Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kerangka Berpikir

bekerja dengan hati ini bertujuan untuk mengubah aspek kognitif dan afektif karyawan mengenai burnout yang dialaminya. Materi pelatihan ini secara garis besar terdiri dari aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah pelatihan bekerja dengan hati efektif untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji secara empirik kegiatan pelatihan ini untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV. Peneliti ingin mengetahui apakah pelatihan bekerja dengan hati efektif untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis

Memberikan wawasan dan sumbangan pengetahuan di bidang Psikologi, khususnya Psikologi Industri dan Organisasi, yaitu mengenai pelatihan yang bertujuan untuk menurunkan burnout karyawan Cakra Semarang TV.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Karyawan Sebagai bentuk upaya agar karyawan yang mengalami burnout tingkat rendah tersebut tidak berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga, ketika ada masalah muncul dalam melakukan tugas pekerjaannya sampai menimbulkan stres kerja dan kejenuhan, diharapkan karyawan tersebut dapat mengontrol dan mengelola emosinya baik secara kognitif maupun afektif sehingga karyawan dapat menghadapi masalah tersebut dengan baik. Setelah mendapatkan pelatihan, karyawan memiliki sikap syukur, sabar dan ikhlas dalam melakukan pekerjaan sehari-harinya. 1.4.2.2 Bagi Perusahaan Tugas-tugas yang diberikan kepada karyawannya dapat berjalan dengan baik, sehingga tujuan dari perusahaan itu sendiri dapat tercapai dengan baik pula. Permasalahan-permasalahan yang dialami oleh karyawan Cakra Semarang TV tersebut khususnya yang mengalami burnout tingkat rendah dapat diminimalisir dan tidak berlanjut ke tingkat lebih tinggi setelah diberikan pelatihan. Sehingga perusahaan mendapatkan masukan dalam rangka mengatasi masalah-masalah karyawan khususnya burnout yang dialami oleh karyawan. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Burnout

2.1.1 Pengertian Burnout

Dalam dunia kerja, istilah burnout merupakan suatu istilah yang berkaitan dengan stres kerja. Konsepsi dan bahasan-bahasan yang dilakukan oleh para ahli mengenai burnout, tidak satupun yang tidak dikaitkan dengan lingkungan kerja dan jenis pekerjaan. Burnout ialah suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, depresi, dan menarik diri dari pekerjaan. Pekerja yang mengalami burnout lebih gampang mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah, dan menjadi sinis tentang karier mereka Davis Newstrom, 1993: 197. The effect of job stress that result from overwork can be seen in the condition called burnout. Employees suffering from burnout become less energetic, and less interested in their place. They are emotionally exhaustion, apathetic, depressed, irritable, and bored Schultz Schultz, 1994: 370. Efek stres kerja yang diakibatkan dari beban kerja yang berlebihan dapat dijumpai pada suatu kondisi tertentu yang disebut dengan burnout. Karyawan yang menderita burnout menjadi kurang bersemangat, dan kurang tertarik pada tempat kerjanya. Mereka mengalami kelelahan emosional, apatis, depresi, lekas marah, dan merasa bosan. Burnout can be defined as a syndrome of emotional, physical, and mental exhaustion coupled with feelings of low self-esteem or low self eficacy, resulting from prolonged exposure to intense stress Greenberg dan Baron, 1995: 260. Burnout dapat didefinisikan sebagai suatu sindrom yang berisikan gejala 17 kelelahan emosional, kelelahan fisik, dan kelelahan mental disertai dengan perasaan rendahnya pengahargaan terhadap diri sendiri akibat dari stres yang berkepanjangan. Burnout is a work-related syndrome that stems from an individual ’s perception of significant discrepancy between effort input and reward output, this perception being influenced by individual, organizational, and social factors. It occurs most often in those who work face to face with troubled or needy clients and is typically marked by withdrawal from and cynicism toward clients, emotional and physical exhaustion, and various psychological symptoms, such as irritability, anxiety, sadness, and lowered self- esteem Farber, 1991: 24. Burnout adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan pekerjaan yang berasal dari persepsi individu mengenai ketidaksesuaian yang berarti antara usaha tenaga yang dipakai dan imbalan hasil, persepsi ini dipengaruhi oleh faktor individual, faktor organisasional, dan faktor sosial. Ini sangat sering terjadi pada seseorang yang bekerja berhadapan langsung dengan masalah atau kebutuhan banyak klien dan ini ditandai dengan penarikan diri dan sikap sinis terhadap klien, kelelahan emosional dan kelelahan fisik, serta berbagai gejala psikologis, seperti lekas marah, kecemasan, perasaan sedih, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. Maslach 1976 dalam Cherniss 1987: 16 defined burnout as the “loss of concern for people with whom one is working ” in response to job-related stress. Maslach mendefinisikan burnout sebagai keadaan yang berhubungan dengan hilangnya antusiasme, kegembiraan, dan arti dari misi dalam sebuah pekerjaan. Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa burnout adalah suatu kondisi dari karyawan dimana karyawan tersebut mengalami kelelahan secara emosional, kelelahan fisik, penghargaan yang rendah terhadap dirinya sendiri, pekerjaan maupun lingkungannya akibat dari stres kerja yang berkepanjangan.

