Adversity Quotient Sebagai Prediktor Positif bagi Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa

(1)

ADVERSITY QUOTIENT SEBAGAI PREDIKTOR

POSITIF BAGI INTENSI BERWIRAUSAHA

PADA MAHASISWA

SKRIPSI

Diajukan guna memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh :

RATNA SARI DEWI PANE

061301021

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

SKRIPSI

ADVERSITY QUOTIENT

SEBAGAI PREDIKTOR POSITIF

BAGI INTENSI BERWIRAUSAHA PADA MAHASISWA

Dipersiapkan dan disusun oleh:

RATNA SARI DEWI PANE 061301021

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada Tanggal 16 Januari 2012

Mengesahkan Dekan Fakultas Psikologi

Prof. Dr. Irmawati, psikolog NIP. 195301311980032001

Tim Penguji 1. Siti Zahreni, M.Psi., psikolog Penguji I

NIP. 198201282005022001 Merangkap Pembimbing 2. Zulkarnain, Ph.D, Psikolog Penguji II

NIP. 197312142000121001

3. Vivi Gusrini R Pohan, S,Psi, Psikolog Penguji III NIP. 198201282005022001


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul:

Adversity Quotient

Sebagai Prediktor Positif

bagi Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa

Adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan di dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Medan, Januari 2012

Ratna Sari Dewi Pane NIM 061301021


(4)

Adversity Quotient Sebagai Prediktor Positif bagi Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa

Ratna Sari Dewi Pane dan Siti Zahreni.

ABSTRAK

Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh jumlah pencari kerja setiap tahunnya bertambah sedangkan lapangan kerja sangatlah sedikit bahkan hampir tidak ada, dan beberapa perusahaan yang terpaksa gulung tikar dikarenakan keadaan ekonomi Negara. Mahasiswa adalah salah satu kelompok orang yang akan menghadapi hal ini, dimana setiap tahunnya Universitas akan meluluskan ribuan mahasiswa yang akan menjadi pencari kerja. Agar mahasiswa tidak mengalami hal ini, mahasiswa dapat membuka usaha atau lapangan kerja sendiri (berwirausaha). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya intensi berwirausaha mahasiswa, salah satunya adalah Adversity Quotient.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan Adversity Quotient

sebagai suatu prediktor positif bagi intensi berwirausaha. Penelitian ini melibatkan 80 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan teknik pengambilan sample menggunakan random sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala intensi berwirausaha dengan rxy= 0.928 dan skala Adversity Quotient

dengan rxy= 0.838. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient

memberikan pengaruh positif terhadap intensi berwirausaha mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (Rsquare= 0.097). Mayoritas subjek penelitian memiliki intensi berwirausaha yang tergolong sedang dan Adversity Quotient tergolong rendah.


(5)

Adversity Quotient as a Positive Predictor for Entrepreneurial Intention to Student

Ratna Sari Dewi Pane dan Siti Zahreni. ABSTRACT

One of the problems faced by indonesian current is unemployed. This is due to the number of job seekers each year increased while employment is slightly even almost no, and some companies who resorted rolls mat because country economic conditions. The student is one of a group of people who will deal with it, where each year the University will pass the thousands of students who will become job seekers. so as to student not experienced this, a student can open effort or employment own (entrepreneurship). there are a few things that can affect desire the students in entrepreneurship, one is Adversity Quotient.

This research aims to find out the role of the Adversity Quotient as a predictor of positive for entrepreneurial intention. this research involves 80 people studentship faculty of psychology Universitas Sumatera Utara with sampling technique using random sampling. Data obtained processed using Simple linear regressiin analysis. a measuring instrument used is the scale of entrepreneurial intention with rxy= 0.928 and the scale adversity quotient with rxy= 0.838. The

results showed that Adversity Quotient gives a positive influence on the students of the Faculty of Psychology entrepreneurial intention Universitas Sumatera Utara (Rsquare= 0.097). a majority of the subject of study having entrepreneurial intention which is in medium and Adversity Quotient belongs to medium and low (medium 50% and low 50%).


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahim, segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Illahi Rabbi, berkat petunjuk dan kasih sayang-Nya, peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian yang diajukan untuk memenuhi persyaratan mata kuliah seminar di Fakultas Psikologi Sumatera Utara dengan judul : Adversity Quotient Sebagai Prediktor Positif bagi Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa. Shalawat dan salam kepada Rasulullah SAW, semoga kesabaran beliau dapat menjadi contoh teladan dalam perjalanan proposal penelitian ini dan kerja-kerja selanjutnya.

Terselesaikannya proposal penelitian ini tentu tidak terlepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, M.Si, psikolog selaku dekan Fakultas Psikologi USU beserta Pembantu Dekan I, II, dan III Fakutas Psikologi USU.

2. Kakak Siti Zahreni, M.Psi., psikolog selaku dosem pembimbing saya. Saya berterimakasih atas waktu, arahan, bimbingan, saran dam umpan balik yang telah diberikan kepada saya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing saya di tengah kesibukan Kakak, terima kasih atas bantuan, pengertian, perhatian Kakak terhadap kesulitan yang saya hadapi dalam menjalankan penelitian ini.

3. Terkhusus untuk Ayah dan kakak tercinta, tersayang dan segalanya, yang merupakan anugerah terindah yang Allah berikan kepada penulis. Ayah yang selalu bersabar dan kakak yang selalu cerewet tetapi selalu jadi kakak


(7)

yang paling mengerti segalanya. Ucapan terima kasih yang tak terhingga atas doa-doa yang senantiasa kalian panjatkan sehinga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun sudah membuat kalian kecewa karena tidak sesuai dengan rencana. Maaf karena belum dapat memenuhi keinginan dan membanggakan kalian.

4. Segenap staf pengajar di Fakultas Psikologi USU yang sangat berjasa dalam memberikan pengetahuan bagi penulis. Kepada Bapak Aswan, Bapak Iskandar, Ibu Rini, Kak Devi, Kak Arie, dan Kak Erna, terima kasih atas bantuan administrasinya.

5. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada seluruh adik-adik Fakultas Psikologi USU, yang dengan ikhlas bersedia meluangkan waktu di tengah kesibukan yang dimiliki untuk berpartisipasi dalam penelitian saya. Tanpa bantuan adik-adik, penelitian ini tidak akan terlaksana dengan baik.

6. Adik-adik kosan Mega, Evi, Uli, Yuli yang selalu mendukung saat pengerjaannya dan menghibur saat sedang suntuk mengerjakannya, terima kasih semuanya yang senantiasa mendukung dan mendoakan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabat-sahabat penulis baik yang diluar kota, Qe’in, Letoi, Basariah yang bersedia mendoakan dan mendukung meski jauh di mata dekat dihati. Serta sahabat-sahabat penulis lainnya Irma, Tari, Ulfa, Yani, di Fakultas Psikologi. Terima kasih atas kebersamaan kita yang selalu penuh canda, tawa, suka duka, penuh motivasi dan semangat-semangat kita bersama yang saling menginspiratif dan berbagi, saling memahami dan selalu bersama.


(8)

Terkhusus buat Tari, adik kakak sukses buat skripsinya, semoga semua berjalan lancar.

8. Teman-teman penulis di Fakultas Psikologi USU khususnya angkatan 2006, dan angkatan 2007 Irma, Nisa, Cut, dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, terima kasih atas canda tawa, motivasi dan semangat yang diberikan kepada penulis, bantuan serta kritik dan saran-saran membangun yang diberikan dalam penyelesaian skripsi ini, semoga kita meraih kesuksesan ya teman-temanku tersayang. Terima kasih sudah membuat penulis selalu tersenyum walaupun disaat-saat yang sulit.

9. Teman-teman penulis di bangku SMA, yang selalu ada hingga saat ini menemani disaat penulis merasa bosan, jenuh dan selalu mendengarkan keluh kesah penulis, terima kasih atas kebersamaan, suka duka, canda tawa yang telah kita lewati bersama, serta dukungan, semangat, dan motivasi yang kalian berikan.

10. Seseorang yang pernah ada di hati, yang selalu mendukung, mendoakan penulis, kritik, masukan dan perhatian yang pernah diberikannya. Terima kasih ya, walaupun sudah sangat jauh tetap akan penulis ingat jasa-jasamu. 11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

banyak memberikan dukungan kepada saya dalam menyelesaikan penelitian ini. Terima kasih atas seluruh bantuan dan dukungannya. Terima kasih ya semuanya, Aku sayang kalian semua.

Tanpa bantuan mereka semua mungkin skripsi ini tidak akan selesai. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penulisan skripsi ini, untuk itu penulis mohon maaf atas


(9)

kekurangan dan kesalahan tersebut dan mengharapkan saran yang membangun dari semua pihak guna menyempurnakan penelitian ini. Akhirnya kepada Allah penulis berserah diri, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Amiin.

Medan, Januari 2012


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Intensi Berwirausaha

Tabel 2 Blue Print Skala Adversity Quotient

Tabel 3 Distribusi aitem-aitem skala intensi berwirausaha setelah uji coba

Tabel 4 Distribusi aitem-aitem skala intensi berwirausaha untuk penelitian

Tabel 5 Distribusi aitem-aitem skala Adversity Quotient setelah uji coba

Tabel 6 Distribusi aitem-aitem skala Adversity Quotient untuk penelitian

Tabel 7 Penyebaran subjek berdasarkan usia

Tabel 8 Penyebaran subjek berdasarkan jenis kelamin

Tabel 9 Hasil Uji Normalitas

Tabel 10 Hasil Uji Linearitas

Tabel 11 Koefisien Determinasi

Tabel 12 Hasil Analisa Varians

Tabel 13 Tabel Koefisien bo dan b1

Tabel 14 Tabel perbandingan Mean Hipotetik dan Mean Empirik intensi berwirausaha

Tabel 15 Tabel kategorisasi data pada variabel intensi berwirausaha


(11)

Adversity Quotient


(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A

1. Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Skala Intensi Berwirausaha

2. Reliabilitas dan Daya Beda Aitem Skala Adversity Quotient

Lampiran B

1. Data Mentah Uji Coba pada Skala Intensi Berwirausaha 2. Data Mentah Uji Coba pada Skala Adversity Quotient

3. Data Mentah Penelitian pada Skala Intensi Berwirausaha 4. Data Mentah Penelitian pada Skala Adversity Quotient

5. Gambaran Umum Subjek Penelitian 6. Kategorisasi Data Subjek Penelitian

Lampiran C

1. Uji Normalitas Sebaran

2. Uji Linearitas Hubungan

Lampiran D

1. Skala Intensi Berwirausaha untuk Penelitian 2. Skala Adversity Quotient untuk Penelitian


(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II LANDASAN TEORI ... 10

A. Intensi Berwirausaha ... 10

1. Pengertian Intensi ... 10

2. Pengertian Kewirausahaan ... 12

3. Aspek-aspek Kewirausahaan ... 15

4. Pengertian Intensi Berwirausaha ... 16

5. Sifat-sifat Wirausaha ... 17

6. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Intensi Berwirausaha ... 18


(14)

B. Adversity Quotient ... 21

1. Pengertian Adversity Quotient... 21

2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient ... 22

C. Adversity Quotient Sebagai Prediktor bagi Intensi Berwirausaha ... 26

D. hipotesa ... BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 30

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 30

1. Intensi Berwirausaha ... 30

2. Adversity Quotient ... 31

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ... 33

1. Populasi dan Sampel ... 33

2. Teknik Pengambilan Sampel... 33

1. Metode Pengambilan Data ... 33

1. Skala Intensi Berwirausaha ... 34

2. Skala Adversity Quotient ... 35

2. Validitas, Reliabilitas, dan Daya Beda Aitem ... 36

1. Uji Validitas ... 37

2. Uji Reliabilitas ... 37

3. Uji Daya Beda Aitem ... 38

3. Metode Analisa Data ... 39

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ...


