BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dewasa ini makin banyak organisasi menghadapi suatu lingkungan yang dinamis dan berubah yang selanjutnya menuntut agar organisasi itu menyesuaikan
diri Sunarto, 2004. Hal ini disebabkan karena dunia kerja sekarang telah memasuki era globalisasi.
Era globalisasi yang mengarah kepada persaingan pasar ini akan menunjukkan bahwa hanya perusahaan yang memiliki keunggulan inovasi,
sumber daya manusia, teknologi, kualitas pelayanan dan pemasaran yang akan siap memenangkan persaingan pasar. Hal ini juga sejalan dengan pendapat
Sunarto dalam bukunya berjudul Perilaku Organisasi yaitu jika suatu organisasi harus tetap hidup, organisasi itu harus menanggapi atau menyesuaikan diri
terhadap perubahan dalam lingkungan Sunarto, 2004. Agar suatu perusahaan di Indonesia dapat terus exist dalam membawa
nama Indonesia ke kancah persaingan global, maka perusahaan tersebut harus dapat terus bertahan dalam mengahadapi segala tantangan yang ada dalam
persaingan global tersebut. Salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah bagaimana organisasi secara responsif menanggapi perubahan eksternal yang
terjadi yang semestinya juga diikuti oleh perubahan internal agar organisasi dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan menghasilkan organisasi yang memiliki
performa kerja yang tinggi untuk mencapai keberhasilan organisasi. Ada banyak cara untuk dapat bertahan dalam menghadapi era globalisasi
yang sarat dengan persaingan bebas ini, dan salah satunya adalah dengan
Universitas Sumatera Utara
memperhatikan dan me-manajemen faktor yang sangat vital dalam suatu perusahaan yakni faktor sumber daya manusianya.
Sumber daya manusia yang ada dalam suatu organisasi memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi. Adanya keanekaragaman yang cukup tinggi
tersebut berarti kemampuan sebagai agen perubahan. Agen perubahan inilah yang bertanggung jawab untuk mengelola kegiatan perubahan yang terjadi Sunarto,
2004. Usaha perubahan ini akan tercapai apabila semua karyawan masing-
masing menampilkan kemampuan individualnya semaksimal mungkin sebagai agen perubahan. Namun, dalam kondisinya, karyawan yang sebagai agen
perubahan juga akan menghadapi banyak tantangan dalam usaha perubahan ini. Tantangan yang dihapadi misalnya tantangan untuk dapat
mempertahankan posisinya di perusahaan. Seseorang bisa saja berpikir bahwa posisinya di perusahaan sudah aman, namun ia tidak akan dapat memperkirakan
tentang masa depannya. Saat ini, persaingan mencari pekerjaan amat sempit. Sudah makin banyak pencari kerja yang baru saja keluar dari sekolah yang
bersedia dibayar dengan upah rendah, tapi dengan tanggung jawab besar dan memiliki kualifikasi yang tinggi Kompas, 7 Mei 2010. Latar belakang
pendidikan yang tidak begitu tinggi serta sulitnya mencari pekerjaan sekarang ini akan memicu kecemasan para pekerja. Selain itu, persaingan global yang dalam
kanyataannya telah mengarah kepada adanya Pemutusan Hubungan Kerja PHK terhadap karyawan menjadi keadaan yang tidak menguntungkan yang
meyebabkan para pekerja semakin terjepit. Data menunjukkan bahwa pertanggal 27 Februari 2009, sudah terdapat 37.905 buruh yang di-PHK belum termasuk
Universitas Sumatera Utara
buruh yang dirumahkan dan hal ini dikhawatirkan akan terus meningkat Kompas, 6 Maret 2009. Seperti itulah beberapa kondisi yang mengancam para
karyawan sebagai agen perubahan. Ketidakberdayaan untuk mempertahankan kesinambungan yang diinginkan dalam situasi kerja yang mengancam ini lah oleh
Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ugboro dan Obeng, 2001 disebut dengan job insecurity.
