)

1

I.

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki beraneka ragam buah-buahan yang terhampar di seluruh Nusantara. Salah satu yang terkenal adalah buah pepaya. Pepaya merupakan salah satu komoditas buah yang memiliki banyak fungsi dan manfaat. Sebagai buah segar, pepaya banyak dikonsumsi karena selain mengandung nutrisi yang baik harganya juga relatif terjangkau dibandingkan buah yang lainnya.

Pepaya (Carica papaya L.) produk hortikultura yang merupakan salah satu buah-buahan tropika yang menjanjikan di pasar dalam maupun luar negeri dan mempunyai nilai ekonomi cukup tinggi. Pasar buah pepaya secara lokal dan regional terus meningkat. Indonesia merupakan negara penghasil buah pepaya ke-8 terbesar di dunia. Permintaan pasar dunia terus meningkat dari negara Eropa, seperti Inggris, Jerman, Perancis, Belanda dan Swedia (Purba 2005). Selain sebagai buah meja, pepaya juga digunakan sebagai bahan baku diberbagai industri. Getah papain, suatu enzim proteolitik yang terdapat di dalam getah pepaya banyak dimanfaatkan di industri makanan senagai pengempuk daging, juga dimanfaatkan di industri tekstil untuk membuat wol. Bijinya dapat digunakan di industri farmasi sebagai obat peluruh cacing (Villegas 1992). Buah pepaya juga banyak mengandung vitamin C, vitamin A, gula, dan mineral-mineral lainnya seperti kalsium, fosfor, dan besi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia (Sunaryono 1981). Sebagai komoditas buah penting, pepaya memiliki berbagai keunggulan, yaitu cepat berproduksi, mampu berbuah sepanjang tahun, dan tidak memerlukan lahan penanaman yang luas sehingga dapat ditanam di pekarangna rumah. Disisi lain, pepaya merupakan buah tropika yang baik bagi daya tahan tubuh di daerah tropis karena kandungan vitamin, mineral, dan seratnya yang lengkap (Ariesty 2010). Pengembangan budidaya pepaya secara intensif dan komersial memiliki prospek yang cerah.

Produksi pepaya di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun hingga mencapai 650 ribu ton pada tahun 2004, meningkat sekitar 3,71% dari produksi tahun sebelumnya yang hanya mencapai 626 ribu ton. Walaupun demikian jika dilihat dari pruduktivitas per satuan luas, terjadi penurunan sekitar 3,49% pada tahun 2004. Produktivitas pepaya di Indonesia pada tahun 2003 mencapai 67,3 ribu kg/ha dan menurun menjadi 65 ribu kg/ha pada tahun 2004. Menurut laporan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB, penurunan produktivitas tanaman pepaya di Indonesia antara lain disebabkan belum tersedianya varietas unggul yang diinginkan. Dari produksi pepaya yang dihasilkan di Indonesia 90% untuk konsumsi dalam negeri, sedangkan sisanya adalah untu ekspor (Sujiprihati 2010). Konsumsi pepaya pada tahun 2005 mencapai 2,28 kg/kapita/tahun atau sekitar 7,24% dari total konsumsi buah/kapita/tahun (Deptan 2006).

Salah satu ciri komoditas hortikultura termasuk pepaya adalah sifatnya yang mudah rusak (perishable) seperti mudah busuk dan mudah susut bobotnyakarena kulitnya yang tipis dan daging buahnya yang lunak. Diperkirakan jumlah kerusakan ini bisa mencapai 5 -25 % pada negara-negara maju dan 20 – 50 % pada negara – negara berkembang (Kader 1985). Kerusakan yang terjadi pada kulit buah dapat menjadi tempat masuknya mikroorganisme ke dalam buah, akan meningkatkan laju respirasi, dan meningkatnya daya simpan (Peleg 1985).Menurut Hyodo (1991) kerusakan (stress) yang dialami oleh komoditas buah-buahan dapat disebabkan oleh tiga hal yaitu; faktor fisik, kimiawi, dan bilogis. Faktor fisik dapat berupa tekanan, suhu yang terlalu rendah (chilling injury-freezing injury), suhu yang terlalu tinggi, dan komposisi gas atmosfer yang tidak sesuai (anaerob). Sedangkan faktor kimiawi ialah disebabkan oleh polusi udara (ozon, sulfur


(3)

2 dioksida, dll) serta pestisida berlebihan. Adapun faktor biologis ialah disebabkan oleh berbagai jenis virus, bakteri, dan jamur. Kehilangan dalam kualitas dan kuantitas (buah-buahan) dapat dikurangi dengan pengembangan dan aplikasi dari peningkatan metoda dan fasilitas pascapanen (Liu 1997) agar ketika buah tersebut sampai ke tangan konsumen tetap dalam keadaan segar (fresh quality).

Pengemasan secara khusus untuk transportasi merupakan salah satu mata rantai yang turut harus diperhatikan untuk melindungi dan mempertahankan mutu buah-buahan dalam kegiatan pascapanen. Hal itu disebabkan karena selama kegiatan transportasi berlangsung, komoditas buah sangat rentan untuk mengalami bahaya mekanis yang secara cepat akan menurunkan kualitas buah. Walaupun demikian, masalah teknik pengemasan sering menjadi hal yang diabaikan produsen buah di Indonesia. Sampai saat ini jarang sekali dikembangkan suatu teknik pengemasan yang sesuai dengan sifat dan karakteristik dari komoditi buah yang dikemas di dalamnya sehingga dapat menjaga kualitas buah dari kerusakan-kerusakan yang mungkin terjadi selama kegiatan transportasi berlangsung (Verheij dan Coronel 1997). Kerusakan mekanis buah yang terjadi selama dalam pengangkutan di Indonesia berkisar antara 1.57% sampai dengan 37.05% (Sobari 1985).

Pada kenyataan sehari-hari, proses pengangkutan buah pepaya dari produsen ke konsumen hanya dilakukan dengan kemasan yang sangat sederhana, seperti karung maupun keranjang bambu dengan penanganan yang sangat minimum. Perbaikan dalam pengemasan akan memberikan keuntungan yang besar bagi pemasaran buah pepaya (Ariyanti 2004). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ariyanti (2004) menunjukkan kerusakan mekanis buah pepaya yang dikemas dengan menggunakan bahan pengemas keranjang bambu mengalami kerusakan fisik 25-50%, sedangkan buah pepaya yang dikemas dengan menggunakan bahan pengemas peti kayu dan yang dikemas dalam kotak karton mengalami kerusakan fisik 0-25%.

Dengan semakin sadarnya negara-negara di dunia terutama negara-negara maju akan lingkungan, maka semakin banyak persyaratan yang diberikan bagi negara-negara pengekspor. Salah satunya adalah Jepang yang telah mempersyaratkan jenis bahan kemasan untuk produk impor (Rengo 1990). Bahan kemasan yang diterima oleh negara maju adalah bahan kemasan yang tidak menimbulkan polusi, bisa dugunakan kembali atau bisa didaur ulang. Karton gelombang merupakan bahan kemasan yang memenuhi persyaratan tersebut. Penggunaan karton gelombang sebagai kemasan untuk pengangkutan buah-buahan oleh negara-negara maju terlihat dari kemasan buah-buahan impor yang datang ke Indonesia ( Darmawati 1994). Pada umumnya masyarakat lebih menyukai produk buah yang dikemas kotak karton karena sirkulasi udaranya rendah sehingga produk akan lebih bertahan lama dan tidak cepat layu (Noer 1998).

Meskipun kerusakan mekanis yang terjadi pada buah pepaya yang dikemas dalam kotak karton atau biasa disebut kardus cukup kecil dan kelebihan karton gelombang sebagai bahan pengemas buah-buahan cukup banyak, tetapi masih perlu dicari alternatif kembali untuk meminimalisir kerusakan mekanis yang terjadi di dalamnya antara lain dengan penambahan berbagai jenis bahan pengisi kemasan yang juga digunakan sebagai bahan penyekat dan bantalan bagi komoditi yang dikemas di dalamnya dan dalam penyusunan posisi komoditi yang tepat didalam kemasan. Bahan pengisi kemasan juga seharusnya mendapatkan perhatian khusus karena ikut mempertahankan mutu dari komoditi yang dikemas selama kegiatan transportasi dilakukan. Posisi penyusunan komoditi juga diperhatikan karena posisi penyusunan yang tepat dapat mengurangi akibat buruk dari tumbukan dan guncangan selama pengangkutan, seperti memar pada kulit, kerusakan kulit karena gesekan serta kerusakan lain. Kombinasi antara bahan kemasan, bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah yang tepat dalam kemasan diharapkan dapat


(4)

3 mengurangi kerusakan buah pepaya selama proses pengangkutan atau transportasi. Kerusakan mekanis yang terdeteksi setelah transportasi hanya sedikit, sehingga dibutuhkan penyimpanan beberapa hari. Tujuan dari penyimpanan ini adalah agar kerusakan mekanis yang terjadi dapat terdeteksi semua. Karena itu perlu adanya penelitian untuk mengetahui seberapa baik kemasan kotak karton digunakan sebagai bahan kemasan transportasi bagi buah pepaya dan bagaimana interaksinya dengan bahan pengisi kemasan serta penyusunan posisi pepaya dalam kemasan kotak karton untuk menjaga mutu dari buah pepaya yang dikemas di dalamnya. Sehingga dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan penanganan yang tepat untuk kegiatan transportasi agar kualitas pepaya yang disampaikan dari produsen ke konsumen lokal maupun ekspor masih berada dalam keadaan baik.

Untuk memperpanjang umur simpan, buah-buahan dan sayuran perlu disimpan pada suhu rendah. Sebagai contoh untuk sayuran daun biasanya disimpan pada suhu antara 0 – 40C, sedangkan untuk sayuran buah biasanya disimpan pada suhu 10 – 140C. Selain itu biasanya juga dapat dikombinasikan dengan pemberian lapisan lilin, pengontrolan dan modifikasi gas-gas yang terlibat dalam proses respirasi serta pemakaian bahan penyerap selama penyimpanan.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui pengaruh bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah di dalam kemasan terhadap kerusakan mekanis pada buah pepaya varietas IPB 9 (Callina) pasca simulasi transportasi dan selama 8 hari penyimpanan

2. Mengetahui pengaruh perbedaan bahan pengisi kemasan dan posisi penyusunan buah yang digunakan untuk pengemasan terhadap perubahan susut bobot, kekerasan dan kandungan total padatan terlarut pada buah pepaya IPB 9 (Callina) pasca simulasi transportasi dan selama 8 hari penyimpanan

3. Mengetahui bahan pengisi, posisi penyusunan buah, dan kemasan yang baik untuk transportasi buah pepaya varietas IPB 9 (Callina)


(5)

4

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A.

