bekerja, lalu memberi manfaat kepada dirinya dan bersadaqah.” Para sahabat
bertanya pula, ”jika ia tidak dapat bekerja sebagai yang di maksudkan?” Nabi menjawab, “ia memberi pertolongan kepada orang-orang yang membutuhkan
pertolongan.” Para sahabat bertanya lagi, “ Jika ia tidak dapat demikian?.”
Nabi menjawab,”Hendaklah ia mengerjakan yang makruf, menahan diri kejahatan, karena yang demikian itu sadaqah baginya.”
H.R Bukhari Shadaqah tak harus berbentuk harta saja, bagi kaum muslimin
yang diuji Allah dalam kesempitan, shadaqah tetap bisa dilakukan dengan mengerjakan yang makruf, dan menahan diri dari berbuat
kejahatan. Dan sangatlah penting memurnikan amal dengan memfokuskan niat dan tujuannya hanya untuk Allah saja, tanpa pamrih,
niatan-niatan yang terselubung.
Ibnu ATHA ILLAH, menjelaskan dalam Al-Hikam: “Jangan menuntut imbalan atas suatu amal yang pelakunya bukan dirimu
sendiri. Cukuplah balasan Allah bagimu jika dia menerima amal itu .” ”Bila engkau menuntut imbalan atas suatu amal, pasti engkau pun akan
dituntut untuk tulus dalam melakukannya. Dan bagi yang merasa belum sempurna, cukuplah bila ia telah selamat dari tuntutan.”
Keikhlasan beramal sejati, terkait dengan tauhid. Yakni keyakinan bahwa semua aspek kehidupan dan wujud berasal dari-nya Allah. Maka,
balasan tertinggi amal perbuatan kita adalah, kesadaran kita terhadap sang sumber, dan kehadiran Allah dalam setiap amal perbuatan seorang
hamba. Artinya ketika hamba Allah menzakatkan atau menshadaqahkan sebagai rezekinya untuk mereka yang berhak, hakikatnya ia hanyalah
perantara pemberi pada saudara-saudaranya yang membutuhkan fakir miskin. Rezeki yang ia keluarkan, hanyalah amanah dan titipan Allah
padanya, agar ia terhindar dari penyakit tamak rakus dan kikir atas segala karunia yang Allah berikan kepadanya. Dan mereka-mereka yang
bershadaqah dengan ihklas, jangan takut kalau hartanya akan habis. Sebab Allah berjanji dalam firmannya, apabila hamba Allah menanamkan satu
kebaikan, maka Allah akan membalas kebaikan hambanya itu sepuluh kali lipatnya.
1.4 Ikhlas Dalam Puasa
Ikhlas dalam puasa adalah memurnikan niat dan tujuan dalam menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa, hanya untuk mencari
keridhoan Allah SWT . Puasa hamba yang ikhlas buakn sekedar menahan
hawa nafsu, seperti makan, minum, dan bersetubuh. Tetapi ia juga harus menjaga penglihatannya, pendengarannya, penciumannya, pengecapnya
dan perasaannya untuk tujuan lain selain kepada Allah SWT. Mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari seorang hamba menjaga ucapan,
tindakan, dan perbuatannya hanya untuk Allah semata.
Dalam bahasa puasa shiam berarti menahan diri. Dalam syariat Islam, puasa berarti menahan diri dari segala yang membatalkannya makan,
minum, dan bersetubuh, mulai dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari yang dilaksanakan untuk mendapatkan ridho Allah
. Sesuai firmannya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagai
mana yang diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.”
QS. Al-Baqarah;183 Puasa adalah bentuk pengorbanan seorang hamba kepada
Tuhannya. Hamba yang puasa adalah hamba yang memenjara dan mengendalikan hawa nafsunya, mulai matahari terbit hingga matahari terbenam,
di waktu-waktu yang telah ditentukan Allah . Puasa adalah ibadah yang dapat
mendisiplin ruhaniah seorang hamba. Rahasia keberhasilannya tergantung pada diri sendiri, karena puasa bukanlah semata-mata amalan
yang orang banyak. Yang dapat menilai kesempurnaan puasa seorang hamba, hanya dirinya sendiri dan Allah SWT. Karena itu, puasa
sesungguhnya adalah amalan batin antara hamba dan Khalik-nya.
