yaitu para pihak yang terlibat secara langsung dalam objek yang diteliti. Berikut daftar yang diwawancarai secara langsung, yaitu :
a. 10 orang pemilik usaha ataupun manager operasional tempat hiburan karoke
sebagai responden b.
1 orang Pejabat dari Yayasan Karya Cipta Indonesia YKCI sebagai nara sumber
7. Analisis Data
Semua data yang diperoleh dari bahan pustaka serta data yang diperoleh dilapangan dianalisa secara kualitatif. Metode analisa yang dipakai adalah metode
deduktif
45
dan induktif
46
Melalui metode deduktif, data sekunder yang telah diuraikan dalam tinjauan pustaka secara komparatif akan dijadikan pedoman dan dilihat pelaksanaannya dalam
prakyek di lapangan. Dengan metode induktif, data primer yang diperoleh dilapangan setelah dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang perkaitan dengan
perlindungan Hak untuk mengumumkan Publication Right maka akan diketahui efektifitas Undang-undang Republik Indonesia nomor 19 tahun 2002 tentang Hak
Cipta dalam rangka perlindungan Hak untuk Mengumumkan Publication Right.
45
Sutandyo Wigjosoebroto, Apakah Sesungguhnya Penelitian Itu, Kertas Kerja, Universitas Erlangga, Surabaya, Hal . 2. Prosedur Dedukrif yaitu bertolak dari suatu proposisi umum yang
kebenarannya telah diketahu dan diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan yang bersifat lebih khusus.
46
Bambang Sunggono, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakrta 1997, Hal.10. Prosedur Induktif yaitu proses berasal dari proporsi-proporsi khusus sebagai hasil pengamatan
dan berakhir pada suatu kesimpulan .
Universitas Sumatera Utara
BAB II PROSEDUR DAN TATA CARA MEMPEROLEH HAK UNTUK
MEMPERTUNJUKKAN LAGU ATAU KARYA REKAMAN SUARA YANG TERDAFTAR HAK CIPTANYA
A.
Hak Cipta 1.
Sejarah Perkembangan Pengaturan Hak Cipta
Perlindungan hak cipta secara domestik saja tidaklah cukup dan kurang membawa arti atau manfaat bagi menumbuhkan kreativitas para pencipta. Kreativitas
dan aktivitas para pencipta dalam rangka memacu pertumbuhan untuk mendorong karya cipta tentu sangat berarti jika perlindungan itu di jamin di setiap saat dan
tempat, sehingga kepastian hukum yang diharapkan itu benar-benar mereka peroleh. Konvensi Internasional adalah perjanjian internasional. Mochtar
memberikan definisi bahwa, “Perjanjian Internasional itu adalah suatu perjanjian yang diadakan antar anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu.
47
Suatu hal yang penting adalah bahwa suatu perjanjian internasional tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak ke tiga tanpa persetujuan pihak ke tiga.
Untuk keadaan seperti ini dalam teori mengenai perjanjian internasional disebutkan sebagai “treaty contract”, yaitu menimbulkan hukum bagi para peserta, sedangkan
yang berikutnya adalah “law making treaty” yaitu secara langsung menimbulkan
47
Moctar Kusumaatmaja, PEngantar Hukum Internasioanl , Jakarta, Binacipta, 1978.hal.111
Universitas Sumatera Utara
kaedah-kaedah bagi semua masyarakat Internasional dan tidak hanya bagi pihak- pihak peserta.
48
Selanjutnya mengenai prosedur ratifikasi tergantung pula konstitusi masing- masing negara. Untuk Indonesia, hal ini diatur dalam pasal 11 Undang-Undang Dasar
1945 yang berbunyi : “Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang dan membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”. Dari ketentuan ini untuk
Indonesia dapat di lihat bahwa prosedur ratifikasi itu dilakukan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Maka dengan pemberian ratifikasi tersebut
berarti suatu negara yang bersangkutan telah menyatakan persetujuannya untuk mengikatkan dirinya pasa suatu perjanjian. Sebaliknya apabila ratifikasi itu di tolak
maka perjanjian itu hapus sama sekali, walaupun tadinya telah ditandatangani oleh wakil-wakil negara yang bersangkutan.
