Korelasi Antara Ekspresi TNF-α dan Microvessel DensityPada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

(1)

Korelasi Antara Ekspresi TNF-α dan Microvessel Density

Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

TESIS

Oleh :

Sujahn Anto Pardede NIM 097109007

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

Korelasi Antara Ekspresi TNF-α dan Microvessel Density

Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

TESIS

Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter Spesialis dalam Bidang Telinga

Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher

Oleh :

Sujahn Anto Pardede

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK

BEDAH KEPALA LEHER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Medan, 26 Mei 2014

Tesis dengan judul

Korelasi Antara Ekspresi TNF-α dan Microvessel Density Pada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

Telah disetujui dan diterima baik oleh Komisi Pembimbing

Ketua

NIP: 19700316 200212 1 002

dr. Farhat, Mked (ORL-HNS), SpTHT-KL (K)

Anggota I

NIP: 19540126 198403 1 001 Prof. DR. Dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL (K)

Anggota II

19780523 200212 1 002

dr. Ashri Yudhistira, M.Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL

Diketahui oleh

Ketua Departemen Ketua Program Studi

Prof.Dr.dr.Abd.Rachman S,Sp.THT-KL(K)

NIP: 19471130 198003 1 002 NIP: 19790620 200212 2 003 Dr.dr.T.Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL


(4)

KATA PENGANTAR

Salam sejahtera, saya sampaikan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas kasih setia, penyertaan dan karuniaNya tesis ini dapat saya selesaikansebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan untuk memperoleh gelar Spesialis dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Saya menyadari penulisan tesis ini masih jauh dari sempurna, baik isi maupun bahasanya. Walaupun demikian, mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah perbendaharaan penelitian tentang Korelasi Antara Ekspresi TNF-α dan

Microvessel DensityPada Penderita Karsinoma Nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

Dengan telah selesainya tulisan ini, pada kesempatan ini dengan tulus hati saya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat :

dr. Farhat, M. Ked (ORL-HNS), Sp. THT-KL(K) atas kesediaannya sebagai ketua pembimbing penelitian ini, Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, Sp. THT-KL(K) dan dr. Ashri Yudhistira, M.Ked(ORL-HNS), Sp.THT-KL sebagai anggota pembimbing serta dr. Putri Ch. Eyanoer, MSEpid, Ph.D sebagai pembimbing ahli. Di tengah kesibukan beliau, dengan penuh perhatian dan kesabaran, telah banyak memberi bantuan, bimbingan, saran dan pengarahan yang sangat bermanfaat kepada saya dalam menyelesaikan tulisan ini.

Dengan telah berakhirnya masa pendidikan saya, pada kesempatan yang berbahagia ini perkenankanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

Yang terhormat Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. dr. Syahril Pasaribu, Sp.A(K), DTM&H yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister Kedokteran Klinik di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.


(5)

Yang terhormat Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD(KGEH), atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan THT-KL di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Yang terhormat Bapak Direktur RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah mengizinkan peneliti untuk melakukan penelitian di rumah sakit yang beliau pimpin dan telah memberikan kesempatan pada saya untuk menjalani masa pendidikan di rumah sakit yang beliau pimpin.

Yang terhormat Ketua Departemen Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok dan Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran USU Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K) dan Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU, Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna Sp.THT-KL, yang telah memberikan izin, kesempatan dan ilmu kepada saya dalam mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan THT-KLsampai selesai.

Yang terhormat supervisor di jajaran Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan, Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp.THT-KL(K), dr. Yuritna Haryono, Sp.THT-KL(K), Prof. dr. Askaroellah Aboet, KL(K), Prof. Dr. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp.THT-KL(K), dr. Muzakkir Zamzam, SpTHT-Sp.THT-KL(K), dr. Mangain Hasibuan, SpTHT-KL, dr. T.Sofia Hanum, Sp.THT-KL(K), Prof. Dr. dr. Delfitri Munir, SpTHT-KL(K), dr. Linda I. Adenin, Sp.THT-KL, almh dr. Hafni,Sp.THT-KL(K), dr. Ida Sjailandrawati Harahap, SpTHT-KL, dr.Adlin Adnan, KL, dr. Rizalina A. Asnir, KL(K), dr. Siti Nursiah, Sp.THT-KL, dr. Andrina Y.M. Rambe, Sp.THT-Sp.THT-KL, dr. Harry Agustaf Asroel, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Farhat,M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL(K), Dr. dr. T. Siti Hajar Haryuna, Sp.THT-KL, dr. Aliandri, Sp.THT-KL, dr. Asri Yudhistira,M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. Devira Zahara, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. H.R. Yusa Herwanto, M. Ked (ORL-HNS), Sp.THT-KL, dr. M. Pahala Hanafi Harahap, Sp.THT-KL dan dr. Ferryan


(6)

Sofyan, M.Kes, Sp.THT-KL. Terima kasih atas segala ilmu, keterampilan dan bimbingannya selama ini.

Yang tercinta teman-teman sejawat PPDS Ilmu Kesehatan THT-KL Fakultas Kedokteran USU,atas bantuan, nasehat, saran maupun kerjasamanya selama masa pendidikan.

Yang mulia dan tercinta Ayahanda Drs. P. Pardede, MBA dan Ibunda A. Hutasoit, ananda sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya atas kasih sayang yang telah diberikan dan dilimpahkan kepada ananda sejak dalam kandungan, dilahirkan, dibesarkan dan diberi pendidikan yang baik serta diberikan suri tauladan yang baik hingga menjadi landasan yang kokoh dalam menghadapi kehidupan ini, dengan memanjatkan doa kepada Tuhan agar dengan umur panjang, kesehatan dan kesejahteraan Engkau memberkati kedua orang tua kami.

Yang tercinta Ayah mertua P. Sihaloho dan Ibu mertua D. Naibaho. Ayah dan Ibu mertua yang selama ini telah memberikan dorongan dan restu untuk selalu menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kepada istriku tercinta Astrid Dina Tiur Sihaloho, SS serta kedua buah hati kami yang amat kusayang Jordan Tomando Jahnapul Pardededan Jordie Jahnsen Pardede, tiada kata yang lebih indah yang dapat ayahanda ucapkan selain ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya atas pengorbanan tiada tara, cinta dan kasih sayang, kesabaran, ketabahan, pengertian dan dorongan semangat yang tiada henti-hentinya dan doa kepada ayahanda sehingga dengan penyertaan Tuhan akhirnya kita sampai pada saat yang berbahagia ini.

Kepada adinda, Jahny Karta Natalius Pardede dan dr. Anita Dormida Pardede sertaadik ipar, penulis mengucapkan terima kasih atas limpahan kasih sayang dan tak henti-hentinya memberikan dorongan serta doa kepada penulis.


(7)

Kepada seluruh kerabat dan handai taulan yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu, yang telah memberikan bantuan kami ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.

Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas segala kesalahan dan kekurangan saya selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan, petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Tuhan, Yang Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Amin.

Medan, Mei 2014 Penulis


(8)

ABSTRAK

Pendahuluan : Angiogenesis adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam nutrisi dan oksigenasi sel tumor. Hal ini penting untuk proliferasi dan penyebaran metastasis neoplasma padat. Angiogenesis dapat dinilai secara imunohistokima dengan Microvessel density (MVD). TNF-α telah dilaporkan dapat menjadi mediator pada angiogenesis yang dipicu oleh makrofag. TNF-α dapat menginduksi ekspresi molekul proangiogenik seperti VEGF dan reseptornya VEGFRs.

Tujuan : Mengetahui korelasi ekspresi TNF-α dengan MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

Metode : Penelitian ini penelitian analitik dengan studi potong lintang. Tiga puluh tiga sampel diperiksa secara imunohistokima untuk ekspresi TNF-α dan MVD. Kemudian hasil dianalisa dengan uji Spearman.

Hasil Penelitian : Sebanyak 33 sampel KNF diperiksa ekspresi TNF-α dan MVD secara immunohistokimia. Penderita KNF paling banyak ditemukan pada laki-laki (69,70%), kelompok umur 41-60 tahun (57,58%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma (54,55%). Ekspresi TNF-α positif paling banyak ditemukan pada ukuran tumor T3-T4 (59,30%), ukuran kelenjar getah bening N2-3 (70,40%) dan stadium III-IV sebanyak (92,60%) dengan menggunakan Fisher’s exact test tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer (p=0,242), ukuran kelenjar getah bening (p=0,605) dan stadium klinis (p=0,142). MVD tinggi paling banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3-T4 (61,10%), ukuran kelenjar getah bening N2-N3 (72,20%) dan stadium III-IV (88,90%), begitu juga MVD tidak ditemukan hubungan bermakna dengan ukuran tumor primer (p=0,316), ukuran kelenjar getah bening (p=0,512) dan stadium klinis (p=0,626) setelah dilakukan Fisher’s exact test. Tidak ditemukan adanya korelasi positif antara ekspresi TNF-α dengan MVD (r=1,000; p=0,630)

Kesimpulan : Tidak ditemukan adanya korelasi antara ekspresi TNF-α dan MVD pada karsinoma nasofaring


(9)

ABSTRACT

Introduction : Angiogenesis is a required process in the nutritional supply and oxygenation of tumor cells that possesses crucial role in the proliferation and metastatic spread of solid neoplasms. Angiogenesis can be assessed by Microvessel Density (MVD) via immunohistochemistry method. TNF-α has been reported acted as mediator in angiogenesis triggered by macrophages. TNF-α is able to induce the expression of proangiogenic molecules such as VEGF and its receptors, VEGFRs.

Objective : To determine the correlation between the expressions of TNF-α and MVD in patients with nasopharyngeal carcinoma in H. Adam Malik General Hospital Medan.

Methods : A cross-sectional study. 33 samples from patients with nasopharyngeal carcinoma were examined for the expressions of TNF-α and MVD via immunohistochemistry method. Results were analyzed by Spearman's test.

Results : NPC most commonly occurs in males (69.70%), 41-60 years age group (57.58%) and non-keratinizing type of squamous cell carcinoma (54.55%). TNF-α positive expression mostly found in T3-T4 tumor size (59,30%), N2-N3 lymph node size around (70,40%) and clinical stage of III-IV (92,60%). Fisher's exact test showed no significant correlation either between the expression of TNF-α and primary tumor size (p=0.242), lymph node size (p=0.605) and clinical stage (p=0.142). Highly count MVD mostly found in T3-T4 tumor size (61,10%), N2-N3 lymph node size (72,20%) and clinical stage of III-IV (88,90%). There were no significant correlation between the expression of MVD and primary tumor size (p=0.316), lymph node size (p=0.512) and clinical stage (p=0.626). There is also no correlation between the expression of TNF-α and MVD (r=1,000; p=0,630).