Buah Pepaya

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu tanaman buah tropis asal Meksiko Selatan. Tanaman pepaya kini telah dibudidayakan serta dikembangkan secara luas di Amerika Tengah, Amerika Selatan, Afrika Utara, Hawaii, India, Indonesia, Malaysia, Thailand dan Srilanka. Pepaya termasuk buah yang murah dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pepaya sangat baik untuk pencernaan dan mengandung banyak vitamin. Namun, masyarakat pada umumnyasedikit enggan dalam mengkonsumsinya dengan alasan tidak jelas, sebagian menyebutnya tidak tahan terhadap getahnya yang gatal, lainnya merasa repot untuk menyajikannya. Tetapi kini banyak hotel berbintang yang menyediakan jus pepaya sebagai hidangan pagi hari dan ternyata peminatnya cukup banyak ( Ariesty 2010, Dirjen BinaHortikultura 2003).

Berdasarkan taksonominya, tanaman pepaya dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Taksonomi buah pepaya

Divisi Spermatophyta

Kelas Angiospermae

Subkelas Dicotyledonae

Ordo Caricales

Famili Caricaceae

Genus Carica

Spesies Carica papaya L

Berdasarkan morfologinya, buah pepaya termasuk buah buni dengan daging buah yang tebal dengan daging buah yang tebal dan memiliki rongga buah di bagian tengahnya. Batangnya berbentuk silinder dengan diameter 10-30 cm dan berongga. Daun-daunnya tersusun spiral berkelompok dekat dengan ujung batang, tangkai daun dapat mencapai panjang 1 m, berongga dan berwarna kehijauan, merah jambu kekuningan dan keunguan. Helaian daunnya berdiameter 25-75 cm, bercuping 7-11, menjariari, kadang-kadang ada yang rtidak menjari, serta tidak berbulu. Buah pepaya umumnya berkulit tipis, halus, serta berwarna kekuning-kuningan atau jingga ketika matang. Daging buah yang berwarna kekuning-kuningan sampai dengan warna jingga merah memiliki rasa yang manis dengan aroma yang lembut dan sedap. ( Sujiprihati 2010). Tanaman pepaya adalah jenis pohon buah-buahan yang berumur pendek dan sifat tumbuhnya cepat sekali (Ariesty 2010, Janick 1972). Tanaman ini diperbanyak dengan biji dan mulai tumbuh setelah 6-8 minggu (Ariesty 2010, Chandler 1958). Berdasarkan bunganya, tanaman pepaya dapat digolongkan atas tiga tipe utama yaitu tanaman berbunga jantan, betina, dan bunga hermaprodit (sempurna).

1. Pepaya betina

Pohon pepaya ini memiliki bunga majemuk artinya pada satu tangkai bunga terdapat beberapa bunga. Tangkai bunganya sangat pendek dan terdapat bunga betina kecil dan besar. Bunga yang besar akan menjadi buah. Memiliki bakal buah yang sempurna, tetapi tidak mempunyai benang sari, biasanya terus berbunga sepanjang tahun.


(6)

5 2. Pepaya jantan

Pohon pepaya ini memiliki bunga majemuk yang bertangkai panjang dan bercabang-cabang. Bunga pertama terdapat pada pangkal tangkai. Ciri-ciri bunga jantan adalah putik/ bakal buah yang tidak berkepala, benang sari tersusun dengan sempurna.

3. Pepaya sempurna

Memiliki bunga yang sempurna susunannya, bakal buah dan benang sari dapat melakukan penyerbukan sendiri maka dapat ditanam sendirian. Terdapat 3 jenis pepaya sempurna, yaitu:

a. Berbenang sari 5 dan bakal buah bulat b. Berbenang sari 10 dan bakal buah lonjong c. Berbenang sari 2-10 dan bakal buah mengkerut Pepaya sempurna mempunyai dua golongan, yaitu:

a. Dapat berbunga dan berbuah sepanjang tahun b. Berbuah musiman

Tanah yang terbaik untuk pertumbuhan pepayayaitu tanah yang cukup subur, gembur, pengairan baik dan peredaran udara tanah lancar. Terutama lapisan bagian atas harus betul-betul gembur mengingat keadaan perakaran tanaman pepaya tidak terlalu dalam, tetapi tersebar dekat permukaan tanah. Akar pepaya tergolong sangat peka terhadap air yang menggenang, akar akan menjadi busuk dibuatnya. Pada musim hujan, bila hujan terjadi secara terus menerus, daun-daun pepaya dapat menjadi kuning warnanya. Bila tanaman tergenang 2-3 hari saja, akibatnya akan fatal, sebab tanaman akan mati semua. Oleh karena itu, drainase dan pengaturan pembuangan air yang berlebihan mutlak diperlukan pada pertanaman pepaya (Kalie 2004).

Tanaman ini diketahui tumbuh di daerah-daerah basah, kering, dan daerah dataran rendah, serta pegunungan di ketinggian 200-500 m dpl (sampai ketinggian 1000 m dpl) dengan suhu berkisar 25-300C. Pada ketinggian diatas 500 m dpl, pertumbuha pepaya menjadi lambat dan rasa buahnya menjadi kurang manis. Hal inilah yang menyebabkan budidaya di dataran tinggi kurang disarankan. Selain mempengaruhi rasanya, pepaya yang ditanam di dataran tinggi juga mudah terserang penyakit karena kondisi kmbapan yang relatif tinggi. Pertumbuhan buah pepaya akan optimum bila ditanam pada tanah dengan pH 6-7 (Sujiprihati 2010). Curah hujan yang baik bagi tanaman pepaya adalah 1500-2000 mm/tahun. Di daerah-daerah yang lembab, curah hujan yang cukup serta suhu udara dan cahaya matahari yang tinggi, maka produksi buah pepaya akan lebih baik (Kalie 2004). Setiap pohon pepaya dalam waktu satu tahun rata-rata dapat menghasilkan lebih dari 50 buah pepaya, dan keadaan ini dapat berlangsung sampai lebih dari tiga tahun (Sunaryono 1981).

Buah pepaya umumnya berbentuk bulat, panjang atau silindris dengan kisaran berat antara 300 g sampai lebih dari 3 kg. Buah pepaya masak merupakan sumber vitamin A, vitamin C, dan mineral kalsium. Kecuali rasanya yang manis, enak, dan menyegarkan, buah pepaya masak dapat menghilangkan dahaga dan memudahkan buang air besar (Sujiprihati 2009). Selain itu, ternyata buah pepaya juga disertai beberapa kekurangan. Buah pepaya mempunyai sifat cepat rusak dan busuk, baik karena proses-proses fisiologis yang lain (Kalie 2004).


(7)

6 Secara lengkap kandungan buah pepaya dengan nilai energi 200 kJ untuk 100 gram bahan yang dapat dimakan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan gizi pepaya per 100 gram berat yang dapat dimakan

No Komposisi Jumlah kandungan

1 Kadar air 86.6 %

2 Protein 0.5 gram

3 Lemak 0.3 gram

4 Karbohidrat 12.1 gram

5 Kalsium 0.034 miligram

6 Fosfor 0.011 miligram

7 Besi 0.001 miligram

8 Vitamin A 0.45 IU

9 Vitamin B 0.0003 miligram

10 Vitamin C 0.74 miligram

11 Abu 0.5 gram

12 Natrium 3 miligram

13 Serat 0.7 gram

14 Kalium 204 miligram

Sumber: Wirakusumah (2001)

Program pemuliaan tanaman pepaya di Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) IPB saat ini telah menghasilkan berbagai calon varietas unggul. Hasilnya antara lain pepaya unggul IPB 1 (Arum Bogor), IPB 3 (Carisya), IPB 9 (Callina), IPB 6 ( Sukma), IPB 4 (Carlia), IPB 10 (Wulung Bogor). Berikut akan disajikan deskripsi singkat dari 6 varietas pepaya unggul hasil pemuliaan PKBT IPB, Bogor :

1. Pepaya IPB 1 (Arum Bogor)

Pepaya IPB 1 lebih dikenal di pasaran dengan nama pepaya Arum Bogor. Pepaya ini tergolong jenis pepaya kecil dengan bobot sekitar 0.50-0.63 kg. Bentuk buahnya bulat lonjong dan seragam, panjang buah 13.2-15.5 cm, dan diameter buah 9.1-11.5 cm. Mempunyai warna kulit buah hijau bertekstur licin dan daging buah berwarna kemerahan atau jingga dengan rasa sangat manis seperti yang dicirikan oleh kandungan padatan terlarut total daging buah sekitar 11-13 oBriks dan mempunyai aroma harum. Kandungan vitamin C-nya sekitar 122 mg/ 100 g daging buah. Buah jenis ini dapat dipetik pada umur 7 bulan setelah tanam. Gambar 3. Pepaya IPB 1


(8)

7 2. Pepaya IPB 3 (Carisya)

Masing-masing pepaya unggul memiliki keistimewaan tersendiri. Pepaya IPB 3 dengan nama lain Carisya, mempunyai keistimewaan pada kadar gulanya yang bisa mencapai 14.3 oBriks. Pepaya IPB 3 memiliki bentuk kecil, daging buah tebal agak kenyal berwarna jingga kemerahan dan sangat manis. Pada daging buahnya tidak ada bau „burung‟, sehingga disukai oleh konsumen (baik orang tua maupun anak-anak). Daya simpan pepaya ini pada suhu kamar mencapai 7 hari. Kulit buah pepaya ini berwarna hijau tua, bentuk buah lonjong, panjang buah 16.2-17.8 cm, diameter buah 7.6-8.4 cm denagn bobot per buah antara 0.5-0.65 kg. Mempunyai umur petik buah 7 bulan setelah tanam. 3. IPB 9 (Callina)

Nama lain dari pepaya IPB 9 adalah Callina. Bobot buah antar 1.2-1.5 kg, panjang buah 23-24 cm dengan diameter buah 9.2-9.5 cm. Kulit buah berwarnahijau lumut bertekstur mulus dan daging buah yang tebal berwarna jingga, rasanya manis, dengan tingkat kemanisan 10.1-11.2 oBriks. Bentuk buahnya silindris seperti peluru. Mempunyai daya simpan lama (lebih dari 1 minggu). Pepaya IPB 9, perawakannya rendah dan mempunyai umur tanaman genjah, berbunga pada umur empat bulan setelah bibit dipindahkan ke lahan, dan bisa dipetik buahnya pada umur 8.5 bulan setelah tanam.