(15)

a. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan Usia ... b. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan ... c. Gambaran Umum Subjek Penelitian

Berdasarkan Stambuk...

B. HASIL UTAMA PENELITIAN ...

1. Hasil Utama Penelitian ... a. Uji Normalitas ... b. Uji Linearitas ... 2. Hasil Utama Penelitian ...

C. KATEGORISASI SKOR PENELITIAN ...

1. Kategorisasi Skor Skala Intensi Berwirausaha ...

2. Kategorisasi Skor Skala Adversity Quotient ...

D. PEMBAHASAN PENELITIAN ... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... A. KESIMPULAN ... B. SARAN ... 1. Saran Metodologis ... 2. Saran Praktis ...


(16)

Adversity Quotient Sebagai Prediktor Positif bagi Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa

Ratna Sari Dewi Pane dan Siti Zahreni.

ABSTRAK

Salah satu masalah yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini adalah pengangguran. Hal ini disebabkan oleh jumlah pencari kerja setiap tahunnya bertambah sedangkan lapangan kerja sangatlah sedikit bahkan hampir tidak ada, dan beberapa perusahaan yang terpaksa gulung tikar dikarenakan keadaan ekonomi Negara. Mahasiswa adalah salah satu kelompok orang yang akan menghadapi hal ini, dimana setiap tahunnya Universitas akan meluluskan ribuan mahasiswa yang akan menjadi pencari kerja. Agar mahasiswa tidak mengalami hal ini, mahasiswa dapat membuka usaha atau lapangan kerja sendiri (berwirausaha). Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya intensi berwirausaha mahasiswa, salah satunya adalah Adversity Quotient.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan Adversity Quotient

sebagai suatu prediktor positif bagi intensi berwirausaha. Penelitian ini melibatkan 80 orang mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara dengan teknik pengambilan sample menggunakan random sampling. Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan analisis regresi linear sederhana. Alat ukur yang digunakan adalah skala intensi berwirausaha dengan rxy= 0.928 dan skala Adversity Quotient

dengan rxy= 0.838. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient

memberikan pengaruh positif terhadap intensi berwirausaha mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara (Rsquare= 0.097). Mayoritas subjek penelitian memiliki intensi berwirausaha yang tergolong sedang dan Adversity Quotient tergolong rendah.


(17)

Adversity Quotient as a Positive Predictor for Entrepreneurial Intention to Student

Ratna Sari Dewi Pane dan Siti Zahreni. ABSTRACT

One of the problems faced by indonesian current is unemployed. This is due to the number of job seekers each year increased while employment is slightly even almost no, and some companies who resorted rolls mat because country economic conditions. The student is one of a group of people who will deal with it, where each year the University will pass the thousands of students who will become job seekers. so as to student not experienced this, a student can open effort or employment own (entrepreneurship). there are a few things that can affect desire the students in entrepreneurship, one is Adversity Quotient.

This research aims to find out the role of the Adversity Quotient as a predictor of positive for entrepreneurial intention. this research involves 80 people studentship faculty of psychology Universitas Sumatera Utara with sampling technique using random sampling. Data obtained processed using Simple linear regressiin analysis. a measuring instrument used is the scale of entrepreneurial intention with rxy= 0.928 and the scale adversity quotient with rxy= 0.838. The

results showed that Adversity Quotient gives a positive influence on the students of the Faculty of Psychology entrepreneurial intention Universitas Sumatera Utara (Rsquare= 0.097). a majority of the subject of study having entrepreneurial intention which is in medium and Adversity Quotient belongs to medium and low (medium 50% and low 50%).


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan tenaga kerja di Indonesia akhir-akhir ini semakin kompleks. Hal ini dapat diamati dari jumlah pengangguran yang terus meningkat dan terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini. Pengangguran yang terjadi merupakan lulusan jenjang pendidikan SMA dan perguruan tinggi, dari tahun ke tahun populasi pengangguran terdidik di Indonesia bukannya malah surut tetapi bertambah mengingat pertumbuhan anak usia sekolah dan para pencari kerja dari tahun ke tahun makin meningkat. Sementara itu lapangan pekerjaan di negara ini tidak bertumbuhkembang dengan cepat dan sangat sulit bertambah jumlahnya secara signifikan (Media Indonesia, 2011).

Sulitnya mencari pekerjaan setelah lulus dari perguruan tinggi memang bukan fenomena baru di Indonesia. Berbagai upaya pun telah dilakukan pemerintah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun pada kenyataannya, hal ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Jumlah pengangguran negeri ini tidak lantas berkurang drastis (Afrilia, 2010).

Fenomena ironis yang muncul di dunia pendidikan di Indonesia adalah semakin tinggi pendidikan seseorang, probabilitas atau kemungkinan seseorang menjadi penganggur pun semakin tinggi. Apabila dilihat dari tingkat pendidikan, mengutip data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2010) jumlah orang yang bekerja dengan pendidikan sarjana hanya sekitar 4,94 juta orang (4,60%) sedangkan


(19)

tingkat pengangguran dengan pendidikan sarjana sebesar 14,23%. Padahal masih terdapat 2 juta hingga 3 juta pencari kerja baru setiap tahunnya.

Tidak seimbangnya jumlah lulusan perguruan tinggi dengan lapangan kerja yang tersedia dilansir banyak pihak sebagai penyebab utama. Harian pikiran rakyat (2010) menyebutkan bahwa setiap tahun perguruan tinggi terus mencetak ratusan ribu bahkan jutaan lulusan sementara lapangan kerja tidak bertambah secara signifikan dan pada akhirnya, perguruan tinggi pun sempat dicap sebagai pencetak pengangguran terdidik. Kewirausahaan pun kemudian digaungkan pemerintah dan perguruan tinggi untuk mencegah semakin tingginya pengangguran di Indonesia. Sebuah solusi yang sepertinya masuk akal mengingat jumlah wirausaha di Indonesia memang masih sangat minim karena idealnya sebuah negara memiliki wirausaha sedikitnya dua persen dari jumlah penduduknya sementara di Indonesia, jumlah wirausaha baru sekitar 0,18 persen atau sekitar 400.000 orang. Padahal jumlah ideal dari total penduduk 220 juta jiwa adalah 4,4 juta wirausaha.

Kondisi tersebut didukung pula oleh kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja daripada pencipta lapangan pekerjaan. Hal ini bisa jadi disebabkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di berbagai perguruan tinggi saat ini lebih berfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukannya lulusan yang siap menciptakan pekerjaan (Bambang, 2009).

Pada kenyataannya, intensi berwirausaha kurang menyentuh pada kalangan mahasiswa itu sendiri karena menanamkan jiwa wirausaha pada mahasiswa tidaklah mudah. Walaupun pihak perguruan tinggi sudah berupaya


(20)

untuk mendorong agar mahasiswanya mulai memilih berwirausaha sebagai pilihan karirnya dengan cara memberi kurikulum yang telah memasukkan pelajaran atau mata kuliah kewirausahaan. Namun demikian, hasilnya masih belum terlihat. Para lulusan perguruan tinggi masih saja enggan untuk langsung terjun sebagai wirausahawan, dibuktikan dengan angka pengangguran terdidik yang ternyata malah makin meningkat (Afrilia, 2010).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Halim dan Sahnan (dalam Afrilia 2010) yang menambahkan bahwa dari puluhan ribu sarjana yang merupakan lulusan baru, hanya sekitar 18% yang berminat menjadi wirausaha. Kondisi ini kurang mendukung program pemerintah dengan mengurangi angka pengangguran kalangan terdidik dari perguruan tinggi, sebab 82% dari mereka cenderung menjadi karyawan kantor.

Banyak orang yang beranggapan bahwa untuk memulai bisnis bukanlah hal yang mudah karena banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sehingga tak jarang membuat orang urung memulai bisnis. Akan tetapi apabila sudah berkecimpung di sektor bisnis yang sangat kompetitif dan peka terhadap pengaruh lingkungan, seorang wirausaha banyak dituntut untuk terus berinisiatif, kreatif, dinamis, agresif dan selalu harus mampu mengantisipasi tuntutan lingkungan yang terus tumbuh sehingga dapat mematangkan pola berpikir dan kehidupan kita untuk terus menempa jiwa wirausaha dan diharapkan mampu bekerja sama dengan penuh tanggung jawab dalam setiap penugasan yang dibebankan kepadanya (Afrilia, 2010).

Selain itu dalam sektor pendidikan yang relatif tidak atau kurang kompetitif tetap membutuhkan manusia wirausaha sehingga diperlukan adanya


(21)

pemahaman tentang bagaimana mengembangkan dan mendorong lahirnya wirausaha-wirausaha muda yang potensial (Afrilia, 2010).