Untuk dapat mengarahkan perilaku karyawan kepada hal yang positif, banyak cara yang dilakukan oleh perusahaan, dan salah satu caranya yaitu dalam
peningkatan mutu program kualitas kehidupan kerja perusahaan tersebut. Menurut Ronen 1981 kualitas kehidupan kerja dapat didefinisikan dengan beberapa
prinsip kualitas kehidupan bekerja yang penting dalam meningkatkan dan mengoptimalkan kesejahteran dan martabat karyawan, dan salah satu dari prinsip
tersebut adalah meliputi security yaitu bebas ketakutan dan kecemasan yang disebabkan faktor pekerjaan yang berkaitan dengan kesehatan, keamanan,
pendapatan dan masa depan tenaga kerja. Dalam hal ini, program kualitas kehidupan kerja yang diterapkan perusahaan diharapkan dapat mengurangi tingkat
job insecurity karyawan. Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ugboro dan Obeng, 2001 menjelaskan
bahwa perasaan job insecurity terjadi pada dua dimensi. Pertama adalah perasaan terancam pada total pekerjaan seseorang, misalnya seseorang mungkin
dipindahkan ke posisi yang lebih rendah dalam organisasi, dipindahkan ke pekerjaan lain dengan level yang sama dalam organisasi atau diberhentikan
sementara. Pada sisi lain, kehilangan pekerjaan mungkin dapat terjadi secara permanen atau seseorang mungkin dipecat atau dipaksa pensiun terlalu awal.
Universitas Sumatera Utara
Kedua adalah perasaan terancam terhadap tampilan kerja. Misalnya, perubahan organisasional mungkin menyebabkan seseorang kesulitan untuk
mengalami kemajuan dalam organisasi, mempertahankan gaji ataupun meningkatkan pendapatan. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap posisi
seseorang dalam perusahaan, kebebasan untuk mengatur pekerjaan, penampilan kerja, dan signifikansi pekerjaan. Ancaman terhadap tampilam kerja mungkin juga
berperan dalam kesulitan mengakses sumber-sumber yang sebelumnya siap pakai. Job insecurity mungkin berperan dalam perasaan seseorang terhadap kurangnya
kontrol atau ketidakmampuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian di lingkungan kerjanya, yaitu perasaan tidak berdaya.
Dalam hal ini, job insecurity diartikan sebagai tingkat dimana pekerja merasa pekerjaannya terancam dan merasa tidak berdaya untuk melakukan apapun
terhadap situasi tersebut Ashford dkk, 1989. Job insecurity dirasakan tidak hanya disebabkan oleh ancaman terhadap kehilangan pekerjaan, tetapi juga
kehilangan dimensi pekerjaan Ashford dkk, 1989, sebagai tambahan, Hartley, Jacobson, klandermans van Vuuren 1991 menyatakan bahwa job insecurity
dilihat sebagai kesenjangan antara tingkat security yang dialami seseorang dengan tingkat security yang ingin diperolehnya. Job insecurity juga mempunyai dampak
terhadap menurunnya keinginan pekerja untuk bekerja di suatu perusahaan tertentu dan yang akhirnya mengarah kepada keinginan untuk berhenti bekerja
ashford dkk, 1989. Job insecurity dapat dialami oleh siapapun dengan jenis pekerjaan apa
saja. Secara umum, orang berpendapat bahwa semakin tinggi jabatan yang dimiliki oleh seseorang maka ia akan semakin mudah pula mengalami job
Universitas Sumatera Utara
insecurity karena beban tanggung jawab yang harus ditanggungnya juga semakin besar dibanding pemegang jabatan yang lebih rendah. Anggapan semacam ini
sebenarnya kurang tepat karena orang yang bekerja di bawahnya juga dapat mengalami tekanan dalam pekerjaan. Jadi tidak hanya pimpinan saja yang dapat
mengalami job insecurity tetapi karyawan biasapun bisa mengalaminya. Dalam batas-batas job insecurity tekanan masih dapat ditoleransi, tetapi
bila melampaui batas daya tahan seseorang akan mengakibatkan kerusakan penyimpangan-penyimpangan fisiologis, psikologis serta menyebabkan hubungan
yang tidak harmonis perilaku pada orang-orang yang terlibat dalam organisasi Farida, 2003.
