Latar Belakang Masalah SIMPULAN DAN SARAN

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Semakin berkembangnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini khususnya di bidang industri, menyebabkan banyak persoalan dan tuntutan di dalamnya. Hal ini dapat berpengaruh pada proses pencapaian tujuan perusahaan yang dilakukan oleh pelaku masing-masing industri. Masalah internal yang terjadi pada sebuah perusahaan dapat bermacam-macam yang dapat disebabkan oleh tidak hanya faktor lingkungan saja melainkan juga faktor dari sumber daya manusianya sendiri. Karyawan mempunyai peranan penting dalam proses pencapaian tujuan perusahaan. Kinerja dan kualitas karyawan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan dari sistem pekerjaan yang dibuat perusahaan berdasarkan komitmen perusahaan dan manajemen organisasi yang telah dibentuk. Sehingga, dibutuhkan kerja sama yang baik antar karyawan sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya masing-masing agar hasilnya dapat maksimal. Proses pelaksanaan tugas atau pekerjaan yang dilakukan oleh karyawan pada kenyataannya tidak berjalan dengan lancar melainkan banyak terjadi masalah-masalah yang muncul yang berakibat dapat menghambat dan mengganggu kinerjanya tersebut. Masalah yang dialami oleh karyawan dapat muncul karena faktor internal dalam diri karyawan dan dapat pula karena faktor 1 eksternal berasal dari luar diri karyawan. Faktor internal yaitu masalah-masalah pribadi pada diri karyawan yang dapat berasal dari masalah keluarganya, pasangan, relasi dengan orang lain, dan lain-lain. Faktor eksternal yaitu berasal dari luar diri karyawan meliputi lingkungan pekerjaan, manajemen organisasi, gaya kepemimpinan, sistem imbalan, tuntutan pekerjaan, beban kerja yang berat, dan lain-lain. Salah satu persoalan yang muncul berkaitan dengan individu di dalam menghadapi tuntutan organisasi yang semakin tinggi dan persaingan yang keras di tempat kerja karyawan itu adalah stres. Stres yang berlebihan akan berakibat buruk terhadap kemampuan individu untuk berhubungan dengan lingkungannya secara normal. Stres yang dialami individu dalam jangka waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi akan mengakibatkan individu yang bersangkutan menderita kelelahan, baik fisik ataupun mental. Keadaan seperti ini disebut burnout, yaitu kelelahan fisik, mental dan emosional yang terjadi karena stres diderita dalam jangka waktu yang cukup lama, di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi Leatz Stolar, dikutip Rosyid Farhati dalam Sihotang 2004: 2. Masalah-masalah di atas muncul dialami oleh karyawan dapat menyebabkan karyawan stres kerja, sampai mengalami burnout. Sehingga dapat mempengaruhi semangat kerja dan produktivitas kerja dari karyawan tersebut. Terkadang karyawan tidak menyadari bahwa ketika karyawan tersebut sedang mempunyai masalah sehingga berpengaruh dalam melaksanakan tugasnya yaitu tidak maksimal, mudah marah, sensitif, cenderung menyalahkan orang lain, dan merasa lelah baik fisik maupun emosi. Padahal, ketika karyawan pada kondisi tersebut, sebenarnya karyawan tersebut telah mengalami burnout. Permasalahan yang dihadapi karyawan di tempat kerja bisa bermacam- macam, baik itu masalah yang berkaitan lingkungan maupun organisasi. Apabila masalah tidak terselesaikan sehingga individu mengalami ketegangan dalam jangka waktu yang lama maka individu terancam mengalami burnout. Dampaknya, konsentrasi individu menurun, tidak bersemangat untuk bekerja dan banyak melakukan kesalahan atau bahkan keluar dari pekerjaannya Muriz,2007:1. Burnout merupakan suatu situasi dimana karyawan menderita kelelahan kronis, kebosanan, dan