Wirausaha itu adalah seseorang yang bebas dan memiliki kemampuan untuk hidup mandiri dalam menjalankan kegiatan usahanya atau bisnisnya atau hidupnya. Ia bebas merancang, menentukan mengelola, mengendalikan semua usahanya. Sedangkan kewirausahaan adalah suatu sikap, jiwa dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru yang sangat bernilai dan berguna bagi dirinya dan orang lain. Kewirausahaan merupakan sikap mental dan jiwa yang selalu aktif atau kreatif berdaya, bercipta, berkarsa dan bersahaja dalam berusaha dalam rangka meningkatkan pendapatan dalam kegiatan usahanya atau kiprahnya. Hartini (dalam Wijaya, 2007) mengemukakan bahwa pada kenyataannya banyak lulusan perguruan tinggi yang belum siap bekerja dan menjadi pengangguran, beberapa diantaranya lebih senang menjadi pegawai atau buruh dan hanya sedikit sekali yang berkeinginan atau tertarik untuk berwirausaha, dan bahkan ada yang tidak ingin untuk berwirausaha.

Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Hartini (dalam Wijaya, 2007) yang menyatakan bahwa sampai saat ini di antara mahasiswa-mahasiswa lulusan perguruan tinggi tidak banyak yang berorientasi dan berniat untuk bekerja sendiri atau berwirausaha dengan bekal ilmu pengetahuan yang telah diperoleh. Ada yang tertarik berwirausaha dan ada yang tidak berkeinginan untuk melakukan wirausaha. Keinginan untuk melakukan hal tersebut oleh Fishbein dan Ajzen (1975) disebut sebagai intensi.

Fishbein & Ajzen (1975) dalam hal ini mendefinisikan intensi sebagai suatu komponen dalam diri indifidu yang mengacu pada keinginan untuk


(22)

melakukan tingkah laku tertentu. Lebih lanjut Ajzen (dalam Linan & Chen, 2006) menyatakan bahwa adanya intensi terhadap suatu tingkah laku akan menjadi prediktor terbaik dari munculnya tingkah laku tersebut di masa depan.

Salah satu pengamat pendidikan, Darmaningtyas (2008) menyatakan ada kecenderungan, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin besar keinginan mendapat pekerjaan yang aman. Individu-individu tersebut tak berani ambil pekerjaan berisiko seperti berwirausaha. Pilihan status pekerjaan utama para lulusan perguruan tinggi adalah sebagai karyawan atau buruh, dalam artian bekerja pada orang lain atau instansi atau perusahaan secara tetap dengan menerima upah atau gaji rutin.

Orientasi pada mencari kerja bukan pada memberi pekerjaan mengesankan bahwa bidang wirausaha kurang dapat menyentuh intensi para mahasiswa. Kondisi yang terjadi di lapangan masih banyak ditemui mahasiswa ataupun lulusan perguruan tinggi yang kurang siap bersaing dalam merebut pasar pekerjaan yang ada (Afrilia, 2010).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha termasuk diantaranya faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga dan pendidikan. Sedangkan faktor internal, terdiri atas nilai personal, usia dan jenis kelamin (wijaya, 2007).

Nilai personal sebagai salah satu faktor internal yang mempengaruhi kecendrungan berwirausaha dibentuk oleh motivasi, dan optimisme individu. Motivasi, optimisme, kecerdasan untuk mengatasi kesulitan, kemampuan untuk bertahan, dan terus berjuang dengan gigih dibutuhkan individu untuk menghadapi


(23)

kesulitan, dimana stolzt (2000) menyebutkannya dengan istilah Adversity Quotient.

Stoltz (2000) mengatakan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi. Sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah.

Harefa (1998) menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha, dan berperilaku seperti wirausaha sepanjang ada keinginan membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi seorang wirausaha tetap terbuka. Semua orang berpotensi untuk menjadi wirausaha, khususnya mahasiswa yang dianggap sebagai penerus bangsa diharapkan mampu menjadi tulang punggung Negara sehingga dengan hasil pendidikan yang dikuasainya mampu menciptakan lapangan kerja, bukan menambah jumlah pengangguran setelah ia lulus dari sebuah perguruan tinggi dan diharapkan mampu bekerja dengan baik dilihat dari segi ilmu maupun teknis lapangan dan sebisa mungkin seorang mahasiswa dituntut untuk berpikir secara kreatif terhadap peluang bisnis yang ada di masyarakat dan berani mencoba untuk memulai usaha.

Ada beberapa hal mengapa mahasiswa tidak tertarik berwirausaha setelah lulus adalah karena tidak mau mengambil resiko, takut gagal, tidak memiliki


(24)

modal dan lebih menyukai bekerja pada orang lain. Lebih lanjut dijelaskan bahwa individu tidak tertarik berwirausaha karena kurang memiliki motivasi dan tidak memiliki semangat serta keinginan untuk berusaha sendiri. Akibatnya individu berfikir bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan lebih senang untuk bekerja pada orang lain (Wijaya, 2007).

Rendahnya intensi berwirausaha pada mahasiswa karena ragu-ragu dan takut gagal sehingga mereka tidak siap menghadapi rintangan yang ada. Dengan demikian hanya individu yang berani mengambil resiko serta memiliki kecerdasan menghadapi rintangan sajalah yang memiliki intensi berwirausaha yang tinggi (Wijaya, 2007).

Gorman, Kourilsky dan Walstad (dalam Indarti & Rostiani, 2008) dari beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa keinginan berwirausaha pada mahasiswa merupakan sumber bagi lahirnya wirausaha-wirausaha masa depan. Sikap, perilaku dan pengetahuan mereka tentang kewirausahaan akan membentuk kecenderungan mereka untuk membuka usaha-usaha baru di masa mendatang.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Adversity Quotient sebagai prediktor bagi intensi berwirausaha pada mahasiswa”.

B. Perumusan Masalah

Peneliti mencoba merumuskan masalah sebagai berikut yaitu apakah Adversity Quotient (AQ) merupakan prediktor positif bagi intensi berwirausaha mahasiswa.


(25)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient (AQ) dengan intensi berwirausaha pada mahasiswa serta sejauhmana Adversity Quotient (AQ) mampu memprediksi munculnya intensi berwirausaha pada mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis maupun praktis 1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah penelitian bidang Psikologi khususnya bidang Psikologi Industri dan Organisasi mengenai Adversity Quotient (AQ) dalam bidang kewirausahaan.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyaraktat, khususnya perguruan tinggi mengenai gambaran kecenderungan berwirausaha dan gambaran Adversity Quotient pada mahasiswa Fakultas Psikologi USU.

b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mahasiswa tentang wirausaha sehingga mahasiswa dapat lebih memahami dan mengerti tentang wirausaha.

c. Diharapkan dapat memberikan masukan yang berarti bagi mahasiswa tentang pentingnya Adversity Quotient terutama dalam mempengaruhi kemauan atau niat untuk berwirausaha.


(26)

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam beberapa bab dengan sistematika penelitian sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Bab I berisi tentang uraian singkat mengenai latar belakang permasalahan, perumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

BAB II : LANDASAN TEORI

Bab II berisi teori yang digunakan sebagai landasan penelitian. BAB III : METODE PENELITIAN

Dalam bab ini akan dijelaskan metode penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah metode penelitian kuantitatif, yang berisikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, populasi, sampel dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur.

BAB IV : ANALISA DATA

Berisikan uraian hasil penelitian, analisa data dan diskusi. BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Membahas mengenai kesimpulan hasil penelitian, diskusi dan saran yang berkaitan dengan hasil penelitian yang diperoleh.


(27)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Intensi Berwirausaha 1. Pengertian Intensi

Pendekatan teoritis yang digunakan untuk menjelaskan intensi perilaku dalam penelitian ini adalah teori perilaku terencana yang merupakan pengembangan teori tindakan beralasan yang dikemukakan oleh Azjen (dalam Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightmans, L. W., 1993). Teori ini menjelaskan bahwa intensi merupakan kunci utama untuk memprediksi perilaku manusia dan sebagai sebuah konstruk psikologis yang menunjukan kekuatan motivasi seseorang dalam hal perencanaan yang sadar dalam usaha untuk menghasilkan perilaku yang dimaksud (Eagly & Chaiken, 1993).

Fishbein dan Ajzen (1975) mengemukakan bahwa berdasarkan teori tersebut, intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan, yaitu:

a. Sikap Terhadap Perilaku

Sikap terhadap perilaku dipengaruhi oleh keyakinan bahwa perilaku tersebut akan membawa kepada hasil yang diinginkan atau tidak diinginkan. Individu yang memiliki keyakinan yang positif terhadap suatu perilaku akan memiliki kecenderungan untuk melakukan tindakan tersebut. Atau dengan kata lain, sikap yang mengarah pada perilaku ditentukan oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku, yang disebut dengan istilah keyakinan terhadap perilaku.


(28)

b. Norma Subjektif

Keyakinan mengenai perilaku apa yang bersifat normatif ( yang diharapkan orang lain) dan motivasi untuk bertindak sesuai dengan harapan normatif tersebut membentuk norma subjektif dalam individu. Keyakinan yang mendasari norma subjektif yang dimiliki individu disebut sebagai keyakinan normatif.

Individu memiliki keyakinan bahwa individu atau kelompok tertentu akan menerima atau tidak menerima tindakan yang dilakukannya. Apabila individu meyakini apa yang menjadi norma kelompok, maka ia akan mematuhi dan membentuk perilaku yang sesuai dengan kelompoknya. Dapat disimpulkan, bahwa norma kelompok inilah yang membentuk norma subjektif dalam diri individu, yang akhirnya akan membentuk perilakunya.

c. Kontrol Perilaku Yang Disadari

Kontrol perilaku merupakan keyakinan tentang ada atau tidaknya faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghalangi performansi perilaku individu. Kontrol perilaku ditentukan oleh pengalaman masa lalu dan perkiraan individu mengenai seberapa sulit atau mudahnya untuk melakukan perilaku yang bersangkutan. Keyakinan ini didasari oleh pengalaman terdahulu tentang perilaku tersebut, yang dipengaruhi oleh informasi dari orang lain, misalnya dari pengalaman orang-orang yang dikenal/teman-teman. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang meningkatkan atau mengurangi kesulitan yang dirasakan jika melakukan tindakan atau perilaku tersebut. Kontrol perilaku ini sangat penting artinya ketika rasa percaya diri seseorang sedang berada dalam kondisi lemah.


(29)

Menurut teori perilaku berencana, keyakinan-keyakinan berpengaruh pada sikap terhadap perilaku tertentu, pada norma-norma subjektif, dan pada kontrol perilaku yang dihayati. Ketiga dimensi ini berinteraksi dan menjadi determinan bagi intensi yang pada gilirannya akan menentukan apakah perilaku yang bersangkutan akan dilakukan atau tidak (Azwar, 2005).

Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian intensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu perilaku tertentu.

2. Pengertian Kewirausahaan

Kata entrepreneur berasal dari kata kerja Enterprende. Kata ”wirausaha” merupakan gabungan kata ”wira” (gagah berani, perkasa) dan kata ”usaha”. Jadi wirausaha berarti orang yang gagah berani/perkasa dalam usaha. Kamus umum bahasa Indonesia (Riyanti, 2003) mengartikan wirausaha sebagai: ”orang yang pandai atau berbakat mengenali produk, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya.

Drucker (1985) mengartikan kewirausahaan sebagai semangat, kemampuan, sikap, perilaku individu dalam menangani usaha/kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja, teknologi, dan produk baru dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Untuk memperoleh keuntungan diperlukan kreatifitas dan pennemuan hal-hal baru.


(30)

Wirausaha adalah usaha untuk menciptakan nilai dengan peluang bisnis, berani mengambil resiko dan melakukan komunikasi serta ketrampilan melakukan mobilisasi agar rencana dapat terlaksana dengan baik. Pendapat lain diekmukakan oleh Pekerti (2000) bahwa wirausaha adalah individu yang mendirikan, mengelola, mengembangkan dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan individu yang dapat menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya. Hadipranata (2000) menyatakan seorang wirausaha adalah sosok pengambil resiko yang diperlukan untuk mengatur dan mengelola bisnis serta menerima keuntungan finansial maupun imbalan non materi. wirausaha adalah orang yang mengambil resiko dalam bisnis untuk memperoleh keuntungan.

Ada enam hakekat penting kewirausahaan yaitu (Suryana, 2003), sebagai berikut:

1. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diwujudkan dalam perilaku yang dijadikan dasar sumber daya, tenaga penggerak, tujuan,siasat, kiat, proses, dan hasil bisnis.

2. Kewirausahaan adalah suatu kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (ability to create the new and different).

3. Kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki kehidupan.

4. Kewirausahaan adalah suatu nilai yang diperlukan untuk memulai suatu usaha (start-up phase) dan perkembangan usaha (venture growth).


(31)

5. Kewirausahaan adalah suatu proses dalam mengerjakan sesuatu yang baru (creative), dan sesuatu yang berbeda (inovative) yang bermanfaat memberi nilai lebih.

6. Kewirausahaan adalah usaha menciptakan nilai tambah dengan jalan mengkombinasikan sumber-sumber melalui cara-cara baru dan berbeda untuk memenangkan persaingan. Nilai tambah tersebut dapat diciptakan dengan cara mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Kewirausahaan secara ringkas berdasarkan keenam konsep diatas dapat didefinisikan sebagai sesuatu kemampuan kreatif dan inovatif (create new and different) yang dijadikan kiat, dasar, sumber daya, proses dan perjuangan untuk menciptakan nilai tambah barang dan jasa yang dilakukan dengan keberanian untuk menghadapi risiko.

Sesuai dengan inti dari jiwa kewirausahaan yaitu kemampuan untuk menciptakan seuatu yang baru dan berbeda (create new and different) melalui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan peluang dalam menghadapi tantangan hidup, maka seorang wirausaha harus mempunyai kemampuan kreatif di dalam mengembangkan ide dan pikiranya terutama di dalam menciptakan peluang usaha di dalam dirinya, seseorang dapat mandiri menjalankan usaha yang digelutinya tanpa harus bergantung pada orang lain, seorang wirausaha harus dituntut untuk selalu menciptakan hal yang baru dengan


(32)

jalan mengkombinasikan sumber-sumber yang ada di sekitarnya, mengembangkan teknologi baru, menemukan pengetahuan baru, menemukan cara baru untuk menghasilkan barang dan jasa yang baru yang lebih efisien, memperbaiki produk dan jasa yang sudah ada, dan menemukan cara baru untuk memberikan kepuasan kepada konsumen.

Berdasarkan penjelasan di atas maka pengertian Kewirausahaan adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan bersedia mengambil resiko pribadi dalam menemukan peluang berusaha dan secara kreatif menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya.

3. Aspek-aspek kewirausahaan

Drucker (1985) menjelaskan beberapa aspek kewirausahaan, yaitu :

1. Mampu menginderakan peluang usaha, yakni mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk mengadakan langkah-langkah perubahan menuju masa depan yang lebih baik.

2. Memiliki rasa percaya diri dan mampu bersikap positif terhadap diri sendiri dan lingkungannya yakni berkeyakinan bahwa usaha yang dikelolanya akan berhasil.

3. Berperilaku memimpin yaitu mengarahkan, menggerakan orang lain, serta bertanggung jawab untuk meningkatkan usaha.


(33)

4. Memiliki inisiatif untuk jadi kreatif dan inovatif yaitu memiliki prakarsa untuk menciptakan produk atau metode baru lainnya yang lebih baik mutu atau jumlahnya, agar mampu bersaing.

5. Mampu bekerja keras yaitu bekerja secara energik, tekun dan tabah untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan tanpa mengenal putus asa. 6. Berpandangan luas dengan visi ke depan yang baik yaitu berorientasi pada

masa depan dan dapat memperkirakan hal-hal yang dapat terjadi sehingga langkah-langkah yang diambil sudah dapat diperhitungkan.

7. Berani mengambil resiko yang telah diperhitungkan yaitu suka pada tantangan dan berani mengambil resiko walau dalamsituasi dan kondisi yang tidak menentu. Resiko yang dipilih tentunya dengan perhitungan yang matang.

8. Tanggap pada saran dan kritik yaitu peduli dan peka terhadap kritik sebagai dorongan untuk berbuat lebih baik.

Berdasarkan uraian di atas maka aspek-aspek kewirausahaan adalah mampu menginderakan peluang, memiliki rasa percaya diri, memiliki jiwa kepemimpinan, berinisiatif, mampu bekerja keras, berpandangan ke depan, berani mengambil resiko, serta tanggap atas kritik dan saran.

4. Pengertian Intensi Berwirausaha

Berdasarkan pengertian intensi dan pengertian kewirausahaan sebelumnya diambil kesimpulan bahwa kewirausahaan adalah orang yang menciptakan kerja bagi orang lain dengan cara mendirikan, mengembangkan, dan bersedia mengambil resiko pribadi dalam menemukan peluang berusaha dan secara kreatif


(34)

menggunakan potensi-potensi dirinya untuk mengenali produk, mengelola dan menentukan cara produksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya serta mengatur permodalan operasinya. Sedangkan pengertian intensi adalah kesungguhan niat seseorang untuk melakukan perbuatan atau memunculkan suatu perilaku tertentu.

Berdasarkan pendapat mengenai intensi dan wirausaha yang telah dikemukakan, maka intensi berwirausaha adalah keinginan atau niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan wirausaha.

5. Sifat-sifat wirausaha

Berikut adalah sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang wirausaha 1. Percaya Diri

Orang yang tinggi percaya dirinya adalah orang yang sudah matang jasmani dan rohaninya. Karakteristik kematangan seseorang adalah ia tidak tergantung pada orang lain, memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, obyektif, dan kritis, emosionalnya stabil, tidak gampang tersinggung dan naik pitam.

2. Berorientasi pada tugas dan hasil

Berbagai motivasi akan muncul dalam bisnis jika individu berusaha menyingkirkan prestise, akan mampu bekerja keras, enerjik, tanpa malu dilihat teman, asal yang dikerjakan adalah halal.

3. Pengambilan Resiko

Wirausaha penuh resiko dan tantangan, seperti persaingan, harga turun naik, barang tidak laku dan sebagainya. Namun semua tantangan ini harus dihadapi dengan penuh perhitungan.


(35)

4. Kepemimpinan

Pemimpin yang baik harus mau menerima kritik dari bawahan, ia harus bersifat responsif.

5. Keorisinilan

Yang dimaksud orisinal di sini ialah tidak hanya mengekor pada orang lain, tetapi memiliki pendapat sendiri, ada ide yang orisinil, ada kemampuan untuk melaksanakan sesuatu. Orisinil tidak berarti baru sama sekali, tetapi produk tersebut mencerminkan hasil kombinasi baru atau reintegrasi dari komponen – komponen yang sudah ada, sehingga melahirkan sesuatu yang baru.

6. Berorientasi ke masa depan

Untuk menghadapi pandangan jauh ke depan, seorang wirausaha akan menyusun perencanaan dan strategi yang matang, agar jelas langkah – langkah yang akan dilaksanakan.

7. Kreativitas

Conny Setiawan (dalam Nandy 2010), mengemukakan bahwa kreativitas diartikan sebaga kemampuan untuk menciptakan suatu produk baru. Produk baru artinya tidak perlu seluruhnya baru, tapi dapat merupakan bagian – bagian produk saja. Contoh: Seorang wirausaha membuat berbagai kreasi dalam kegiatan usahanya, seperti susunan barang, pengaturan rak pajangan, menyebarkan brosur promosi dsb. Jadi kreativitas adalah kemampuan untuk membuat kombinasi – kombinasi baru atau melihat hubungan – hubungan baru antara unsure, data, variable; yang sudah ada sebelumnya.


(36)

Berdasarkan uraian di atas maka sifat-sifat wirausaha adalah percaya diri, berorientasi pada tugas dan hasil, pengambilan resiko, kepemimpinan, keorisinilan, berorientasi ke masa depan, dan kreativitas.

6. Faktor-faktor yang mempengaruhi Intensi berwirausaha

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha yaitu: a. Lingkungan keluarga

Orang tua akan memberikan corak budaya, suasana rumah, pandangan hidup dan pola sosialisasi yang akan menentukan sikap, perilaku serta proses pendidikan terhadap anak-anaknya. Orang tua yang bekerja sebagai wirausaha akan mendukung dan mendorong kemandirian, berprestasi dan bertanggung jawab. Dukung orang tua ini, terutama ayah sangat penting dalam pengambilan keputusan pemilihan karir bagi anak. Penelitian Jacobowitz dan Vidler (dalam Hirrich dan Peters, 1998) menemukan bahwa 725 wirausahawan yang diteliti mempunyai ayah atau orang tua yang relatif dekat yang juga wirausahawan.

b. Pendidikan

Pentingnya pendidikan dikemukakan oleh Holt (dalam Rahmawati, 2000) yang mengatakan bahwa paket pendidikan kewirausahaan akan membentuk individu untuk mengejar karir kewirausahaan. Pendidikan formal memberikan pemahaman yang lebih baik tentang proses kewirausahaan, tantang yang dihadapinya para pendiri usaha baru dan masalah-masalah yang harus diatasi agar berhasil.