Conclusion : There is no correlation between the expression of TNF-α and MVD in nasopharyngeal carcinoma


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

KATA PENGANTAR ... ii

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR DIAGRAM ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 2

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan umum ... 3

1.3.2 Tujuan khusus ... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 4

2.1 Karsinoma Nasofaring ... 4

2.2 Tumor Necrosis Factor (TNF-α)... 11

2.3 Peran TNF-α dalam Perkembangan Kanker ... 15

2.4 Penilaian TNF-α ... 16


(11)

2.6 TNF-α dan Angiogenesis... 19

2.7 Microvessel Density (MVD) ... 20

2.8 Kerangka Konsep ... 21

2.9 Hipotesis ... 22

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 22

3.1 Jenis Penelitian ... 23

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 23

3.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 23

3.3.1 Populasi ... 23

3.3.2 Sampel ... 23

3.3.3 Teknik pengambilan sampel ... 24

3.4 Variabel Penelitian ... 24

3.5 Definisi Operasional ... 25

3.6 Bahan Penelitian ... 27

3.7 Instrumen Penelitian ... 28

3.8 Prosedur Kerja Pemeriksaan Immunohistokimia ... 29

3.9 Kerangka Kerja ... 30

3.10 Cara Pengumpulan Data ... 30

3.11 Cara Analisis Data ... 30

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 31

BAB 5 PEMBAHASAN ... 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 47

6.1 Kesimpulan ... 47

6.2 Saran ... 47


(12)

LAMPIRAN 1 ... 60

LAMPIRAN 2 ... 63

LAMPIRAN 3 ... 66

LAMPIRAN 4 ... 67

LAMPIRAN 5 ... 68

LAMPIRAN 6 ... 69

LAMPIRAN 7 ... 76


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Subjek Penelitian ... 31

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Berdasarkan Ekspresi TNF-α ... 32 Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Pembesaran Kelenjar Getah Bening

Leher (N) Berdasarkan Ekspresi TNF-α ... 33 Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Stadium Klinis Berdasarkan Ekspresi

TNF-α ... 33 Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Ukuran Tumor Primer (T) Berdasarkan

MVD ... 34

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Pembesaran Kelenjar Getah Bening

Leher (N) Berdasarkan MVD ... 34


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Anatomi Nasofaring...4

Gambar 2. Terapi Karsinoma Nasofaring Berdasarkan NCCN (2010)...10

Gambar 3. Interaksi Antara Sel Tumor dan Sel Imun...12

Gambar 4. Signaling Pathway TNF-α Melalui Reseptornya...14

Gambar 5. Kerangka Konsep...22

Gambar 1 Lampiran 9. Pewarnaan dengan CD 31 pada Jaringan KNF dengan Microvessel Density Tinggi (Pembesaran x40) ... 78

Gambar 2 Lampiran 9. Pewarnaan dengan CD 31 pada Jaringan KNF dengan Microvessel Density Tinggi (Pembesaran x200) ... 78

Gambar 3 Lampiran 9. Pewarnaan dengan CD 31 pada Jaringan KNF dengan Microvessel Density Rendah(Pembesaran x40) ... 79

Gambar 4 Lampiran 9. Pewarnaan dengan CD 31 pada Jaringan KNF dengan Microvessel Density Rendah(Pembesaran x200) ... 79

Gambar 5 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +3 (Pewarnaan Positif >50%) pada Jaringan KNF dengan Pembesaran x100 ... 79

Gambar 6 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +3 (Pewarnaan Positif >50%) pada Jaringan KNF dengan Pembesaran x400 ... 80

Gambar 7 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +2 (Pewarnaan Positif 10-50%) pada Jaringan KNF dengan Pembesaran x100 ... 80


(15)

Gambar 8 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +2 (Pewarnaan Positif 10-50%) pada Jaringan KNF dengan

Pembesaran x400...80

Gambar 9 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +1 (Pewarnaan Positif <10%) pada Jaringan KNF dengan

Pembesaran x100...81

Gambar 10 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor +1 (Pewarnaan Positif <10%) pada Jaringan KNF dengan

Pembesaran x400...81

Gambar 11 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor 0 (Negatif) pada jaringan KNF dengan Pembesaran x100...81

Gambar 12 Lampiran 9. Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α Skor 0 (Negatif) pada Jaringan KNF dengan Pembesaran x400...82


(16)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman Diagram 4.1 Korelasi Ekspresi TNF-α dengan MVD...34


(17)

DAFTAR SINGKATAN

5FU : 5 Fluorouracil

AJCC : American Joint Committee of Cancer

AML

AP-1 : Activator Protein – 1 AP : Anteroposterior

ASK1 : Apoptosis Signal-Regulating Kinase 1 bFGF : Basic Fibroblast Growth Factor

CCL2 : Chemokine (C-C motif) Ligand 2 CD120a : Cluster of Differentiation 120 a CD120b : Cluster of Differentiation 120 b CD31 : Cluster of Differentiation 31 CD34 : Cluster of Differentiation 34 CD95 : Cluster of Differentiation 95 CLL : Chronic Lymphocytic Leukemia

COX : Cyclooxygenase 2 CTL : Cytotoxic T Lymphocyte

CT-Scan : Computed Tomography Scan

CXCL 8 : (= IL8)

DAB : Diamino Benzidine

DC : Dendritic Cell

DNA : Deoxyribonucleic Acid EBV : Ebstein Barr Virus

EGFR : Epidermal Growth Factor Receptor

FADD : Fas-Associated Protein with Death Domain

FK USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara HGF : Human Growth Factor

ICAM 1 : Intercellular Adhesion Molecule 1 IFNα : Interferon α


(18)

IKK : IkB Kinase IL1 : Interleukin 1 IL4 : Interleukin 4 IL6 : Interleukin 6 IL10 : Interleukin 10 IL13 : Interleukin 13 IL15 : Interleukin 15 IL17 : Interleukin 17 IL23 : Interleukin 23

JNK

JNKK : Jnk-Activated Kinase

KGB : Kelenjar Getah Bening KNF : Karsinoma Nasofaring LP : Lapangan Pandang MEKK : MAPK Kinase Kinase

MKK7 : MAP Kinase Kinase 7 MMP : Matrix Metalloproteinase

MMP2 : Matrix Metalloproteinase 2 MMP3 : Matrix Metalloproteinase 3 MMP9 : Matrix Metalloproteinase 9 MMP12 : Matrix Metalloproteinase 12 MRI : Magnetic Resonance Imaging

MVD : Microvessel Density

NFkB : Nuclear Factor Kappa-Light-Chain-Enhancer Of Activated B Cells

NK Cells : Natural Killer Cells

NO : Nitric Oxic

PBS : Phosphat Buffered Saline

PDGF : Platelet-Derived Growth Factor PKCα- : Protein Kinase C Alpha


(19)

RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat TAF : Tumor Angiogenesis Factor

TBS : Tris Buffered Saline

TGF-α

TGFβ :

THT-KL : Telinga Hidung Tenggorok- Bedah Kepala dan Leher

Tis : Tumor in situ

TNF-α : Tumor Necrosis Factor Alpha

TNFRI : Tumor Necrosis Factor Receptor 1 TNFRII : Tumor Necrosis Factor Receptor 2

TRADD : Tumor Necrosis Factor Receptor Type 1-Associated Death Domain

TRAF : Tumor Necrosis Factor Receptor Associated Factors

TRAIL : Tnf-Related Apoptosis-Inducing Ligand

VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor

VEGFR : Vascular Endothelial Growth Factor Receptor

VEGFR2 : Vascular Endothelial Growth Factor Receptor 2 WHO : World Health Organization


(20)

ABSTRAK

Pendahuluan : Angiogenesis adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam nutrisi dan oksigenasi sel tumor. Hal ini penting untuk proliferasi dan penyebaran metastasis neoplasma padat. Angiogenesis dapat dinilai secara imunohistokima dengan Microvessel density (MVD). TNF-α telah dilaporkan dapat menjadi mediator pada angiogenesis yang dipicu oleh makrofag. TNF-α dapat menginduksi ekspresi molekul proangiogenik seperti VEGF dan reseptornya VEGFRs.

Tujuan : Mengetahui korelasi ekspresi TNF-α dengan MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan

Metode : Penelitian ini penelitian analitik dengan studi potong lintang. Tiga puluh tiga sampel diperiksa secara imunohistokima untuk ekspresi TNF-α dan MVD. Kemudian hasil dianalisa dengan uji Spearman.

Hasil Penelitian : Sebanyak 33 sampel KNF diperiksa ekspresi TNF-α dan MVD secara immunohistokimia. Penderita KNF paling banyak ditemukan pada laki-laki (69,70%), kelompok umur 41-60 tahun (57,58%) dan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma (54,55%). Ekspresi TNF-α positif paling banyak ditemukan pada ukuran tumor T3-T4 (59,30%), ukuran kelenjar getah bening N2-3 (70,40%) dan stadium III-IV sebanyak (92,60%) dengan menggunakan Fisher’s exact test tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer (p=0,242), ukuran kelenjar getah bening (p=0,605) dan stadium klinis (p=0,142). MVD tinggi paling banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3-T4 (61,10%), ukuran kelenjar getah bening N2-N3 (72,20%) dan stadium III-IV (88,90%), begitu juga MVD tidak ditemukan hubungan bermakna dengan ukuran tumor primer (p=0,316), ukuran kelenjar getah bening (p=0,512) dan stadium klinis (p=0,626) setelah dilakukan Fisher’s exact test. Tidak ditemukan adanya korelasi positif antara ekspresi TNF-α dengan MVD (r=1,000; p=0,630)

Kesimpulan : Tidak ditemukan adanya korelasi antara ekspresi TNF-α dan MVD pada karsinoma nasofaring


(21)

ABSTRACT

Introduction : Angiogenesis is a required process in the nutritional supply and oxygenation of tumor cells that possesses crucial role in the proliferation and metastatic spread of solid neoplasms. Angiogenesis can be assessed by Microvessel Density (MVD) via immunohistochemistry method. TNF-α has been reported acted as mediator in angiogenesis triggered by macrophages. TNF-α is able to induce the expression of proangiogenic molecules such as VEGF and its receptors, VEGFRs.

Objective : To determine the correlation between the expressions of TNF-α and MVD in patients with nasopharyngeal carcinoma in H. Adam Malik General Hospital Medan.

Methods : A cross-sectional study. 33 samples from patients with nasopharyngeal carcinoma were examined for the expressions of TNF-α and MVD via immunohistochemistry method. Results were analyzed by Spearman's test.

Results : NPC most commonly occurs in males (69.70%), 41-60 years age group (57.58%) and non-keratinizing type of squamous cell carcinoma (54.55%). TNF-α positive expression mostly found in T3-T4 tumor size (59,30%), N2-N3 lymph node size around (70,40%) and clinical stage of III-IV (92,60%). Fisher's exact test showed no significant correlation either between the expression of TNF-α and primary tumor size (p=0.242), lymph node size (p=0.605) and clinical stage (p=0.142). Highly count MVD mostly found in T3-T4 tumor size (61,10%), N2-N3 lymph node size (72,20%) and clinical stage of III-IV (88,90%). There were no significant correlation between the expression of MVD and primary tumor size (p=0.316), lymph node size (p=0.512) and clinical stage (p=0.626). There is also no correlation between the expression of TNF-α and MVD (r=1,000; p=0,630).

Conclusion : There is no correlation between the expression of TNF-α and MVD in nasopharyngeal carcinoma


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah suatu karsinoma sel skuamosa yang berasal dari sel epitel nasofaring (Brennan 2006; Wei 2006). Lo et al. (2006) menyatakan bahwa KNF merupakan salah satu tipe kanker yang paling sering dijumpai di Cina bagian Selatan dan Asia Tenggara. Lebih dari 50.000 kasus KNF baru dilaporkan setiap tahun di daerah ini.