2.1.2 Gejala-gejala Burnout

Maslach, dkk. 2001 dalam Schultz Schultz 1994: 371 memandang burnout sebagai suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga gejala, yaitu: a. Emotional Exhoustion Kelelahan Emosional Yang ditandai dengan adanya perasaan lelah akibat banyaknya tuntutan yang diajukan pada dirinya, yang kemudian menguras sumber-sumber emosional yang ada. Dalam hal ini pemberi layanan merasa tidak memiliki energi lagi untuk melakukan pekerjaannya. Orang yang mengalami kelelahan emosionalnya biasanya mudah marah, mudah tersinggung, sikap bermusuhan terhadap orang lain, dan kurang kendali diri. b. Depersonalization Depersonalisasi Merupakan sikap kurang menghargai atau kurang memiliki pandangan yang positif terhadap orang lain. Perilaku yang muncul adalah memperlakukan orang lain secara kasar, sikap sinis terhadap orang lain, tidak berperasaan, kurang perhatian dan juga kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain. c. Reduced Sense of Personal Accomplishment Penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah Merupakan penilaian diri yang negatif dalam kaitannya dengan pekerjaan, antara lain muncul perasaan tidak efektif atau tidak kompeten dalam pekerjaan, menarik diri dari kontak sosial, merasa tidak berdaya dalam pekerjaan. Greenberg dan Baron 1995: 260 mengemukakan bahwa ada empat gejala burnout, yaitu: a. Kelelahan Fisik Ditandai dengan serangan sakit kepala, mual, sulit tidur, dan kurang nafsu makan. b. Kelelahan Emosional Ditandai dengan depresi, perasaan tidak berdaya serta merasa terperangkap didalam tugasnya. c. Kelelahan Mental Depersonalisasi Ditandai dengan persepsi sinis terhadap orang lain, curiga tanpa alasan, dan cenderung merugikan diri sendiri, pekerjaan, maupun organisasi. d. Feeling of Low Personal Accomplishment Suatu kondisi yang ditandai dengan adanya perasaan bahwa dirinya memiliki prestasi atau kemampuan kerja yang rendah, perasaan tidak puas terhadap diri sendiri, pekerjaan, maupun kehidupan. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa gejala-gejala burnout antara lain yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah.