Karyawan yang memiliki persepsi negatif terhadap Pemutusan Hubungan Kerja PHK menimbulkan pengaruh secara psikologis, misalnya kecemasan,
kekhawatiran dan ketakutan, hal ini karena karyawan tersebut berpikir bahwa ada kemungkinan PHK terjadi pada dirinya juga. Adanya kecemasan tersebut
menyebabkan konsentrasi karyawan dalam bekerja kurang optimal, orientasi untuk mengembangkan karir dan kemajuan juga terhambat, akibatnya karyawan
mengalami job insecurity. Greenhalgh dan Rosenblatt dalam Ashford dkk, 1989 telah
mengkategorikan penyebab job insecurity ke dalam tiga kelompok yaitu kondisi lingkungan dan organisasi, karakteistik individual dan jabatan pekerja, dan
karakteristik personal pekerja. Karakteristik personal pekerja yang dapat mempengaruhi job insecurity misalnya: locus of control, self esteem, dan perasaan
optimis atau pesimis pada karyawan. Karakteristik personal pekerja ini mengarah kepada kapasitas ataupun kemampuan yang dimiliki oleh karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing individu ini disebut dengan human capital. Schultz dalam Fitz-enz, 2009 menggambarkan
konsep human capital ini sebagai pertimbangan untuk semua kemampuan individu apakah kemampuan tersebut merupakan bawaan lahir ataukah diperoleh
dari hasil belajar. Setiap individu terlahir dengan sekumpulan gen, dimana gen tersebut sebagai penentu kemampuan yang mereka punya sejak lahir. Atribut-
atribut yang diperoleh atas kualitas yang dimiliki oleh tiap individu, yang berguna dan dapat dikembangkan dengan investasi atau pendekatan yang tepat ini, disebut
sebagai human capital. Berdasarkan konsep Fitz-enz tentang human capital lihat gambar 1 yang
dikombinasikan dengan konsep Luthans dan Youssef 2004, Peterson dan Spiker 2005 percaya bahwa human capital merupakan konstruk inti yang terdiri atas:
Psychological Capital, Intellectual Capital, Emotional Capital, dan Social Capital, atau PIES human capital, yang memberikan kontribusi positif pada
organisasi. Setiap individu ini memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang akan
mempengaruhi perilaku mereka di tempat kerja Sunarto, 2004. Dan salah satu karakteristik yang juga sangat mempengaruhi perilaku mereka tersebut adalah ciri
pribadi mereka atau ciri psikologis yang bersifat positif yang dapat membantu individu tersebut untuk dapat berkembang yang disebut dengan psychological
capital Luthans et al, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1 Konstruk Human Capital Petersen Dan Spiker 2005 yang Memberikan Kontribusi Nilai Positif
Organisasi dan individu penting untuk mempersiapkan diri untuk persaingan global yang ada dan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk tiap
individu adalah dengan cara meningkatkan psychological capital mereka yang merupakan aset atau modal yang telah ada pada tiap diri individu tersebut. Modal
psikologis inilah yang akan menyempurnakan potensial sumber daya manusia tersebut Luthans, et al 2007.
Penelitian mengenai psychological capital di suatu perusahaan di Indonesia masih sangatlah minim. Pada konteks akademis, Tjakraatmadja dan
Febriansyah 2006 dan 2007 telah meneliti hubungan antara psychological capital, lingkungan belajar sebagai faktor eksternal variabel moderator dan nilai
IPK mahasiswa sebagai indikator kinerja. Tjakraatmadja dan Febriansyah meneliti pengaruh nilai SPMB dan psikotest terhadap indeks prestasi IPK
mahasiswa yang dipengaruhi oleh psychological capital dan lingkungan belajar mahasiswa ITB pada tahun 2006 dan pada mahasiswa SBM-ITB pada tahun 2007,
serta melakukan perbandingan hasil untuk masing-masing penelitian pada tahun
Universitas Sumatera Utara
2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa psychological capital memiliki hubungan pengaruh positif yang signifikan terhadap indeks prestasi mahasiswa.