Dilaporkan angka kejadian KNF antara pria dan wanita di Hongkong adalah 20 sampai 30 per 100.000 dan di bagian selatan provinsi Guangdong adalah 15 sampai 20 per 100.000. Insiden KNF tetap tinggi di antara orang Cina yang berimigrasi ke negara Asia Tenggara atau Amerika Utara, tetapi rendah di antara orang Cina yang lahir di Amerika Utara. Hal ini menunjukkan bahwa faktor genetik, etnis dan lingkungan mungkin memainkan peranan dalam etiologi penyakit (Wei 2006)

KNF sering dihubungkan dengan infeksi Epstein barr virus (EBV) dan akhir-akhir ini produk gen dari EBV melalui siklus latent dan lytic

kemungkinan besar mempunyai peranan dalam memicu dan mempengaruhi produksi sitokin (Huang et al. 1999).

.

TNF-α telah sering ditemukan pada proses keganasan dan sering dihubungkan dengan prognosis yang buruk, kehilangan respon hormon dan cachexia. Adanya suatu hubungan antara TNF-α dan malignansi telah diidentifikasikan pada karsinoma ovarium. Gen untuk TNF-α telah ditemukan terekspresi pada 45 dari 65 biopsi terhadap sel epitel karsinoma ovarium (Aggarwal et al. 2006).

Aktivitas TNF-α pada level moderat dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan tumor, merangsang angiogenesis, kerusakan pada DNA, dan meningkatkan potensi metastatik dari tumor pada model hewan (Schetter, Heegaard & Harris 2010).


(23)

Stroma dari solid tumor sangat penting untuk kelangsungan hidup tumor itu sendiri dan komponen yang sangat mendukung serta diperlukan adalah pembuluh darah. Ketika ukuran tumor lebih dari 2-4 mm3

TNF-α dapat meningkatkan tumor angiogenesis melalui beberapa faktor angiogenik seperti IL8 dan VEGF. Bila fungsi dari TNF-α di netralisir dengan menggunakan antibodi poliklonal maka akan menghentikan aktivitas angiogenesis dari TNF-α sepenuhnya (Wu & Zhou 2010).

akan memerlukan pembentukan pembuluh darah baru untuk mencukupi suplai oksigen dan nutrisi, serta pembuangan zat sisa. Pembentukan pembuluh darah baru ini disebut dengan “tumor angiogenesis” suatu istilah yang diperkenalkan oleh Judah Folkman pada tahun 1971. Angiogenesis dipicu oleh pelepasan berbagai sitokin pro-angiogenik oleh sel tumor (Burton & Libuti 2009)

Pendekatan patologis untuk memperkirakan suatu angiogenesis adalah dengan perkiraan mikroskopik densitas pembuluh darah atau

Microvessel density (MVD) dari jaringan tumor melalui pemeriksaan immunohistokimia (Choi et al. 2005).

Karena sampai saat ini di RSUP. H. Adam Malik Medan belum ada data mengenai korelasi antara ekspresi TNF-α dan gambaran MVD pada penderita karsinoma nasofaring, maka peneliti merasa tertarik untuk menelitinya.

1.2 Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang di atas, maka masalah penelitian ini adalah bagaimana korelasi antara ekspresi TNF-α dan gambaran MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.


(24)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui korelasi antara ekspresi TNF-α dan gambaran MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan khusus

a. Mengetahui distribusi frekuensi karakteristik karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.

b. Mengetahui distribusi frekuensi ekspresi TNF-α pada karsinoma nasofaring berdasarkan ukuran tumor, pembesaran kelenjar getah bening dan stadium tumor di RSUP H. Adam Malik Medan c. Mengetahui distribusi frekuensi MVD pada karsinoma

nasofaring berdasarkan ukuran tumor, pembesaran kelenjar getah bening dan stadium tumor di RSUP H. Adam Malik Medan d. Mengetahui korelasi antara ekspresi TNF-α dan gambaran MVD pada penderita karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat antara lain :

a. Memberikan informasi mengenai tingkat ekspresi TNF-α dan MVD pada karsinoma nasofaring di RSUP. H. Adam Malik Medan.

b. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan TNF-α dan MVD, seperti perannya dalam tatalaksana karsinoma nasofaring.

c. Sebagai rujukan penelitian berikutnya yang berkaitan dengan TNF-α dan MVD sebagai faktor prognosis pada karsinoma nasofaring.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karsinoma Nasofaring

Nasofaring merupakan bagian faring yang terletak paling atas oleh karena itu disebut juga dengan epifaring. Nasofaring secara anatomis terletak di bagian belakang dari rongga hidung dan mempunyai batas mulai dari dasar tengkorak sampai ke palatum mole. Atap nasofaring dibentuk oleh basis sphenoid dan basis oksipital, dinding posterior di bentuk oleh vertebra, dasar nasofaring dibentuk oleh palatum mole, dinding depan dibentuk oleh koana, serta dinding lateral dimana ditemukan muara tuba eustachius seperti yang terlihat pada gambar 1 dibawah ini (Dhingra 2007).

Gambar 1. Anatomi nasofaring (Wei 2006).

KNF dapat terjadi pada segala usia, tapi umumnya sekitar 75-90% menyerang usia 30-60 tahun. Di dunia barat, KNF merupakan jenis tumor


(26)

yang jarang. Di Amerika Serikat kurang dari 1% dari seluruh kanker. Angka kejadian di Amerika dan Eropa bervariasi antara 0,22 sampai 0,5 per 100.000 populasi. Sebaliknya, KNF mempunyai prevalensi yang luas di Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika Utara dengan insidensi yang lebih tinggi dibandingkan bagian dunia yang lain (Dhingra 2007).

Usia insidensi KNF berbeda dengan kanker lainnya. Di Cina KNF mulai muncul pada usia 15-19 tahun. Pada pria, KNF sering ditemukan pada usia 15-34 tahun dan mencapai puncaknya usia 35-64 tahun kemudian menurun setelah usia tersebut (Chew 1997).

Dari data rekam medik di RSUP H. Adam Malik Medan, jumlah penderita KNF yang datang berobat dari Januari 2006-Desember 2009 ditemukan 335 orang dengan rentang usia 12-81 tahun (Puspitasari 2011).

Diyakini bahwa terdapat sejumlah faktor lingkungan bersama dengan faktor genetik/host yang mungkin bertanggung jawab terhadap penyebab kanker ini. Ho menyatakan sedikitnya ada 3 faktor etiologi yaitu infeksi Virus Epstein-Barr, kerentanan genetik dan faktor lingkungan yang berperan dalam tingginya insidensi KNF di Cina (Kumar 2003).

KNF merupakan proses keganasan pada manusia yang berasal dari sel epithelium yang berada pada rongga nasofaring. KNF merupakan salah satu contoh keganasan yang menyerang pada manusia dan secara konsisten selalu dihubungkan dengan infeksi virus. Genome dari Virus Epstein-Barr ditemukan di dalam semua sel KNF (Lutzky et al. 2008).

Walaupun gejala pasien dengan KNF tidak spesifik dan hampir semua pasien dengan penyakit ini tidak dapat didiagnosis pada tingkat awal, gejala yang tidak spesifik ini dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok:

1. Massa di nasofaring: epistaksis, obstruksi nasal (insidensi 73%). 2. Disfungsi tuba eustachius: perasaan penuh pada telinga,


(27)

3. Erosi dasar tengkorak dan lumpuhnya saraf kranial: nyeri kepala, diplopia, perasaan baal (35%).

4. Massa leher: leher atas (76%).

Berdasarkan penelitian, saraf kranial yang paling sering dipengaruhi adalah III, V, VI dan XII (Plant 2009).

Otitis media serosa dijumpai pada 41% pasien dari 237 pasien yang baru terdiagnosa KNF. Sehingga apabila seorang pasien dewasa, ras cina datang dengan gejala ini, seorang ahli THT harus mempertimbangkan kemungkinan KNF (Wei 2006).

Gejala hidung dapat berupa epistaksis, sekret hidung dan saliva bercampur darah pada saat membuang sumbatan hidung. Ozaena terjadi sebagai akibat nekrosis tumor dan khas pada KNF stadium lanjut. Karsinoma nasofaring memiliki kecenderungan untuk cepat menyebar ke kelenjar limfe. Metastase kelenjar limfe bilateral dan kontralateral sering dijumpai (Chew 1997).

Diagnosis dari KNF sulit karena lokasi anatomisnya. Sering, penyakit secara klinis tidak menimbulkan gejala sampai menyerang struktur yang berdekatan dan menghasilkan gejala (Titcomb Jr 2001).

Ketika pasien datang dengan gejala KNF, mereka harus dievaluasi secara klinis tanda-tanda fisik KNF (misalnya, keberadaan kelenjar getah bening di leher, cairan di telinga tengah, dan keterlibatan saraf kranial

Diagnosis dapat kita lakukan melalui langkah-langkah berikut ini (Brennan 2006):

) (Wei 2006).

1. Evaluasi gejala klinis dan ukuran serta lokasi dari kelenjar limfe servikal.

2. Nasofaringoskopi untuk mengetahui adanya tumor primer. 3. Pemeriksaan neurologis nervus kranialis.

4. CT-Scan/MRI dari kepala.

5. Foto thorax (AP dan Lateral) untuk mengetahui adakah penyebaran ke paru.


(28)

6. Scintigraphy tulang untuk melihat penyebaran ke tulang. 7. Pemeriksaan darah lengkap.

8. Ureum, elektrolit, kreatinin dan fungsi hati.

9. Biopsi dari kelenjar limfe dan tumor primer untuk pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan radiologi yang lebih baik untuk KNF adalah CT-Scan dengan kontras dan MRI dengan enhancement. Umumnya buku onkologi lebih menganjurkan pemeriksaan MRI dari pada CT-Scan karena dapat memberikan detail yang lebih baik tentang perluasan dan keterlibatan intrakranial. Sebaliknya, CT-Scan dapat menunjukkan adanya erosi tulang. Faktor-faktor ini penting untuk menentukan stadium penyakit (Jeyakumar et al. 2006).

Pada tahun 1978, WHO mengajukan klasifikasi karsinoma nasofaring berdasarkan konsep Shanmugartnam dan Sobin. Menurut WHO karsinoma nasofaring dibagi dalam tiga subtipe:

(1). Keratinizing Squamous Cell Carcinoma (WHO tipe I), (2). Non keratinizing Squamous Cell Carcinoma (WHO tipe II), (3). Undifferentiated Carcinoma (WHO tipe III).

Pada tahun 1991, WHO kembali mengklasifikasikan karsinoma nasofaring atas :

a. Squamous Cell Carcinoma dengan subtipe Keratinizing Squamous Cell Carcinoma

b. Non Keratinizing Carcinoma yang dibagi atas Differentiated dan

Undifferentiated (Brennan 2006). Klasifikasi TNM menurut AJCC 2010:

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dinilai T0 Tidak terbukti adanya tumor primer Tis Karsinoma in situ

T1 Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring.


(29)

T2 Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3 Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal

T4 Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

KGB Regional (N)

NX KGB regional tidak dapat dinilai

N0 Tidak ada metastase ke KGB regional

N1 Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular. N3 Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau

pada fossa supraklavicular: N3a Diameter terbesar lebih dari 6 cm N3b Meluas ke fossa supraklavikular

Metastase Jauh (M)

M0 Tanpa metastase jauh M1 Metastase jauh

Kelompok stadium :

0 Tis N0 M0

I T1 N0 M0

II T1 N1 M0


(30)

T2 N1 M0

III T1 N2 M0

T2 N2 M0

T3 N0 M0

T3 N1 M0

T3 N2 M0

IVA T4 N0 M0

T4 N1 M0

T4 N2 M0

IVB setiap T N3 M0

IVC setiap T setiap N M1

Berdasarkan lokasinya, nasofaring berdekatan dengan struktur penting dan sifat infiltrasi dari KNF menyebabkan pembedahan terhadap tumor primer sulit dilakukan. Akan tetapi KNF bersifat radiosensitif sehingga radioterapi telah menjadi modalitas terapi primer untuk KNF selama bertahun-tahun. KNF umumnya tidak dapat dioperasi, lebih responsif terhadap radioterapi dan kemoterapi dibandingkan tumor ganas kepala leher lainnya (Wei 2006; Guigay et al. 2006).