4. IPB 6 ( Sukma)

Pepaya IPB 6 lebih populer dengan nama pepaya Sukma. Pepaya ini merupakan unggulan lokal dari daerah Sukabumi dan Bogor. Oleh karena berasal dari Sukabumi dan rasanya lebih manis dibandingkan pepaya besar lain yang ada disekitarnya, pepaya IPB 6 dinamai pepaya Sukabumi Manis atau disingkat Sukma (Ariesty 2010). Pepaya ini mempunya bobot mencapai 3.1 kg, panjang buah 30-35 cm dengan diameter tengah buah 13.2-13.8 cm. Buah ini berbentuk bulat lonjong, warna kulit buah hijau dan mulus, warna daging buah merah jingga dan rasanya manis dengan tingkat kemanisan 11-12.8 oBriks. Pepaya ini berbunga pada umur empat bulan setelah tanam, dan umur petik buah 8.5 bulan setelah tanam. Gambar 4. Pepaya IPB 3

Gambar 5. Pepaya IPB 9


(9)

8 5. IPB 4 (Carlia)

Berbeda dengan varietas pepaya unggul lain, keistimewaan dari pepaya IPB 4 adalah warna kulit buahnya berwarna kuning. Bentuk buah lonjong dan seragam dengan panjang buah 14.5-16.0 cm, diameter tengah buah 8-9 cm dan bobot perbuah 0.47-0.6 kg. Pepaya IPB 4 mempunyai warna daging buah jingga dan rasanya manis dengan tingkat kemanisan 9.5-11 oBriks. Pepaya ini mulai berbunga pada umur 4 bulan setelah tanam dan bisa dipetik buahnya pada umur 7 bulan setelah masa tanam.

6. IPB 10 (Wulung Bogor)

Buah pepaya IPB 10 mempunyai nama lain Wulung Bogor. Pepaya jenis ini berbeda dari pepaya jenis unggul yang lainnya, pepaya jenis ini bisa diproduksi getahnya, karena bisa memproduksi getah buah pepaya yang tinggi, yaitu 25.23 g per buah, dan bisa dilakukan penyadapan hingga 9 kali. Bobot getah pepaya (papain) kasar perbuah 3.35 g, kadar air getah 89.27% dengan randemen getah 13.28%. Pepaya ini berbentuk lonjong dengan ukuran buah besar (> 2 kg). Warna kulit buah hijau dengan permukaan yang halus dan mempunyai daging buah berwarna jingga kemerahan. Pepaya jenis ini relatif tahan terhadap antraknosa, thrips, dan tungau. Mulai berbunga ketika berumur 118 hari setelah tanam.

Daging buah pepaya umumnya berwarna kuning dan merah. Perbedaan warna ini disebabkan karena adanya pigmen karoten dan likopen. Chan dan Tang (1979) melaporkan bahwa bila tidaada pigmen likopen, maka akan timbul warna kuning. Karoten adalah suatu kelompok pigmen warna kuning, jingga atau merah jingga yang mudah larut dalam lemak atau pelarut organik, tetapi tidak larut alam air. Karoten berwarna kuning merupakan provitamin A. Jumlah karoten dalam 100 g daging buah pepaya matang berkisar antara 3.7-4.2 mg (Winarno et al. 1981).

Kader (1992) menyatakan buah dan sayuran yang telah dipanen akan tetap hidup karena masih meneruskan reaksi-reaksi metabolisme dan masih mempertahankan sistem fisiologis sebagaimana saat masih melekat pada pohon induknya. Ryall dan Pentzer (1982) menyatakan bahwa selama proses pematangan, buah mengalami perubahan yang jelas yaitu kenaikan kadar gula, penurunan zat pati pada buah apel, pear dan pisang, kenaikan kadar minyak/ lemak pada buah alpukat, perubahan tekstur, penurunan kadar tanin dan rasa sepat, perubahan warna kulit dan daging buah, turunnya rasa asam diikuti perubahan karoten. Juga terjadi perubahan laju produksi CO2 dan produksi etilen, pelunakan kulit daging buah, penurunan bobot, serta penurunan kadar air (Dominguez dan Vendrell 1993 , Moya-Leon dan Jhon 1994).

Buah pepaya digolongkan sebagai buah klimakterik, yaitu buah yang mengalami kenaikan produksi CO2 secara mendadak dan kemudian mengalami penurunan dengan cepat (Pantastico 1986).

Gambar 7. Pepaya IPB 4


(10)

9 Sebagai buah klimakterik, maka buah pepaya tidak perlu dipanen pada saat matang penuh di pohon karena dapat masak sempurna setelah dipanen. Jika pemanenan dilakukan pada saat buah lewat masak, maka umur simpan buah tersebut akan lebih pendek sehingga mengakibatkan buah menjadi cepat busuk (Soedibyo 1979). Klimakterik ditandai dengan adanya proses yang cepat pada waktu pemasakan (ripening) dan peningkatan respirasi yang mencolok disertai perubahan warna, cita rasa dan teksturnya(Soesarsono 1988). Salah satu patokan untuk melakukan pematangan buah pepaya adalah umur buah. Tanda-tanda kematangan dan pedoman umur dan sifat-sifat penampakan secara visual berbeda-beda tergantung pada jenis dan varietasnya (Soedibyo 1979). Pohon pepaya mulai berbunga umur 4 bulan dari waktu menyemai biji. Enam bulan kemudian buah sudah dapat dipetik. Biasanya buah dipetik tua. Tandanya ada bagian kulit yang mulai menguning sekitar 5-10% sedangkan daging buah masih tetap keras. Waktu memetik harus dijaga jangan sampai kulit buah tergores atau terluka (Kalie 2004).

Sentra produksi pepaya antara lain terdapat di Kabupaten Bogor, Sukabumi, Subang, Bandung (Jawa Barat), kabupaten Boyolali, Wonogiri, dan Magelang (Jawa Tengah), Kabupaten Kediri, Malang, dan banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Buleleng, karangasem, dan badung (Bali), Kabupaten Pontianak, Kota Pontianan, dan Bengkayang (kalimantan Barat), Kabupaten Balikpapan (Kalimantan Timur) (Sujiprihati 2010).

B.

Pengemasan

Pengemasan ialah suatu usaha untuk melindungi produk dari penurunan mutu dan kerusakan fisik, mekanis, kimia, serta mikrobiologis sehingga pada saat diterima oleh konsumen nilai pasarnya tetap tinggi (Sacharow dan Griffin 1980). Menurut Pantastico (1986), khusus untuk wadah pengiriman, maka kemasan harus dapat melindungi produk dari kerusakan mekanis, memungkinkan pertukaran panas dan menghilangkan panas dari kebun serta panas respirasi, cukup kuat untuk menahan penanganan biasa dan penumpukan maksimum.

Menurut Soedibyo (1985), pengemasan tidak memperbaiki mutu kondisi yang dikemas, oleh karena itu komoditi yang bermutu baiklah yang harus dikemas. Ikut sertanya komoditi yang busuk atau rusak akan menjadi sumber kontaminasi bagi komoditi lain yang masih sehat.

Pengemasan buah adalah meletakkan buah-buahan ke dalam suatu wadah yang cocok dan baik sehingga komoditi tersebut terlindungi dari kerusakan mekanis, fisiologis, kimiawi, dan biologis (Satuhu, 2004). Kegiatan pengemasan ini sering juga disebut pengepakan atau packaging. Kemasan ada beberapa macam, mulai dari yang alami sampai yang buatan. Jenis kemasan yang dipilih harus dapat memberikan kondisi yang cocok bagi produk sehingga dapat mencegah atau mengurangi terhadap kerusakan selama didistribusikan, seperti: perubahan suhu, kelembaban, kontaminasi, guncangan, dan sebagainya. Secara ekonomis ukuran kemasan harus dapat dibuat seefisien mungkin sehingga tidak banyak ruang yang kosong.

Berkenaan dengan tujuan pengemasan, kemasan yang digunakan untuk pengangkutan buah-buahan haruslah dapat menjalankan fungsinya dengan baik serta efisien. Menurut Satuhu (2004) tujuan dari kegiatan pengemasan secara umum adalah:

1. Melindungi hasil (produk) dari kerusakan. 2. Melindungi dari kehilangan air.

3. Melindungi dari pencurian.

4. Mempermudah dalam pengangkutan.

5. Mempermudah penyusunan baik dalam pengangkutan maupun penyimpanan. 6. Mempermudah dalam perhitungan.


(11)

10 Berdasarkan fungsinya tersebut maka pemilihan bahan kemasan haruslah tepat dan sesuai dengan sifat komoditi yang akan dikemas. Bahan kemasan untuk pengangkutan dirancang sedemikian rupa disesuaikan jarak angkut, lama perjalanan, keadaan jalan yang dilalui, jenis alat angkut, panas respirasi yang timbul, serta kehilangan air atau kesegaran akibar proses respirasi. Wadah yang dimaksud juga harus cukup kecil agar mudah diangkut ketika telah diisi buah, dan cukup kuat untuk melindungi buah selama diangkat, dipindahkan, atau ditumpuk. Permukaannya harus lembut untuk menghindari kerusakan mekanis dan punya lubang ventilasi yang cukup (Liu 1997).

Menurut Satuhu (2004), bahan dan bentuk kemasan secara umum dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Kemasan langsung

Yakni kemasan utama yang langsung berhubungan dengan buah yang dikemas. Bahan pengemas utama ini dapat berupa karung, plastik, kertas, atau bahkan daun.