49
Di atas telah disebutkan bahwa dengan perjanjian itu dimaksudkan menimbulkan akibat hukum tertentu. Secara yuridis perjanjian internasional itu akan
menerbitkan hak-hak dan kewajiban bagi negara peserta. Maka apabila persetujuan telah tercapai timbullah hak-hak dan kewajiban
bagi para negara peserta yang telah mengikatkan dirinya. Hak yang ada pada kita menimbulkan pula kewajiban kepada orang lain untuk menghormatinya, demikian
pula sebaliknya.
48
Ibid.hal.115
49
Ok.SAidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual Intellectual Property Rights, Raja Grafindo, Jakarta, hal.204.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan diadakannya perjanjian internasional adalah untuk melindungi atau memberikan kepastian hak atas suatu hak
yang ditimbulakan dari suatu perjanjian tersebut kepada setiap peserta negara anggota. Kesimpulan tersebut jika dikaitkan dengan Konvensi Internasional tentang
hak cipta secara internasional. Maka sejalan dengan pemikiran di atas, pendirian yang mengatakan bahwa
perjanjian internasional hanya berlaku dalam wilayah suatu negara yang menjadi peserta setelah diundangkannya undang-undang pelaksanaan yang lazim di negara
yang terikat dalam konvensi ini akan menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negaranya sendiri. Pada akhirnya individulah yang menjadi
tujuan perlindungan diadakannya konvensi internasional tentang hak cipta ini. Oleh karena itu perlindungan hak cipta secara internasional adalah suatu
keharusan. Untuk perlindungan hak cipta secara internasional saat ini ada beberapa konvensi internasional antara lain :
a. Persetujuan TRIPs
Persetujuan TRIPs Trade Related Aspects Of Intellectual Property Rights : Aspek-aspek Perdagangan yang bertalian dengan Hak Milik Intelektual,
merupakan salah satu issue dari 15 issue dalam Persetujuan GAAT Putaran Uruguay yang mengatur masalah hak milik intelektual secara global.
Universitas Sumatera Utara
Keikutsertaan Indonesia dalam Persetujuan ini sejak tahun 1989. Didalam persetujuan ini terdapat beberapa aturan baru di bidang Hak Milik Intelektual
dengan standar pengaturan dan perlindungan yang lebih dari memadai dibandingkan dengan pengaturan perundang-undangan nasional, dengan disertai
pula sanksi keras berupa pembalasan cross retaliation di bidang ekonomi yang ditujukan kepada suatu negara anggota yang tidak memenuhi ketentuannya.
Hadirnya persetujuan TRIPs ini, yang secara tidak langsung juga mengharuskan para anggotanya untuk menyesuikan peraturan perundang-
undangan dengan berbagai konvensi internasional di bidang Hak Milik Intelektual, mau tidak mau akan memaksa Indonesia untuk melakukan
penyesuaian-penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangannya. TRIPs memiliki ketentuan-ketentuan dan prinsip-prinsip dasar bagi para
anggotanya dalam melaksanakan aturannya. Ketentuan-ketentuan dan prinsip- prinsip dasar ini tertuang dalam Bab I pasal 1-8. Ketentuan dan prinsip-prinsip
dasar tersebut antara lain.
50
1. Ketentuan Free to Determine, yaitu ketentuan yang memberikan kebebasan
kepada anggotanya untuk menentukan cara-cara yang dianggap sesuai untuk menerapkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam TRIPs ke dalam
sistem dan praktek hukum mereka.
50
Ibid,hal.207-209
Universitas Sumatera Utara
2. Ketentuan Intellektual Property Convention, yaitu ketentuan yang
mengharuskan para anggotanya menyesuaikan aturan perundang-undangan dengan berbagai konvensi internasional di bidang Hak Milik intelektual.
3. Ketentuan National Treatment, yaitu ketentuan yang mengharuskan para
anggotanya memberikan perlindungan Hak Milik Intelektual yang sama antara warga negaranya sendiri dengan warga negara anggota lainnya.
4. Ketentuan Most Favoured Nation Treatment, yaitu ketentuan yang
mengharuskan para anggotanya memeberikan perlindungan Hak Milik Intelektual yang sama terhadap seluruh anggotanya.