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Burnout

Menurut Maslach Leiter 1997: 38, terdapat enam faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya burnout pada karyawan, diantaranya: a. Work Overload Beban kerja yang dimaksud meliputi apa dan seberapa banyak tugas yang dilakukan oleh karyawan. Pekerjaan yang lebih sering dilakukan, permintaan tugas yang berlebihan, dan pekerjaan yang lebih komplek dapat menyebabkan burnout. b. Lack of Control Merupakan kemampuan untuk mengatur prioritas pekerjaan sehari-hari, memilih pendekatan untuk melakukan pekerjaan, dan membuat keputusan dalam menggunakan sumber dayanya untuk menjadi karyawan yang profesional. Jika karyawan memiliki kontrol yang rendah maka mudah terkena burnout. c. Insufficient Reward Karyawan berharap bahwa pekerjaan yang dilakukannya dapat menghasilkan imbalan berupa uang, prestige, dan keamanan. Namun, ketika hal itu dinilai belum mencukupi kebutuhan karyawan, maka karyawan tersebut akan mudah terkena burnout. d. Breakdown in Community Gangguan dalam komunitas di tempat kerja yang dapat memicu burnout yang meliputi konflik dengan rekan kerja, dukungan sosial, perasaan terisolasi, serta perasaan bekerja secara terpisah dan merasa kurang kerja sama. e. Absence of Fairness Ketiadaan keterbukaan meliputi tiga aspek yaitu tidak adanya kepercayaan, keterbukaan, dan rasa hormat. Hal tersebut berpengaruh langsung terhadap burnout. f. Conflicting Values Nilai-nilai yang bertentangan antara karyawan dengan pekerjaannya dapat memicu terjadinya burnout karyawan. Menurut Schultz Schultz 1994: 371-372 terdapat tiga kelompok faktor-faktor yang dapat dikaitkan dengan sindrom burnout, yaitu faktor demografi, faktor organisasional dan faktor individual atau kepribadian. a. Faktor Demografi Faktor demografi ini meliputi: a Usia Individu yang berusia dibawah 40 tahun lebih rentan terkena burnout. Hal ini disebabkan umumnya tenaga kerja yang berusia lebih muda dipenuhi oleh berbagai harapan yang terkadang kurang realistik untuk dicapai, sedangkan tenaga kerja yang berusia lebih tua umumnya matang dan stabil sehingga memiliki harapan yang lebih realistik. b Jenis Kelamin Perempuan umumnya lebih sering mengalami kelelahan emosional, sedangkan laki-laki mengalami depersonalisasi. Laki-laki lebih rentan terkena burnout dibanding perempuan. Namun jenis kelamin bukan merupakan prediktor yang signifikan pada proses terjadinya burnout. c Status Pernikahan Status pernikahan berpengaruh pada burnout. Profesional yang berstatus lajang lebih rentan terhadap burnout. d Tingkat Pendidikan dan Masa Kerja Tingkat pendidikan dan masa kerja yang semakin tinggi, akan menimbulkan kecenderungan burnout dalam diri individu. Tingkat pendidikan dan masa kerja berpengaruh positif terhadap burnout, karena kedua faktor ini akan mempengaruhi harapan individu terhadap organisasi. Ketika harapan tidak tercapai, maka individu memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengalami burnout. b. Faktor Organisasional Faktor organisasional yang menyebabkan terjadinya burnout antara lain: a Beban Kerja Beban kerja merupakan jumlah tugas yang harus diselesaikan oleh individu dan derajat kesulitas tugas tersebut. b Konflik Peran Konflik peran terjadi pada saat adanya tuntutan yang tidak sejalan dengan diri individu. c Ambiguitas peran Ambiguitas peran terjadi pada saat individu tidak memiliki informasi yang memadai untuk menyelesaikan kinerja. Adanya beban kerja, konflik peran, ambiguitas peran akan membuat individu sulit memenuhi tuntutan yang ada secara adekuat sehingga mengalami kelelahan emosional. d Dukungan rekan kerja yang tidak adekuat e Dukungan atasan yang tidak adekuat c. Faktor Individual atau Kepribadian Faktor individual atau kepribadian yang terkait dengan burnout antara lain: a Kurangnya ketangguhan lack of hardiness Hardiness dianggap menjaga seseorang tetap sehat walaupun mengalami kejadian-kejadian yang penuh stres. Orang yang berpribadi kurang tangguh lebih mudah terkena stres daripada yang berpribadi tangguh hardiness. b Lokus kontrol yang berorientasi eksternal Individu dengan external locus of control meyakini bahwa keberhasilan dan kegagalan yang dialami disebabkan dari kekuatan diluar dirinya. Individu ini juga meyakini bahwa dirinya tidak berdaya terhadap situasi, sehingga mudah menyerah dan bila berlanjut akan menimbulkan sikap apatis terhadap pekerjaaan. Dengan demikian external locus of control cenderung lebih mudah terkena burnout dibanding dengan individu yang memiliki internal locus of control. c Perilaku tipe A Ciri-ciri tipe A yaitu memiliki orientasi persaingan prestasi, berjuang melawan waktu dan tidak sabaran. Individu dengan tipe A cenderung lebih mudah terkena burnout. d Kurangnya kontrol diri Kontrol berkaitan dengan bagaimana individu mengendalikan emosi, keseluruhan ekspresi yang bermanfaat dan dapat diterima secara sosial. Individu yang kurang memiliki kontrol diri lebih mudah terserang burnout. e Harga diri yang rendah Individu yang memiliki harga diri rendah, ia merasa tertekan di dalam kehidupannya dan merasa dirinya tidak berguna, tidak berharga dan menyalahkan diri sendiri atas ketidaksempurnaan dirinya. Ia cenderung tidak percaya diri dalam melakukan sesuatu pekerjaan atau tidak yakin akan ide-ide yang dimilikinya. Individu yang memiliki harga diri yang rendah lebih mudah terkena burnout. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi burnout terdiri dari faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal terdiri dari tekanan pekerjaan, dukungan sosial, karakteristik pekerjaan, imbalan yang diberikan tidak mencukupi, konflik peran dan ambiguitas peran. Sedangkan faktor internal terdiri dari karakteristikkepribadian, harga diri, usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan dan masa kerja .

2.2 Pelatihan

2.2.1 Pengertian Pelatihan

Sikula dalam As dicapai penguasaan akan keterampilan, pengetahuan, dan sikap-sikap yang relevan terhadap pekerjaan. Sedangkan Jewell dan Siegall 1998: 169, berpendapat bahwa pelatihan adalah pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan kemampuan menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap tertentu. Kemampuan adalah potensi fisik, mental, dan psikologis. Keterampilan merupakan penerapan potensi ini secara khusus. Berdasarkan beberapa pendapat yang ada di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pelatihan adalah suatu proses jangka pendek yang terencana menggunakan prosedur yang sistematis dan terorganisir yang tujuannya untuk mengubah sikap, pengetahuan, dan tingkah laku melalui pengalaman, untuk mencapai kinerja yang efektif bagi karyawan.