2. Kemasan tidak langsung

Merupakan kemasan kedua dari buah yang tidak bersentuhan langsung. Wadah kedua dimaksudkan untuk melindungi bahan dari keruskan fisik dan mekanis terutama untuk memudahkan pengaturan dalam alat angkut. Bahan pengemas jenis ini dapat dibuat dari peti kayu, peti plastik, peti karton, dan keranjang bambu.

Ukuran kemasan dibuat berdasarkan standar yang telah ada. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menyarankan sebaiknya kemasan distribusi buah-buahan segar berukuran 60 cm x 40 cm, 50 cm x 40 cm, 50 cm x 30 cm, dan 40 cm x 30 cm agar mudah dalam penanganannya. Tinggi kemasan bervariasi berdasarkan sifat buah yang dikemas (Ryall dan Pentzer 1982).

Menurut Noer (1998), bobot bersih isi kemasan yang ideal berkisar antara 10-20 kg. Hal ini penting untuk produk yang mempunyai kulit yang halus dan mudah sekali mengalami penurunan mutu bila ditumpuk lebih dari 15 kg, seperti tomat, pepaya dan alpukat. Kerusakan pada dinding sel kulit akan menimbulkan bau dan rasa yang tidak diinginkan yang kemudian dapat ditumbuhi oleh cendawan.

Menurut Handerbug (1975), kemasan dapat mengurangi kehilangan air (pengurangan berat), dengan demikian dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila digunakan bahan kedap air. Pada umumnya kemasan hasil pertanian perlu dilubangi untuk tempat ventilasi, kecuali untuk komoditas segar yang telah dikupas. Lubang ventilasi ini memungkinkan masuknya oksigen yng cukup dan menghindarkan kerusakan karena kumulasi karbondioksida selama pemasaran pada suhu tinggi (Handerbug, 1975). Dalam kemasan yng tidak diberi ventilasi, komoditas sering tampak tetap baik lebih lama daripada yang berada dalam kemasan dengan ventilasi. Hal ini disebabkan karena termodifikasinya udara menjadi udara dengan kandungan oksigen rendah dan karbondioksida yang meningkat. Namun bau dan rasa yang tidak diinginkan dapat timbul dalam kemasan yang tertutup rapat, meskipun barangnya kelihatan baik. Selain itu penggunaan kemasan yang tanpa disertai ventilasi juga bertujuan agar buah ketika saampai di tempat tujuan berada dalam kondisi matang.

Penyebab kerusakan mekanis selama pengangkutan antara lain adalah: 1. Isi kemasan terlalu penuh

Isi kemasan yang terlalu penuh menyebabkan meningkatnya kerusakan tekan atau kompresi karena adanya tambahan tekanan dan tutup kemasan.


(12)

11 2. Isi kemasan kurang

Isi kemasan yang kurang menyebabkan kerusakan vibrasi pada lapisan atas. Hal ini disebabkan karena adanya ruang di atas bahan sehingga selama pengangkutan bahan bagian atas akan terlempar-lempar dan saling berbenturan

3. Kelebihan permukaan

Tumpukkan yang terlalu tinggi di bagian kemasan menyebabkan tekanan yang besar pada buah lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan kompresi.

C.

Peti Karton Bergelombang (Bahan Kemasan)

Papan karton bergelombang adalah material mentah yang paling terkenal untuk kemasan transportasi pada berbagai jenis produk yang sangat luas mulai dari buah segar dan sayuran, kemasan konsumen produk-produk manufaktur, peralatan rumah tangga dan industri permesinan hingga kepada transportasi semi curah berbagai komoditi dengan jumlah yang luas. Papan karton bergelombang yang telah dibentuk menjadi bentuk kemasan sering disebut dengan nama kardus. Peti karton bergelombang adalah wadah yang ideal untuk buah selama pengangkutan (Liu 1997).

Kertas bergelombang antara permukaan pada papan karton bergelombang disebut fluting atau media bergelombang. Kualitas terbaik dari fluting adalah yang terbuat dari serat kayu dengan metode pengolahan pulp secara khusus. Umumnya terdapat empat jenis utama dari papan karton bergelombang, yaitu:

1. Single-faced board

Papan ini terbuat dari satu permukaan pipih dengan sebuah medium bergelombang atau fluting. Material ini hanya digunakan untuk membuat produk kardus.

2. Single-wall atau double-faced board

Papan ini terbuat dari dua permukaan dengan satu bagian yang bergelombang di tengahnya. Hampir 90% dari semua kardus terbuat dari papan karton bergelombang jenis ini.

3. Double-wall board

Terbuat dari dua permukaan dan dua media bergelombang dengan penuh pembatas di tengahnya sehingga terdapat lima lapisan. Tingkatan ini sering digunakan untuk pengemasan dalam skala ekspor.

4. Tripple-wall board

Tingkatan ini memiliki tiga media bergelombang sehingga seluruh lapisannya berjumlah tujuh lapisan. Hanya sebagian pabrik yang membuat jenis ini, yang mana sering digunakan untuk aplikasi industri yang sangat berat.

Peti karton bergelombang memiliki referensi numerik yang digunakan dalam pencapaian pemesanan dan spesifikasi antara pembuat kotak dan penggunanya. Dengan lebih majunya industri kertas dan karton, pengguna peti karton sekarang ini sudah cukup mendesak pengguna peti kayu (Satuhu, 2004). Hal tersebut disebabkan karena beberapa hal, yaitu:

1. Pembuatannya dilakukan secara masinal (dengan mesin) sehingga dapat diproduksi secara besar-besaran sesuai dengan ukuran dan kapasitas yang diinginkan.

2. Kemasan peti karton bekas dapat dipakai kembali dan setelah rusak dapat didaur ulang menjadi karton kembali.

3. Perancangannya dapat disesuaikan dengan kondisi buah yang dikemas.

4. Peti karton dapat dilengkapi dengan gambar buah yaang dikemas, golongan ukuran, jenis mutu, keterangn jumlah, berat bersih, daerah asal, dan siapa yang memproduksi buah tersebut.


(13)

12 5. Peti karton dapat dilengkapi dengan ventilasi.

6. Sifat meredam getaran yang baik.

7. Lapisan karton dapat dibuat bergelombang sebagai partisi atau penyekat antarbuah sehingga kerusakan akibat gesekan daan tekanan dapat dihindari.

8. Peti karton memiliki bahan yang ringan sehingga akan mempermudah pembongkaran dan dinding petinya yang halus dibandingkan peti kayu menyebabkan gesekan antara komditi dengan dinding peti tidak berakibat buruk.

Tipe kemasan dari karton gelombang banyak sekali, tetapi yang umum digunakan adalah RSC (Regular Slotted Container), HTC ( Half Telescopic Container), FTC ( Full Telescopic Container) (Barail 1954). Dari ketiga tipe tersebut yang paling banyak digunakan untuk pengemasan buah dan sayuran segar adalah tipe RSC (Peleg 1985).

Terdapat tiga daya tahan yang dimiliki oleh kemasan karton, yaitu daya tahan jebol, daya tahan susun, dan daya tahan air (basah). Ketahanan jebol dan daya tahan susun dari kemasan karton sangat bergantung pada kualitas bahan yang digunakan. Daya tahan terhadap air (basah) dapat dilakukan dengan menambah lapisan lilin pada permukaan karton, baik di bagian dalam, maupun di bagian luar sesuai kebutuhan (Federasi Pengemasan Indonesia 1983).

Menurut Yulianto (1993), kemasan karton yang banyak digunakan memiliki kekurangan, antara lain bila konduksi panas rendah, kemasan sulit menjadi dingin serta ada kecenderungan menyerap kelembaban dari lingkungan luar. Namun, pada umunya masyarakat lebih menyukai produk buah yang dikemas kotak karton karena sirkulasi udaranya rendah sehingga produk akan lebih bertahan lama dan tidak cepat layu

D.

Bahan Pengisi Kemasan

Selama transportasi dan penyimpanan, kemasan dan bahan segar akan menghadapi beberapa bahaya, baik dari segi mekanis, lingkungan ataupun biologi. Bahaya mekanis dapat dinyatakan sebagai bahaya yang disebabkan oleh tumbukan, getaran kompresi, dan tusukan. Kerusakan tumbukan dapat terjadi jika kemasan jatuh atau terlempar. Buah di dalamnya akan bergerak dan bersentuhan antara sesama buah dan antara buah dengan kemasan yang mengakibatkan kerusakan. Untuk mengurangi efek tersebut pada produk kemasan harus dibuat tidak bergerak dan membagi beban yang ada pada setiap bagian dan memberikan bantalan. Efek merugikan dari getaran termasuk luka lecet yang disebabkan karena perpindahan relatif produk dari kemasan dan dari produk yang lain bisa dikurangi dengan menahan tiap bagian produk. Kerusakan kompresi terjadi selama penumpukkan kemasan. Kemasan kaku yang terlampau penuh atau cacat dapat menyebabkan gaya kompresi yang ada dari penumpukkan lebih banyak dilanjutkan kepada produk daripada kemasannya. Hasilnya, produk menjadi memar, keparahannya tergantung pada besarnya gaya yang terjadi dan tingkat kematangan dari produk (Burdon dalam Pantastico, 1975).

Beberapa dari kerusakan ini dapat diminimalisir dengan menghindari adanya ruang kosong yang terdapat di dalam kemasan serta melindungi tekanan dan gesekan antara sesama produk ataupun antara produk dengan kemasan selama kegiatan transportasi. Bahan yang digunakan untuk mengisi ruang tersebut sering disebut dengan istilah bahan pengisi kemasan. Bahan ini dapat mengurangi sebagian besar kerusakan yang terjadi selama transportasi. Selain itu, bahan ini dapat juga menjadi alat penyekat antarproduk, sebagai bahan pelapis dinding kemasan, atau sebagai bahan pengganjal untuk melindungi buah atau sayur terhadap pergeseran dengan dinding kemasan atau sebagai bahan pengisi di sela-sela antara setiap komoditas yang dikemas untuk mencegah terjadinya pergeseran letak


(14)

13 komoditas. Bahan yang umum digunakan adalah merang atau jerami, daun-daun kering, pelepah batang pisang, tikar, kertas koran atau kertas lainnya, dan sebagainya (Hasiholan 2008).