menarik diri dari pekerjaan Davis dan Newstrom, 1993: 197. Pekerja yang mengalami burnout akan lebih mudah mengeluh, menyalahkan orang lain bila ada masalah, lekas marah dan menjadi sinis terhadap karier mereka. Sikap pimpinan yang menekan dan beratnya beban kerja yang berlebihan akan semakin memperburuk keadaan karyawan. Karyawan tidak bisa lepas dari kondisi lingkungan kerjanya dalam proses bekerjanya. Salah satu faktor munculnya burnout pada karyawan adalah kondisi lingkungan kerja yang kurang baik. Ketidaksesuaian antara apa yang diharapkan karyawan dengan apa yang diberikan perusahaan terhadap karyawannya, seperti kurangnya dukungan dari atasan dan adanya persaingan yang kurang sehat antara sesama rekan kerja merupakan suatu kondisi lingkungan kerja psikologis yang dapat mempengaruhi munculnya burnout dalam diri karyawan. Oleh sebab itu perusahaan harus sedapat mungkin menciptakan suatu lingkungan kerja psikologis yang baik sehingga memunculkan rasa kesetiakawanan, rasa aman, rasa diterima dan dihargai serta perasaan berhasil pada diri karyawan Sihotang, 2004: 2. Menurut La Fellete dikutip Sumaryani, 1997 dalam Sihotang 2004: 2 mengatakan bahwa lingkungan kerja psikologis tidak nampak tetapi nyata ada dan akan dirasakan oleh seseorang bila memasuki lingkungan kerja suatu organisasi. Untuk mengetahui keadaan tersebut dapat diketahui melalui persepsi individu terhadap lingkungan kerja psikologisnya. Karyawan yang mempunyai penilaian yang positif terhadap lingkungan kerja psikologisnya berarti karyawan merasa bahwa lingkungan kerja psikologisnya baik, sehingga menimbulkan semangat kerja yang tinggi dan akan menghambat lajunya tingkat burnout pada karyawan. Burnout dapat terjadi pada semua orang, khususnya karyawan pria dan wanita. Hal tersebut terjadi karena setiap manusia tentu mengalami tekanan- tekanan yang diperoleh dalam kehidupan, khususnya dalam menjalani pekerjaan. Secara umum pria lebih mudah mengalami burnout daripada wanita. Hal ini dikarenakan wanita tidak mengalami peringkat tekanan seperti yang dihadapi oleh seorang pria, yang dapat disebabkan karena adanya perbedaan peran, misalnya dalam hal kerja, bagi seorang pria 2. Hal ini disebabkan karena pria dan wanita berbeda bukan saja secara fisik, tetapi juga sosial dan psikologisnya dan mempunyai cara yang berbeda dalam menghadapi masalahnya. Fenomena burnout terjadi pada sejumlah karyawan PT. Mataram Cakrawala Televisi Indonesia yang merupakan perusahaan yang bergerak di bidang media pertelevisian lokal di Semarang Jawa Tengah dengan nama chanel yaitu Cakra Semarang TV. Dari jumlah total karyawan Cakra Semarang TV yaitu 65 karyawan diambil 35 karyawan sebagai sampel untuk studi pendahuluan menggunakan skala burnout. Hasilnya, dari 35 karyawan tersebut terdapat 11,43 karyawan mengalami burnout tingkat tinggi dan 88,57 karyawan berada pada kategori burnout tingkat rendah. Skala yang digunakan berisi 20 item pernyataan dari penelitian Sulistyaningsih dengan judul Hubungan Antara Persepsi Terhadap Gaya Kepemimpinan dengan Burnout pada Karyawan PT. Sinar Plataco Demak Tahun 2006 yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya sebesar 0,934. Studi pendahuluan dilakukan pada hari Selasa tanggal 27 April 2010 pukul 16.30 sampai 20.00 WIB dan hari Rabu tanggal 28 April 2010 pukul 09.00 sampai 14.00 WIB. Empat karyawan yang mengalami burnout tingkat tinggi tersebut berasal dari divisi redaksi. Sedangkan sisanya yaitu 31 karyawan dengan burnout rendah berasal dari divisi redaksi, program, master kontrol, studio dalam, studio luar, desain grafis, transmisi, security dan driver. Karyawan yang sangat rentan mengalami