2006, angiogenesis juga berperan penting dalam penyebaran sel kanker. Sel-sel kanker dapat berpenetrasi ke dalam pembuluh darah ataupun
limfe, bersirkulasi melalui aliran intravaskuler, dan kemudian berproliferasi pada tempat yang lain yang dikenal sebagai metastasis Poon et al. 2002.
Pendekatan secara patologis untuk memperkirakan adanya suatu angiogenesis adalah dengan perkiraan secara mikroskopik densitas
pembuluh darah atau microvessel density MVD dari jaringan tumor melalui pemeriksaan immunohistokimia Choi et al. 2005.
Ji et al. 2012 menyatakan bahwa ekspresi COX-2 dan VEGF ditemukan meningkat secara signifikan pada karsinoma tiroid serta
menemukan adanya hubungan yang bermakna antara COX-2 dan VEGF dengan tipe tumor dan stadium TNM. VEGF merupakan salah satu dari
banyak faktor yang terlibat dalam proses angiogenesis tumor. Penelitian oleh Wu et al. 2003 menyatakan bahwa COX-2 mRNA dan
protein COX-2 dijumpai pada 80 dan 84,9 kanker kolorektal, keduanya lebih tinggi dibandingkan jaringan normal. Dari 85 pasien dengan
pewarnaan COX-2 positif, 47 55,3 mengekspresikan VEGF dan hanya 26,7 pada kelompok COX-2 negatif, mengindikasikan adanya hubungan
antara ekspresi COX-2 dengan VEGF. Dengan memperhatikan latar belakang di atas maka peneliti merasa
tertarik untuk meneliti korelasi antara ekspresi COX-2 dengan MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.2 Perumusan Masalah
Dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah bagaimana korelasi ekspresi COX-2 dengan MVD pada penderita karsinoma nasofaring di
RSUP H. Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan umum Mengetahui korelasi antara ekspresi COX-2 dengan MVD pada
penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.3.2 Tujuan khusus a. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi COX-2 pada karsinoma
nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan. b. Mengetahui distribusi frekuensi MVD pada karsinoma
nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan. c. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi COX-2 pada karsinoma
nasofaring berdasarkan ukuran tumor, pembesaran kelenjar getah bening leher dan stadium tumor di RSUP H. Adam Malik
Medan d. Mengetahui distribusi frekuensi MVD pada karsinoma
nasofaring berdasarkan ukuran tumor, pembesaran kelenjar getah bening leher dan stadium tumor di RSUP H. Adam Malik
Medan e. Mengetahui korelasi antara ekspresi COX-2 dengan MVD pada
penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Dengan mengetahui adanya korelasi COX-2 dan MVD dapat menjadi dasar pertimbangan penggunaan penghambat COX-2
pada terapi karsinoma nasofaring. b. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan
COX-2 dan MVD, seperti perannya pada tatalaksana dan prognosis KNF.
Universitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel yang melapisi permukaan nasofaring Brennan 2006. Karsinoma
nasofaring merupakan salah satu keganasan yang paling sering dijumpai pada bangsa Cina dan Asia. Di Cina bagian selatan insidensi tahunan
karsinoma nasofaring lebih dari 20 kasus per 100.000 populasi Cho 2007. Sementara di Cina Utara, Mediterania Italia Selatan, Yunani dan
Turki, Afrika Utara dan Asia Tenggara insidensinya 5-9 kasus per 100.000 populasi Her 2001. Karsinoma nasofaring lebih umum dijumpai
pada laki-laki daripada wanita dengan perbandingan 2:1. Insidensinya meningkat pada usia 50-60 tahun Jeyakumar et al. 2006
Diyakini bahwa terdapat sejumlah faktor lingkungan bersama dengan faktor genetikhost yang mungkin bertanggung jawab terhadap penyebab
kanker ini. Ho 1976, seperti dikutip oleh Kumar 2003, menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu infeksi Virus Epstein-Barr, kerentanan
genetik dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya insidensi karsinoma nasofaring di Cina.
Pasien karsinoma nasofaring jarang ditemukan asimptomatik. Kebanyakan pasien memiliki berbagai gejala yang onsetnya berbeda-beda
dan kadang tidak diperhatikan oleh pasien selama berbulan-bulan Chew 1997.
Manifestasi klinik yang timbul adalah berupa gejala-gejala seperti gejala telinga yaitu kurang pendengaran tipe hantaran, rasa penuh di
telinga, seperti terisi air, berdengung atau tinitus Sudyartono Wiratno 1996. Otitis media serosa dijumpai pada 41 pasien dari 237 pasien
yang baru terdiagnosa KNF. Sehingga apabila seorang pasien dewasa, ras cina datang dengan gejala ini, seorang ahli THT-KL harus
mempertimbangkan kemungkinan KNF Wei 2006.