Terapi supervoltase yang juga diberikan kepada kelenjar limfe di sekitarnya dengan dosis 6000-7000 rad. Tumor yang persisten ataupun berulang dapat diatasi dengan radioterapi siklus ke dua (Dhingra 2007).

Pemberian radioterapi telah berhasil mengontrol tumor T1 dan T2 pada 75-90% kasus dan tumor T3 dan T4 pada 50-75% kasus. Kontrol kelenjar leher mencapai 90% pada pasien dengan N0 dan N1, tapi tingkat kontrol regional berkurang menjadi 70% pada kasus N2 dan N3 (Wei 2006).

Pada karsinoma nasofaring stadium III dan IV, dapat diterapi hanya dengan radioterapi, tetapi angka keberhasilan meningkat jika dikombinasikan dengan kemoterapi. Tujuan dari kemoterapi pada karsinoma nasofaring adalah untuk meningkatkan penatalaksanaan secara lokal juga mencegah metastase jauh (Dhingra 2007).


(31)

Kemoterapi sebagai komponen terapi kuratif utama pada KNF pertama kali dipergunakan pada tahun 1970-an. Bahkan pada pasien yang gagal dengan radioterapi tunggal atau dengan metastasis sistemik menunjukkan

response rate yang tinggi terhadap penggunaan kemoterapi. Kombinasi 5FU dan cisplatin (cisdiamine-dichloroplatinum) telah terbukti mempunyai efek sitostatika secara sinergis pada sel kanker manusia. Dosis

cisdiamine-dichloroplatinum (CDDP) adalah 100 mg/m2 dengan bolus infus diberikan pada hari pertama dan dosis 5 FU 1000 mg/m2

National Comprehensive Cancer Network (2010), mengajukan suatu skema penatalaksanaan karsinoma nasofaring (gambar 2) dengan kombinasi kemoterapi dan radioterapi.

/hari diberikan dengan infus selama 24 jam pada hari 1-5. Siklus diulang setiap 4 minggu. Kemoterapi diberikan 2-4 siklus (Scanlon et al. 1986; Mould & Tai 2002; Yeh et al. 2006).


(32)

2.2 Tumor Necrosis Factor (TNF-α)

Pada beberapa keganasan, kondisi peradangan muncul sebelum proses malignansi. Sebaliknya pada proses keganasan yang lain, bahan onkogen justru memicu perubahan pada inflammatory microenvironment

yang dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan tumor (Mantovani et al. 2008).

Peradangan adalah bagian dari respon host terhadap rangsangan lingkungan baik internal maupun eksternal. Respon ini berfungsi untuk menetralkan hasil yang dikeluarkan oleh rangsangan tersebut terhadap

host. Respon ini bisa pirogenik, seperti demam. Ketika peradangan akut atau demam dimanifestasikan untuk jangka waktu yang singkat, ia memiliki konsekuensi terapeutik. Namun, ketika peradangan menjadi kronis atau berlangsung terlalu lama, dapat berbahaya dan dapat menyebabkan penyakit. Peradangan kronis telah dikaitkan untuk berbagai hal yang terlibat dalam tumorigenesis, termasuk transformasi seluler, promosi, kelangsungan hidup, proliferasi, invasi, angiogenesis dan metastasis (Aggarwal et al. 2006; Schetter, Heegaard & Harris 2010).

Sitokin merupakan suatu molekul mediator untuk respon imun dan peradangan. Molekul-molekul ini mempunyai fungsi seluler yang sangat luas dan terstimulasi ketika homeostasis jaringan berubah. Sitokin dapat di kelompokkan menjadi pro-inflammatory (IL1, IL6, IL15, IL17, IL23, dan TNF-α), atau anti-inflammatory (IL4, IL10, IL13, transforming growth factor (TGFβ) dan interferon (IFNα). Bergantung pada keseimbangannya, sitokin menghasilkan efek sebagai pro- atau anti-tumorigenik (gambar 3) (Schetter, Heegaard & Harris 2010).

TNF-α telah ditemukan 30 tahun yang lalu, dan merupakan suatu sitokin pro-inflammatory yang mempunyai peranan penting dalam sistem imunitas, proses peradangan, serta mengontrol proliferasi, diferensiasi, dan apoptosis dari sel (Cho et al. 2003; Van Horssen, Tenhagen & Eggermont 2006).


(33)

Pertama kali diidentifikasi sebagai sitokin anti-tumor pada sistem imunitas innate dan adaptif. TNF-α diperlukan juga untuk proliferasi dan fungsi yang normal dari NK cells, sel T, sel B, makrofag, dan sel dendrit, serta bertindak sebagai molekul yang penting dalam menghancurkan tumor tertentu. Akan tetapi bukti yang terbaru menunjukkan bahwa TNF-α merupakan suatu mediator utama pada cancer-related inflammation dan juga berperan sebagai tumour-promoting factor (Wu & Zhou 2010).

Gambar 3. Interaksi antara sel tumor dan sel imun (Lin & Karin 2007)

Pada akhir-akhir ini, kuat dugaan bahwa sitokin pro-inflammatory


(34)

berasal dari percobaan hewan menunjukkan sitokin-sitokin ini terlibat dalam pembentukkan kanker (Huang

Oberyszyn et al. (1993) menunjukkan bahwa produksi sitokin pro-inflammatory seperti IL-1α, TNF-α, dan granulocyte macrophage colony-stimulating factor memicu infiltrasi leukosit dan pembentukkan karsinoma pada tikus yang diberi perlakuan dengan 12-O-tetradecanoylphorbol-13-acetate (Huang

et al. 1999).

TNF-α manusia merupakan polipeptida 26 kDa yang aktif secara biologis sebagai protein transmembran dan terdapat pada berbagai macam permukaan sel hematopoetik dan non-hematopoetik. TNF-α

signals melalui 2 reseptor yang berbeda antara lain TNFRI/p55/CD120a dan TNFRII/p75/CD120b dimana reseptor ini ditemukan di kebanyakan

sel. Melalui cross-linking TNFRI berikatan dengan molekul TNFR-associated DD (TRADD) yang akan membantu perekrutan dan

pengaktifan pro-caspase 8 sehingga akan memicu cascade apoptosis. TNFRI juga dapat memicu anti-apoptosis dan jalur aktivasi yang dinamakan aktivasi faktor transkripsi NF-κB melalui kinases receptor-interacting protein dan NF-κB-inducing kinase serta transcription factor AP-1 melalui perekrutan TRAF2 (TNFR-associated factor-2) dan aktivasi MEKK1/JNKK/JNK pathway seperti yang terlihat pada gambar 4 dibawah ini. Peran dari 75 kDa TNFRII masih dalam perdebatan. Di duga TNFRII mengikat TNF-α dan mentransfernya ke TNFRI (Mitsiades et al. 2003; Morrison et al. 2004).

et al. 1999).

TNF-α mengaktifkan TNFRI, 55 kDa protein membran plasma dengan C-terminal death domain analog dengan CD95 (Fas/APO-1). CD95 dan TNFR1 memicu apoptosis melalui Fas-associated protein dengan death domain (FADD), yang mengaktifkan ICE-related protease (caspase)

cascade. Namun juga TNFR1 mengaktifkan faktor transkripsi NF-kB yang memungkinkan untuk transkripsi gen baru. Selain itu, TNFR1 mengaktifkan Jun kinase (JNK), yang menyebabkan peningkatan aktivitas AP-1 (gambar 4) (Rolfe et al. 1997; Yang et al. 2005).


(35)

Gambar 4. Signaling pathway TNF-α melalui reseptornya (Cai et al. 2008) TNF-α mempunyai peran yang bimodal pada perkembangan tumor. Pemberian lokal dengan dosis yang tinggi dari TNF-α memiliki efek antiangiogenik dan mempunyai efek anti tumor yang sangat kuat, di lain pihak TNF-α yang dihasilkan secara kronik di dalam microenvironment

tumor dapat meningkatkan pertumbuhan dan sifat invasif tumor dengan memicu sitokin/kemokin lain yang terlibat di dalam progresi tumor (seperti IL-6 dan CCL2), faktor proangiogenik (seperti VEGF, basic fibroblast growth factors, CXCL8 dan thymidine phosphorilase) dan matrix metalloproteinases (MMPs). Suatu bukti peran TNF-α dalam malignansi terlihat dari percobaan pada tikus dengan TNF-α dan TNFR yang telah di

knockout akan resisten terhadap skin carcinogenesis (Madhusudan et al. 2005).

TNF-α dikenal sebagai salah satu sitokin yang mempunyai banyak kegunaan dan menghasilkan efek yang berbeda-beda antara lain, dapat bertindak sebagai mediator normal pada homeostasis jaringan, memiliki


(36)

efek patofisiologis pada konsentrasi yang tinggi dan ditemukan pada berbagai macam jaringan (Von Wolff et al. 1999).

Walaupun pertama kali diduga sebagai produk dari makrofag, TNF-α pada akhir-akhir ini juga di hasilkan oleh berbagai jenis sel tumor, termasuk sel B limfoma, sel T limfoma, megakaryoblastik leukemia, akut myeloblastik leukemia (AML), kronik limfositik leukemia (CLL), kanker payudara, karsinoma kolon, karsinoma paru, skuamous sel karsinoma, karsinoma ovarium, cervical epithelial ovarian cancer, gliobalstoma, dan neuroblastoma (Aggarwal et al. 2006).

TNF-α mempunyai peranan yang penting pada hubungan peradangan dengan keganasan. TNF-α berperan dalam pertumbuhan dan perubahan struktur jaringan sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan tumor dan metastasis. TNF-α juga dapat menginduksi produk sitokin lain, faktor angiogenik, dan MMPs, dimana semuanya dapat meningkatkan ukuran tumor dan kelangsungan hidup sel tumor (Wu & Zhou 2010).

2.3 Peran TNF-α dalam Perkembangan Kanker

TNF-α terlibat dalam semua jalur dalam tumorigenesis. Pertama, TNF-α memicu pembentukan dan perkembangan tumor, hal ini dapat terjadi oleh karena mediasi dari aktivitas nuclear factor-κB (NF-κB), PKCα -dan AP-1 dependent pathways. NF-κB mempunyai peranan penting dalam perkembangan tumor yang di picu oleh TNF-α. Pada percobaan dengan sel epidermal JB6 tikus, pemberian TNF-α dapat meningkatkan aktivitas NF-κB pada dose-dependent (Wu & Zhou 2010).

Kedua, TNF-α dapat meningkatkan proliferasi sel tumor, dimana TNF-α bertindak sebagai mutagen yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup dari sel tumor tanpa memicu diferensiasi sel. Sebagai tambahan, TNF-α tidak hanya bertindak sebagai autokrin growth factor

namun juga dapat memicu ekspresi growth factors yang lain seperti amphiregulin, EGFR, dan TGF-α sehingga dapat meningkatkan proliferasi sel tumor (Wu & Zhou 2010).