2.2.2 Analisis Kebutuhan Pelatihan

Setiap pelatihan didasarkan pada analisis sistematis terhadap kontribusinya untuk keefektifan organisasi. Analisis ini meliputi penentuan kebutuhan pelatihan dan penilaian sampai seberapa jauh hambatan untuk mencapai tujuan organisasi dapat dihilangkan melalui pelatihan. Kebutuhan pelatihan muncul bila kelemahan tertentu dapat ditanggulangi dengan mengadakan pelatihan yang sesuai. Menurut Cushway 1996: 118 kebutuhan ini harus dinilai dari tiga tingkatan: a. Tingkat Organisasi Titik awal untuk menganalisis kebutuhan pada tingkat organisasi adalah strategi organisasi. Bila tujuan utama organisasi telah ditentukan dan faktor penentu keberhasilan diidentifikasi, maka seharusnya dapat diidentifikasikan area kelemahan nyata atau potensial yang dapat dikoreksi oleh pelatihan. Semua ini harus terlihat jelas dalam rencana SDM yang akan mengidentifikasi jumlah, tipe, dan tingkatan pegawai yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini dan mendatang. b. Tingkat Grup atau Pekerjaan Pada tingkat grup atau pekerjaan, kebutuhan dapat ditentukan oleh analisis pekerjaan dan dengan menganalisis kinerja dan produktivitas. Analisis pekerjaan ini akan menentukan pertanggungjawaban dan tugas-tugas dari berbagai pekerjaan tersebut, dan untuk tujuan manajemen dan pelatihan kinerja, harus menentukan kriteria dan standar kinerja dan mengidentifikasi tingkat pengetahuan, keahlian, dan pengalaman yang diperlukan untuk memenuhi standar tersebut. c. Tingkat Individu Pada tingkat individu, kebutuhan dapat dinilai melalui penilaian kinerja. Setiap penilaian kinerja harus merupakan peninjauan di area, di mana kinerja yang ada dapat diperbaiki oleh pelatihan, dan pengembangan mungkin diperlukan untuk memberikan sarana kepada penjabat untuk melaksanakan peranan yang lebih daripada biasanya. Ada sejumlah cara lain untuk mengidentifikasi kebutuhan pelatihan, seperti melaksanakan analisis tugas terperinci melalui pendekatan masalah yang terpusat, analisis keahlian antar perseorangan, dan pendekatan FDI dengan meninjau tugas-tugas dari sudut frekuensi, kesulitan, dan penting atau tidaknya. Kebutuhan akan pelatihan juga dapat diketahui dengan cara: mewawancarai penjabat, meminta mereka untuk melengkapi kuesioner, juga melalui observasi Cushway, 1996: 120-121.

2.3 Pelatihan Bekerja dengan Hati untuk Menurunkan Burnout

2.3.1 Konteks Pelatihan Bekerja dengan Hati Untuk Menurunkan Burnout Karyawan

Pelatihan bekerja dengan hati merupakan suatu pelatihan yang mempunyai tujuan untuk menurunkan burnout pada karyawan yang akan merubah aspek kognitif dan afektif dari karyawan yang berhubungan dengan aspek-aspek dari burnout tersebut agar karyawan dapat mengelola emosinya dan melakukan tugas pekerjaannya dengan bersumber pada qalbu hati. Menurut Saleh 2009: 52, bekerja dengan hati adalah bekerja dengan berlandaskan pada pusat kesadaran manusia, yaitu qalbu. Hati nurani atau atau qalbu digunakan sebagai alat pertimbangan yang utama dalam menentukan sikap dan perilaku di dunia kerja. Pelatihan bekerja dengan hati dimaksudkan untuk membuka kesadaran para pekerja agar lebih dapat memaknai setiap aktivitasnya dalam bingkai spiritual. Bekerja dengan bingkai nilai-nilai spiritual tentu akan berbeda dengan bekerja demi kepentingan materi duniawi semata. Nilai-nilai spiritual akan memotivasi seseorang untuk bekerja dengan ikhlas, sungguh-sungguh, dan melakukan yang terbaik karena bertanggung jawab atas keimanannya. Pelatihan ini terdiri dari beberapa materi yang secara garis besar berkaitan dengan aspek kecerdasan spiritual disertai kecerdasan emosional dan relaksasi.

