Politik Ekonomi Industri Kerajinan pada Era Kolonial

telah dibuat secara terbatas sejak masuknya kebudayaan Hindu dan berkembang menjadi industri yang istimewa pada masa Mataram. Para pekerja membuat batik tulis sebagai persembahan kepada raja yang menjadi junjungannya. Sebaliknya, raja memberikan pengayoman kepada para pekerja tersebut. Demikian pula pembakaran batu bata telah dikenal setidaknya sejak zaman Majapahit. Kaum Bhertya mencetak batu-batu bata sebagai wujud kesetiaan mereka terhadap pembangunan negara. Sebagai imbalannya, negara melindungi rakyatnya. Seluruh bangunan keraton dan kota di Majapahit terbuat dari batu bata. Cara produksi mode of production pada industri kerajinan dipahami bukan semata-mata sebagai bentuk-bentuk transaksional-ekonomis antara buruh- majikan atau produsen-konsumen, tetapi lebih sebagai totalitas ekspresi budaya yang dilandasi pada hubungan patron-client. Masih pada masa tersebut, pembatik pribumi sering mendapat tekanan persaingan tak sehat dari pedagang importir Belanda dan China. Para importir tentu memamerkan keunggulan tekstil Twente Belanda.

4.1.3 Politik Ekonomi Industri Kerajinan pada Era Kolonial

Pada 1915 terjadi perkembangan baru. Pengelolaan kebijakan atas industri rumah tangga pribumi dialihkan dari Departemen OEN kepada Departemen LNH Landbouw, Nijverheid en Handel; Pertanian, Industri dan Perdagangan. Sebuah afdeeling bagian yang dibentuk khusus untuk menangani permasalahan industri penduduk. Artinya, ada pergeseran pandangan bahwa industri rumah tangga tidak hanya dihampiri secara didaktik dengan mengajari aspek teknik kepada para perajin ambacht, tetapi juga diarahkan sebagai sektor ekonomi. Semenjak itu Departemen LNH sering melakukan penelitian mengenai industri rumah tangga dan mendirikan berbagai stasiun percobaan proefstation dengan tujuan mencari landasan untuk memberikan bantuan dana dan pengembangan teknik serta ilmiah. Dalam kurun bersamaan, pemerintah membentuk Komisi Pabrik Fabriekscommissie, suatu badan semi-pemerintah yang dimaksudkan untuk mewadahi kepentingan bisnis kaum industriawan Eropa, khususnya Belanda. Persoalan timbul ketika Komisi Pabrik nyata-nyata menolak ikut serta membantu pengembangan industri pribumi. Bahkan, Komisi Pabrik juga tidak bersedia berada di bawah Departemen LNH dan ingin berdiri independen. Dengan demikian, Komisi Pabrik terlihat tidak berniat memajukan ekonomi penduduk pribumi yang sebagian besar adalah industri kerajinan. Rouffaer 1904 berempati dan secara moral mendukung usaha-usaha ekonomi penduduk pribumi. Tetapi jelas pula mereka tidak mampu menembus dinding politik ekonomi kolonial yang berorientasi kepada industri besar Eropa seperti terwujud dalam pembangunan pabrik-pabrik besar dan eksplorasi pertambangan. Sebaliknya, gagasan untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan hanyalah ilusi dan perdebatan di kalangan elite kolonial. Setidaknya hingga tahun 1930-an, kebanyakan waktu, tenaga, pikiran, dan uang dialokasikan hanya untuk perjalanan dinas pejabat, survei, polemik dan silang pendapat yang tak berujung. Inilah suatu masa yang disebut oleh ekonom HJ van Oorschot 1956 sebagai het papieren tijdperk atau masa tumpukan kertas, yaitu saat yang tidak banyak memberikan perbaikan nyata bagi perikehidupan ekonomi rakyat.

4.2 Klasifikasi Industri Kerajinan di Indonesia