5. Ketentuan Exhaution, yaitu ketentuan yang mengharuskan para anggotanya,
dalam menyelesaikan sengketa, untuk tidak menggunakan suatu ketentuan pun di dalam Persetujuan TRIPs sebagai alasan tidak optimalnya pengaturan
Hak Milik Intelektual di dalam negeri mereka. Adapun TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum Hak
Milik Intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, peralihan, serta penyebaran, teknologi, diperolehnya manfaat bersama pembuat dan pemakai pengetahuan
teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta keseimbangan antara hak dan kewajiban pasal 7 TRIPs. Untuk itu perlu
dikurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan internasional, dengan mengingat kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan
Universitas Sumatera Utara
memadai terhadap Hak Milik Intelektual tidak kemudian menjadi penghalang bagi perdagangan yang sah.
Ada beberapa hal penting di dalam Persetujuan TRIPs ini yang menyangkut bidang Hak Cipta bila dikaitkan dengan Undang-Undang hak cipta
nasional yaitu:
51
a. Di dalam persetujuan ini perlindungan hak cipta atas program komputer
lamanya harus tidak dikurangi dari lima puluh tahun pasal 2 TRIPs, sementara dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional juga telah disesuaikan
menjadi lima puluh tahun pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997.
b. Di dalam persetujuan ini dikenal adanya Hak penyewaan Rental Rights bagi
pemegang hak cipta karya film video dan program komputer pasal 11 TRIPs, yaitu hak yang diberikan kepada pencipta atas kegiatan penyewaan
yang bersifat komersial. Pengaturan ini sudah ada dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional.
c. Dalam Persetujuan ini terdapat pengaturan yang tegas terhadap pelaku
pertunjukkan, prosedur rekaman musik dan badan penyiaran, hal mana dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional yang baru sudah di atur secara tegas.
b. Berne Convention
Konvensi Bern yang mengatur tentang perlindungan karya-karya literer karya tulis dan artistik, ditandatangani di Bern pada tanggal 9 September 1986, dan
telah berulang kali mengalami revisi serta penyempurnaan. Yang menjadi obyek perlindungan hak cipta dalam konvensi ini adalah karya-karya sastra dan seni yang
meliputi segala hasil bidang sastra, ilmiah dan kesenian dalam cara atau bentuk pengutaraan apapun, demikian yang dapat ditangkap dari rumusan pasal 2 Konvensi
51
Ibid, hal.211-212
Universitas Sumatera Utara
Bern. Di samping karya asli dari Pencipta pertama, dilindungi juga karya-karya turunan salinan seperti terjemahan, saduran, aransemen musi, karya fotografis.
Salah satu hal yang paling penting dalam Konvensi Bern adalah menegani perlindungan yang diberikan terhadap para pencipta atau pemegang hak. Pasal 5
setelah direvisi di Paris tahun 1971 adalah merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini para pencipta akan menikmati perlindungan yang sama seperti
diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini.
52
Konvensi Bern telah mengalami beberapa revisi. Revisi yang penting artinya terutama bagi negara-negara dunia ketiga adalah revisi di Stockholm tanggal 14 Juli
1967 yang memuat suplemen perjanjian utama yang memperhatikan kepentingan negara-negara berkembang Developing Countries. Dalam Pasal 21 naskah Konvensi
Bern hasil protokol Stockholm ditentukan : “Ketentuan-ketentuan khusus yang berkenaan dengan negara-negara berkembang dimasukkan dalam appendix tersendiri
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konvensi ini”.
53
Berdasarkan protokol Stockholm tersebut, maka negara-negara berkembang memperoleh pengecualian mengenai perlindungan yang diberikan oleh Konvensi
Bern. Pengecualian tersebut hanya berlaku bagi negara-negara yang meratifikasi protokol perjanjian utama Konvensi Bern. Negara yang ingin melakukan
52
Ibid,hal.217
53
Abdul Kadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2110, hal.26
Universitas Sumatera Utara
pengecualian semacam itu dapat melakukannya demi kepentingan ekonomi, sosial atau budayanya. Pengecualian tersebut dapat dilakukan terhadap
54
1. Hak terjemahan;
2. Jangka waktu perlindungan;
3. Hak mengutip artikel-artikel berita pers;
4. Hak melakukan siaran radio;
5. Perlindungan karya sastra dan seni semata-mata untuk pendidikan, ilmu
atau sekolah. Protokol Stockholm juga memuat kemungkinan memperoleh lisensi izin
secara paksa untuk menerjemahkan karya cipta luar negeri. Di samping itu, memuat juga ketentuan pembatasan jangka waktu perlindungan hak cipta. Ketentuan 50 lima
puluh tahun dalam Konvensi Bern, melalui protokol Stockholm untuk negara berkembang dikurangi menjadi 25 dua puluh lima tahun setelah meninggalnya
pencipta.