(37)

Ketiga, TNF-α dapat meningkatkan tumor angiogenesis melalui beberapa faktor angiogenik seperti IL8 dan VEGF. Bila fungsi dari TNF-α di netralisir dengan menggunakan antibodi poliklonal maka akan menghentikan aktivitas angiogenesis dari TNF-α sepenuhnya (Wu & Zhou 2010).

2.4 Penilaian TNF-α

Salah satu cara untuk menilai TNF-α pada sel yaitu melalui pemeriksaan imunohistokimia dimana pemeriksaan ini menilai reaksi antigen-antibodi terhadap TNF-α. Apabila timbul reaksi positif maka akan menghasilkan reaksi imun berupa warna coklat pada sitoplasma. Reaksi ini kemudian dihitung secara semikuantitatif dengan skor 0: berarti negatif, 1: pewarnaan positif < 10% jumlah sel, 2: pewarnaan positif 10-50% jumlah sel dan 3: pewarnaan positif > 50% jumlah sel (Calabrese et al. 2004).

2.5 Angiogenesis

Angiogenesis penting pada proses remodelling vaskular dan penyembuhan luka namun juga dapat terjadi pada beberapa kondisi patologis seperti rheumatoid artritis, retinopati diabetik, psoriasis dan kanker (Amalinei et al. 2010).

Angiogenesis merupakan proses yang kompleks dimana terbentuknya pembuluh darah baru yang berasal dari pembuluh darah yang telah ada, yang melibatkan interaksi multipel antara sel endotelial, perisit sekitar dan sel otot polos, matriks ekstraseluler dan sitokin angiogenik (Rundhaug 2003).

Hipotesa yang menyatakan bahwa tumor menghasilkan zat angiogenik telah ada sejak 1968. Pada tahun 1971, Folkman menyatakan bahwa perkembangan tumor dan metastasis sangat bergantung pada angiogenesis sehingga jika dilakukan inhibisi terhadap angiogenesis dapat menghambat perkembangan tumor. Tahun 1976, Gullano menunjukkan


(38)

bahwa sel pada jaringan pre kanker membutuhkan kemampuan angiogenik untuk membuat sel tersebut berubah menjadi ganas (Carmeliet & Jain 2000)

Angiogenesis adalah hal yang sangat dibutuhkan dalam nutrisi dan oksigenasi sel tumor. Hal ini penting untuk proliferasi dan penyebaran metastasis neoplasma padat (Taweevisit, et al. 2010).

Pang dan Poon (2006), menyatakan bahwa tumor padat bermula pada nodul avaskuler yang dorman yang hanya dapat tumbuh dan berkembang apabila mendapat vaskularisasi. Neovaskularisasi harus terjadi sebagai sumber oksigen dan nutrisi pada sel tumor. Lebih lanjut lagi, pembuluh darah baru imatur meningkatkan masuknya sel tumor ke dalam sirkulasi sehingga menimbulkan metastasis jauh. Pada saat ini juga diketahui bahwa ketergantungan neovaskularisasi tidak hanya pada tumor padat, tapi juga berperan dalam perkembangan malignansi hematologis. Pengetahuan tentang peranan fundamental angiogenesis pada pertumbuhan tumor telah menyebabkan ketertarikan yang besar dalam penelitian mekanisme regulasinya dan implikasi klinis pada penanganan pasien kanker pada tiga dekade terakhir ini.

Proses angiogenesis di stimulasi ketika tumor membutuhkan zat gizi dan oksigen. Angiogenesis diatur oleh molekul aktivator (faktor angiogenik) dan inhibitor (faktor anti-angiogenik), akan tetapi peningkatan aktivitas dari faktor angiogenik itu sendiri belum cukup memadai untuk memicu angiogenesis karena aktivitas molekul inhibitor juga perlu diturunkan (Nishida et al. 2006).

Angiogenesis bisa diawali oleh pelepasan faktor proangiogenik (seperti VEGF, bFGF, dan TNF-α) dari sel inflamasi, sel mast, makrofag atau sel tumor. Faktor ini akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel endotel yang dapat merangsang proliferasi, meningkatkan ekspresi cell adhesion molecules (misalnya integrin α1β1, α2β1 dan α5β1) (Rundhaug 2003).


(39)

Sedangkan protein yang dapat menginhibisi angiogenesis seperti angiostatin, endostatin, interferon, platelet factor 4 dan tissue inhibitor of metalloproteinase-1, -2dan -3 (Nishida et al. 2006).

Pembentukan pembuluh darah baru dimulai dengan pelepasan faktor angiogenik yang berikatan dengan reseptor spesifik pada sel endotel dari pembuluh darah yang telah ada sehingga memicu proses angiogenesis. Proteinase seperti matrix metalloproteinases (MMPs) dan aktivator plasminogen diperlukan untuk menghancurkan matriks ekstraseluler di sekitar tunas pembuluh darah yang baru. Selama proses angiogenesis, molekul adesi sel endotel seperti integrin αvβ3

Angiogenesis terdiri dari dua fase. Fase pertama di tandai dengan adanya aktivasi dari sel endotel yang diam menjadi proliferatif dan bermigrasi. Mediator yang menyebabkan transisi ini antara lain TNF-α, IL-8 dan molekul adhesi seperti E-selectin. Growth factor seperti bFGF dan VEGF juga merupakan stimulator yang potensial untuk proliferasi serta migrasi sel endotel. Fase berikutnya adalah fase dimana sel endotel masuk kembali ke dalam pembuluh darah serta berhenti berproliferasi dan migrasi, hal ini diduga akibat aktivitas dari nitric oxide (NO) yang menginhibisi kerja dari mediator angiogenik (Hewala et al. 2010)

dan vascular adhesion molecule-1 membantu menghubungkan pembuluh darah baru dengan pembuluh darah yang telah ada sehingga membentuk jaringan pembuluh darah intratumoral (Pang dan Poon 2006)

Angiogenesis merupakan suatu persyaratan untuk pertumbuhan dan metastasis tumor. Neovaskularisasi memberikan bukan hanya jalur untuk suplai nutrisi, namun juga merupakan saluran sel tumor untuk masuk ke sirkulasi, oleh karena pembuluh darah yang baru berproliferasi memiliki membran basal yang lebih mudah dimasuki oleh sel tumor dibandingkan dengan pembuluh darah matur (Poon et al. 2002).

Pertumbuhan dan metastasis tumor tergantung pada angiogenesis dan limfangiogenesis yang dipicu oleh sinyal kimia dari sel tumor pada fase pertumbuhan cepat (Nishida et al. 2006).


(40)

2.6 TNF-α dan Angiogenesis

Pembentukan atau inhibisi terhadap angiogenesis dengan cara mengatur produksi sitokin telah ditemukan pada invitro maupun uji coba pada hewan. Salah satu contohnya adalah TNF-α, dimana TNF-α telah dilaporkan dapat menjadi mediator pada angiogenesis yang dipicu oleh makrofag. TNF-α dapat menginduksi ekspresi molekul proangiogenik seperti VEGF dan reseptornya VEGFRs (Guadagni et al. 2007).

TNF-α merupakan sitokin inflamatori yang dapat memicu angiogenesis. Namun studi terhadap sifat angiogenik dari TNF-α memberikan hasil yang kontradiktif. TNF-α dapat memicu angiogenesis pada invivo dan menstimulasi migrasi dari sel endotel, tetapi TNF-α menginhibisi aktivitas dari mitogen seperti bFGF dan VEGF di dalam sel endotel pada invitro. Oleh karena itu diduga bahwa sifat angiogenik dari TNF-α di mediasi oleh berbagai faktor angiogenik sekunder seperti

platelet-derived growth factor, VEGF, IL-8 dan bFGF (Chen et al. 2004). Yoshida et al. (1997) menemukan bahwa TNF-α dapat meningkatkan produksi IL-8, VEGF dan bFGF dimana semuanya merupakan faktor angiogenik yang poten. Peningkatan ekspresi IL-8, VEGF dan bFGF beserta reseptornya terjadi di sel endotel pembuluh darah, sel stroma dan sel kanker.

Berbagai macam faktor menjadi mediator terhadap efek proangiogenik dari TNF-α seperti VEGF dan reseptornya (VEGFR2), bFGF, IL-8,

platelet-activating factor, Ephrin A (ligand untuk Eph family dari reseptor tyrosin kinase), NO, E-selectin, intercelluler adhesion molecule 1 (ICAM-1) dan thymidine fosforilase (Szlosarek, Charles & Balkwill 2006)

Menurut Tomita et al. (2004) TNF-α dapat mempertahankan neovaskularisasi dari tumor dengan menginduksi hepatocyte growth factor

(HGF) yang dapat menyebabkan metastasis ke paru-paru (Wu & Zhou, 2010).


(41)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kuwano (2004) didapatkan bahwa IL-1α dan TNF-α secara signifikan meningkatkan produksi VEGF, IL-8, bFGF dan COX2 di dalam sel endotel dan sel kanker.

2.7 Microvessel Density (MVD)

Microvessel density (MVD) merupakan marker terhadap proses neoangiogenesis yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan metastase tumor (Bono et al. 2002).

Pengaruh angiogenesis terhadap prognosa dari keganasan telah banyak diteliti dengan cara melakukan pengukuran terhadap MVD. Pemeriksaan immunohistokimia untuk MVD menggunakan antibodi seperti CD 31, faktor VIII (Von Willebrand factor VIII) dan CD 34 (Bochner et al. 1995; Bono et al.2002).

Neovaskularisasi tumor dinilai secara kuantitatif dengan pemeriksaan immunohistokimia menggunakan marker endotelial untuk mewarnai

microvessels yang tidak dapat terlihat pada pemeriksaan histologi konvensional. Setelah pewarnaan, seluruh bagian tumor dilihat di bawah mikroskop dengan pembesaran rendah (x40) untuk melihat “hot spot” yang merupakan area tumor dengan neovaskularisasi terbanyak.

Microvessels kemudian dihitung dengan pembesaran tinggi (x200) dan jumlah pembuluh darah dalam lima area hot spot dinilai sebagai MVD (Pang dan Poon 2006).

Pendekatan patologis untuk memperkirakan angiogenesis dan limfangiogenesis antara lain dengan perkiraan mikroskopik terhadap densitas pembuluh darah atau microvessel density dari jaringan dengan pemeriksaan immunohistokimia (Choi et al. 2005).

Peningkatan MVD telah dihubungkan secara umum dengan prognosa yang lebih buruk pada beberapa kanker termasuk kanker payudara, kolon, melanoma dan saluran genitourinaria pada wanita (Taweevisit et al. 2010).


(42)

Penelitian tentang MVD pada karsinoma nasofaring pada umumnya mengenai penentuan nilai prognostik dari MVD. Penelitian-penelitian ini dilakukan baik secara manual maupun dibantu komputer dengan menggunakan berbagai antibodi penanda sel endotel dengan nilai batas yang berbeda-beda pula (Taweevisit et al. 2010). Beberapa penelitian juga telah menilai hubungan MVD dengan prognosis secara klinis pada tumor kepala leher dengan hasil yang bertentangan (Rao et al. 2011).