4
Universitas Sumatera Utara
Gejala hidung dapat berupa epistaksis, sekret hidung atau saliva bercampur darah serta sumbatan hidung. Ozaena terjadi sebagai akibat
nekrosis tumor dan khas pada karsinoma nasofaring stadium lanjut Chew 1997.
Karsinoma nasofaring memiliki kecenderungan untuk cepat menyebar ke kelenjar limfe. Metastasis kelenjar limfe bilateral dan kontralateral
sering dijumpai Chew 1997. Diagnosis karsinoma nasofaring dapat ditegakkan terutama
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Diagnosis pasti memerlukan biopsi. Untuk melihat lesi lebih jelas dan untuk melihat lesi
yang tidak dapat diraba dipergunakan indirect nasopharyngoscopy atau flexible fiber optic atau endoskopi kaku. Dengan endoskopi maka biopsi
dapat dilakukan Her 2001; Jeyakumar et al. 2006. Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk karsinoma nasofaring
adalah CT-Scan dengan kontras dan MRI dengan enhancement. Umumnya buku onkologi lebih menganjurkan pemeriksaan MRI dari pada
CT-Scan karena dapat memberikan detail yang lebih baik tentang perluasan dan keterlibatan intrakranial. Sebaliknya, CT-Scan dapat
menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk menentukan stadium penyakit Jeyakumar et al. 2006.
Deteksi pasti metastasis jauh pada saat diagnosis sulit dilakukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bone scan, scintigraphy hati dan
biopsi sumsum tulang sedikit membantu. Pemeriksaan ini sebaiknya hanya dilakukan pada pasien yang beresiko tinggi mengalami metastasis
jauh misalnya, pasien dengan N3 Wei 2006. Klasifikasi histologi KNF yang diajukan oleh World Health Organization
WHO pada tahun 1978 mengklasifikasikan tumor menjadi 3 kelompok : Tipe 1 : Keratinizing squamous cell carcinoma.
Tipe 2 : Non keratinizing squamous cell carcinoma.
Tipe 3 : Undifferentiated carcinoma. Jeyakumar et al. 2006; Wei 2006
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:
Tumor Primer T
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma in situ
T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring
dankavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2
Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring. T3
Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak danatau sinus paranasal
T4 Tumor dengan perluasan intrakranial danatau terlibatnya
saraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporalruang mastikator.
KGB Regional N
NX KGB regional tidak dapat dinilai
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis kelenjar getah bening leher unilateral dengan
diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, danatau unilateral atau bilateral kelenjar
getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 Metastasis kelenjar getah bening bilateral dengan diameter
terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3
Metastasis pada kelenjar getah bening diatas 6 cm danatau pada fossa supraklavikular:
N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular
Metastasis Jauh M
M0 Tanpa metastasis jauh
M1 Metastasis jauh
Universitas Sumatera Utara
Kelompok stadium :
0 Tis N0
M0 I T1
N0 M0
II T1 N1
M0 T2
N0 M0
T2 N1
M0 III T1
N2 M0
T2 N2
M0 T3
N0 M0
T3 N1
M0 T3
N2 M0
IVA T4 N0
M0 T4
N1 M0
T4 N2
M0 IVB setiapT N3
M0 IVC setiapT setiap N
M1
Universitas Sumatera Utara
Radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk karsinoma nasofaring selama bertahun-tahun. Ini disebabkan karena nasofaring
berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi karsinoma nasofaring, sehingga pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan.
karsinoma nasofaring umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala
leher lainnya Wei 2006; Yeh et al. 2006; Guigay et al. 2006. Suatu mini-review oleh Agulnik dan Siu 2005 terhadap beberapa
penelitian penatalaksanaan terhadap karsinoma nasofaring, menyimpulkan bahwa pemberian konkomitan kemoradioterapi diikuti
dengan kemoterapi adjuvan untuk pasien KNF dengan stadium lanjut lokal tanpa metastasis jauh, untuk semua tipe histologi, memberikan
peningkatan overall survival dan disease free-survival yang signifikan. National Comprehensive Cancer Network 2010 mempublikasikan
suatu petunjuk praktis klinis penanganan KNF sebagai berikut :
Gambar 2.1. Skema pengobatan KNF berdasarkan NCCN 2010.
Pembedahan hanya sedikit berperan dalam penatalaksanaan National Comprehensive Cancer Network. Terbatas pada diseksi leher radikal
Universitas Sumatera Utara
untuk mengontrol kelenjar yang radioresisten dan metastasis leher setelah radiasi dan pada pasien tertentu, pembedahan penyelamatan salvage
treatment dilakukan pada kasus rekurensi di nasofaring atau kelenjar leher tanpa metastasis jauh Chew 1997; Wei 2006.
2.2 Cyclooxygenase-2