2.3.1.1 Kecerdasan Spiritual

2.3.1.1.1 Pengertian Kecerdasan Spiritual Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang mendapat inspirasi, dorongan, dan efektivitas yang terinspirasi, theis-ness atau penghayatan ketuhanan yang didalamnya kita semua menjadi bagian Sinetar dalam Nggermanto,2002: 117. Zohar dan Marshall 2000: 4 mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan spiritual adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan tertinggi kita. Lebih lanjut, Agustian 2008: 13 mendefinisikan kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk memberi makna spiritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan, serta mampu menyinergikan IQ, EQ, dan SQ secara komprehensif. Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan kemampuan yang bersumber dari hati untuk membangkitkan energi dalam individu untuk bertindak serta untuk memberi makna spritual terhadap pemikiran, perilaku dan kegiatan individu tersebut. 2.3.1.1.2 Konteks Kecerdasan Spiritual dalam Bekerja Kecerdasan spiritual dipercaya mampu mengantarkan manusia pada ketenangan dan kesadaran diri yang tinggi saat melakukan serangkaian aktivitas yang berhubungan dengan pekerjaan sehari-hari. Menurut Saleh 2009: 5, sesungguhnya pusat kesadaran tertinggi yang ada dalam diri manusia termasuk karyawan ketika melakukan tugas pekerjaannya adalah bersumber pada kalbunya hati. Kecerdasan spiritual diyakini mampu mengantar manusia pada penemuan hakikat diri yang sejati. Lebih dari itu, kecerdasan ini telah terbukti sebagai media untuk mengantarkan pada kesuksesan hidup Saleh, 2009: 6. Masalah-masalah dalam bekerja muncul dan dialami oleh individu, kecerdasan spiritual menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah eksistensial dan membuat kita mampu mengatasinya atau setidaknya bisa berdamai dengan masalah tersebut Zohar dan Marshall, 2000: 12. Kecerdasan spiritual memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal, serta menjembatani kesenjangan antara diri dan orang lain khususnya dalam bekerja. 2.3.1.1.3 Manfaat Kecerdasan Spiritual Menurut Saleh 2009: 6, manfaat dari kecerdasan spiritual akan menghasilkan integritas, energi, inspirasi, kearifan, dan keberanian Saleh, 2009: 6. Kecerdasan spiritual yang diaplikasikan dalam bekerja akan memotivasi seseorang untuk bekerja dengan ikhlas, sungguh-sungguh dan melakukan yang terbaik karena bertanggung jawab atas keimanannya Sedangkan menurut Zohar dan Marshall 2000: 12, manfaat dari kecerdasan spiritual diantaranya: a. Kecerdasan spiritual dapat menjadikan diri kita kreatif Kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif. b. Berguna untuk menghadapi masalah eksistensial Terjadi pada saat kita secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu kita akibat penyakit dan kesedihan. c. Sebagai pedoman saat kita berada di

2.3.1.2 Kecerdasan Emosional

2.3.1.2.1 Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk merasa, yang kuncinya adalah pada kejujuran individu pada suara hatinya Agustian, 2008: 9. Salah satu keterampilan utama dalam kecerdasan emosional adalah keterampilan mengatur tindakan dengan menggunakan emosi. Ini berarti belajar mengendalikan dorongan untuk bertindak berdasarkan perasaan. Cara terbaik untuk mengatur emosi adalah mengetahui jati diri kita dan ambang keterampilan kita untuk bertahan Patton, 2002: 168-169. Menurut Goleman dalam Saleh 2009: 3, kecerdasan emosional meliputi dua kecakapan, yaitu kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Kecakapan pribadi terdiri atas tiga faktor, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Sementara itu, kecapakan sosial terdiri atas dua faktor, yaitu kesadaran sosial dan keterampilan sosial. Agustian 2003: 62 mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah sebuah kemampuan untuk 2.3.1.2.2 Manfaat Kecerdasan Emosional Menurut Patton 2002: 60-65, manfaat dari kecerdasan emosional diantaranya: a. Mengelola emosi Kemampuan individu untuk mengelola emosi sangat diperlukan ketika individu menghadapi situasi tertentu yang rumit. Pada saat itu, individu dituntut untuk bisa menggunakan emosinya dengan kecerdasan emosionalnya yang memadai. b. Mengidentifikasi emosi Kecerdasan emosional berguna untuk mengenali emosi yang kita punya. Dengan begitu kita dapat merespon tekanan-tekanan, situasi yang tidak menentu dan kesengsaraan. c. Mengenal emosi-emosi orang lain Mengenal emosi orang lain memerlukan kualitas waktu, perhatian, dan konsentrasi. Dengan berusaha mengenali perilaku orang lain dan respon yang kita terima, melalui kontak mata dan bahasa tubuh mereka, kita dapat mengembangkan keterampilan pemahaman tentang orang lain. Jika kita tidak menghargai orang lain, maka kesempatan yang kita miliki untuk membangun hubungan dengannya sirna begitu saja. d. Merasakan empati Hal yang terpenting adalah meredam ambisi pribadi untuk memahami bagaimana perasaan orang lain dalam menghadapi situasi mereka sendiri. Sehingga, kita dapat lebih mementingkan untuk merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang lain e. Memotivasi, melatih disiplin, dan menyeimbangkan diri Ketiga hal tersebut merupakan kekuatan untuk mengembangkan diri dari gerakan kecerdasan emosional kita. Kecerdasan emosional berguna untuk menyeimbangkan keterampilan kita dengan keinginan dan mengarahkan emosi menuju akhir produktif. Selain itu juga untuk melatih penggunaan waktu guna mempelajari pelajaran-pelajaran, sepanjang cara dan berada pada pelajaran untuk mencapai tujuan. f. Menghadapi emosi-emosi destruktif Kecerdasan emosional berfungsi untuk mengontrol kemarahan-kemarahan. Sehingga, kita dapat mengetahui tanda-tanda yang mencetuskan kemarahan dan membantu menemukan cara-cara mengurangi pengaruhnya. Emosi destruktif lainnya yaitu kesedihan, penyesalan, kebencian, dan ketakutan. g. Membangun hubungan Membangun hubungan adalah keterampilan yang paling diperlukan dalam beberapa arena profesional dan personal. Hal ini dilakukan dengan membiasakan emosi dengan orang lain. Dengan kata lain, kita tahu bagaimana mensinkronisasikan perasaan kita dengan perasaan orang lain.