2.8 Kerangka Konsep

Gambar 5. Kerangka konsep

Makrofag, Limfosit Sel Dendrit, NK Cells

TNF-α

NF-κB

VEGF MMP 9 COX 2

bFGF IL-8

ANGIOGENESIS MVD Sitokin Inflamasi

KARSINOMA NASOFARING

• Ukuran tumor primer (T)

• Pembesaran kelenjar getah bening leher (N)


(43)

= Variabel Penelitian

Pada saat terjadi inflamasi sel imun seperti makrofag, limfosit, sel dendrit dan natural killer cells akan memicu produksi sitokin dimana salah satunya adalah TNF-α. Kemudian TNF-α akan memicu produksi IL-8 dan bFGF yang akan mempengaruhi terjadinya angiogenesis. TNF-α juga akan mempengaruhi faktor transkripsi NF-κB dimana akan memicu aktivitas dari VEGF, MMP-9 dan COX-2 yang akhirnya akan mempengaruhi angiogenesis. Angiogenesis merupakan proses yang dibutuhkan oleh tumor dalam perkembangannya.

2.9 Hipotesis

Ada korelasi antara ekspresi TNF-α dengan MVD pada karsinoma nasofaring di RSUP H. Adam Malik Medan.


(44)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan studi potong lintang (cross sectional).

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Departemen THT-KL RSUP. H. Adam Malik Medan dan Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran USU selama bulan Mei 2013-November 2013.

3.3 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel 3.3.1Populasi

Populasi adalah penderita yang didiagnosis KNF berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil biopsi histopatologi yang berobat ke Sub divisi Onkologi-Bedah Kepala Leher Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan.

3.3.2 Sampel

Besar sampel yang diperlukan untuk mengetahui korelasi kadar TNF-αdan microvessel density dihitung dengan menggunakan rumus untuk penelitian analitik korelatif.

� =� Zα+ Zβ 0,5 ln [1 + r1r]

� 2

+ 3

Keterangan :

N : Jumlah sampel yang akan diperiksa α : Kesalahan tipe I (0,05)


(45)

β Kesalahan tipe II (0,1) Z β : 1,282

r : Perkiraan koefisien korelasi (0,53)(Feng et al. 2011)

� =� 3,242 0,5 ln 3,26�

2 + 3 �= � 3,242

0,5 x 1,18� 2

+ 3 � =� 3,242

0,5 ln 4,19� 2

+ 3 � = 33

Kriteria inklusi :

1. Penderita yang didiagnosis KNF berdasarkan hasil pemeriksaan histopatologi baik laki-laki maupun perempuan.

2. Bersedia diikutsertakan pada penelitian dan menandatangani informed consent.

Kriteria eksklusi :

1. Penderita yang sudah pernah didiagnosis menderita keganasan lainnya.

2. Penderita sudah pernah mendapat pengobatan dengan radioterapi, kemoterapi atau kombinasi keduanya.

3.3.3 Teknik pengambilan sampel

Pengambilan sampel penelitian adalah dengan secara non probability consecutive sampling

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dependenpada penelitian ini adalah :

o Ekspresi TNF-α


(46)

o Microvessel density

Variabel independenpada penelitian ini adalah :

o Ukuran tumor primer (T)

o Pembesaran kelenjar getah bening leher (N) o Stadium klinis

3.5 Defenisi Operasional

1. Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari sel epitel yang melapisi permukaan nasofaring (Brennan 2006).

2. Jenis kelamin sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis yaitu: a. Laki-laki

b. Perempuan

3. Umur adalah usia yang dihitung dalam tahun dan perhitungannya berdasarkan kalender masehi. Umur penderita karsinoma nasofaring sesuai dengan yang tercatat pada rekam medis, dikelompokkan atas:

 ≤20 tahun  21-40 tahun  41-60 tahun  >60 tahun

4. Tipe histopatologi adalah tipe gambaran histopatologi sediaan tumor menurut kriteria WHO (Brennan 2006).

Hasil ukur: kriteria WHO

Tipe 1: Keratinizing squamous cell carcinoma

Tipe 2: Non keratinizingsquamous cell carcinoma

Tipe 3: Undifferentiated carcinoma

5. Ukuran tumor primer (T) karsinoma nasofaring adalahbesar dan perluasan tumor primer sesuai kriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur: 0, 1, 2, 3, 4


(47)

T1: Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum nasi tanpa perluasan ke parafaring. T2: Tumor dengan perluasan ke daerah parafaring.

T3: Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus paranasal

T4: Tumor dengan perluasan intrakranial dan/atau terlibatnya syaraf kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal/ruang mastikator.

6. Ukuran kelenjar getah bening leher (N) adalahukuran kelenjar getah bening leher sesuaikriteria AJCC tahun 2010 yang diukur oleh ahli Radiologi dengan memakai CT-Scan.

Hasil ukur: 0,1,2,3

N0: Tidak ada metastase ke KGB regional

N1: Metastase kelenjar getah bening leher unilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2: Metastase kelenjar getah bening bilateral dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang, di atas fossa supraklavikular.

N3: Metastase pada kelenjar getah bening diatas 6 cm dan/atau pada fossa supraklavicular.

7. Stadium karsinoma nasofaring adalah penentuan stadium penyakit berdasarkan klasifikasi AJCC tahun 2010 yang dikelompokkan: I, II, III, IV

8. Ekspresi TNF-α

Ekspresi protein ini dilaporkan diinduksi oleh Epstein-Barr Virus (EBV). Pada pewarnaan immunohistokimia TNF-α ditemukan pewarnaan coklat pada sitoplasma dan membran sel. Skor imunoreaktif 1 atau lebih dinilai positif TNF-α (Calabrese et al. 2004).


(48)

Hasil ukur:0 – 3

Ekspresi TNF-α negatif : 0 Ekspresi TNF-α positif : 1-3 9. Microvessel Density

Jumlah pembuluh darah mikro per lapangan pandang yang diperiksa dengan pemeriksaan immunohistokimia (Sari 2004).

Hasil Ukur: Jumlah pembuluh darah mikro (Microvessel/MV)/Lapangan Pandang (LP)

• Rendah: < 45 MV/LP

• Tinggi: > 45 MV/LP 3.6 Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan nasofaring penderita KNF. Bahan jaringan diperiksa secara immunohistokimia dengan menilai imunoreaktivitas antibodi TNF-α.

Skor imunoreaktivitas dinilai: 0: berarti negatif

(Calabrese et al. 2004)

1: pewarnaan positif < 10% jumlah sel 2: pewarnaan positif 10-50% jumlah sel 3: pewarnaan positif > 50% jumlah sel Hasil ukur:0 - 3

Ekspresi TNF-α negatif : 0 Ekspresi TNF-α positif : 1-3

Kemudian bahan dari jaringan yang sama diperiksa secara immunohistokimia dengan menggunakan Monoclonal Mouse anti-Human CD31 Endothelial cell. Penghitungan densitas pembuluh darah mikro dilakukan dengan metode yang sama dengan yang dilakukan oleh Sari (2004). Dengan pembesaran x40 diidentifikasi area dengan densitas pembuluh darah paling tinggi disebut dengan area Hot Spot. Kemudian dilakukan penghitungan kelompok sel endotel pembuluh darah dengan atau tanpa lumen pada pembesaran x200.Hasil ukur dinyatakan dalam


(49)

jumlah pembuluh darah mikro (Microvessel/MV) per lapangan pandang (LP). (Sari 2004)

Evaluasi dilakukan oleh 3 orang ahli patologi tanpa mengetahui data klinis pasien.

3.7 InstrumenPenelitian

Penelitian ini membutuhkan beberapa bahan, reagen dan peralatan sebagai berikut:

a. Catatan medis penderita dan status penelitian penderita b. Formulir persetujuan ikut penelitian

c. Bahan untuk pemeriksaan histopatologi

Formalin 10%, blok parafin, aqua destillata, hematoxyllin-eosin. d. Bahan untuk pemeriksaan immunohistokimia

Xylol, alkohol absolut, alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 70%, H202

e. Alat untuk biopsi

0,5% dalam methanol, Phosphat Buffer Saline (PBS), antibodi TNF-α, antibodi sekunder, Envision, Choromogen Diamino Benzidine (DAB). Lathium Carbonat jenuh, Tris EBTA, Hematoxylin, aqua destillata.

Blakesley nasal foscep lurus/bengkok, endoskopi kaku, 4 mm, 00

f. Alat untuk pemeriksaan immunohistokimia .

Sistem visualisasi immunohistokimia (Envision kit), mesin pemotong jaringan (microtome), silanized slide.


(50)

3.8 Prosedur Kerja Pewarnaan Immunohistokimia TNF-α

1. Deparafinisasi slide (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @ 5 menit 2. Rehidrasi (Alkohol absolute, Alk 96%, Alk 80%, Alk 70%) @ 4 menit

3. Cuci dengan air mengalir 5 menit

4. Masukkan slide ke dalam PT Link Dako Epitope Retrieval : set up Preheat 65°C, Running time 98°C selama 15 menit.

± 1 jam

5. Pap Pen. Segera masukkan dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4

5 menit

6. Blocking dengan peroxidase block 5-10 menit 7. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit 8. Blocking dengan Normal horse Serum (NHS) 3 % 15 menit 9. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 5 menit 10. Inkubasi dengan antibodi TNF-α dengan pengenceran

1:40 untuk pemeriksaan ekspresi TNF-α dan dengan antibodi CD-31 dengan pengenceran 1:200 untuk pemeriksaan MVD

1 jam

11. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20 5 menit

12. Dako Real Envision Rabbit/Mouse 30 menit

13. Cuci dalam Tris Buffered Saline (TBS) pH 7,4 /Tween 20 5-10 menit 14. DAB+Substrat Chromogen solution dengan

pengenceran 20 µL DAB : 1000 µL substrat (tahan 5 hari di suhu 2-8°C setelah di-mix)

5 menit

15. Cuci dengan air mengalir 10 menit

16. Counterstain dengan Hematoxylin 3 menit

17. Cuci dengan air mengalir 5 menit

18. Lithium carbonat (5% dlm aqua) 2 menit

19. Cuci dengan air mengalir 5 menit

20. Dehidrasi (Alk 80%, Alk 96%, Alk Abs) @5 menit 21. Clearing (Xylol 1, Xylol 2, Xylol 3) @5 menit 22. Mounting + cover glass


(51)

3.9 Kerangka Kerja

3.10 Cara Pengumpulan Data

Data diambil dari hasil pemeriksaan di Departemen THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan dan pemeriksaan immunohistokimia di Departemen Patologi Anatomi FK USU.

3.11 Cara Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan diolah menggunakan program komputer SPSS. Untuk menilai korelasi antara kadar TNF-α dan MVD akan diuji dengan uji korelasi Pearson. Namun oleh karena data tidak terdistribusi normal maka digunakan uji non parametrik Spearman.Data dipresentasikan dalam bentuk tabel dan diagram.