Menurut Noer (1998), kunci utama pengepakan sayuran dan buah-buahan yang baik adalah pemberian dan penyusunan lapisan dasar atau bahan pengisi (liner) dengan baik dan tepat. Bahan pengisi yang baik merupakan faktor yang penting bagi penyelesaian lapisan-lapisan berikutnya sehingga tekanan tidak terlalu besar. Bahan pengisi yang berupa cabikan kertas maupun daun pisang kering tersebut dapat diletakkan pada bagian atas dan bawah wadah, diantara buah dalam wadah atau pada setiap tempat dimana buah bersentuhan dengan wadah pengemas.

E.

Simulasi Transportasi Hasil Pertanian

Pengangkutan merupakan mata rantai yang penting dalam penanganan, penyimpanan, dan distribusi buah-buahan serta sayuran. Pengangkutan dilakukan untuk menyampaikan komoditas hasil pertanian secara cepat dari produsen ke konsumen.

Di Indonesia perhubungan lewat darat sangat dominan terhadap pengangkutan buah yang hendak dipasarkan selanjutnya. Alat angkut yang umum digunakan adalah truk, mobil bak terbuka atau sejenisnya, dan menggunakan kereta api (Satuhu, 2004). Dalam kondisi jalan yang sebenarnya, permukaan jalan ternyata memiliki permukaan yang tidak rata. Permukaan jalan yang tidak rata ini menyebabkan produk mengalami berbagai guncangan ketika ditransportasikan. Besarnya guncangan yang terjadi bergantung kepada kondisi jalan yang dilalui. Ketidakrataan ini disebut amplitudo dan tingkat kekerapan terjadinya guncangan akibat ketidakrataan jalan tersebut dinamakan frekuensi. Kondisi transportasi yang buruk ini dan penanganan yang tidak tepat pada komoditi yang ditransportasikan (buah dan sayuran) dapat menyebabkan kerugian berupa turunnya kualitas komoditi yang akan disampaikan ke tangan konsumen. Penurunan kualitas yang sering terjadi adalah kerusakan mekanis pada buah dan sayuran.

Purwadaria dkk telah merancang alat simulasi transportasi yang dapat mewakili pengaruh guncangan yang terjadi pada kondisi jalan yang sebenarnya. Alat simulasi ini telah disesuaikan dengan jalan yang terdapat di dalam dan luar kota. Menurut Darmawati (1994), hal yang menjadi dasar perbedaan jalan dalam kota dan luar kota adalah besar amplitudo ynag terukur dalam suatu panjang tertentu. Jalan dalam kota mempunyai amplitudo yang rendah dibanding jalan luar kota, maupun jalan buruk aspal dan jalan buruk berbatu. Frekuensi alat angkut yang tinggi bukan penyebab utama kerusakan buah dalam pengangkutan, yang lebih berpengaruh terhadap kerusakan buah adalah amplitudo jalan. Pada simulasi pengangkutan dengan menggunakan truk guncangan yang dominan adalah guncangan pada arah vertikal. Sedangkan guncangan pada kereta api adalah guncangan horisontal, guncangan lain berupa puntiran dan bantingan diabaikan karena jumlah frekuensinya kecil sekali (Soedibyo 1992).

Purwadaria (1992) dalam Muthmainah 2008, menyatakan bahwa guncangan yang terjadi selama pengangkutan baik di jalan raya maupun di rel kereta api dapat mengakibatkan kememaran, susut bobot, dan memperpendek masa simpan. Hal ini terutama terjadi pada pengangkutan buah dan sayuran yang tidak dikemas. Meskipun kemasan dapat menahan efek guncangan, tetapi gaya redamnya tergantung pada jenis kemasan dan tebal bahan kemasan, susunan komoditas di dalam kemasan, dan susunan kemasan di dalam alat angkut.


(15)

14 Tabel 3. Data guncangan truk

Jumlah kejadian amplitudo

Amplitudo gerakan vertikal (cm) Jalan dalam

kota

Jalan luar kota Jalan buruk aspal

Jalan buruk berbatu

1 3.5 3.9 4.8 5.2

500 3.2 3.6 4.2 4.1

1000 2.9 3.3 3.9 3.8

1500 2.5 3.0 3.5 3.6

2000 2.2 2.8 3.1 3.2

2500 1.8 2.5 2.8 2.6

3000 1.6 2.1 2.8 2.6

3500 1.5 2.0 2.0 2.0

4000 1.1 1.7 1.2 1.1

4500 0.9 1.3 0.8 0.7

5000 0.0 0.1 0.2 0.1

Amplitudo

rataan 1.3 1.74 1.85 1.71 Sumber: Lembaga Uji Kontruksi BPPT, 1986

Pradnyawati (2006) telah melakukan penelitian mengeni pengaruh kemasan dan guncangan terhadap mutu fisik jambu biji selama transportasi. Jenis kemasan yang digunakan adalah keranjang bambu dengan pengisi daun pisang, kardus karton dengan bahan pengisi kertas koran cacah, dan kardus karton dengan bahan pembungkus kertas koran. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kerusakan mekanis yang tertinggi dialami oleh jambu biji dalam kemasan keranjang bambu dengan bahan pengisi daun pisang. Sedangkan tingkat kerusakan mekanis terendah dialami oleh jambu biji dalam kemasan kardus karton dengan bahan pembungkus koran.

Kusumah (2007) pernah mengkaji pengaruh kemasan dan suhu terhadap mutu fisik mentimun selama transportasi. Penelitian ini menggunakan empat kemasan yang berbeda untuk mengemas mentimun yang akan ditransportasikan. Simulasi penggetaran dilakukan selama tiga jam. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tingkat kerusakan mekanis tertinggi dialami oleh mentimun dalam peti kayu dengan nilai kerusakan sebesar 40.915% dan kerusakan terendah dialami oleh mentimun dalam kemasan kardus dengan nilai kerusakan sebesar 26.1%

Darmawati (1994) meneliti pengaruh guncangan terhadap jeruk dalam kemasan karton bergelombang di atas meja getar dengan kompresor. Simulasi dengan pengangkutan ini dilakukan selama delapan jam dengan frekuensi penggetaran sebesar 6 Hz dan amplitudo 5 cm. Keadaan ini setara dengan 2490 km pada jalan beraspal atau 905 km pada jalan berbatu. Simulasi pengangkutan ini mewakili pengangkutan antarpulau (Jawa dan Sumatera) dan mengakibatkan kerusakan buah sebesar 26.1%.

Anwar (2005) mengkaji dampak kemasan terhadap perubahan sifat fisik dan masa simpan buah dengan menggunakan meja getar yang sama. Simulasi transportasi dalam penelitian ini dilakukan selama satu jam dengan frekeuensi 3.33 Hz dan amplitudo 5.31 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan kardus karton dengan bahan pengisi kertas koran merupakan kemasan yang paling baik untuk transportasi buah dengan kerusakan mekanis terkecil, yaitu 8.46%


(16)

15 apabila dibandingkan dengan jenis kemasan lain seperti kantong plastik tanpa bahan pengisi dengan kerusakan mekanis yang terjadi sebesar 23.70%.

Hasiholan (2008) telah melakukan penelitian mengenai peningkatan performa pengemasan jambu biji selama transportasi dengan penggunaan bahan pengisi. Simulasi dengan pengangkutan ini dilakukan selama dua jam dengan frekuensi penggetaran sebesar 3.4 Hz dan amplitudo 3.2 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kemasan kardus karton dengan bahan pengisi styrofoam

merupakan kemasan yang paling baik untuk transportasi buah dengan kerusakan mekanis terkecil, yaitu 39.585% apabila dibandingkan dengan jenis kemasan lain seperti kemasan karton dengan tanpa bahan pengisi dengan kerusakan mekanis yang terjadi sebesar 84.025%.

Gambar 9. Ilustrasi gerakan pada simulasi sistem transportasi buah pepaya

F.

Kerusakan Mekanis

Kerusakan pasca panen harus digunakan secara hati-hati untuk memperoleh buah-buahan yang segar dan mempunyai mutu yang tinggi. Penanganan secara kasar dapat mempengaruhi mutu produk-produk secara langsung. Mutu buah-buahan tersebut ditentukan oleh sifat fisik mekanis, morfologis dan fisiologis. Sifat fisik morfologis meliputi panjang, diameter, volume, dan bobot. Sifat fisiologis dipengaruhi oleh laju respirasi, sedangkan mekanis merupakan ketahanan buah terhadap benturan dan goresan.

Kerusakan mekanis pada produk pertanian dapat disebabkan oleh gaya-gaya luar (statik maupun dinamis) dan gaya-gaya dalam disebabkan oleh perubahan fisik bahan tersebut. Perubahan fisik dapat disebabkan oleh perubahan kadar air, temperatur, biologis, dan kimia. Kerusakan mekanis dapat terjadi karena buah menerima pembebanan, baik berupa tekanan maupun pukulan.

Kerusakan mekanis yang terjadi selama pengangkutan dapat terjadi karena tumpukan buah yang terlalu tinggi. Hal tersebut dapat mengakibatkan tekanan yang besar terhadap buah yang terdapat pada lapisan bawah sehingga meningkatkan kerusakan akibat kompresi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kerusakan mekanik buah antara lain : 1. Gaya-gaya luar

Tingkat kerusakan mekanis yang terjadi dipengaruhi oleh besarnya gaya luar (beban) yang mengenai buah. Kerusakan akan semakin tinggi jika gaya luar (beban) yang diterima oleh buah semakin besar.


(17)

16 Buah tersusun dari sel-sel yang memiliki sifat viskoelastis yang memberikan respon terhadap gaya gantung dari sifat pembebanan. Sifat pembebanan terdiri dari dua macam, yaitu pembebanan yang bersifat statis dan pembebanan yang bersifat dinamis atau berubah-ubah terhadap waktu.

Pembebanan dinamis terjadi pada tumpukan buah yang mengalami getaran selama pengangkutan. Sedangkan pembebanan statis terjadi pada saat buah menanggung beban gaya yang tetap seperti penumpukan buah pada waktu penyimpanan.

2. Sifat mekanis buah

Sifat mekanis yaitu respon bahan yang sesuai dengan perilakunya apabila diberi gaya. Dalam ilmu rheology mempelajari sifat mekanis bahan. Secara reologis, sifat mekanis buah dapat dinyatakan dalam tiga bentuk parameter yaitu gaya, deformasi dan waktu.

G.