(37)

Beberapa penelitian menemukan bahwa wirausahawan memiliki sikap yang berbeda terhadap proses manajemen dan bisnis secara umum (Hirrich dan Peters, 1998). Nilai personal dibentuk oleh motivasi, dan optimisme individu. Penelitian Kristiansen & Indarti (2003) menemukan bahwa tingkat intensi wirausaha individu dipengaruhi tinggi rendahnya kapasitas motivasi, pengendalian diri dan optimisme individu, dimana nilai optimisme, motivasi juga merupakan termasuk dalam kecerdasan menghadapi kesulitan, rintangan, kegagalan dalam berwirausaha, yang disebut dengan Adversity Quotient. Dengan demikian Adversity Quotient juga menentukan tingkat intensi wirausaha seseorang.

d. Usia

Penelitian Strong (dalam Hartini 2002) terhadap sejumlah pria berusia 15-25 tahun tentang minat terhadap pekerjaan menunjukkan bahwa minat berubah secara sedang dan cepat pada usia 15-25 tahun dan sesudahnya sangat sedikit perubahannya. Minat terhadap pekerjaan mengalami perubahan sejalan dengan usia tetapi menjadi relatif stabil pada post adolence.

e. Jenis kelamin

Jenis kelamin sangat berpengaruh terhadap minat berwirausaha mengingat adanya perbedaan terhadap pandangan pekerjaan antra pria dan wanita. Manson dan Hogg (dalam Wijaya 2007) mengemukakan bahwa kebanyakan wanita cenderung sambil lalu dalam memilih pekerjaan dibanding dengan pria. Wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional yang lebih besar menjadi istri dan ibu rumah tangga. Selain faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha di atas,


(38)

seorang wirausahawan memiliki tiga dasar motif sosial : motif untuk berprestasi, motif untuk berafiliasi (menjalin persahabatan), dan motif untuk berkuasa. Dari perbandingan keduanya ternyata seorang wirausaha terlihat jelas memiliki motif berprestasi yang menonjol (sangat tinggi) dibandingkan dengan individu yang tidak tertarik berwirausaha.

Berdasarkan uraian di atas maka faktor-faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha adalah faktor eksternal yaitu lingkungan keluarga, dan pendidikan. Sedangkan faktor internal yaitu nilai personal, usia dan jenis kelamin.

B. Adversity Quotient (AQ)

1. Pengertian Adversity Quotient

Adversity Quotient, merupakan suatu penilaian yang mengukur bagaimana respon seseorang dalam menghadapai masalah untuk dapat diberdayakan menjadi peluang. Adversity Quotient dapat menjadi indikator seberapa kuatkah seseorang dapat terus bertahan dalam suatu pergumulan, sampai pada akhirnya orang tersebut dapat keluar sebagai pemenang, mundur di tengah jalan atau bahkan tidak mau menerima tantangan sedikit pun.

Adversity Quotient (AQ) adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. AQ mempunyai tiga bentuk. Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan, dan yang ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan (Stoltz, 2000).


(39)

Stoltz (2000) menambahkan bahwa individu yang memiliki kemampuan untuk bertahan dan terus berjuang dengan gigih ketika dihadapkan pada suatu problematika hidup, penuh motivasi, antusiasme, dorongan, ambisi, semangat, serta kegigihan yang tinggi, dipandang sebagai figur yang memiliki Adversity Quotient yang tinggi, sedangkan individu yang mudah menyerah, pasrah begitu saja pada takdir, pesimistik dan memiliki kecenderungan untuk senantiasa bersikap negatif, dapat dikatakan sebagai individu yang memiliki tingkat Adversity Quotient yang rendah.

Stoltz (2000) mengajukan beberapa faktor yang diperlukan untuk mengubah kegagalan menjadi suatu peluang yaitu daya saing, produktivitas, kreativitas, motivasi, mengambil risiko, ketekunan, belajar, merangkul perubahan, dan keuletan. Ditambahkan juga bahwa dalam menghadapi setiap kesulitan, kesedihan serta kegagalan hidup maka yang diperlukan adalah sikap tahan banting dan keuletan.

Bila mengukur kecerdasan dalam menghadapi rintangan individu, yang dilihat tidak hanya sekedar pengkategorian dalam menghadapi rintangan tinggi dan kecerdasan dalam menghadapi rintangan rendah, karena kecerdasan dalam menghadapi rintangan merupakan suatu tantangan. Kecerdasan dalam menghadapi rintangan bukan masalah hitam dan putih, tinggi atau rendah namun merupakan suatu masalah derajat. Individu yang memiliki kecerdasan dalam menghadapi rintangan tinggi akan memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menikmati manfaat-manfaat kecerdasan dalam menghadapi rintangan yang tinggi (Stoltz, 2000).


(40)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan dalam menghadapi rintangan (Adversity Quotient) adalah suatu kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi suatu peluang keberhasilan mencapai tujuan. melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

2. Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Adversity Quotient terdiri atas empat dimensi yang tercakup dalam akronim CO2RE. Dimensi-dimensi CO2RE ini akan menentukan Adversity Quotient individu secara menyeluruh (Stoltz, 2000). Dimensi- dimensi CO2RE tersebut adalah:

a. Control (C)

Control yang disingkat dengan “C” berarti kendali, atau berapa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menghadirkan kesulitan. Kendali yang sebenarnya dalam suatu situasi hampir tidak mungkin untuk diukur. Kendali berkorelasi langsung dengan pemberdayaan dan pengaruh, serta mempengaruhi semua dimensi CO2RE lainnya. Tanpa adanya kendali terhadap kesulitan, harapan dan tindakan akan hancur. Sebaliknya dengan adanya kendali terhadap kesulitan, maka hidup akan dapat diubah dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai akan terwujud. Kendali diawali dengan pemahaman bahwa sesuatu apapun itu dapat dilakukan.


(41)

b. Origin dan Ownership (O2)

Origin

Origin atau asal usul, mempertanyakan apa yang menjadi asal usul dari sebuah kesulitan. Orang yang memiliki Adversity Quotient rendah cenderung akan memiliki rasa bersalah yang berlebihan atau tidak semestinya atas peristiwa-peristiwa buruk yang terjadi dalam kehidupannya. Dalam hal ini, sebagian orang menganggap dirinya adalah satu-satunya sumber atau asal usul (origin) terjadinya kesulitan tersebut. Menurut Reynolds (dalam Stoltz, 2000), bagian paling penting untuk menghadapi bayangan diri seseorang—klaim atas diri sebagai asal usul terjadinya sebuah kesulitan—adalah dengan memaafkan dan tidak menghakimi. Karena sesungguhnya, dengan sumber daya yang terbatas, seseorang akan senantiasa melakukan apa yang diyakininya terbaik untuk mencapai suatu kebahagiaan. Pada dasarnya rasa bersalah memiliki dua fungsi; pertama, rasa itu dapat membantu seseorang untuk belajar dan melakukan perbaikan agar nantinya keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kedua, rasa bersalah yang mengarah pada suatu penyesalan. Penyesalan merupakan suatu motivator yang sangat kuat, hanya bila ia ditempatkan pada porsi atau takaran yang sewajarnya, tidak berlebihan.

Ownership

Ownership atau pengakuan, yaitu sejauh mana seseorang mau mengakui akibat-akibat dari suatu kesulitan atau kegagalan yang terjadi. Dimensi ini berkaitan erat dengan dimensi origin, yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat ownership seseorang, maka semakin besar derajat pengakuannya terhadap akibat-akibat dari suatu kesulitan atau permasalahan yang dihadapinya.


(42)

Sebaliknya, orang yang memiliki tingkat ownership

c.

yang rendah cenderung akan melemparkan kesalahan pada orang lain yang ada di sekitarnya, dan merasa enggan untuk bertanggung jawab mengakui akibat-akibat yang timbul dari kesulitan dan kegagalannya sendiri.

Reach (R)

Reach atau jangkauan merupakan dimensi untuk mengetahui sejauh mana kesulitan akan menjangkau ranah-ranah yang lain dalam kehidupan individu. Individu yang memiliki respon reach

d.

yang rendah dalam menghadapi segala sesuatu hanya akan membuat kesulitan bagi dirinya, dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi wilayah-wilayah yang lain dalam kehidupannya, sehingga akan menghambat kinerjanya serta menimbulkan penilaian diri yang negatif.

Endurance (E) Endurance

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui kecerdasan dalam menghadapi rintangan tidak cukup hanya mengetahui apa yang diperlukan untuk meningkatkannya, tetapi yang perlu diperhatiakan adalah

atau daya tahan, merupakan dimensi pemuncak dalam komposisi Adversity Quotient. Dimensi ini mempertanyakan tentang berapa lama kesulitan akan berlangsung dan berapa lama penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Semakin rendah skor E seseorang, semakin besar kemungkinan ia akan menganggap kesulitan akan berlangsung lama. Sebaliknya, semakin tinggi skor E seseorang, akan memperbesar kemungkinan seseorang menganggap kesulitan yang dihadapinya akan berlangsung dalam waktu singkat atau sementara.


(43)

dimensi-dimensinya agar dapat memahami kecerdasan dalam menghadapi rintangan sepenuhnya.

Individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka didorong oleh beberapa respon yang mengarahkan individu tersebut dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa respon yang mendorong individu dalam menghadapi berbagai kesulitan dalam diri mereka.

Menurut Stoltz (2000) ada tiga respon terhadap kesulitan yaitu:

1. Quitters

Merupakan kelompok orang yang kurang memiliki kemauan untuk menerima tantangan dalam hidupnya. Hal ini secara tidak langsung juga menutup segala peluang dan kesempatan yang datang menghampirinya, karena peluang dan kesempatan tersebut banyak yang dibungkus dengan masalah dan tantangan. Tipe quitter cenderung untuk menolak adanya tantangan serta masalah yang membungkus peluang tersebut.

2. Campers

Merupakan kelompok orang yang sudah memiliki kemauan untuk berusaha menghadapai masalah dan tantangan yang ada, namun mereka melihat bahwa perjalanannya sudah cukup sampai disini. Berbeda dengan kelompok sebelumnya (quitter), kelompok ini sudah pernah menerima, berjuang menghadapi berbagai masalah yang ada dalam suatu pergumulan / bidang tertentu, namun karena adanya tantangan dan masalah yang terus menerjang, mereka memilih untuk berhenti di tengah jalan dan berkemah.

