Ketersediaan Bahan Baku Model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi

101

6.7 Ketersediaan Bahan Baku

Kendala pertama pengembangan agroindustri adalah ketidakcukupan pasokan bahan baku Gandhi dan Jain, 2011. Seperti dilaporkan oleh Peramune dan Budiman 2007, produktivitas karet alam Indonesia relatif rendah, rata-rata 862 kghatahun. Penyebabnya antara lain umumnya para petani masih menggunakan klon asalan dan banyaknya pohon karet yang tidak produktif karena sudah tua dan rusak sekitar 400.000 hektar sehingga perlu diremajakan Boerhendhy dan Agustina, 2006; Akiefnawati et al., 2008. Lahan kebun karet di Kabupaten Barito Utara tersebar di enam kecamatan seluas 53.333 ha dengan produksi mencapai 41.564 ton karet kering per tahun pada tahun 2008 seperti disajikan pada Tabel 6.9. Tiga kecamatan yang memiliki luas lahan tertinggi adalah Teweh Tengah 41, Gunung Timang 21 dan Lahei 16. Produktivitas rata-rata di kabupaten ini masih di bawah rata-rata nasional, kecuali di Kecamatan Montallat yang produktivitasnya mencapai 0,996 kgha namun lahan yang tersedia hanya 5.838 hektar atau 11 dari total lahan karet. Tabel 6.9. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Karet Rakyat di Kabupaten Barito Utara 2007 – 2008. No. Kecamatan 2007 2008 Luas ha Produksi Ton Produk- tivitas tonha Luas ha Produksi Ton Produk- tivitas tonha 1 Montallat 6.045 5.893,23 0,975 6.045 5.838,58 0,966 2 Gunung Timang 11.357 9.000,00 0,792 11.444 9.045,00 0,790 3 Gunung Purei 2.530 1.919,48 0,759 2.530 1.950,42 0,771 4 Teweh Timur 2.954 1.914,83 0,648 3.041 1.925,50 0,633 5 Teweh Tengah 21.512 15.659,26 0,728 21.690 15.674,88 0,723 6 Lahei 8.572 7.167,20 0,836 8.583 7.130,00 0,831 Jumlah 52.970 41.554,00 53.333 41.564,38 Produktivitas rata-rata tonhathn 0,784 0,779 Sumber: Statistik Perkebunan Barito Utara 2009. Produktivitas 779 kghatahun cukup untuk pasokan bahan baku karet untuk pabrik karet remah skala medium 18.000 tontahun atau 60 tonhari, namun jadi masalah untuk pengembangan agroindustri kayu karet. Hal ini diatasi melalui peremajaan 10.000 hektar secara bertahap dengan sistem wanatani karet tipe-1. Sistem wanatani banyak direkomendasikan untuk pengelolaan hutan dan tanaman 102 perkebunan berkelanjutan dengan input rendah, serta berbagai fungsi baik untuk agrowisata dan penyediaan karbon Nair, 1989; Nair et al., 2009. Bentuk wanatani karet dipandang sesuai di Indonesia dimana umumnya kebun karet rakyat lebih menyerupai hutan karet. Keuntungan bentuk hutan karet adalah penghematan biaya dan tenaga kerja pemeliharaan sebelum sadap, diversifikasi pendapatan melalui kayu serta produk bukan kayu dalam sistem agroforestri Penot, 2004. Sistem wanatani karet tipe-1 adalah sistem wanatani karet ekstensif yang pengelolaannya setara dengan hutan karet rakyat, dimana karet asalan diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti pada sistem wanatani Budi et al., 2008. Biaya yang diperlukan untuk peremajaan kebun karet adalah Rp. 10,5 jutahektar Goenadi, 2007. Dengan tingkat bunga 10 per tahun, maka total pengembalian pinjaman pokok dan bunga pinjaman selama 10 tahun adalah Rp. 16.275.000. Diperkirakan pada saat peremajaan jumlah tegakan sekitar 200-250 pohon per hektar akan menghasilkan kayu sekitar 250-300 m 3 . Jika cabang dan dahan yang berpenampang kurang dari 15 cm tidak diperhitungkan, maka