2.3.1.3 Relaksasi

2.3.1.3.1 Pengertian Relaksasi Relaksasi, merupakan salah satu teknik di dalam terapi perilaku Prawitasari,dkk 2003: 139-140. Penelitian-penelitian Jacobson menunjukan bahwa relaksasi dapat mengurangi ketegangan dan kecemasan Beech dkk, 1982 dalam Prawitasari,dkk 2003: 140. Ketegangan otot yang merupakan akibat dari stress berkepanjangan dapat dikurangi dengan latihan relaksasi. Ketegangan juga menunjuk pada suasana yang bermusuhan, perasaan-perasaan negatif terhadap individu dan sebagainya. Oleh orang awam, relaksasi dapat diartikan sebagai partisipasi dalam aktivitas olah raga, melihat TV, dan rekreasi. Sebaliknya ketegangan dapat menunjuk pada suasana yang bermusuhan, perasaan-perasaan negatif terhadap individu dan sebagainya. Menurut pandangan ilmiah, relaksasi merupakan perpanjangan serabut otot sekletal, sedangkan ketegangan merupakan kontraksi terhadap perpindahan serabut otot Beech dkk, 1982 dalam Prawitasari,dkk 2003: 140. Relaxation training is a stress-reduction technique that concentrates on relaxing one part of the body after another Schultz Schultz, 1994: 375. Dari definisi itu, pelatihan relaksasi merupakan teknik penurunan stres yang berkonsentrasi pada pengenduran suatu bagian dari tubuh setelah itu bagian lainnya. Sehingga, relaksasi dapat diartikan sebagai perpanjangan serabut otot sekletal dari individu yang berfungsi untuk mengurangi ketegangan otot-otot dengan menggunakan teknik-teknik pengenduran tertentu. 2.3.1.3.2 Manfaat Relaksasi Menurut Burn dikutip oleh Beech dkk, 1982 dalam Prawitasari,dkk 2003: 142 menyebutkan beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan relaksasi, antara lain: a. Relaksasi akan membuat individu lebih mampu menghindari reaksi yang berlebihan karena adanya stres. b. Masalah-masalah yang berhubungan dengan stres seperti hipertensi, sakit kepala, insomnia, dan keluhan fisik lainnya dapat dikurangi atau diobati dengan relaksasi. c. Meningkatkan penampilan kerja, sosial, dan keterampilan fisik. Hal ini mungkin terjadi sebagai hasil pengurangan tingkat ketegangan. d. Kelelahan, aktivitas mental, dan atau latihan fisik yang tertunda dapat diatasi lebih cepat dengan menggunakan keterampilan relaksasi. e. Kesadaran diri tentang keadaan fisiologis seseorang dapat meningkat sebagai hasil latihan relaksasi, sehingga memungkinkan individu untuk menggunakan keterampilan relaksasi untuk timbulnya rangsangan fisiologis. f. Konsekuensi fisiologis yang penting dari relaksasi adalah bahwa tingkat harga diri dan keyakinan diri individu meningkat sebagai hasil kontrol yang meningkat terhadap reaksi stres. g. Meningkatkan hubungan interpersonal. Orang yang rileks dalam situasi interpersonal yang sulit akan lebih berfikir rasional. Penelitian Hazaleus dan Defenbacher 1986 menunjukkan bahwa relaksasi dapat menurunkan simptom fisik terhadap marah.

2.3.2 Metodologi Pelatihan Bekerja dengan Hati

Pelatihan ini dilaksanakan dalam enam kali pertemuan dalam satu minggu hari Senin sampai Sabtu dengan pelaksananya yaitu trainer ESQ sekaligus terapis relaksasi yang berkompeten dalam bidang ini. Setiap pertemuan dimulai pada waktu sebelum karyawan bekerja yaitu pada jam 06.10 sampai 06.50 sesi pertama dan dilanjutkan pada jam istirahat yaitu jam 12.00 sampai jam 13.50 sesi kedua. Dalam pelatihan ini, peserta akan dituntun untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan burnout mulai dari penyebab terjadinya burnout, sampai pada cara-cara untuk mencegah atau mengatasi burnout tersebut. Cara-cara atau upaya-upaya yang akan diberikan kepada peserta untuk mengurangi burnout karyawan dalam pelatihan ini meliputi aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi. Sebagai materi pendukung, peserta juga akan diajak terlibat beberapa aktifitas dalam pelatihan seperti permainan, simulasi, serta saling berbagi informasi atau pengalaman antar peserta sharing. Pelatihan ini akan dilakukan di lingkungan kantor Cakra Semarang TV yaitu dengan menggunakan ruang studio dalam dan ruang serba guna.