3. Climbers


(44)

berjuang menghadapi berbagai macam hal yang akan terus menerjang, baik itu dapat berupa masalah, tantangan, hambatan, serta hal - hal lain yang terus dapat setiap harinya. Kelompok ini memilih untuk terus berjuang tanpa mempedulikan latar belakang serta kemampuan yang mereka miliki, mereka terus mendaki dan mendaki.

C. Adversity Quotient sebagai prediktor bagi intensi berwirausaha

Adversity Quotient (AQ) berlaku untuk individu, tim dan perusahaan. Adversity Quotient menentukan kemampuan untuk bertahan dan mendaki kesulitan, serta meraih kesuksesan. Seorang wirausaha haruslah memiliki kemampuan yang tidak hanya menjawab tantangan yang muncul tetapi yang lebih utama adalah mampu menjawab tantangan yang mungkin timbul di masa mendatang. Untuk mampu menghadapi tantangan, menurut Stoltz (2000) sangat diperlukan Adversity Quotient. Adversity Quotient merupakan konsep yang dapat untuk melihat seberapa jauh seseorang itu bertahan menghadapi kesulitan dan kemampuan untuk menghadapi kesulitan itu, siapa yang mampu mengatasi kemampuan dan siapa yang akan hancur. Adversity Quotient juga meramalkan siapa yang akan melampaui harapan dan potensi serta siapa yang akan gagal, serta meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan.

Kecerdasan dalam menghadapi tantangan juga mempengaruhi pengetahuan, kreativitas, produktivitas, kinerja, usia, motivasi, pengambilan resiko, perbaikan, energi, vitalitas, stamina, kesehatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan yang dihadapi (Stoltz, 2000).


(45)

Besarnya hambatan dalam berwirausaha dengan resiko gagal akan berdampak pada intensi seseorang untuk berwirausaha. Tanpa adanya Adversity Quotient yang tinggi maka dikhawatirkan seseorang akan mengalami frustasi dan kegamangan dalam menjalani proses menjadi seorang wirausahawan nantinya (Stoltz, 2000). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Afrila (2010), yang menunjukan bahwa semakin tinggi Adversity Quotient yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin tinggi pula intensi berwirausaha mahasiswa tersebut begitu juga sebaliknya semakin rendah Adversity Quotient yang dimiliki oleh mahasiswa maka semakin rendah pula intensi berwirausaha pada mahasiswa.

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa AQ memiliki beberapa dimensi yaitu Control atau kendali, Origin dan Ownership (asal usul dan pengakuan), Reach (jangkauan) dan Endurance (daya tahan) membentuk dorongan bagi individu dalam menghadapi masalah yang dikenal dengan dimensi CO2

Apabila individu yang memandang penyebab / asal usul kesalahan bukan berasal dari diri individu melainkan berasal dari luar atau masalah itu sendiri (Stoltz, 2000), maka akan timbul intensi untuk melakukan sesuatu yang mampu menyelesaikan masalah tersebut. Barker (dalam Stoltz, 2000) Individu yang

RE. Control atau kendali merupakan tingkat rasa percaya diri dan optimisme individu mengenai situasi yang dihadapi, apabila situasi berada dalam kendali individu maka dalam diri individu akan membentuk intensi menyelesaikan masalah. Individu yang memiliki kendali yang tinggi akan berinisiatif menangkap peluang yang ada, yakni mampu melihat dan memanfaatkan peluang untuk melakukan wirausaha Stoltz (2000).


(46)

menganggap wirausaha bagian dari masalah dalam diri individu akan memiliki inisiatif, kreativitas, kemandirian berwirausaha.

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa sejauh mana kesulitan yang dihadapi individu, semakin besar kesulitan-kesulitan yang dihadapi individu maka semakin rendah intensi individu dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Individu yang merasa peluang yang ada dapat dijangkau (Reach) akan memiliki niat atau dorongan melakukan wirausaha. Sedangkan jangka waktu masalah yang dihadapi, apabila lama masalah yang dihadapi maka intensi yang ada dalam diri individu menjadi rendah (Endurance). Individu yang menganggap peluang wirausaha bukan suatu masalah yang menghabiskan waktu dan sabar melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan, akan berupaya melakukan wirausaha (Stoltz, 2000).

Seorang individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan (Adversity Quotient) diduga akan lebih mudah menjalani profesi sebagai seorang wirausahawan karena memiliki kemampuan untuk mengubah hambatan menjadi peluang (Stoltz, 2000). Individu yang memiliki kecerdasan menghadapi rintangan akan memiliki kemampuan untuk menangkap peluang usaha (wirausaha) karena memiliki kemampuan menanggung resiko, orientasi pada peluang/ inisiatif, kreativitas, kemandirian dan pengerahan sumber daya, sehingga Adversity Quotient dalam diri individu memiliki pengaruh terhadap keinginan untuk berwirausaha.

Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Riyanti (2003), yaitu konsep Adversity Quotient terkait erat dengan keberhasilan wirausaha dalam melakukan proses kewirausahaan karena menjalankan usaha pribadi memerlukan keberanian


(47)

untuk menghadapi kegagalan dan kemauan untuk mencoba terus menerus sampai berhasil.

Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh bahwa Adversity Quotient dapat meningkatkan intensi kewirausahaan pada mahasiswa apabila adverity quotient nya tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Adverity Quotient salah satu prediktor positif terhadap intensi berwirausaha pada mahasiswa.

D. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan kajian pustaka, maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut “Adversity Quotient merupakan prediktor positif bagi intensi berwirausaha pada mahasiswa”.


(48)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan unsur penting dalam sebuah penelitian ilmiah sehingga metode yang digunakan dalam penelitian dapat menentukan apakah hasil penelitian tersebut dapat dipertanggungjawabkan (Hadi, 2000).

A. Identifikasi Variabel Penelitian

Berikut adalah identifikasi variabel yang di gunakan dalam penelitian ini : 1. Variabel kriteria : intensi berwirausaha

2. Variabel prediktor : Adversity Quotient

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian

Definisi operasional variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Intensi berwirausaha

Intensi berwirausaha adalah keinginan atau niat yang ada pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan wirausaha.

Intensi berwirausaha diungkap melalui skala intensi berwirausaha yang disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan yaitu sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan control perilaku yang disadari. Total skor yang diperoleh pada skala intensi berwirausaha menggambarkan tingkat intensi berwirausaha. Semakin tinggi skor


(49)

skala intensi berwirausaha yang diperoleh pada mahasiswa, menunjukkan semakin tinggi intensi berwirausaha mahasiswa. Sebaliknya, semakin rendah skor skala intensi berwirausaha yang diperoleh mahasiswa menunjukkan semakin rendah intensi berwirausaha mahasiswa.

2. Adversity Quotient

Adversity Quotient adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk dapat beradaptasi dengan baik meskipun dihadapkan dengan keadaan-keadaan yang sulit, serta kemampuan mengatasi dan menghadapi kesulitan tersebut. Melalui kemampuan berpikir, mengelola dan mengarahkan tindakan yang membentuk suatu pola–pola tanggapan kognitif dan prilaku atas stimulus peristiwa–peristiwa dalam kehidupan yang merupakan tantangan atau kesulitan.

Adversity Quotient diungkap melalui skala Adversity Quotient yang disusun oleh peneliti berdasarkan empat dimensi Adversity Quotient . Menurut

Stoltz (2000) mengemukakan bahwa AQ memilliki beberapa dimensi yang dikenal dengan CO2

a. Control (C)

RE antara lain:

Dimensi ini ditunjukan untuk mengetahui seberapa banyak kendali yang dapat kita rasakan terhadap suatu peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Hal yang terpenting dari dimensi ini adalah sejauh mana individu dapat merasakan bahwa kendali tersebut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan seperti mampu mengendalikan situasi tertentu dan sebagainya.


(50)

b. Origin dan Ownership (O2

Dimensi ini mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seseorang menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sebagai penyebab dan asal usul kesulitan seperti penyesalan, pengalaman dan sebagainya.

)

c. Reach (R)

Dimensi ini yang mengajukan pertanyaan sejauh mana kesulitan yang dihadapi akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu seperti hambatan akibat panik, hambatan akibat malas dan sebagainya.

d. Endurance (E)

Dimensi keempat ini dapat diartikan ketahanan yaitu dimensi yang mempertanyakan dua hal yang berkaitan dengan berapa lama penyebab kesulitan itu akan terus berlangsung dan tanggapan indivudu terhadap waktu dalam menyelesaikan masalah seperti waktu bukan masalah, kemampuan menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan sebagainya. Total skor yang diperoleh pada skala Adversity Quotient menggambarkan tingkat Adversity Quotient. Semakin tinggi skor skala Adversity Quotient yang diperoleh pada mahasiswa, menunjukkan semakin tinggi tinggi tingkat Adversity Quotient mahasiswa. Sebaliknya, semakin rendah skor skala Adversity Quotient yang diperoleh mahasiswa menunjukkan semakin rendah tingkat Adversity Quotient mahasiswa.


(51)

C. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel 1. Populasi dan sampel

Populasi adalah keseluruhan individu yang akan diselidiki dan mempunyai minimal satu sifat yang sama atau ciri–ciri yang sama dan untuk siapa kenyataan yang diperoleh dari subjek penelitian hendak digeneralisasikan (Hadi, 2000).

Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Karakteristik atau ciri sampel dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Mahasiswa S1 Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

b. Usia 18-21 tahun, pembatasan usia remaja menurut Monks (2001), yaitu usia 18 sampai 21 tahun termasuk dalam tahap remaja akhir. Berdasarkan definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa mahasiswa merupakan individu yang belajar di perguruan tinggi dan telah memasuki remaja akhir dan dewasa awal, maka dipilih mahasiswa yang termasuk dalam kategori remaja akhir.

2. Teknik pengambilan sampel

Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah tehnik random sampling. Menurut Hadi (2000) dalam random sampling, pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas dasar ciri-ciri atau sifat populasi yang telah diketahui sebelumnya dan semua individu dalam populasi baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Dalam random sampling semua unsur dari populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai anggota sampel. Anggota sampel


(52)

dipilih secara acak dengan cara menggunakan table angka random (bilangan acak) berdasarkan nomor anggota (nim mahasiswa).