Teknik Pengemasan

Buah-buahan yang tidak disusun secara rapi dalam kemasan akan saling berbenturan dan terjadi gesekan antara buah jika mendapat gaya dinamis berupa guncangan dan getaran. Dalam pengemasan buah-buahan tersebut, penyusunan lapisan dasar merupakan faktor yang penting bagi penyelesaian lapisan-lapisan berikutnya. Bahan berupa bantalan atau kertas dapat digunakan untuk mengurangi gesekan antara buah dengan kemasan ataupun buah dengan buah. Kertas tersebut diletakkan bagian atas, bawah, samping, atau diantara buah. Dalam penyusunan buah, perlu diperhatikan arah penyusunan buah dalam kemasan. Buah harus disusun dengan bagian yang mempunyai kekerasan terbesar searah dengan arah getaran yang dominan selama pengangkutan. Untuk pengangkutan dengan truk, arah getaran yang dominan adalah arah vertikal sehingga buah di dalam kemasan disusun dengan arah vertikal.

H.

Penyimpanan Buah

Penyimpanan buah adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperpanjang ketersediaannya sampai kepada konsumen dan menyediakannya untuk memenuhi permintaan pasar (Chace et al 1970). Keadaan yang optimal dalam penyimpanan dibutuhkan untuk mendapatkan buah yang senantiasa dalam keadaan segar. Hal ini penting untuk menjamin daya simpan buah semaksimal mungkin. Penyimpanan buah adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperpanjang ketersediaannya sampai kepada konsumen dan menyediakannya untuk memenuhi permintaan pasar (Satuhu, 2004). Setiap varietas atau jenis buah tidak memiliki kondisi penyimpanan yang sama. Menurut Pantastico, et al. (1975), penyimpanan buah-buahan dan sayuran dapat memperpanjang daya guna dan dalam kemasan tertentu dapat mempertahankan mutunya.

Salah satu faktor penting dari lingkungan adalah suhu penyimpanannya. Suhu harus dijaga agar tetap konstan demikian pula kelembabannya (Satuhu 2004). Kelembaban udara yang rendah dapat mempercepat terjadinya transpirasi atau penguapan sehingga dapat menyebabkan kehilangan bobot yang cukup besar selama penyimpanan. Penyusutan bobot menyebabkan buah mengkerut dan layu serta dapat mencegah pertumbuhan jasad renik pembusuk sehingga bahan yang disimpan menjadi cepat rusak. Selain itu, dengan mengurangi suhu dapat memperlambat terjadinya metabolisme, menghambat terjadinya perubahan, dan mengurangi kehilangan air dan peningkatan patogen (Burdon

dalam Pantastico 1975). Pada penyimpanan buah-buahan, sirkulasi udara harus tetap dijaga (Satuhu 2004).


(18)

17 Hal lain yang perlu diperhatikan pada penyimpanan dingin adalah suhu dari pendingin haruslah berada pada titik yang tepat. Suhu yang terlalu dingin akan menyebabkan terjadinya kerusakan buah akibat suhu dingin (chiling injury). Gejala chiling injury, antara lain: buah menjadi berlubang, penghitaman kulit, gagal menjadi masak, dan rentan mengalami pembusukan (Nakasone 1998).

Dengan penyimpanan, respirasi komoditi segar dapat dikendalikan. Asas dasar penyimpanan pada temperatur rendah adalah penghambatan respirasi dengan temperatur rendah. Panas yang ditimbulkan respirasi tertimbun dalam ruang penyimpanan dan jika tidak disediakan sarana untuk menghilangkannya, laju respirasi komoditi yang disimpan akan bertambah besar. Ventilasi secara tidak langsung berhubungan dengan respirasi.


(19)

18

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian “Pengaruh Perlakuan Bahan Pengisi Kemasan terhadap Mutu Fisik Buah Pepaya Varietas IPB 9 (Callina) Selama Transportasi” dilakukan pada bulan Maret hingga Mei 2011 yang berlokasi di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian (TPPHP) dan Laboratorium Lingkungan dan Bangunan Pertanian (LBP), Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.

B.

Bahan dan Alat

1. Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan baku utama dan bahan tambahan lainnya. Bahan baku utama yang digunakan adalah pepaya jenis hermaprodit, karton/ kardus sebagai kemasan selama pengangkutan. Pepaya yang digunakan merupakan pepaya varietas IPB 9 (Callina) yang diperoleh dari petani pepaya daerah Gadog binaan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) Tajur, Bogor. Bahan lain yang digunakan berupa bahan pengisi kemasan, yaitu: kertas koran yang digunakan untuk membungkus tiap satuan pepaya IPB 9 (Callina), dan kardus berpola, cacahan kertas koran, lembaran dan cacahan spons/ gabus untuk penyekat dan penopang buah yang tersusun vertikal dan horizontal.

2. Alat

Peralatan yang digunakan terdiri atas meja simulator untuk simulasi transportasi buah pepaya, refractometer untuk mengukur kandungan total padatan terlarut (TPT), timbangan mettler

untuk mengukur susut bobot, rheometer untuk mengukur kekerasan serta alat-alat lainnya yang menunjang terlaksananya penelitian ini.

C.

Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang dilakukan sebagai berikut:

1. Pepaya yang dipanen dari kebun, dibersihkan dan disortasi. Pepaya yang dipilih adalah pepaya jenis kelamin hermaprodit yang tidak memiliki kerusakan atau cacat pada kulit buahnya, dan memiliki umur petik yang seragam. Setelah itu dilanjutkan dengan pengamatan terhadap bobot, kekerasan, dan kandungan total padatan terlarut (TPT).

2. Sebelum dilakukan pengemasan, pepaya dicuci dengan dengan air untuk menghilangkan getah dan kotoran lain yang menempel pada kulit pepaya, dan dikeringkan dengan kain lap dengan permukaan lembut. Pepaya kemudian dimasukkan ke dalam kemasan kardus karton kapasitas 30 kg sebanyak 8 buah kemasan.

3. Masing-masing kardus diberi perlakuan yang sama pada bahan pembungkus pepaya (kertas koran), perlakuan berbeda terjadi pada penggunaan kardus berpola,cacahan kertas koran, lembaran dan cacahan spons sebagai penyekat dan bahan pengisi serta penyusunan posisi buah di dalam kemasan kardus.


(20)

19 a. Kardus pertama, pepaya dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kemasan serta diberi bahan pengisi cacahan kertas koran diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara horizontal dan terdiri dari 2 layer.

b. Kardus kedua, pepaya dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kemasan serta diberi bahan pengisi cacahan kertas koran diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara vertikal dengan tangkai buah berada di bawah.

c. Kardus ketiga, pepaya dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kemasan serta diberi penyekat kardus yang berpola diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara horizontal dan terdiri dari 2 layer.

d. Kardus keempat, pepaya dibungkus dengan kertas koran dan dimasukkan ke dalam kemasan serta diberi penyekat kardus yang berpola diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara vertikal dengan tangkai buah berada di bawah.

e. Kardus kelima, pepaya dibungkus dengan kertas koran, kemudian dilapisi dengan lembaran spons dan dimasukkan ke dalam kemasan yang berisi cacahan spons diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara horizontal dan terdiri dari 2 layer.

f. Kardus keenam, pepaya dibungkus dengan kertas koran, kemudian dilapisi dengan lembaran spons dan dimasukkan ke dalam kemasan yang berisi cacahan spons diantara sela-sela posisi susunan buah agar buah tertopang dan tetap dalam posisinya. Posisi penyusunan buah secara vertikal dengan tangkai buah berada di bawah.

g. Kardus ketujuh, karena akan dijadikan sebagai kemasan kontrol, maka pepaya hanya akan dibungkus dengan kertas koran dan kemudian dimasukkan ke kotak kardus. Posisi penyusunan buah secara horizontal dan terdiri dari 2 layer.

h. Kardus ketujuh, karena akan dijadikan sebagai kemasan kontrol, maka pepaya hanya akan dibungkus dengan kertas koran dan kemudian dimasukkan ke kotak kardus. Posisi penyusunan buah secara vertikal dengan tangkai buah berada di bawah.

4.

Kemasan kardus kemudian diatur di atas meja simulator. Simulasi transportasi dilakukan selama 1 jam. Pada arah vertikal dengan amplitudo 4.05 cm dan frekuensi 2.99 Hz.


(21)

20 5. Setelah simulasi transportasi, dilakukan pengamatan terhadap kerusakan mekanis, susut bobot, perubahan total padatan terlarut, dan uji kekerasan dengan mengambil 2 sampel buah pepaya pada masing-masing kemasan.

6. Pepaya disimpan pada suhu ruangan selama 8 hari. Setiap dua hari sekali dilakukan pengamatan terhadap kerusakan buah pepaya. Adapun data-data yang diambil selama pengamatan adalah pengukuran dan pengamatan terhadap kerusakan mekanis, kekerasan, susut bobot, dan total padatan terlarut.


(22)

21 Gambar 11. Diagram alir proses penelitian


(23)

22

D.

Pengamatan

1. Kerusakan Mekanis

Pengamatan terhadap tingkat kerusakan mekanis pepaya dilakukan sebelum dan setelah kegiatan transportasi dan selama masa penyimpanan. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat kerusakan seperti luka gores, memar, dan pecah dari masing-masing kemasan. Kegiatan pengujian dilakukan secara visual.

Persamaaan yang digunakan untuk menghitung kerusakan mekanis yang terjadi adalah:

Klasifikasi kerusakan pada pepaya sebagai berikut:

1.Luka memar, terjadi akibat adanya benturan antara produk dengan dinding alat pengemasan atau tekanan sesama produk.

2.Luka gores, terjadi akibat adanya gesekan antara produk dengan kemasan atau gesekan sesama produk.

3.Luka pecah, terjadi akibat tekanan yang terjadi dari arah vertikal maupun dari arah horizontal produk, selain itu juga dapat diakibatkan karena guncangan selama proses pengangkutan.

2. Kekerasan

Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan buah terhadap jarum penusuk dari

rheometer. Alat diset pada kedalaman 10 mm dengan beban maksimum 10 kg dan diameter jarum 5 mm. Uji kekerasan dilakukan pada tiga titik yang berbeda, yaitu: bagian tengah, bagian ujung, dan bagian pangkal. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali ulangan pada masing-masing sampel dan kemudian dirata-ratakan nilainya.