2.3.3 Materi Pelatihan Bekerja dengan Hati

Materi pelatihan ini secara garis besar terdiri dari beberapa bagian yaitu materi yang berkaitan dengan burnout, materi yang berkaitan dengan kecerdasan spiritual dengan porsi 35 dalam pelatihan dan kecerdasan emosional dengan porsi 35 yang terkait dengan karyawan dengan pekerjaannya dalam menjalankan pekerjaannya serta didukung dengan relaksasi sebanyak 30 dalam pelatihan ini . lihat lampiran

2.3.4 Evaluasi Pelatihan

Menurut Anthony, dkk. 2006: 339, evaluasi pelatihan terbagi menjadi empat tahap, diantaranya: a. Reaction Reaksi Reaksi dari peserta pelatihan merupakan tahap pertama dalam evaluasi. Informasi mengenai reaksi peserta tersebut dapat berupa apa yang mereka rasakan mengenai pelatihan secara umum, fasilitas-fasilitas yang terdapat pada pelatihan, dan content atau isi dari pelatihan tersebut. b. Learning Pengetahuan Tahap kedua dari evaluasi pelatihan adalah tingkat pengetahuan yang di dapat oleh peserta. Secara khusus, hasilnya ialah menentukan apakah peserta dapat menguasai keadaan dirinya, teknik-teknik, kemampuan, dan proses yang diajarkan selama pelatihan. c. Behavior Perilaku Evaluasi perilaku dari program pelatihan bertujuan untuk menguji apakah kebiasaan perilaku peserta mengalami perubahan dalam pekerjaannya. Data yang digunakan untuk mengevaluasi perilaku peserta biasanya dikumpulkan dari individu-individu, seperti atasan dan rekan kerja yang cukup dekat dengan peserta untuk mengevaluasi kinerjanya. d. Results Hasil Tahap terakhir dari evaluasi pelatihan adalah tahap hasil. Tahap ini meneliti bagaimana program pelatihan berpengaruh terhadap organisasi. Data yang dikumpulkan untuk mengevaluasi program pelatihan pada tahap ini mungkin dapat termasuk harga jual, proyek dan keuntungan, kenaikan penjualan, penuruan kecelakaan kerja, peningkatan sikap kerja yang baik, turnover dan ketidakhadiran karyawan semakin rendah, atau kenaikan produksi.