burnout di perusahaan ini yaitu karyawan yang berasal dari divisi redaksi dan program. Pada divisi redaksi dimana tugas karyawan yaitu mencari, mengumpulkan, mengolah berita sampai berita tersebut disiarkan melalui program berita, menyebabkan karyawan dalam bekerja selalu dikejar deadline waktu agar berita yang dibuat harus sesuai dengan target perusahaan. Lingkungan sosial dari divisi ini juga kurang mendukung dimana ada hubungan antar karyawan yang kurang bagus. Selain itu, peralatan kerja seperti fasilitas komputer juga kurang mendukung. Hal itu ditandai dengan seringnya komputer mengalami gangguan, dan koneksi internet yang juga sering terganggu. Sehingga karyawan mudah stres, mudah marah, sampai kondisi kesehatan tubuhnya terganggu ketika banyak sekali hambatan yang muncul dalam proses pekerjaannya. Hal yang sama juga dialami oleh karyawan pada divisi program yaitu lingkungan kerja dan fasilitas yang kurang mendukung. Sedangkan perusahaan menuntut agar program-program yang tayang harus sesuai dengan target. Karyawan cenderung mudah marah dengan pekerjaannya dan terganggu hubungan sosialnya. Berbeda halnya dengan divisi master kontrol, dimana waktu karyawan lebih banyak diruang tertutup yang bertugas mengoperasikan komputer dan peralatan-peralatan lain yang digunakan untuk mengatur jalannya program acara-acara televisi yang disiarkan baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut mengakibatkan karyawan merasa jenuh karena kondisi lingkungan kerjanya yang monoton. Tugas karyawan pada divisi studio dalam dan studio luar hampir sama yaitu bekerja sama dengan master kontrol dari mulai proses mempersiapkan perlengkapan program acara televisi belangsung, pengambilan gambar dengan mengoperasikan kamera sampai selesai dari tiap-tiap program yang disiarkan langsung maupun tidak langsung. Karyawan dituntut untuk mengawasi kelancaran program acara yang selalu berada di dalam studio untuk divisi studio dalam dan di luar studio untuk divisi studio luar, sehingga seperti halnya master kontrol, karyawan studio dalam juga mudah jenuh hingga mengakibatkan karyawan tersebut mudah marah, sensitif, dan kurang bisa menghargai pekerjaannya hingga rekan kerjanya. Karyawan studio luar juga mudah mengalami kelelahan fisik dan kejenuhan karena beban kerja yang lebih berat dibanding dengan karyawan divisi studio dalam. Pada divisi desain grafis, burnout disebabkan oleh lingkungan pekerjaan dan bentuk pekerjaan yang monoton. Selain itu juga tuntutan pekerjaan yang begitu berat bisa jadi dirasakan oleh karyawan tersebut. Karena bentuk pekerjaannya sendiri selalu tidak dapat lepas dari komputer dan berhubungan dengan konsep-konsep desain grafis untuk mendukung program-program acara televisi. Bentuk pekerjaan ini juga menuntut daya imajinasi dan kreatifitas yang tinggi, sehingga ketika konsep desain yang diinginkan perusahaan tidak sesuai dengan hasil pekerjaannya, maka karyawan tersebut dapat mengalami tekanan dari atasan. Sedangkan pada karyawan yang bekerja sebagai driver yang mengalami burnout lebih disebabkan oleh bentuk pekerjaannya yang monoton yaitu mengendarai mobil untuk mengantar karyawan lain yang memang bertugas ke luar perusahaan. Hal yang membuat karyawan mengalami stres berlarut-larut karena tugasnya tumpang tindih dengan karyawan lain sesama driver. Karyawan yang bekerja pada divisi transmisi juga rentan mengalami burnout, hal itu dikarenakan bentuk pekerjaan dari divisi ini yang berhubungan dengan jaringan stasiun televisi beserta peralatannya. Setiap hari karyawan ini bertanggung jawab untuk mengoperasikan jaringan dari mulai televisi siap tayang sampai berhenti tayang setiap harinya, dan