Gambar 11. Rheometer Gambar 12. Bagian-bagian buah pepaya

(1)

Bagian

ujung

Bagian

tengah

Bagian

pangkal


(24)

23

3. Susut Bobot

Penurunan susut bobot dilakukan berdasarkan persentase penurunan berat bahan sejak sebelum dilakuakn simulasi transportasi, awal penyimpanan sampai akhir penyimpanan. Persamaan yang digunakan untuk menghitung susut bobot adalah sebagai berikut:

Dimana: W = bobot bahan awal penyimpanan (gram) Wa = bobot bahan akhir penyimpanan (gram)

Gambar 13. Timbangan Mettler

4. Total Padatan Terlarut

Pengukuran total padatan terlarut dilakukan dengan menggunakan refractometer. Pepaya dihancurkan kemudian dilakukan pengukuran kadar gula dengan meletakkan cairan daging buah yang telah dihancurkan pada prisma refractometer. Sebelum dan sesudah pembacaan, prisma refractometer

dibersihkan dengan alkohol. Angka yang tertera pada refractometer menunjukkan kadar total padatan terlarut (oBrix) yang mewakili rasa manis.

Gambar 14. Hand Refractometer


(25)

24

E.

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang akan digunakan adalah rancangan acak lengkap dua faktorial dengan dua ulangan perlakuan pada tiap-tiap jenis pepaya. Faktor-faktor yang digunakan untuk masing-masing jenis pepaya adalah:

A = Bahan pengisi kemasan

A1 = menggunakan cacahan kertas koran A2 = menggunakan lembaran dan cacahan spons A3 = menggunakan sekat kardus

A4 = tidak menggunakan bahan pengisi kemasan B = Teknik penyusunan buah pepaya dalam kemasan

B1 = posisi horizontal B2 = posisi vertikal

Dua faktor tersebut akan menghasilkan kombinasi-kombinasi perlakuan yaitu A1B1,A1B2,A2B1,A2B2,A3B1, A3B2, A4B1, A4B2.

Model umum dari rancangan percobaan ini adalah:

IJ ij j

i

ijk

A

B

AB

Y

1

(

)

(3) Dimana:

1 ijk

Y

= Pengamatan pada perlakuan A ke-i dan B ke-j µ = nilai rata-rata harapan

Ai = perlakuan A ke-i Bj = perlakuan B ke-j

(AB)ij = interaksi A ke-i dan B ke-j

ij

= pengaruh galat percobaan dari perlakuan A ke-i,B ke-j pada ulangan ke-l Dengan:

i = 1,2,3,4 (bahan pengisi) j = 1,2 (teknik pengemasan)

Pengamatan dilakukan setiap dua hari sekali terhadap beberapa respon. Respon yang akan diamati, yaitu: (1) uji kekerasan, (3) kerusakan mekanis, (4) total padatan terlarut. Pada setiap respon akan diamati pengaruh dari kombinasi faktor yang diberikan sehingga akan diketahui apakah ukuran kemasan, jenis kemasan, posisi penyusunan komoditas pada kemasan dan jenis bahan pengisi akan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan dan umur simpan pepaya.


(26)

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A.

Pengemasan Buah Pepaya

Pendistribusian pepaya pada umumnya tidak menggunakan bahan kemasan apapun, dimana buah pepaya langsung di susun secara vertikal pada bak mobil pick-up. Akan tetapi untuk untuk buah pepaya kelas ekstra yang sering dipasarkan pada swalayan-swalayan maupun toko buah di kota-kota besar biasanya didistribusikan dengan menggunakan keranjang plastik maupun kemasan kotak kardus tanpa bahan pengisi apapun, dimana buah pepaya dibungkus atau dilapisi kertas koran terlebih dahulu sebelum disusun dengan posisi vertikal pada keranjang plastik ataupun kotak kardus.

Pada penelitian ini, digunakan kemasan kotak kardus tipe Regular Slotted Container (RSC) double flute berukuran 50x50x40 cm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 16. Jenis kemasan tersebut dipilih karena sudah umum digunakan pada pendistribusian produk hortikultura karena memiliki konstruksi yang lebih sederhana dan lebih ekonomis. Pemilihan dinding kardus berflute ganda dengan tujuan agar kemasan ini dapat lebih kuat sehingga bisa menahan beban buah pepaya yang perbijinya mempunyai bobot yang cukup berat selama pendistribusian berlangsung, dapat bertahan dalam tumpukan yang lebih banyak dalam keadaan yang lembab yang disebabkan uap air sisa transpirasi buah pepaya dalam kemasan, serta dapat dengan baik meredam goncangan yang dihasilkan selama transportasi dibandingkan dengan kemasan kardus flute tunggal (single flute).

Gambar 16. Kemasan kardus dengan tipe Regular Slotted Container (RSC) double fluteberukuran 50x50x40 cm

Kemasan kardus yang digunakan dikombinasikan dengan tiga jenis perlakuan bahan pengisi kemasan dan satu perlakuan tanpa bahan pengisi kemasan. Bahan pengisi kemasan yang digunakan berupa cacahan kertas koran, kardus berpola (sekat kardus), dan spons berbentuk lembaran serta cacahan. Bahan pengisi yang digunakan diharapkan dapat mengurangi benturan ketika terjadi guncangan selama transportasi buah pepaya berlangsung. Bahan pengisi yang digunakan dapat digunakan berulangkali, tidak hanya untuk sekali pendistribusian buah pepaya, sehingga akan lebih ekonomis. Tampilan masing-masing jenis bahan pengisi ditunjukkan pada Gambar 17, 18 dan 19..


(27)

26 Gambar 17. Bahan pengisi cacahan kertas koran

(a) (b)

Gambar 18. Bahan pengisi (a) lembaran spons/ gabus, (b) cacahan spons/ gabus

Gambar 19. Bahan pengisi kardus berpola /sekat kardus

Jumlah pepaya yang diisikan ke dalam masing-masing kemasan berjumlah 12 dan 16 buah dengan berat antara ±30 kg. Berat buah pepaya pada tiap kemasan ini didasarkan atas pertimbangan keadaan di lapang pada umumnya dengan bahan pengemas kotak kardus, dimana para distributor menggunakan kardus dengan kisaran berat ±30 kg selama distribusi buah pepaya, selain itu berat 30 kg masih dalam toleransi kemampuan seseorang dapat mengangkat kemasan.


(28)

27 Selain dikombinasikan dengan bahan pengisi kemasan, pengemasan buah pepaya pada kotak kardus ini juga dikombinasikan dengan posisi penyusunan buah pada tiap kemasan, yaitu penyusunan buah dengan posisi vertikal dan horizontal. Cara penyusunan buah dalam kemasan berpengaruh dalam usaha melindungi buah pepaya selama proses transportasi. Buah pepaya disusun teratur baik secara horizontal maupun vertikal terdiri dari 1 dan 2 layer (tumpukan), untuk posisi vertikal hanya 1

layer (tumpukan) sedangkan posisi horizontal terdiri dari 2 layer (Gambar 28 dan Gambar 29). Posisi penyusunan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 20. Kardus cacahan koran posisi vertikal Gambar 21. Kardus cacahan koran horizontal

Gambar 22. Kardus berspons posisi vertikal Gambar 23. Kardus berspons posisi horizontal


(29)

28

Gambar 26. Kardus tanpa pengisi posisi vertikal Gambar 27. Kardus tanpa pengisi posisi horizontal

Gambar 28. Pola penyusunan vertikal Gambar 29. Pola penyusunan horizontal

B.

Mutu Bahan Penelitian

Buah pepaya yang digunakan sebagai penelitian adalah buah pepaya yang telah memenuhi tingkat matang petik yang optimal dengan kriteria sudah tua dengan kondisi buah 75% berwarna hijau 25% semburat kuning diantara tengah dan ujung pepaya. Penampakan luar buah kelihatan masih mengkal, tetapi apabila dibelah bagian dalamnya sudah menunjukkan warna kekuningan. Pada saat memanen diusahakan buah tidak tergores atau terluka dengan cara menggunakan sarung tangan ketika memetiknya dari pohon. Buah pepaya dipanen pada pagi hari pukul 6.00 dengan kondisi cuaca cerah. Penentuan keseragaman buah pepaya yang dipanen dilakukan secara visual.


(30)

29 Sebelum dilakukannya simulasi transportasi, dilakukan pengukuran sifat fisik dan sifat kimia pada buah. Hasil pengukuran terhadap sifat fisik dan sifat kimia pepaya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Sifat fisik dan kimia buah pepaya sebelum transportasi

Parameter Satuan Kisaran Rataan

Bobot Gram 988,5-2219,0 1603.75

Kekerasan Kgf 3,62-5,54 4.58

Total padatan terlarut 0Brix 4,87-9,73 7.3

Sumber : Hasil pengolahan data

Hasil pengukuran pada Tabel 4 menunjukkan adanya keragaman pada sifat fisik dan kimia pada buah pepaya, meskipun didapat dari satu kebun yang sama dan waktu petik yang sama. Keragaman pada sifat fisik dan kimia pada pepaya tersebut bisa terjadi karena ada perbedaan fisiologis pada tanaman.

C.

Kerusakan Mekanis

Pengukuran tingkat kerusakan mekanis dilakukan pasca simulasi transportasi dilakukan. Pengamatan tingkat kerusakan mekanis dilakukan dengan pengamatan secara visual pada penampakan luar pepaya. Parameter kerusakan pepaya adalah pepaya yang pada kulitnya terdapat luka gores, luka memar dan luka pecah. Luka memar adalah luka atau kerusakan yang ditandai dengan terbentuknya bagian yang berwarna sedikit berbeda dan lunak pada permukaan kulit buah. Luka gores adalah luka pada bagian kulit buah dengan ditandai adanya guratan-guratan halus pada kulit buah. Sedangkan luka pecah ditandai dengan adanya bagian buah pepaya yang terbelah lebih dari 20%. Penampakan kerusakan luka pada buah pepaya dapat dilihat pada Gambar 31. Pada penelitian ini tidak terjadi kerusakan mekanis dengan luka pecah pada buah pepaya.