2.4 Kerangka Berpikir

Berikut bagan yang menggambarkan kefektifan pelatihan bekerja dengan hati untuk menurunkan burnout karyawan: Penyebab Burnout: 1. Faktor eksternal a. Tekanan pekerjaan b. Dukungan sosial c. Karakteristik pekerjaan d. Imbalan yang diberikan tidak mencukupi 2. Faktor internal a. Karakteristikkepribadian b. Harga diri c. Usia d. Jenis kelamin e. Status pernikahan f. Tingkat pendidikan dan masa kerja BURNOUT Gejala-gejala Burnout: 1. Kelelahan fisik: a. Sakit kepala b. Mual c. Sulit tidur d. Nafsu makan berkurang 2. Kelelahan emosional: a. Depresi b. Merasa terperangkap dalam tugasnya c. Mudah marah d. Mudah tersinggung e. Perasaan tidak berdaya 3. Depersonalisasi: a. Memperlakukan orang lain secara kasar b. Sikap sinis terhadap orang lain c. Tidak berperasaan d. Kurang perhatian e. Sikap curiga terhadap orang lain f. Kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain 4. Penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah: a. Perasaan tidak efektif dalam bekerja b. Menarik diri dari kontak sosial c. Merasa tidak berdaya dalam pekerjaan PELATIHAN BEKERJA DENGAN HATI Manfaat Pelatihan Bekerja den gan Hati Aspek kecerdasan spiritual: Mengubah cara pandang konsep bekerja dan rezeki sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Aspek kecerdasan emosional: a. Mengenali emosi diri b. Mengelola emosi diri c. Memotivasi diri d. Mengenali emosi orang lain e. Menjalin hubungan Relaksasi: Mengurangi ketegangan otot dan keluhan fisik, meningkatkan performa kerja dan sosial serta keterampilan fisik, mengatasi kelelahan emosi dan mental, meningkatkan harga diri dan percaya diri, meningkatkan hubungan interpersonal. BURNOUT KARYAWAN MENURUN Aplikasi: Materi, simulasi, permainan, perenungan, sharing, latihan relaksasi. Gambar 2.1. Pengaruh Pelatihan Bekerja terhadap Burnout Berdasarkan bagan di atas, burnout yang dialami oleh karyawan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal, yang kemudian dikelompokkan menjadi dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Burnout yang disebabkan oleh faktor eksternal meliputi tekanan pekerjaan, dukungan, karakteristik pekerjaan, imbalan yang diberikan dari perusahaan tidak mencukupi. Tekanan pekerjaan tersebut dapat dirasakan oleh karyawan ketika pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan tersebut dinilai ambigu atau tidak jelas job descreptionnya. Hal itu akan menyebabkan konflik peran dalam diri karyawan, sehingga menyebabkan terbebani dan menimbulkkan stres kerja. Kurangnya dukungan dari rekan kerja, keluarga, dan lingkungan serta imbalan yang tidak dinilai tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak juga dapat memicu terjadinya burnout pada karyawan. Faktor internal penyebab burnout meliputi karakteristik atau kepribadian, harga diri, usia, jenis kelamin, status pernikahan, tingkat pendidikan dan masa kerja. Karyawan yang usianya masih muda dan mempunyai masa kerja yang belum lama, rawan terkena burnout. Umumnya, kaum perempuan lebih mudah terserang burnout, karena dalam berperilaku lebih mengandalkan emosi dan perasaannya, namun hal itu tidak dibenarkan seutuhnya. Kaum laki-laki juga mudah terserang burnout, karena pada dasarnya faktor penyebab burnout tidak dipengaruhi oleh faktor jenis kelamin saja. Harga diri yang rendah dan kepribadian yang kurang tangguh juga memicu terjadinya burnout pada karyawan. Semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan, semakin rentan terkena burnout. Selain itu, karyawan yang masih lajang juga mudah terserang burnout. Ketika karyawan mengalami burnout, maka karyawan tersebut akan menderita gejala-gejala tertentu diantaranya kelelahan fisik, kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penghargaan terhadap diri sendiri yang rendah. Kelelahan fisik terjadi ketika karyawan sering mengalami pusing atau sakit kepala, mual, nafsu makan berkurang, dan sulit tidur insomnia. Kelelahan emosional dapat dilihat dari tanda-tandanya, yaitu karyawan mengalami depresi, merasa tertangkap dalam tugasnya, mudah marah dan tersinggung serta merasa tidak berdaya. Gejala selanjutnya yaitu depersonalisasi dimana karyawan memperlakukan orang lain secara kasar, bersikap sinis dan kurang perhatian terhadap orang lain, sikap curiga terhadap orang lain, kurang berperasaan dan kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain. Selain itu juga, penghargaan karyawan terhadap dirinya rendah yaitu merasa tidak efektif dalam bekerja, menarik diri dari kontak sosial dan merasa tidak berdaya dalam pekerjaan. Untuk menurunkan tingkat burnout yang dialami oleh karyawan tersebut, dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya menggunakan pelatihan bekerja dengan hati. Pelatihan ini mempunyai beberapa manfaat yang terbagi menjadi tiga aspek yaitu kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi. Manfaat berdasarkan kecerdasan spiritual yaitu karyawan dapat mengubah cara pandang konsep bekerja dan rezeki sebagai bagian dari ibadah kepada Tuhan. Aspek ini terdiri dari nilai-nilai spiritual yang dapat memotivasi seseorang untuk bekerja dengan ikhlas, sungguh-sungguh bersumber dari qalbu atau hati dan melakukan yang terbaik karena bertanggung jawab atas keimanannya. Aspek-aspek tersebut dapat mengurangi burnout yang berhubungan dengan gejala-gejala yaitu karyawan merasa tertangkap atau terpaksa dalam menjalankan tugasnya, mudah marah dan tersinggung ketika ada masalah, perasaan tidak efektif dalam bekerja, serta merasa tidak berdaya dalam pekerjaan. Manfaat dari aspek kecerdasan emosional diantaranya yaitu karyawan dapat mengenali dan mengelola emosinya ketika menjalankan tugas pekerjaannya. Selain itu, karyawan mampu mengenali emosi rekan kerjanya sehingga dapat membina hubungan dengan karyawan lain dengan baik. Dalam pelatihan ini juga terdapat relaksasi yang bertujuan untuk mengurangi ketegangan otot dan keluhan fisik akibat dari stres kerja, meningkatkan performa kerja dan sosial serta keterampilan fisik karyawan dalam bekerja, mengatasi kelelahan emosi dan mental, meningkatkan harga diri dan percaya diri, serta dapat meningkatkan hubungan interpersonal karyawan. Setelah karyawan mengikuti pelatihan ini selama enam kali pertemuan, maka burnout yang dialami oleh karyawan tersebut dapat berkurang atau menurun. Agar hasilnya dapat berkelanjutan dengan baik, maka sesungguhnya pelatihan ini dapat diberikan secara berkesinambungan untuk mengurangi burnout karyawan. Sehingga dalam menjalankan tugas pekerjaannya, karyawan dapat melakukan tugasnya dengan baik, maka semangat dan produktifitasnya dapat meningkat.

2.5 Hipotesis