55
c. Universal Copyright Convention
Universal Copyright Convention ditandatangani di Jenewa pada tanggal 6 September 1992 dan baru berlaku pada tanggal 16 September 1955. Setelah perang
dunia II muncul gagasan yang ingin menyatukan sistem hukum Hak Cipta yang universal. Gagasan tersebut timbul dari peserta Konvensi Bern dan Amerika Serikat
peserta dari Konvensi Pan Amerika.
56
54
Ibid,hal.36
55
Ibid
56
Ibid,hal 37
Universitas Sumatera Utara
Konvesi ini mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris. Konvensi ini terdiri dari 21 pasal dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai
perlindungan karya dari orang-orang pelarian
57
. Ini dapat dimengerti bahwa secara Internasional hak cipta terhadap orang-orang yang tidak mempunyai
kewarganegaraan atau orang-orang pelarian, perlu dilindungi. Dengan demikian salah satu dari tujuan perlindungan hak cipta itu dapat tercapai, yaitu untuk mendorong
aktivitas dan kreativitas para pencipta tidak terkecuali terhadap orang-orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan atau pelarian. Dengan dilindungi hak ciptanya
mereka mendapatkan kepastian hukum. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya daripada
organisasi-organisasi Internasional tertentu. Hal ini erat kaitannya dengan keinginan PBB untuk dapat hidup bersama secara harmonis. Dan inilah yang menjadi dasar
diciptakannya konvensi ini yang merupakan usaha dari UNESCO, oleh karenanya dalam protokol ini di atur pula secara khusus tentang perlindungan karya-karya dari
badan organisasi internasional.
58
Protokol III berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini dengan cara bersyarat.
Apabila diperbandingkan antara Konvensi Bern dan Konvensi Jenewa, maka di situ terdapat perbedaan mengenai dasar falsafah yang di anut Konvensi Bern
57
O.K. Saidin, opcit,hal.219
58
Ibid, hal.219
Universitas Sumatera Utara
menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap Hak Cipta sebagai hak alamiah pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang menimbulkan hak
monopoli. Sedangkan Konvensi Jenewa di samping kepentingan individu juga memperhatikan kepentingan umum. Konvensi Jenewa mencoba untuk
mempertemukan antara falsafah Eropa dan falsafah Amerika yang memandang hak monopoli yang diberikan kepada Pencipta diupayakan pula agar memerhatikan
kepentingan umum.
59
Sehingga Konvensi Jenewa atau yang biasa di sebut Universal Copyright Convention menganggap bahwa hak cipta ini ditimbulkan oleh karena adanya
ketentuan yang memberikan hak cipta itu kepada pencipta. Sehingga ruang lingkup dan pengertian hak mengenai hak cipta itu dapat ditentukan oleh peraturan yang
melahirkan hak tersebut. Di Indonesia, pengaturan Hak Atas Kekayaan Intelektual HAKI khususnya
Hak Cipta sudah lama dikenal dan dimiliki sebagai hukum positif semenjak zaman Hindia Belanda dengan berlakunya Auterswet 1912. Saat sekarang Indonesia telah
memiliki Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 dan kemudian diubah
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang selanjutnya dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Perubahan
terakhir kali ini telah memuat beberapa penyesuaianpasal yang sesuai dengan TRIPs,
59
Abdul Kadir Muhammad, Op.cit,hal 38
Universitas Sumatera Utara
tetapi masih terdapat beberapa hal yang perlu disempurnakan untuk memberikan perlindungan bagi karya-karya intelektual dibidang Hak Cipta.
2. Pengertian Hak Cipta