(a) (b)

Gambar 31. Kerusakan pepaya (a) luka memar dan (b) luka gores

Buah pepaya dalam kemasan kardus akan mengalami guncangan selama simulasi transportasi berlangsung. Guncangan tersebut menyebabkan buah pepaya mengalami pergeseran dan pergerakan sehingga buah pepaya tersebut mengalami pembebanan baik berupa tekanan, benturan ataupun gesekan dengan bahan pengisi , antar buah pepaya maupun antara buah dengan kemasan. Dampak dari guncangan dan pembebanan tersebut adalah kerusakan mekanis pada buah pepaya. Kerusakan mekanis tersebut berupa kerusakan memar, luka gores dan luka pecah. Kerusakan mekanis ditandai


(31)

30 dengan perubahan warna, bentuk, serta penurunan kekerasan buah pepaya tersebut. Kerusakan mekanis yang terdeteksi langsung setelah simulasi transportasi hanya sedikit, oleh karena itu dibutuhkan penyimpanan buah pepaya setelah simulasi transportasi berlangsung agar kerusakan mekanis dapat terdeteksi semua karena aktifitas respirasi dari buah pepaya. Proses laju respirasi akan berlangsung dengan cepat pada buah pepaya yang terluka sehingga menyebabkan kulit buah yang terluka akan mengalami perubahan warna dan beberapa penurunan mutu lainnya. Kerusakan mekanis dan penurunan mutu akan terdeteksi semua setelah proses penyimpanan selama beberapa hari. Data pengukuran dan perhitungan kerusakan mekanis pada buah pepaya pasca simulasi transportasi dan selama penyimpanan 8 hari dapat dilihat pada Lampiran 2a dan lampiran 2b.

Gambar 32. Grafik kerusakan mekanis pada buah pepaya dari berbagai perlakuan pasca simulasi transportasi dan selama penyimpanan

Keterangan :

KKH : Kardus cacahan koran horizontal KKV : Kardus cacahan koran vertikal KSH : Kardua berspons horizontal KSV : Kardus berspons vertikal

KGH : Kardus berskat horizontal KGV : Kardus berskat vertikal

KNH : Kardus tanpa bahan pengisi horizontal KNV : Kardus tanpa bahan pengisi vertikal Dari Gambar 32 di atas dapat diketahui bahwa persentase kerusakan mekanis mengalami kenaikan yang tajam pada hari pertama hingga hari ke-8 penyimpanan. Perbedaan persentase kerusakan mekanis dengan tajam setelah simulasi transportasi dengan setelah mengalami penyimpanan 8 hari dikarenakan kerusakan mekanis belum terdeteksi semua pasca simulasi transportasi. Pasca simulasi transportasi dan selama penyimpanan 8 hari, kemasan dengan perlakuan bahan pengisi cacahan kertas koran dengan posisi penyusunan horizontal (KKH) mempunyai tingkat kerusakan mekanis terendah dibandingkan dengan kemasan lainnya. Kerusakan mekanis yang terjadi yaitu 75%.


(32)

31 Gambar 33. Grafik Kecepatan perubahan total kerusakan mekanis buah pepaya pasca simulasi

Berdasarkan Gambar 33 dapat dilihat bahwa pada kecepatan total kerusakan mekanis tertinggi beberapa jam pasca simulasi transportasi adalah kemasan buah pepaya dengan perlakuan bahan pengisi cacahan kertas koran dengan posisi penyusunan vertikal (KKV) hal ini disebabkan karena pada saat simulasi berlangsung buah pepaya dengan posisi vertikal cenderung lebih mendapatkan gaya pembebanan dari segala arah ketika terjadi guncangan, selain itu pada posisi vertikal dengan kondisi fisik dan dimensi dari buah pepaya yang tidak semua sama persis (beragam) maka setiap pepaya akan mempertahankan posisi mereka masing-masing untuk mempertahankan kesetimbangan mereka ketika terjadi guncangan. Kerusakan mekanis yang terjadi sebagian besar terdapat pada pangkal dan ujung buah pepaya, karena disaat dilakuaknnya simulasi transportasi yang terjadi adalah gaya transversal, yaitu gaya yang menyebabkan terjadinya guncangan ke atas-bawah pada saat berlangsungnya simulasi transportasi dan buah pepaya juga akan bergerak ke atas-bawah mengikuti guncangan yang terjadi sehingga akan menyebabkan kerusakan mekanis pada ujung dan pangkal buah pepaya. Sedangkan kecepatan total kerusakan mekanis terendah pada kemasan buah pepaya dengan perlakuan kemasan bahan pengisi cacahan kertas koran dengan posisi penyusunan horizontal (KKH), hal ini dikarenakan buah pepaya dengan posisi penyusunan horizontal lebih mudah mendapatkan posisi setimbang ketika terjadi guncangan selama simulasi transportasi berlangsung sehingga buah pepaya cenderung tidak banyak bergerak. Gaya atau pembebanan yang di dapatkan buah pepaya juga tersebar secara merata, sehingga kondisi buah pepaya lebih stabil. Pada hari penyimpanan ke-2 kecepatan total kerusakan mekanis pada pepaya menurun drastis dibandingkan dengan pada saat beberapa jam pasca simulasi transportasi, penurunan kecepatan total kerusakan mekanis yang drastis terjadi pada kemasan KNH. Pada hari penyimpanan selanjutnya rata-rata kecepatan total kerusakan mekanis pada buah pepaya menurun sampai pada penyimpanan hari ke-8. Data nilai kecepatan perubahan total kerusakan mekanis pada Lampiran 6.

Untuk mendukung hasil yang telah diperoleh dan untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antara tiap perlakuan dengan parameter yang diamati maka dilakukan pengujian statistik atas data yang diperoleh. Uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan program Statistical Analysis


(1)

86 Lampiran 12. Lanjutan

Pada hari ke-4 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.2645, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.3152, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0613, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

TPT hari ke-6

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.84722222 0.28240741 0.48 0.7043

posisi 1 0.04694444 0.04694444 0.08 0.7845

bahan_pengisi*posis 3 0.34250000 0.11416667 0.19 0.8972

Pada hari ke-6 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.7043, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.7845, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.8972, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

TPT hari ke-8

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.29909722 0.09969907 2.23 0.1626

posisi 1 0.07562500 0.07562500 1.69 0.2300

bahan_pengisi*posis 3 0.82965278 0.27655093 6.17 0.0177

Pada hari ke-8 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1626, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.2300 dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan signifikan terhadap total padatan terlarut pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0177, dimana nilai (Pr > F) < Alpha (0,05)


(2)

87 Lampiran 13. Analisis Ragam Kekerasan

Kekerasan hari ke-0

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.09155213 0.03051738 1.07 0.4137

posisi 1 1.18682867 1.18682867 41.71 0.0002

bahan_pengisi*posis 3 0.34232380 0.11410793 4.01 0.0516

Pada hari ke-0 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.4137, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0002, dimana nilai (Pr > F) < Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0516, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Kekerasan hari ke-2

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.03712500 0.01237500 0.60 0.6324

posisi 1 0.08702500 0.08702500 4.23 0.0739

bahan_pengisi*posis 3 0.05483611 0.01827870 0.89 0.4878

Pada hari ke-2 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.6324, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0739, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.4878, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Kekerasan hari ke-4

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.00696024 0.00232008 0.11 0.9501

posisi 1 0.33110434 0.33110434 16.11 0.0039

bahan_pengisi*posis3 0.01054913 0.00351638 0.17 0.9129

Pada hari ke-4 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) =0.9501, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0039, dimana nilai (Pr > F) < Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.9129, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)


(3)

88 Lampiran 13. Lanjutan

Kekerasan hari ke-6

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.00359653 0.00119884 0.07 0.9769

posisi 1 0.00330625 0.00330625 0.18 0.6831

bahan_pengisi*posis3 0.01655764 0.00551921 0.30 0.8250

Pada hari ke-6 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) =0.9769, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.6831, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.8250, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Kekerasan hari ke-8

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.02802986 0.00934329 0.98 0.4506

posisi 1 0.01983403 0.01983403 2.07 0.1880

bahan_pengisi*posis3 0.06908542 0.02302847 2.41 0.1427

Pada hari ke-8 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) =0.4506, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap kekerasan pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1880, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap kekerasan pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1427, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)


(4)

89 Lampiran 14. Analisis Ragam Susut Bobot

Susut bobot hari ke-0+8 jam

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.00918920 0.00306307 0.06 0.9800

posisi 1 0.00499801 0.00499801 0.10 0.7648

bahan_pengisi*posis 3 0.02322452 0.00774151 0.15 0.9278

Pada hari ke-0 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.9800, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.7648, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.9278, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Susut bobot hari ke-2

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.59765276 0.19921759 4.56 0.0382

posisi 1 0.03865519 0.03865519 0.89 0.3743

bahan_pengisi*posis3 0.02563415 0.00854472 0.20 0.8965

Pada hari ke-2 :

 Bahan pengisi berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0382, dimana nilai (Pr > F) < Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.3743, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.8965, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Susut bobot hari ke-4

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.84412320 0.28137440 2.09 0.1806

posisi 1 0.71553256 0.71553256 5.30 0.0503

bahan_pengisi*posis 3 0.19807434 0.06602478 0.49 0.6993

Pada hari ke-4 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1806, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0503, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.6993, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)


(5)

90 Lampiran 14. Lanjutan

Susut bobot hari ke-6

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 4.66718470 1.55572823 2.08 0.1819

posisi 1 4.97587881 4.97587881 6.64 0.0328

bahan_pengisi*posis 3 1.81422390 0.60474130 0.81 0.5246

Pada hari ke-6 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1819, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.0328, dimana nilai (Pr > F) < Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.5246, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

Susut bobot hari ke-8

Source DF Type III SS Mean Square F Value Pr > F

bahan_pengisi 3 0.53984561 0.17994854 0.84 0.5087

posisi 1 0.61147717 0.61147717 2.86 0.1294

bahan_pengisi*posis3 0.85821152 0.28607051 1.34 0.3290

Pada hari ke-8 :

 Bahan pengisi tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.5087, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Posisi penyusunan tidak berpengaruh signifikan terhadap susut bobot pada taraf 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.1294, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)

 Pengaruh interaksi antara bahan pengisi dan posisi penyusunan tidak signifikan terhadap susut bobot pada taraf nyata 5% dengan nilai (Pr > F) = 0.3290, dimana nilai (Pr > F) > Alpha (0,05)


(6)

91

Lampiran