Jaringan Karsinoma Nasofaring

Korelasi kedua parameter


(52)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Sampel diambil secara non probabilty consecutive sampling dari populasi penelitian hingga memenuhi jumlah sampel minimal berdasarkan rumus perhitungan besar sampel untuk korelasi yaitu 33 sampel. Diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Distribusi frekuensi karakteristik subjek penelitian

Karakteristik n %

Umur (tahun)

≤20 1 3,03

21-40 8 24,24

41-60 19 57,58

>60 5 15,15

Jenis Kelamin

Laki-laki 23 69,70

Perempuan 10 30,30

Tipe Histopatologi

Keratinizing squamous cell carcinoma 1 3,03 Non keratinizing squamous cell carcinoma 18 54,55

Undifferentiated carcinoma 14 42,42

Ukuran Tumor Primer

T1 8 24,25

T2 7 21,21

T3 7 21,21

T4 11 33,33

Pembesaran Kelenjar Getah Bening Leher

N0 1 3,03

N1 9 27,27

N2 9 27,27

N3 14 42,43

Stadium

I 0 0,00

II 4 12,12

III 7 21,21

IV 22 66,67


(53)

Usia termuda pada subjek penelitian ini adalah 16 tahun, usia tertua 71 tahun dengan rerata 47,58. Laki-laki sebanyak 23 subjek dan perempuan 10 subjek.

Berdasarkan tipe histopatologi, terbanyak dijumpai tipe non keratinizing squamous cell carcinoma sebanyak 18 subjek (54,55%) dan paling sedikit dengan tipe keratinizing squamous cell carcinoma yaitu sebanyak 1 subjek (3,03%). Ukuran tumor primer terbanyak dijumpai pada penelitian ini adalah T4 yaitu 11 subjek (33,33%), paling sedikit T2 dan T3 masing-masing 7 subjek (21,21%). Pembesaran kelenjar getah bening terbanyak adalah N3 yaitu 14 subjek (42,43%), paling sedikit N0 yaitu 1 subjek (3,03%). Stadium terbanyak dijumpai adalah stadium 4 yaitu sebanyak 22 subjek (66,67%) dan tidak dijumpai pasien dengan stadium 1.

Tabel 4.2 Distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) berdasarkan ekspresi TNF-α.

Ekspresi TNF-α

Positif % Negatif %

Ukuran Tumor Primer

T1-T2 11 40,70 4 66,70

T3-T4 16 59,30 2 33,30

Total 27 100,00 6 100,00

Berdasarkan tabel 4.2 diatas, TNF-α positif ditemukan lebih banyak pada pada ukuran tumor T3 dan T4 yaitu sebanyak 16 subjek, pada T1 dan T2 sebanyak 11 subjek. Sedangkan TNF-α negatif terbanyak pada ukuran tumor T1 dan T2 yaitu 4 subjek, pada T3 dan T4 ditemukan 2 subjek. Uji Fisher’s exact menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ukuran tumor primer dengan TNF-α (p=0,242).


(54)

Tabel 4.3 Distribusi frekuensi pembesaran kelenjar getah bening leher (N) berdasarkan ekspresi TNF-α.

Ekspresi TNF-α

Positif % Negatif % Pembesaran KGB Leher

N0-N1 8 29,60 2 33,30

N2-N3 19 70,40 4 66,70

Total 27 100,00 6 100,00

Berdasarkan tabel diatas, TNF-α positif paling banyak ditemukan pada ukuran pembesaran kelenjar getah bening N2-N3 yaitu sebanyak 19 subjek, TNF-α positif paling sedikit pada N0-N1 yaitu 8 subjek. Sedangkan TNF-α negatif terbanyak ditemukan pada N2-N3 yaitu 4 subjek serta paling sedikit pada N0-N1 yaitu 2 subjek. Setelah dilakukan uji Fisher’s exact, tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara pembesaran kelenjar getah bening leher dengan ekspresi TNF-α (p=0,605).

Tabel 4.4 Distribusi frekuensi stadium klinis berdasarkan ekspresi TNF-α.

Ekspresi TNF-α

Positif % Negatif % Stadium

I-II 2 7,40 2 33,30

III-IV 25 92,60 4 66,70

Total 27 100,00 6 100,00

Berdasarkan tabel 4.4, ekspresi TNF-α positif ditemukan terutama pada stadium III dan IV yaitu sebanyak 25 subjek dan TNF-α positif pada stadium I dan II hanya 2 subjek. TNF-α negatif terbanyak ditemukan pada stadium III dan IV yaitu 4 subjek, sedangkan pada stadium I dan II hanya 2 subjek. Uji Fisher’s exact menyatakan tidak ada hubungan yang bermakna antara stadium klinis dengan ekspresi TNF-α (p=0,142).

Uji Fisher’s exact p = 0,605


(55)

Tabel 4.5 Distribusi frekuensi ukuran tumor primer (T) berdasarkan MVD.

MVD

Tinggi % Rendah %

Ukuran Tumor Primer

T1-T2 7 38,9 8 53,3

T3-T4 11 61,1 7 46,7

Total 18 100,0 15 100,0

Berdasarkan tabel diatas, MVD yang tinggi paling banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3 dan T4 yaitu 11 subjek, sedangkan pada T1 dan T2 ditemukan pada 7 subjek. MVD rendah pada ukuran tumor primer T3 dan T4 ditemukan pada 7 subjek, sedangkan pada ukuran T1 dan T2 ditemukan pada 8 subjek. Uji Fisher’s exact pada tabel diatas menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara ukuran tumor primer dengan MVD (p=0,316).

Tabel 4.6 Distribusi frekuensi ukuran pembesaran kelenjar getah bening (N) berdasarkan MVD.

MVD

Tinggi % Rendah %

Pembesaran KGB leher

N0-N1 5 27,8 5 33,3

N2-N3 13 72,2 10 66,7

Total 18 100,0 15 100,0

MVD yang tinggi paling banyak ditemukan pada pembesaran kelenjar getah bening N2-N3 yaitu sebanyak 13 subjek, sedangkan N0-N1 hanya ditemukan pada 5 subjek. MVD rendah pada pembesaran kelenjar getah bening N2-N3 ditemukan pada 10 subjek. MVD rendah pada N0-N1 ditemukan pada 5 subjek. Setelah dilakukan uji Fisher’s exact, tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara pembesaran kelenjar getah bening leher dengan MVD (p=0,512).

Uji Fisher’s exact p = 0,316


(56)

Tabel 4.7 Distribusi frekuensi stadium klinis berdasarkan MVD

MVD

Tinggi % Rendah %

Stadium

I-II 2 11,1 2 13,3

III-IV 16 88,9 13 86,7

Total 18 100,0 15 100,0

Uji Fisher’s exact p = 0,626

MVD yang tinggi paling banyak ditemukan pada stadium III dan IV yaitu sebanyak 16 subjek, sedangkan pada stadium I dan II ditemukan pada 2 subjek. MVD rendah pada stadium III dan IV ditemukan pada 13 subjek dan pada stadium I dan II hanyak 2 subjek. Uji fisher’s exact menunjukkan tidak ada hubungan antara stadium klinis dengan MVD (p=0,626).

Diagram 4.1 Korelasi Ekspresi TNF-α dengan MVD

Diagram 4.1 menunjukkan tidak adanya korelasi positif antara TNF-α dengan MVD dengan koefisien korelasi r=1,000, dengan p=0,630.


(57)

BAB 5 PEMBAHASAN

Subjek pada penelitian ini berkisar antara usia 16-71 tahun dengan rerata 47,58 tahun. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia 41-60 yaitu sebanyak 19 subjek (57,58 %) yang terlihat pada tabel 4.1 Meskipun tidak sama persis namun sejalan dengan peneliti-peneliti lainnya yang mendapatkan kelompok umur 41-60 tahun merupakan proporsi tertinggi pada populasi dengan kisaran 25-50% (Pua et al. 2008; Liu et al. 2010; Puspitasari 2011).

Hal ini disebabkan karena sistem mekanisme perbaikan DNA yang mengalami mutasi (DNA repair) sudah kurang berfungsi dengan baik dan penurunan daya tahan tubuh pada usia lebih dari 40 tahun. Mekanisme perbaikan DNA dibutuhkan guna memperbaiki rangkaian asam amino pada kode genetik DNA yang mengalami mutasi. Jika mekanisme perbaikan DNA ini mengalami kegagalan dalam menjalankan fungsinya maka mutasi gen DNA yang sudah terjadi akan menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali (Soehartono et al. 2007).

Pada penelitian ini perbandingan subjek dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2,3:1 (Tabel 4.1). Beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan baik di Medan maupun negara lain juga menunjukkan penderita KNF laki-laki lebih banyak daripada perempuan dengan rata-rata perbandingan 2-3:1 (Chang & Adami 2006; Harahap 2009; Puspitasari 2011; Turkoz et al. 2011).

Penderita KNF lebih banyak dijumpai pada laki-laki dibandingkan perempuan dilaporkan pada hampir semua penelitian, hal ini diduga ada hubungannya dengan kebiasaan hidup serta pekerjaan yang menyebabkan laki-laki sering terpapar dengan karsinogen penyebab KNF. Paparan uap, asap debu dan gas kimia di tempat kerja meningkatkan risiko KNF 2-6 kali, sementara paparan formaldehid meningkatkan risiko 2-4 kali (Chang & Adami 2006). Terjadi peningkatan angka insidensi dan


(58)

kematian akibat KNF pada pekerja tambang, pandai besi, pembuat roti, para petani dan penebang kayu (Turkoz et al. 2011).

Tipe histopatologi terbanyak yang ditemukan pada penelitian ini adalah tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, yaitu sebanyak 18 subjek (54,55%) (tabel 4.1).

Wei et al. (2011) mengutip laporan Cao et al. (2006) yang menyatakan bahwa 97,6% dari 1.142 kasus KNF di Guangdong merupakan tipe non keratinizing squamous cell carcinoma, 1,7% tipe undifferentiated carcinoma dan 0,5% merupakan tipe keratinizing squamous cell carcinoma.

Hasil yang berbeda didapatkan oleh Alabi et al. (2010) di Nigeria yang menemukan tipe terbanyak adalah undifferentiated carcinoma sebesar 70%, tipe keratinizing squamous cell carcinoma sebesar 20% dan tipe

non-keratinizing squamous cell carcinoma sebesar 10 %.

Karsinoma nasofaring tipe non keratinizing squamous cell carcinoma

dan undifferentiated carcinoma paling banyak dijumpai di daerah endemik KNF, seperti di Cina Selatan, Asia Tenggara dan Afrika Utara. Sementara KNF tipe 1 lebih sering dijumpai di Eropa dengan prognosis yang lebih buruk (Licitra et al. 2003; Guigay et al. 2006).

Pada penelitian ini, ukuran tumor primer terbanyak yang ditemukan adalah ukuran T4. Pembesaran kelenjar getah bening terbanyak dijumpai adalah N3 dan stadium terbanyak dijumpai adalah stadium 4.

Pada stadium dini KNF memiliki gejala yang tidak khas dan mirip dengan infeksi saluran nafas atas bahkan sering secara klinis tidak menimbulkan gejala sampai tumor menyerang struktur yang berdekatan baru menghasilkan gejala sehingga kurang mendapat perhatian dari penderita maupun dokter pemeriksa. Penegakkan diagnosis dari KNF sulit karena lokasi anatomisnya dimana letak tumor yang tersembunyi di nasofaring sehingga sulit diperiksa. Bahkan pembesaran getah bening di leher juga tidak menimbulkan nyeri sehingga pasien sering kali mengabaikan pembesaran ini. Selain itu peralatan yang kurang memadai,


(59)

pengetahuan yang kurang dan kondisi sosial ekonomi yang rendah dari penderita seringkali menjadi kendala dalam menegakkan diagnosis penyakit ini. Oleh karena itu gejala dini dari KNF sering terlewatkan dan pasien terdiagnosis setelah ukuran tumor dan pembesaran kelenjar getah bening telah berukuran besar serta mencapai stadium yang lanjut.