apabila ada kerusakan jaringan maka karyawan ini yang bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Karena bentuk pekerjaan yang monoton itu, maka karyawan mengalami kejenuhan kerja apalagi ketika terjadi kerusakan peralatan. Pada karyawan yang bekerja sebagai security juga menurutnya mudah mengalami kebosanan kerja, dan mempunyai bentuk pekerjaan yang selain harus menjaga keamanan kantor juga dituntut untuk melayani tamu dengan baik meskipun kondisi diri sedang tidak mendukung. Menurutnya, bentuk pekerjaan yang dilakukannya itu monoton dan mempunyai tanggung jawab yang besar apalagi ketika harus bertugas malam sampai pagi. Hasil pengamatan dan interaksi peneliti dengan karyawan Cakra Semarang TV, bahwa sebenarnya mereka telah melakukan tugasnya sesuai dengan kewajibannya masing-masing, namun ketika masalah atau faktor-faktor pemicu burnout itu muncul, maka mereka tanpa sadar cenderung sensitif dengan perkataan dan sikap rekan kerjanya, mengekspresikan emosinya ketika marah atau tidak senang dengan lingkungan yang ada, dan cenderung menyalahkan orang lain ketika ada suatu masalah, walaupun masalah itu sebenarnya disebabkan oleh dirinya sendiri. Sikap tidak berdaya, jenuh, dan lelah secara fisik juga terlihat ketika mereka melakukan tugasnya apalagi pada waktu mereka mempunyai kendala dalam menyelesaikan tugasnya. Terkadang mereka juga saling mengeluh mengenai beban kerja yang berat dan tuntutan perusahaan mengenai tugas barunya atau tugas sehari-harinya dapat terus ditingkatkan. Adapula yang menderita sakit ketika beban kerja yang ditanggung sangat berat dan kurangnya dukungan atau bantuan dari rekan kerjanya sesama divisi. Karyawan dengan burnout tingkat rendah lebih banyak dibanding karyawan dengan burnout tingkat tinggi. Untuk mencegah karyawan dengan burnout tingkat rendah tersebut agar tidak berlanjut pada burnout tingkat tinggi maka diperlukan suatu upaya untuk mengantisipasi agar burnout yang dialaminya tidak bertambah berat. Burnout yang dialami karyawan tersebut walaupun masih berada pada tingkat rendah, tentunya berpengaruh terhadap jalannya pelaksanaan tugas-tugas kantor serta menghambat proses pencapaian tujuan perusahaan. Selain itu, apabila hal itu dibiarkan terus menerus, maka interaksi dan kerja sama antar karyawan dapat terganggu. Seharusnya, ketika karyawan mengalami kondisi seperti burnout dengan gejala-gejala diatas, maka karyawan dapat mengatur, mengontrol dan mengendalikan emosinya dalam menjalankan pekerjaannya. Sehingga proses pencapaian tujuan perusahaan dapat berjalan dengan baik dan pelaksanaan tugas dapat dilakukan secara maksimal. Ada berbagai macam cara untuk mengurangi burnout pada karyawan, salah satunya dengan memberikan pelatihan kepada karyawan tersebut. Sehingga karyawan dapat mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang burnout tersebut dan karyawan dapat mengelola emosinya ketika menjalankan tugasnya serta adanya perubahan pada dirinya secara kognitif maupun afektif. Sehingga ketika ada masalah yang muncul dalam proses pekerjaan, karyawan dapat mengatur emosinya dengan berpikir secara positif dengan hati yang tenang. Penelitian dari Widhianingtanti dan Murcitasari 2008 mengenai Efektivitas Achievement Motivation Training terhadap Peningkatan Motivasi Berprestasi dalam Menghadapi Ujian Nasional Pada Siswa Kelas XII SMA menunjukkan bahwa ada perbedaan motivasi berprestasi dalam menghadapi Ujian Nasional pada subjek. Motivasi berprestasi subjek setelah mendapat perlakuan pelatihan lebih tinggi dibandingkan dengan motivasi berprestasi subjek sebelum mendapat perlakuan. Hal tersebut dikarenakan skor rata-rata posttes mean = 