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala psikologi yang berbentuk skala likert dengan beberapa pilihan, yaitu dengan cara menyebarkan skala yang berisi daftar pertanyaan yang telah disiapkan dan disusun sedemikian rupa sehingga subjek penelitian dapat mengisi dengan mudah (Azwar, 2000). Ada dua buah skala yang digunakan yaitu skala Adversity Quotient dan skala intensi berwirausaha.

1. Skala intensi berwirausaha

Skala intensi berwirausaha yang digunakan merupakan skala yang disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek yang dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen (1975) intensi merefleksikan keinginan individu untuk mencoba menetapkan perilaku, yang terdiri dari tiga determinan yaitu sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan control perilaku yang disadari. Skala intensi berwirausaha ini menggunakan Skala Likert.

Skala yang digunakan adalah Skala model likert dengan 5 (lima) buah alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Netral (N), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung (favorable) dan tidak mendukung (unfavorable). Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Bobot penilaian untuk pernyataan mendukung yaitu


(53)

SS=5, S=4, N=3, TS=2 dan STS=1. sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan tidak mendukung yaitu SS=1, S=2, N=3, TS=4 dan STS=5.

Tabel. 1

No

Blue print Skala Intensi Berwirausaha Sebelum Uji coba

Aspek

Jenis Aitem

Total

Favorable unfavorable

1 Sikap terhadap perilaku 2,3,5,6,7 1,4,8,9,10 10

2 Norma subjektif 12,13,16,17,18 11,14,15,19,20 10

3 Kontrol perilaku yang disadari

23,25,26,28,30 21,22,24,27,29 10

Total 15 15 30

2. Skala Adversity Quotient

Skala disusun mengacu pada dimensi Adversity Quotient yang dikemukakan oleh Stolzt (2000) yaitu CO2RE, Control, Origin dan Ownership, Reach, Endurance. Skala Adversity Quotient ini menggunakan Skala Likert

Skala yang digunakan adalah Skala model Likert dengan 5 (lima) buah alternatif jawaban, yaitu: Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS) dan Sangat Tidak Sesuai (STS). Skala disajikan dalam bentuk pernyataan mendukung dan tidak mendukung. Nilai setiap pilihan bergerak dari 1 sampai 5. Bobot penilaian untuk pernyataan mendukung yaitu SS=5, S=4, N=3, TS=2 dan STS=1. sedangkan bobot penilaian untuk pernyataan tidak mendukung yaitu SS=1, S=2, N=3, TS=4 dan STS=5.


(54)

Tabel. 2

No

Blue print Skala Adversity Quotient Sebelum Uji coba Dimensi-dimensi

Adversity Quotient

Jenis Aitem

Total

Favorable Unfavorable

1 Control 3,4,5,6 1,2,7,8 8

2 Origin dan Ownership

9,10,11,14 12,13,15,16

8

3 Reach 20,21,23,24 17,18,19,22 8

4 Endurance 25,26,30,31 27,28,29,32 8

Total 16 16 32

E. Validitas, Reliabilitas, dan Daya Beda Aitem

Salah satu masalah utama dalam kegiatan penelitian sosial khususnya Psikologi adalah cara memperoleh data yang akurat dan objektif. Hal ini menjadi sangat penting, artinya kesimpulan penelitian hanya akan dapat dipercaya apabila didasarkan pada info yang juga dapat dipercaya (Azwar, 2001). Dengan memperhatikan kondisi ini, tampak bahwa alat pengumpulan data memiliki peranan penting. Baik atau tidaknya suatu alat pengumpulan data dalam mengungkap kondisi yang ingin diukur tergantung pada validitas dan reliabilitas alat ukur yang akan digunakan.

1. Uji Validitas

Pengujian validitas diperlukan untuk mengetahui apakah skala pada penelitian ini mampu menghasilkan data akurat sesuai dengan tujuan ukurnya. Validitas alat ukur yang dipakai dalam penelitian ini adalah validitas isi yaitu


(55)

validitas yang menunjukkan sejauh mana aitem dalam skala mencakup keseluruhan isi yang hendak diungkap oleh tes tersebut. Hal ini berarti isi alat ukur tersebut harus komprehensif dan memuat isi yang relevan serta tidak keluar dari batasan alat ukur (Azwar, 2000). Untuk mengkaji validitas alat ukur dalam penelitian ini, peneliti melihat alat ukur dalam penelitian ini digunakan validitas isi. Untuk menegakkan validitas isi, peneliti berkonsultasi dengan pembimbing psikologi industri dan organisasi (professional judgement) dalam proses telaah aitem sehingga aitem – aitem yang telah dikembangkan memang mengukur apa yang dimaksudkan untuk diukur (Suryabrata, 2000).

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas sebenarnya mengacu kepada konsistensi atau kepercayaan hasil ukur yang mengandung makna kecerrmatan pengukuran. Reliabilitas ini ditunjukkan oleh konsistensi skor yang diperoleh subjek dengan memakai alat yang sama (Suryabrata, 2000). Azwar (2000) menyatakan hasil pengukuran dapat dipercaya hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subyek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama, selama dimensi yang diukur dalam diri subyek tidak berubah.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00. Semakin tinggi koefisien reliabilitas mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi reliabilitasnya. Sebaliknya koefisien yang semakin rendah mendekati angka 0 berarti semakin rendah reliabilitasnya.


(56)

Tingkat koefisien reliabilitas yang dapat dianggap memuaskan tidak dapat ditentukan dengan memberikan satu angka yang pasti, karena koefisien reliabilitas yang diperoleh berdasarkan perhitungan terhadap data empiris dari sekelompok subjek yang merupakan estimasi dari reliabilitas sesungguhnya dan hanya berlaku bagi kelompok subjek yang dijadikan dasar perhitungan itu saja. Namun, dengan koefisien reliabilitas 0,90 berarti perbedaan yang tampak pada skor tes tersebut dapat mencerminkan 90% dari perbedaan yang terjadi pada skor murni subjek yang bersangkutan (Azwar, 2000). Teknik estimasi reliabilitas yang digunakan untuk skala Adversity Quotient dan skala intensi berwirausaha adalah koefisien alpha cronbach dengan bantuan SPSS versi 16.0 for windows.

3. Uji Daya Beda Aitem

Uji daya beda aitem dilakukan untuk melihat sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Indeks daya diskriminasi aitem merupakan pola indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan yang dikenal dengan istilah konsistensi aitem-total. Prinsip kerja yang dijadikan dasar untuk melakukan seleksi aitem dalam hal ini, adalah memilih aitem-aitem yang fungsi ukurnya selaras atau sesuai dengan fungsi ukur skala sebagaimana dikehendaki oleh peneliti (Azwar, 2005).

Pengujian daya diskriminasi aitem menghendaki dilakukannya komputasi korelasi antara distribusi skor aitem dengan suatu kriteria yang relevan, yaitu distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem total (rix) yang dikenal dengan sebutan parameter daya beda aitem.


(57)

Kriteria pemilihan aitem berdasarkan korelasi aitem menggunakan batasan rix ≥ 0,30. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0,30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Aitem yang memiliki harga rix

Teknik statistika yang digunakan adalah koefisiensi Product Moment oleh Pearson. Formulasi koefisien korelasi Product Moment dari Pearson digunakan

< 0,30 dapat diinterpretasikan sebagai aitem yang memiliki daya diskriminasi rendah (Azwar, 2000). Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.275, daya pembedanya juga dianggap memuaskan (Azwar, 2005).

bagi tes-tes yang setiap aitemnya diberi skor kontinu. Semakin tinggi koefisien korelasi positif antara skor aitem dengan skor skala berarti semakin tinggi konsistensi antara aitem tersebut dengan skala secara keseluruhan yang berarti semakin tinggi daya bedanya. Bila koefisien korelasi rendah mendekati angka nol berarti fungsi aitem tersebut tidak cocok dengan fungsi ukur skala dan daya bedanya tidak baik (Azwar, 2000). Pengujian daya beda aitem pada skala stres ini dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS (Statistical Package For the Social Science) versi 16.0 for Windows.

F. Hasil Uji Coba Penelitian

Uji coba skala intensi berwirausaha dan skala Adversity Quotient

dilakukan terhadap 80 mahasiswa dan mahasiswi di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

1. Hasil Uji Coba Skala Intensi Berwirausaha

Untuk melihat daya diskriminasi aitem, dilakukan analisa uji coba dengan menggunakan aplikasi komputer SPSS versi 16.0 for windows, kemudian nilai


(58)

corrected aitem total correlation yang diperoleh dari analisis reliability yang memiliki harga kritik 0.30. Karena menurut Azwar (2000), semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.30, daya pembedanya dianggap memuaskan. Jumlah aitem yang diuji cobakan adalah 30 aitem dan dari 30 aitem diperoleh 26 aitem, dengan indeks dikriminasi > 0.3 dan 4 aitem yang gugur. 26 aitem, dengan indeks dikriminasi > 0.3 tersebut kemudian dianalisa lagi dan hasilnya 25 aitem, dengan indeks dikriminasi > 0.3 dan 1 aitem yang gugur. 25 aitem yang sah aitem, dengan indeks dikriminasi > 0.3 tersebut dianalisa kembali dan diperoleh 25 aitem memiliki harga kritik diatas 0.30, selanjutnya 25 aitem inilah yang akan digunakan dalam penelitian, dengan kisaran koefisien korelasi rxx = 0.334 sampai dengan rxx

Tabel 3. Distribusi aitem-aitem skala intensi berwirausaha setelah uji coba = 0.750 dan reliabilitas sebesar 0.928. distribusi aitem yang sahih dari skala intensi berwirausaha dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini:

No Aspek

Jenis Aitem

Total

Favorable unfavorable

1 Sikap terhadap perilaku 2,3,5,6,7 4,8,9 8 2 Norma subjektif 13,16,17,18 11,15,19,20 8

3 Kontrol perilaku yang disadari

25,26,28,30 21,22,24,27,29 9


(59)

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu aitem disusun kembali. Distribusi aitem penelitian untuk skala semangat kerja dapat dilihat pada tabel 4 berikut:

Tabel 4. Distribusi aitem-aitem skala intensi berwirausaha setelah uji coba

No Aspek

Jenis Aitem

Total

Favorable unfavorable

1 Sikap terhadap perilaku 1,3,4,5,6 2,7,8 8 2 Norma subjektif 10,12,13,14 9,11,15,16 8

3 Kontrol perilaku yang disadari

20,21,23,25 17,18,19,22,24 9

Total 13 12 25

2. Hasil Uji Coba Skala Adversity Quotient

Perhitungan untuk mencari indeks daya beda aitem menggunakan analisis statistik SPSS versi 16.0 for windows. Fungsi perhitungan ini adalah untuk menyeleksi aitem yang layak dipakai. Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.275, daya pembedanya dianggap memuaskan (Azwar, 2005). Uji coba yang dilakukan pada skala Adversity Quotient, dengan daya diskriminasi > 0.3 diperoleh banyak aitem yang gugur, dan ada satu dimensi yang tidak mewakili dari Adversity Quotient yaitu dimensi Origin dan Ownership, sehingga diturunkan koefisien korelasinya menjadi 0.275, dimana menurut Azwar (2000) Semua aitem yang mencapai koefisien korelasi minimal 0.275, daya pembedanya juga dianggap memuaskan. Jumlah aitem yang diuji cobakan adalah 32 aitem dan dari 32 aitem diperoleh 21 aitem, dengan indeks dikriminasinya > 0.275 dan 11


(60)

aitem yang gugur. 21 aitem, dengan indeks dikriminasinya tersebut kemudian dianalisa lagi, dan diperoleh 20 aitem yang memiliki harga kritik diatas 0.275 dan 1 aitem memiliki harga kritik dibawah 0.275. kemudian 20 aitem tersebut dianalisa kembali dan hasilnya 20 aitem memiliki harga kritik diatas 0.275, selanjutnya 20 aitem inilah yang akan digunakan dalam penelitian, dengan kisaran koefisien korelasi rxx = 0.298 sampai dengan rxx

Tabel 5. Distribusi aitem-aitem skala Adversity Quotient setelah uji coba = 0.617 dan reliabilitas sebesar 0.838. Distribusi aitem yang sahih dari skala Adversity Quotient dapat dilihat pada tabel 5 berikut ini:

No

Dimensi-dimensi Adversity Quotient

Jenis Aitem

Total

Favorable Unfavorable

1 Control 3,4,6 1,2,7,8 7

2 Origin dan Ownership

11 16

2

3 Reach 20,21,23,24 18,22 6

4 Endurance 25,26 27,29,32 5

Total 10 10 20

Sebelum skala digunakan untuk penelitian, terlebih dahulu aitem disusun kembali. Distribusi aitem penelitian untuk skala Adversity Quotient dapat dilihat pada tabel 6 berikut ini:


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab ini akan disimpulkan jawaban-jawaban dari permasalahan dalam penelitian ini dan akan dikemukakan saran-saran berdasarkan hasil penelitian ini. A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diperoleh dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

a. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Adversity Quotient merupakan prediktor positif bagi intensi berwirausaha mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Adversity Quotient memberikan sumbangan efektif sebesar 9.7% dalam meningkatkan intensi berwirausaha, sehingga 81.3% merupakan faktor lain yang dapat mempengaruhi intensi berwirausaha mahasiswa yang tidak diteliti dalam penelitian ini.

b. Berdasarkan kategorisasi hipotetik sebagian besar intensi berwirausaha mahasiswa Fakultas Psikologi dalam penelitian ini tergolong cukup dan Adversity Quotient tergolong dalam kategori sedang dan rendah (50% sedang dan 50% rendah).

B. SARAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan kesimpulan yang dikemukakan, maka peneliti memberikan beberapa saran yang diharapkan dapat berguna bagi pengembangan kelanjutan studi ilmiah dan berguna bagi mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.


(2)

1. Saran Metodologis

a) Bagi penelitian selanjutnya, hendaknya juga dilihat pengaruh faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi intensi berwirausaha, menurut Kristiansen dan Indarti,. N. (2003), ada beberapa faktor yang mempengaruhi intensi berwirausaha. Faktor tersebut berupa faktor demografi berupa jenis kelamin, usia, pengalaman kerja serta faktor eksternal berupa akses modal, informasi dan jaringan sosial, sehingga faktor ini juga perlu dipertimbangkan dalam penelitian selanjutnya.

b) Pada penelitian ini, peneliti menyadari bahwa hasil yang diperoleh belum tergali secara mendalam maka untuk peneliti selanjutnya peneliti menyarankan dapat membuat dan menyempurnakan alat ukur dengan metode lainnya seperti wawancara atau dengan metode observasi sehingga tidak hanya berupa skala.

c) Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah subjek yang hendak diteliti, sehingga variasi jawaban mahasiswa dapat mempertinggi reliabilitas dari skala yang dipergunakan.

2. Saran Praktis

a) Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sebagian besar memiliki Adversity Quotient yang sedang dan rendah (50% sedang dan 50% rendah) sehingga menurunkan intensi berwirausaha. Hal ini dapat menjadi perhatian khusus bagi pihak akademik kampus agar lebih meningkatkan Adversity Quotient supaya intensi berwirausaha pada mahasiswa meningkat. Menurut Stoltz (2000), untuk memperbaiki Adversity Quotient dengan menerapkan


(3)

rangkaian LEAD. L= Listen. Dengarkan respon anda terhadap kesulitan. E= Explore. Jajakilah asal-usul dan pengakuan anda atas akibatnya. A= Analyze. Analisislah bukti-buktinya, menganalisis bukti mencakup proses bertanya yang sederhana, dimana anda memeriksa, mempertanyakan, dan pada akhirnya mengalihkan aspek-aspek destruktif respon anda. D= Do. Lakukanlah sesuatu, banyak program untuk perbaiki diri dan meningkatkan kinerja dimulai dengan mengajar anda untuk mengambil tindakan.

b) Sebagian besar subjek penelitian ini tergolong memiliki kecenderungan berwirausaha yang cukup (sedang), oleh karena itu mahasiswa hendaknya meningkatkan lagi perhatian terhadap wirausaha, salah satunya dengan cara mengikuti program-program wirausaha yang ada di luar maupun di sekitar kampus, seperti mengikuti seminar-seminar kewirausahaan, kemudian menambah pengetahuan mengenai wirausaha pada mata kuliah kweirausahaan.

c) Hasil penelitian terhadap Adversity Quotient menunjukkan sebagian besar mahasiswa berada dalam kategori sedang dan rendah (50% sedang dan 50% rendah), oleh sebab itu hendaknya ditingkatkan lagi dengan cara menerapkan rangkaian LEAD yang diungkapkan oleh Stoltz (2000) untuk memperbaiki Adversity Quotient.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Afrilia, (2010). Hubungan antara Efikasi diri dengan Intensi Berwirausaha pada Mahasiswa. Skripsi. [On-line] Tanggal akses: 20 April 2011.

Azwar, S. (2000). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______. (2001). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. _______. (2005). Metode Penelitian. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Badan Pusat Statistik. (2010). Berita Resmi Statistik. [On-line]

Bambang, (2009). Pengembang Jiwa Kewirausahaan Di Kalangan Dosen dan

Mahasiswa. [On-line]

Tanggal akses: 19 Januari 2011.

Darmaningtyas. (2008). Utang dan Korupsi Racun Pendidikan. Jakarta: Pustaka Yashiba.

Deaux, K., Dane, F.C., & Wrightmans, L.W., (1993). Social Psychology in the

’90. (6th edition). California: Brooks/Cole Publishing Company Pasific

Groove.

Drucker, P. (1975). Innovation and Entrepreneurship: Practice and Principles.

New York: William Heinemann.

Eagly, A.H and Chaiken, S. (1993). The Psychology of Attitudes, Fort Worth, TX: Harcourt Brace Jovanovich.

Fishbein, M and Ajzen I. (1975). Belief, Attitude, Intention and Behavior: An

Introduction to Theory and Research. California : Addison-Wesley

Publishing Company Inc, Menlo Park.

Hadi, S. (2000). Metodologi Research. Yogyakarta : Penerbit Andi Yogyakarta. Hadipranata, A. (2000). Psikologi. Liberty: Yogyakarta.

Harefa, A., (1998). Inovasi-Kewirausahaan : Untuk semua orang. [On-line]

http//bgd.centrin,net.id/n.fmunjani/doc_4.htm, Tanggal akses: 16 Maret 2011.

Harian Pikiran Rakyat. (2010). Wirausaha Cegah Pengangguran. [On-line].


(5)

Hartini (2002). Intensi Wirausaha Pada Siswa SMK. Skripsi. Univ Wangsa Manggala. Tidak dipublikasikan.

Hirrich, M.D dan Peters, M.D. (1998). Kewirausahaan. Bandung : Alfabeta,

Terjemahan.

Ifham, A., (2002). Hubungan kecerdasan emosi dengan kewirausahaan pada mahasiswa. Jurnal psikologi No.2. Universitas Gajah Mada.

Indarti dan Rostiani. (2008). Intensi Kewirausahaan Mahasiswa: Studi Perbandingan Antara Indonesia, Jepang dan Norwegia. Jurnal Ekonomika dan Bisnis Indonesia, Vol. 23. Universitas Gajah Mada.

Kapplan, R.M and Saccuzo, D.P (2001). Psychological Testing.

Singapore:Wadsworth-Thomson Learning.

Kristianten dan Indarti,. N. (2003). Determinants of Entrepreneurial Intention:

The Case of Norwegian Students. International Journal of Business

Gadjah Mada. Vol 5 No 1 Januari.

Media Indonesia, (2011). Menumbuhkembangkan Jiwa Entrepreneurship di

Kampus. [On-line]

Tanggal akses: 18 Mei 2011.

Monks, F.J; Knoers, A.M.P; Siti R.H. (2001). Psikologi Perkembangan:

pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Nandy (2010). Mengembangkan Semangat Wirausaha. [On-line]. Tanggal akses: 20 April 2011.

Pekerti, (2000). Intensi Dalam Perilaku Individu. Bandung : Alfabeta,

Terjemahan.

Rahmawati. (2000). Pendidikan Wirausaha Dalam Globalisasi. Liberty:

Yogyakarta.

Riyanti. B.P.D., (2003). Kewirausahaa dari Sudut Pandang Psikologi. Jakarta : PT. grasindo.

Stoltz. (2000). Adversity Quotient : Mengubah Hambatan Menjadi Peluang.

Jakarta : PT. grasindo.

Suryabrata, S. (2000). Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Suryana, (2003). Kewirausahaan: pedoman praktis, kiat dan proses menuju


(6)

Wijaya, (2007). Hubungan Adversity Intelligence dengan Intensi Berwirausaha.

[On-line]

Tanggal akses: 15 Maret 2011.

Winarsunu. (2004). Statistik Dalam Peneltian Psikologi dan Pendidikan. Malang : UMM Press.