Berdasarkan tabel 4.2 ekspresi TNF-α positif paling banyak ditemukan pada karsinoma nasofaring dengan ukuran tumor primer T3-T4 yaitu sebanyak 16 jaringan karsinoma nasofaring (59,30%) dibandingkan dengan dengan ukuran tumor primer T1-T2 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (40,70%).

Pada penelitian ini dapat terlihat bahwa distribusi ekspresi TNF-α positif semakin meningkat sejalan dengan membesarnya ukuran tumor dimana lebih banyak ekspresi TNF-α positif yang ditemukan pada ukuran T3-T4 dibandingkan dengan T1-T2. Setelah dilakukan Fisher’s exact test, ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,242) antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer karsinoma nasofaring.

Cui et al. (2008) melalui penelitian untuk melihat ekspresi TNF-α pada karsinoma payudara juga mendapatkan bahwa ekspresi TNF-α positif banyak ditemukan pada ukuran tumor 20-50 mm dibandingkan dengan ukuran <20 mm, serta tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α positif dengan ukuran tumor primer (p=0,269). Garcia-Tunon et al. (2006) menemukan hal yang sama pada karsinoma payudara yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran tumor primer (p=0,944) sedangkan ekspresi TNF-α positif justru didapatkan lebih banyak pada ukuran tumor T1-T2.

Feng et al. (2011) melalui penelitian pada tumor kandung kemih menemukan hal yang berbeda yaitu ekspresi TNF-α memiliki hubungan yang bermakna dengan ukuran tumor (p=0,018) dimana ekspresi TNF-α paling banyak ditemukan pada ukuran tumor yang besar (≥ 3cm).


(60)

bermakna antara konsentrasi serum TNF-α dengan ukuran tumor primer pada karsinoma payudara.

TNF-α dapat meningkatkan proliferasi sel tumor, dimana TNF-α bertindak sebagai mutagen yang menyebabkan proliferasi dan kelangsungan hidup dari sel tumor tanpa memicu diferensiasi sel. TNF-α tidak hanya bertindak sebagai autokrin growth factor namun juga dapat memicu ekspresi growth factors yang lain seperti amphiregulin, EGFR, dan TGF-α sehingga dapat meningkatkan proliferasi sel tumor (Wu & Zhou 2010).

Perdebatan peran ganda TNF-α sebagai “necrosis factor” dan “promoting factor” dapat dijelaskan melalui tingkatan kadar TNF-α pada berbagai keadaan dan situasi. Ketika TNF-α diberikan dengan dosis sangat tinggi maka akan bertindak sebagai antiangiogenik dan faktor nekrosis, namun jika TNF-α di produksi oleh tumor dan tumor-associated macrophages atau sel stroma pada kadar fisiologis maka akan bertindak sebagai promotor dalam pertumbuhan tumor, rekruitmen makrofag baru serta menstimulasi faktor angiogenik dan growth factors. (Dobrycka et al. 2009).

Bagaimana peran TNF-α sebagai regulator dalam anti-tumoregenik maupun pro-tumoregenik belum begitu jelas, mungkin keadaan ini terkait dengan organ yang terkena, keadaan dalam sel dan zat karsinogen (Wang & Lin 2008).

Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna antara TNF-α dengan ukuran tumor pada penelitian ini.

Pada penelitian ini dilakukan pengelompokkan ukuran kelenjar getah bening menjadi kelompok N0-N1 dan N2-N3, ditemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak dijumpai pada kelompok ukuran kelenjar getah bening N2-3 yaitu sebanyak 19 jaringan karsinoma nasofaring (70,40%), dibandingkan dengan N0-N1 sebanyak 8 jaringan karsinoma nasofaring (29,60%).


(61)

Hasil Fisher’s exact test (tabel 4.3) antara ekspresi TNF-α dengan kelompok ukuran kelenjar getah bening menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran kelenjar getah bening karsinoma nasofaring (p=0,605).

Garcia-Tunon et al. (2006) melalui penelitian terhadap karsinoma payudara juga menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan ukuran kelenjar getah bening (p=0,357).

Nikiteas et al. (2005) juga menemukan tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan penyebaran kelenjar getah bening (p>0,05) pada karsinoma kolorektal.

Akan tetapi Feng et al. (2011) melalui penelitian pada tumor kandung kemih menemukan hal yang berbeda yaitu adanya hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan penyebaran kelenjar getah bening (p=0,016). Demikian juga dengan Leek et al. (1998) menemukan hal yang sama pada karsinoma payudara.

TNF-α merupakan sitokin pro-inflammatory yang poten dan dapat merangsang sel tumor untuk menginduksi molekul-molekul yang terlibat dalam metastase. MMP 2 dan 9 sebagai enzim degradasi membran basal dari sel dapat di induksi oleh TNF-α sehingga sel kanker dapat bermigrasi. Motilitas dari beberapa sel kanker juga dipengaruhi oleh TNF-α (Waterston & Bower 2004).

TNF-α dapat meningkatkan aktivitas invasif pada beberapa jenis karsinoma (Aggarwal et al. 2006). Hal ini dapat terjadi dengan cara menginduksi MMP 2, -3, -9 dan -12 atau melalui α2β1 integrin (Wang & Lin 2008).

Hal ini mungkin yang menyebabkan ekspresi TNF-α lebih banyak ditemukan pada ukuran kelenjar getah bening N2-N3 walaupun tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna secara statistik.

Dari tabel 4.4, dijumpai ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV yaitu sebanyak 25 jaringan karsinoma nasofaring (92,60%), sedangkan stadium I-II hanya 2 jaringan karsinoma


(62)

nasofaring (7,40%). Hasil Fisher’s exact test menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan stadium klinis karsinoma nasofaring (p=0,142).

Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh Dobrzycka et al. (2009) pada karsinoma ovarium yang juga menemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV namun tidak ada hubungan yang bermakna antara ekspresi TNF-α dengan stadium klinis (p>0,05).

Tesarova et al. (2000) pada penelitian terhadap karsinoma payudara juga menemukan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV namun tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p>0,05).

Hewala et al. (2010) pada penelitian terhadap karsinoma payudara menemukan hal yang berbeda yaitu adanya hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p=0,030).

Dobrzycka et al. (2009) melakukan penelitian untuk melihat kadar serum TNF-α di dalam plasma dari pasien yang menderita karsinoma ovarium mendapatkan adanya hubungan yang bermakna antara kadar serum TNF-α dengan stadium klinis (p<0,001) dengan ekspresi TNF-α positif paling banyak pada stadium lanjut yaitu stadium III-IV.

TNF-α dapat bertindak sebagai growth factor pada beberapa jenis tumor, menginduksi kemo-resisten dan menyebabkan kerusakan DNA serta menghambat perbaikan DNA dengan cara meningkatkan aktivitas dari nitric oxide (NO). TNF-α juga dapat memicu angiogenesis dengan cara menjadi mediator beberapa faktor pro-angiogenik seperti VEGF, VEGFR2, bFGF, IL-8, platelet-activating factor, NO, ICAM-1, E-selectin

dan thymidine phosphorylase. Tumor remodeling akibat aktivitas fibroblas dan makrofag, motilitas sel tumor, invasi tumor melalui induksi matrix metalloproteinases (MMPs), juga dipengaruhi oleh TNF-α. Sehingga TNF-α diduga mempengaruhi pertumbuhan tumor, invasi serta metastase


(63)

dimana hal tersebut mempengaruhi stadium dari tumor (Szlosarek, Charles & Balkwill 2006).

Pada penelitian ini perbandingan jumlah penderita KNF masing-masing stadium tidak seimbang karena lebih banyak penderita KNF yang sudah stadium lanjut datang berobat dibandingkan stadium dini. Hal ini mungkin menyebabkan tidak ditemukannya hubungan yang bermakna pada stadium klinis berdasarkan ekspresi TNF-α pada penelitian ini.

Pada penelitian ini, MVD tinggi banyak ditemukan pada ukuran tumor primer T3-T4 yaitu sebanyak 11 jaringan karsinoma nasofaring (61,10%) dibandingkan dengan T1-T2 sebanyak 7 jaringan karsinoma nasofaring (38,90%). Setelah dilakukan uji statistik (Fisher’s exact test), tidak ditemukan adanya hubungan yang bermakna pada frekuensi ukuran tumor primer (T) berdasarkan MVD (p=0,316) (tabel 4.5). Sesuai dengan Chebib et al. (2007) melalui penelitian terhadap karsinoma hepatoseluler menyatakan bahwa microvessel density tidak berhubungan dengan ukuran tumor (p=0,276) dengan MVD tinggi paling banyak ditemukan pada ukuran tumor ≥ 5 cm.

Vermeulen et al. (1999) melalui penelitian karsinoma kolorektal dan Tae et al. (2000) melalui penelitian karsinoma kepala dan leher juga menemukan hal yang sama yaitu tidak ada hubungan yang bermakna antara microvessel density dengan ukuran tumor (p>0,05).

Hasil yang berbeda di dapat oleh Choi et al. (2005) yang menyatakan menyatakan ada hubungan yang bermakna antara ukuran tumor primer karsinoma payudara dengan MVD (p=0,0001), begitu juga Poon et al. (2002), pada penelitian karsinoma hepatoseluler (p<0,001).

Pertumbuhan tumor dan metastase bergantung kepada angiogenesis dan limfangiogenesis pada fase pertumbuhan cepat dari tumor. Pada penelitian terdahulu oleh Muthukaruppan dan rekan (1982) menemukan bahwa sel kanker yang berada di daerah tanpa sirkulasi darah dapat tumbuh sampai ukuran diameter 1-2 mm3, kemudian berhenti tumbuh. Namun sel kanker dapat tumbuh hingga lebih besar dari 2 mm3 apabila


(1)

LAMPIRAN 8

GAMBAR PEMERIKSAAN TNF-α DAN MICROVESSEL DENSITY DENGAN IMMUNOHISTOKIMIA

Gambar 1. Pewarnaan dengan CD 31 yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada jaringan KNF dengan Microvessel density tinggi

(Pembesaran x40)

Gambar 2. Pewarnaan dengan CD 31 yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada jaringan KNF dengan Microvessel density tinggi


(2)

Gambar 3. Pewarnaan dengan CD 31 yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada jaringan KNF dengan Microvessel density

rendah (Pembesaran x40)

Gambar 4. Pewarnaan dengan CD 31 yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada jaringan KNF dengan Microvessel density

rendah (Pembesaran x200)

Gambar 5. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +3 (pewarnaan positif >50%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada


(3)

Gambar 6. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +3 (pewarnaan positif >50%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada

jaringan KNF dengan pembesaran x400

Gambar 7. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +2 (pewarnaan positif 10-50%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada

jaringan KNF dengan pembesaran x100

Gambar 8. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +2 (pewarnaan positif 10-50%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada


(4)

Gambar 9. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +1 (pewarnaan positif <10%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada

jaringan KNF dengan pembesaran x100

Gambar 10. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor +1 (pewarnaan positif <10%) yang terekspresi dengan warna coklat (tanda panah) pada

jaringan KNF dengan pembesaran x400

Gambar 11. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor 0 (negatif) pada jaringan KNF dengan pembesaran x100


(5)

Gambar 12. Pewarnaan immunohistokimia TNF-αskor 0 (negatif)pada jaringan KNF dengan pembesaran x400


(6)