Industri Kerajinan pada Era Kolonial Produk Utama Industri Kerajinan Pada Era Kolonial

IV. GAMBARAN UMUM

4.1 Sejarah Industri Kerajinan di Indonesia

Kerajinan berawal dari kreativitas seseorang dan merupakan keterampilan untuk menciptakan nilai keindahan pada suatu karya serta merupakan bagian dari suatu kebudayaan. Kerajinan tumbuh melalui proses yang panjang. Perkembangan kerajinan sebagai warisan bergantung kepada perubahan yang disebabkan oleh perkembangan teknologi serta minat dan penghargaan masyarakat maupun para perajin terhadap barang kerajinan itu sendiri, baik dalam menjaga mutu maupun dalam penyediaan produk kerajinan secara berkelanjutan. Seiring dengan minat dan penghargaan masyarakat akan produk-produk kerajinan, maka para perajin memperlakukan kerajinan sebagai komoditi yang dapat mendatangkan keuntungan. Kerajinan dipandang sebagai suatu sarana untuk menciptakan lapangan usaha baru, penyerap tenaga kerja serta sebagai upaya pelestarian hasil budaya bangsa. Hal inilah yang menjadi awal mula keberadaan industri kerajinan.

4.1.1 Industri Kerajinan pada Era Kolonial

Pada zaman kolonial, ketika kapitalisme merambah tanah Hindia dan industri perkebunan memberikan begitu banyak keuntungan komersial yang melimpah bagi penjajah. Menurut Rouffaer 1904, pada masa itu tidak ada seorang pun yang bersungguh-sungguh memedulikan kehidupan ekonomi rakyat. Keadaan itu berlarut-larut setidaknya sejak sistem liberal yang berorientasi pasar global menguasai perekonomian Hindia Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Penduduk pada masa itu kebanyakan bergerak dalam sektor pertanian sederhana, subsisten, dan miskin. Sementara itu, kegiatan industri rumah tangga, lazimnya dikategorikan sebagai usaha luar-tani off-farm, dijalankan hanya sebagai sambilan menunggu panen atau ketika sawah mengering. Oleh karena itu, kalangan kapitalis-liberal memandang kegiatan luar-tani tersebut tak pernah punya arti ekonomi yang penting. Pengelolaan kebijakan industri rumah tangga diserahkan kepada Direktur OEN Onderwijs, Eeredienst en Nijverheid; Pendidikan, Keagamaan dan Industri dengan asumsi bahwa yang diperlukan bagi para produsen industri rumah tangga itu adalah pendidikan teknis pertukangan dan bukan keahlian manajerial. Namun demikian, suara kelompok etisi yang mendominasi Departemen OEN bersikap kritis. Mereka mendesak pemerintah kolonial agar memerhatikan kesejahteraan ekonomi penduduk pribumi. Ada keyakinan di antara mereka bahwa industri pribumi pun bisa berkembang jika diberi kesempatan yang setara dengan industri besar. Dengan mempertimbangkan potensi yang besar ini, pada awal abad ke-20, Menteri Urusan Jajahan Alexander Idenburg menunjuk tokoh etisi C Th van Deventer untuk meneliti keadaan perekonomian penduduk pribumi di Jawa dan Madura.

4.1.2 Produk Utama Industri Kerajinan Pada Era Kolonial

Pada masa itu belum ada penjelasan konsep dan kriteria industri utama voornaamste industrieën atas sejumlah produk yang dikaji, yakni kain tenun, batik, kerajinan kayu, anyam- anyaman, logam dan kulit, serta barang-barang gerabah, batu-batuan, dan batu bata. Pada masa itu belum ada metode yang diambil untuk menganalisis masalah. Namun demikian penelitian ini berhasil menonjolkan beberapa jenis produk andalan industri rumah tangga yang menjadi kekuatan usaha luar-tani penduduk di Jawa pada waktu itu. Dengan memilih produk itu, Rouffaer seperti ingin mematahkan pandangan tipikal kapitalis kolonial yang cenderung menganggap usaha rumah tangga tidak bernilai ekonomis. Produk andalan tersebut antara lain adalah kain batik yang saat itu dipandang memiliki nilai estetis yang tinggi dan berharga dan disebut sebagai een spesialiteit van Java. Kemudian, produk anyam-anyaman khususnya topi wanita made in Cilongok yang sudah merambah rumah-rumah mode di Paris sejak lama. Chapeaux asal Tangerang itu dikapalkan ke negara-negara Eropa sejak 1887 dalam ratusan peti kemas melalui pelabuhan Batavia. Dalam kurun 1920-an, pasar topi itu meluas sampai ke Turki, Australia, dan Amerika Serikat Netherlands Indies Review, 3 [4], 1923 dalam Sastrodinomo. Terkait dengan pemasaran global, produk industri kerajinan pada masa itu bersinergi dengan industri besar. Sekitar 200 pabrik gula menggantungkan alat kemasannya pada ribuan meter tali bambu, karung goni, tikar, dan keranjang bambu buatan penduduk di desa-desa di Banten, Tasikmalaya, Muntilan dan Bawean yang tak lain merupakan tempat-tempat yang menjadi sentra industri rumah tangga. Batavia dan Vorstenlanden Solo dan Yogyakarta pada masa itu menjadi pusat produksi seni kerajinan, namun cakupannya menjangkau sampai wilayah kota-kota kecil yang tersebar di Jawa dan Madura. Setiap produk kerajinan memiliki akar sejarah yang panjang dan tradisi yang kuat dalam sistem produksi industri rumah tangga di Jawa. Batik misalnya, telah dibuat secara terbatas sejak masuknya kebudayaan Hindu dan berkembang menjadi industri yang istimewa pada masa Mataram. Para pekerja membuat batik tulis sebagai persembahan kepada raja yang menjadi junjungannya. Sebaliknya, raja memberikan pengayoman kepada para pekerja tersebut. Demikian pula pembakaran batu bata telah dikenal setidaknya sejak zaman Majapahit. Kaum Bhertya mencetak batu-batu bata sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap pembangunan negara. Sebagai imbalannya, negara melindungi rakyatnya. Seluruh bangunan keraton dan kota di Majapahit terbuat dari batu bata. Cara produksi mode of production pada industri kerajinan dipahami bukan semata-mata sebagai bentuk-bentuk transaksional-ekonomis antara buruh- majikan atau produsen-konsumen, tetapi lebih sebagai totalitas ekspresi budaya yang dilandasi pada hubungan patron-client. Masih pada masa tersebut, pembatik pribumi sering mendapat tekanan persaingan tak sehat dari pedagang importir Belanda dan China. Para importir tentu memamerkan keunggulan tekstil Twente Belanda.

4.1.3 Politik Ekonomi Industri Kerajinan pada Era Kolonial