Hamba Allah yang ikhlas dalam puasanya, akan mencapai derajat ketaqwaan di mata Allah, karena goal dan ibadah puasa adalah
penghekangan hawa nafsu duniawi, yang mendidik seorang insan untuk berbuat baik dan mulia, lalu menjauhi maksiat dan kemungkaran. Ibadah
puasa yang tidak disertai keikhlasan mencari keridhoan Allah, akan menjadi sia-sia dan tak ada nilainya di mata Allah. Sesuai sabda Nabi :
“Betapa banyak orang puasa, hasilnya hanya lapar dan dahaga.“ HR.
Bukhari Puasa itu untuk Allah, bukan untuk diet, atau sekedar menahan
lapar dan dahaga. Tetapi menahan nafsu yang membatalkan dan mengurangi pahala puasa, seperti pandangan mata yang membawa
maksiat, pendengaran yang hanya memfitnah orang lain, menyentuh wanita yang bukan mukhrimnya, berbohong, menipu, menghasut,
menghujat, melecehkan, memarahi, hingga menghina orang lain. Puasa bukan untuk mencari kesaktian, penguasaan ilmu kebatinan tertentu,
hingga ingin disebut soleh. Apapun tujuan puasa selain Allah, akan sia-sia amalnya di mata Allah.
Puasa dengan ikhlas, adalah ciri-ciri hamba Allah yag bertaqwa. Dan semulia-mulianya manusia di antara manusia lain, adalah manusia-
manusia yang bertaqwa. Sesuai firmannya :
“ Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah, adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.“
QS. AL-Hujurat : 13 “Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa, karena
kemenangan mereka. Mereka tiada disentuh oleh azab neraka dan tidak pula mereka berduka cita.“
QS. AZ-Zumar : 61 “Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya dia akan membuat
baginya jalan keluar dari setiap masalah, serta memberinya rezeki dari arah yang tidak dia sangka. Dan barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Allah
akan mencukupkan keperluannya.“ QS. Ath-Thalaq : 2-3
Keikhlasan hamba Allah dalam melaksanakan puasa, akan membuka jalannya mencapai derajat ketaqwaan. Seorang hamba yang
bertaqwa kepada Allah, akan Allah angkat derajatnya, dan dijauhinya ia dari azab neraka, mereka juga tidak akan berduka cita. Orang-orang yang
bertaqwa, akan selalu dimudahkan Allah dari segala ujian dan kesulitan hidup yang menimpanya. Segala keperluannya akan dicukupi, dan Allah
akan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka.
Peranan ibadah puasa dalam membentuk pribadi-pribadi yang bertaqwa, amat sangat subtansial. Puasa adalah latihan latihan untuk
meningkatkan rasa syukur atas nikmat dan rahmat yang di karuniakan Allah kepadanya. Penderitaan dan pengorbanan berpuasa, akan menjadi pembersih diri
dari dosa-dosa yang pernah di lakukan.
Dan yang paling penting dalam kehidupan sosial, berpuasa dapat menumbuhkan rasa simpati dan solidaritas pada
kelompok sosial masyarakat yang hidup dalam garis kemiskinan. Ikhlas dalam melaksanakan puasa, akan mencapai tingkatan yang
lebih tinggi dalam kedekatan seorang hamba pada Allah SWT. Memperkuat keimanannya, buah dari kesabaran dalam mengendalikan
diri dari perbuatan hawa nafsu.
Sesuai sabda Rasulullah SAW : “Puasa adalah separuh kesabaran, dan sabar itu separuh iman.”
HR. Baihaqi
Puasa yang ikhlas akan memperkuat kesabaran hamba Allah, dan kesabaran akan memperkuat keimanan sang hamba. Keimanan seorang
hamba akan membawanya pada derajat ketaqwaan, yang akan memuliakannya disisi Allah. Merekalah orang-orang yang memperoleh
kemenangan, dan sedikitpun mereka tiada disentuh oleh panasnya azab api neraka.
1.5 Ikhlas Dalam Berhaji