103,50 lebih tinggi daripada skor rata-rata pretest mean = 97,79. Pengaruh pelatihan untuk merubah perilaku individu juga dibuktikan dari penelitian Anggraeni,dkk. 2008 tentang Pengaruh Pelatihan Keterampilan Sosial Menggunakan Metode Stop Think Do terhadap Penyesuaian Sosial Anak Sekolah Dasar hasilnya yaitu ada perbedaan penyesuaian sosial antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol sesudah pemberian pelatihan keterampilan sosial menggunakan metode Stop Think Do dengan nilai koefisien t sebesar 3,170 dan p=0,019 p0,05 dan dengan nilai gain score pada kelompok eksperimen 1,296 lebih tinggi daripada kelompok kontrol 0,883. Adanya perubahan yang terjadi pada kelompok eksperimen kelompok yang memperoleh pelatihan nampak disebabkan karena adanya proses kognitif dari anak melalui pengalaman dan latihan yang telah mereka peroleh selama pelatihan berlangsung yang pada akhirnya mampu mengembangkan aspek kognitif mereka. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Kartikawati 2007, tentang Peran Program Academic Achievement Behavior Training AABT terhadap Perubahan Motif Berprestasi pada Mahasiswa Underachiever, ternyata hasilnya mampu mengubah motif berprestasi mahasiswa underachiever pada mahasiswa psikologi di Universitas Kristen Maranatha Bandung. Pelatihan tersebut menggunakan prinsip experimental learning dari suatu kejadian dengan satu atau lebih tujuan belajar yang ditetapkan dan mengajak keterlibatan aktif dari partisipan dalam satu atau lebih rangkaian kejadian tersebut. Inti dari experimental learning tersebut adalah belajar baik melalui mengalami, dimana keterlibatan dari partisipan dapat menjadikan pengalaman dan masukan bagi diri insight. Sehingga dapat disimpulkan dari beberapa penelitian di atas mengenai pengaruh pelatihan untuk mengubah perilaku individu bahwa pada dasarnya pelatihan mampu mengubah aspek kognitif, afektif, dan konatif dari subjek yang menjadi peserta pelatihan itu sendiri. Jewell dan Siegall 1998: 169, berpendapat bahwa pelatihan adalah pengalaman belajar terstruktur dengan tujuan mengembangkan kemampuan menjadi keterampilan khusus, pengetahuan atau sikap tertentu. Kemampuan adalah potensi fisik, mental, dan psikologis. Keterampilan merupakan penerapan potensi ini secara khusus. Burnout pada dasarnya terjadi karena seseorang mengalami kelelahan fisik, emosi, dan mental yang di dalamnya mengalami stres kerja yang berkepanjangan. Sehingga stres kerja termasuk ke dalam bagian dari penyebab burnout tersebut. Menurut Robbins 2008: 379, individu dapat melatih diri untuk mengurangi ketegangan lewat teknik pengenduran seperti meditasi, hipnotis, dan umpan balik biofeedback. Teknik-teknik penenang pikiran untuk memanajemeni stres antara lain pelatihan relaksasi autogenik, pelatihan relaksasi neuromuscular, dan meditasi Munandar, 2008: 406. Schultz Schultz 1994: 377 berpendapat bahwa teknik-teknik dari organisasi yang dapat menghilangkan stres diantaranya mengontrol suasana emosi karyawan, dukungan sosial, penataan ulang peran dan tugas karyawan, dan menghilangkan beban maupun tekanan pekerjaan. Sedangkan teknik-teknik individu diantaranya yaitu latihan fisik, pelatihan relaksasi, biofeedback, modifikasi perilaku, liburan, dan cukup istirahat untuk menghindari stres kerja. Burnout yang dialami oleh karyawan Cakra Semarang TV dapat di atasi dengan pelatihan yang didalamnya terdapat manajemen stres. Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis kebutuhan pelatihan pada tingkat organisasi dan individu dengan teknik wawancara dan observasi yang hasilnya bahwa diperlukan suatu upaya seperti pelatihan untuk mengatasi burnout yang telah menghambat proses kinerjanya. Analisis kebutuhan pelatihan pada tingkat organisasi dilakukan dengan teknik wawancara kepada atasan dan bagian sumber daya manusia. Hasilnya yaitu bahwa terdapat kurang lebih 20 karyawan yang mengalami burnout dan membutuhkan suatu upaya untuk mengatasi hal itu. Atasan dan bagian sumber daya manusia kemudian menyetujui adanya pelatihan bekerja dengan hati karena pelatihan tersebut berlandaskan aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi. Sehingga pelatihan tersebut diyakini dapat menurunkan tingkat burnout karyawan dan dapat memperbaiki sikap kerja karyawan. Analisis kebutuhan pelatihan juga dilakukan ditingkat individu khususnya kepada karyawan yang mengalami burnout. Analisis kebutuhan pelatihan dilakukan dengan teknik wawancara kepada masing-masing karyawan yang mengalami burnout dan observasi terhadap kinerja mereka dengan permasalahan yang mereka alami. Sebenarnya burnout yang mereka alami sudah cukup lama, namun belum ada upaya untuk mengatasi hal itu baik dari perusahaan maupun dari individu itu sendiri. Mereka belum mengetahui dengan baik bagaimana caranya untuk mengatasi gejala-gejala burnout yang mereka alami. Sehingga mereka menginginkan adanya program yang terencana dengan baik untuk mengatasi burnout agar tidak semakin tinggi tingkatannya. Mereka merespon dengan baik ketika akan diadakan pelatihan bekerja dengan hati. Mereka merasa perlu untuk mengikuti pelatihan tersebut karena mereka memiliki kesadaran untuk merubah sikap kerjanya melalui meteri yang ada dalam pelatihan bekerja dengan hati. Mereka antusias ketika mereka mendapat tawaran untuk mengikuti pelatihan bekerja dengan hati, karena kegiatan semacam ini sangat jarang diadakan, apalagi mereka ingin mengatasi gejala-gejala burnout yang mereka alami. Observasi dilakukan untuk mengetahui gejala-gejala apa saja yang dialami karyawan, sehingga hal tersebut dapat dijadikan acuan dalam memberikan materi atau perlakuan sesuai dengan gejala-gejala yang dialami oleh karyawan tersebut. Stres yang berkepanjangan merupakan salah satu penyebab terjadinya burnout pada karyawan. Maka dalam pelatihan untuk mengurangi burnout karyawan, diperlukan adanya manajemen stres. Menurut Arifin, pelatihan manajemen stres bagi karyawan bisa meningkatkan kemampuan pekerja untuk coping dengan situasi kerja yang rumit. Pelatihan manjemen stres mengajarkan pekerja mengenai sifat dan sumber stres, pengaruh stres bagi kesehatan dan kemampuan individu untuk mengurangi stres, contohnya yaitu manajemen waktu dan latihan penenangan. Pelatihan manajemen stres bisa secara signifikan mengurangi tanda akibat stres, seperti kecemasan dan gangguan tidur. Meskipun demikian, program manajemen stres memiliki kekurangan seperti efek pengurangan tanda akibat stres bersifat jangka pendek yaitu terkadang penyebab utama stres kerja seringkali terabaikan karena lebih fokus kepada karyawan dan bukan lingkungannya http:genkeis.multiply.comjournalitem214, diunduh pada 07052010. Pelatihan manajemen stres di atas hasilnya dapat mengurangi tingkat stres pekerja, maka seperti halnya pelatihan manajemen stres, pelatihan bekerja dengan hati yang didalamnya terdapat materi manajemen stres pada proses pelatihannya diduga dapat pula menurunkan burnout yang dialami oleh karyawan Cakra Semarang TV. Sehingga, dalam penelitian ini, peneliti mengadakan penelitian eksperimental dengan judul bekerja dengan hati ini bertujuan untuk mengubah aspek kognitif dan afektif karyawan mengenai burnout yang dialaminya. Materi pelatihan ini secara garis besar terdiri dari aspek kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan relaksasi.

1.2 Rumusan Masalah