Beberapa faktor lingkungan belajar memiliki hubungan pengaruh positif yang signifikan terhadap IPK mahasiswa namun berada antara mahasiswa engeenering
dan SBM ITB. Selain itu, Luthans, Avolio, Avey, dan Norman 2006 dalam
penelitiannya juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif diantara keempat dimensi dalam psychological capital dengan performa kerja dan
kepuasan kerja karyawan. Sedangkan Avey, Patera dan West menyimpulkan melalui penelitian yang dilakukannya tahun 2006 bahwa psychological capital
berpengaruh terhadap absenteism ketidakhadiran, yaitu ketika nilai psychological capital seseorang semakin tinggi, maka tingkat absenteeism
semakin rendah. Selanjutnya, Luthans, Vogelgesang dan Lester 2006 menguraikan bahwa psychological capital merupakan modal untuk investasi dan
pengembangan, sehingga dapat menghasilkan peningkatan kinerja dan daya saing. Luthan dan para koleganya juga pernah melakukan penelitian dengan
hipotesis yaitu psychological capital sebagai mediasi hubungan antara iklim pendukung dengan performa kerja karyawan. Hasil dari penelitian ini menyatakan
bahwa psychological capital benar mempengaruhi atau sebagai mediasi hubungan antara iklim pendukung dengan performa kerja karyawan.
Konsep psychological capital ini telah dieksplorasi oleh Luthan dan kawan-kawannya Luthans et al., 2004; Luthans and Youssef, 2004.
Psychological capital didefinisikan oleh Luthan dan kawan-kawan sebagai hal positif psikologis perorangan yang ditandai oleh: 1 percaya diri self-
Universitas Sumatera Utara
efficacyconfidence untuk menyelesaikan pekerjaan, 2 memiliki pengharapan positif optimism tentang keberhasilan saat ini dan di masa yang akan datang; 3
tekun dalam berharap hope untuk berhasil; dan 4 tabah dalam menghadapi berbagai permasalahan resiliency hingga mencapai sukses Luthans, Youssef
Avolio, 2007. Psychological capital, sebagaimana diuraikan di atas, memiliki
karakteristik seperti motif dan konsep diri, dan bahkan dapat digunakan untuk menjelaskan gambaran dari watak seseorang. Seligman 2004 mendefinisikan
psychological capital sebagai sumber daya psikologis yang berhasil dikembangkan seseorang untuk meraih penghargaan saat ini dan masa yang akan
datang. Menurut Luthans dan para koleganya dalam bukunya yang berjudul
Psychological Capital: Developing the Human Competitive Edge bahwa psychological capital merupakan suatu kapasitas psikologis yang dapat diukur,
dapat meningkatkan performa kerja dan juga dapat dikembangkan. Dikatakan pula bahwa kapasitas psychological capital ini dapat menurun ataupun sebaliknya
meningkat sesuai dengan situasi atau kondisi yang ada. Dari uraian-uraian di atas dapatlah diketahui bahwa salah satu faktor yang
dapat menyebabkan job insecurity pada karyawan adalah karakteristik personal pekerja. Dalam penelitian ini, karakteristik personal pekerja dipilih peneliti untuk
dapat dijelaskan dengan mengacu kepada kapasitas yang dimiliki oleh setiap individu tersebut yaitu psychological capital. Sehingga dalam hal ini peneliti
ingin mengetahui apakah psychological capital merupakan prediktor positif bagi job insecurity.
Universitas Sumatera Utara
B. PERUMUSAN MASALAH