dari setiap hektar perkebunan karet yang diremajakan dapat diperoleh sekitar 175 m 3 kayu bulat Boerhendhy et al., 2003. Kerapatan pohon karet rata-rata adalah 550 – 600 pohon per hektar Budi et al., 2008. Jadi sebenarnya jumlah kayu yang dihasilkan bisa lebih banyak. Dengan asumsi produksi kayu 150 m 3 ha dan harga kayu karet bulat Rp. 300.000m 3 maka diperoleh hasil peremajaan Rp. 45 juta selisih positif Rp. 28.725.000. Jika secara bertahap dalam setahun diremajakan 37 batanghatahun, maka dalam 10.000 hektar diremajakan sebanyak 370.000 batangtahun setara 667 ha tahun, diperoleh kayu bulat sebanyak 100.000 m 3 tahun nilai Rp 30 milyartahun atau Rp. 450 milyar dalam 15 tahun, dipotong biaya peremajaan dan kredit maka diperoleh kas positif sebesar Rp. 287 milyar. Klon-klon anjuran seperti IRR-112, dan IRR-118 penghasil lateks dan kayu direkomendasikan untuk dikembangkan dalam skala luas Anwar, 2006; Boerhendhy dan Agustina, 2006. Klon yang digunakan dalam kegiatan ini adalah IRR-112 yang dilepas sebagai benih bina dengan SK Mentan Nomor. 103 511kptsSR 12092007. Klon IRR-112 merupakan klon unggul penghasil Lateks- Kayu. Rata-rata laju pertumbuhan lilit batang disaat TBM yaitu 13 cmtahun dan 6 cmtahun disaat TM. Penyadapan dapat dilakukan pada umur 3,5 tahun, kulitnya relatif tebal, cukup resisten terhadap Corynespora dan Colletotrichum. Potensi produksi rata-rata 2.546 kghatahun dan kumulatif produksi sampai umur 9 tahun 22.493 kg. Adaptabilitas klon IRR-112 pada daerah sedang sampai kering. Klon ini sesuai kriteria BPTK 2004 yang telah meneliti kesesuaian agroklimat budidaya karet di daerah ini. Berdasarkan potensi Klon IRR-112, proyeksi produksi hasil peremajaan per hektar selama 15 tahun disajikan pada Tabel 6.10. Dengan peremajaan bertahap, dalam 15 tahun produktivitas perkebunan akan meningkat jadi 1,146 tonhatahun naik 47. Asumsi yang digunakan dalam perhitungan dan perbandingan pendapatan adalah kondisi saat ini dimana usaha tani karet sudah berjalan dengan produktivitas karet kering 779 kghatahun. Peremajaan dilakukan secara bertahap selama 15 tahun, sehingga setiap tahun diremajakan sekitar 115 hektar atau setara dengan 37 batanghatahun. Dengan asumsi per hektar menghasilkan 150 m 3 , maka diperoleh 10 m 3 kayu bulat per tahun dengan harga Rp. 300.000 m 3 . Dalam prakteknya luas minimal peremajaan yang bisa dibiayai dari kredit program revitalisasi adalah dua hektar. Perhitungan 115 hektar hanyalah untuk penyederhanaan untuk melihat kelayakan kegiatan usaha ini jika dilakukan peremajaan bertahap atau setidaknya dalam satu tahun jumlah yang harus diremajakan minimal 30 hektar. Sementara dalam skenario yang dirancang berdasarkan ketersediaan lahan untuk peremajaan adalah 10.000 hektar atau 667 hektar per tahun. Hasil usaha tani karet dengan peremajaan bertahap selama 15 tahun seperti disajikan pada Tabel 6.11 menunjukkan bahwa kegiatan ini secara ekonomis masih layak dijalankan. Rincian perhitungan terlampir pada Lampiran 8-11. 104 Tabel 6.10. Proyeksi produksi hasil peremajaan per hektar Thn Luas TM1 ha Luas TBM ha Luas TM2 ha Total TM ha Hasil TM kgha 1 2 3 4 5 6 1 0,93 0,07 - 0,93 724 2 0,86 0,14 - 0,86 670 3 0,79 0,21 - 0,79 615 4 0,72 0,28 0,07 0,79 715 5 0,65 0,07 0,14 0,79 814 6 0,58 0,14 0,21 0,79 914 7 0,51 0,21 0,28 0,79 1.013 8 0,44 0,28 0,35 0,79 1.113 9 0,37 0,07 0,42 0,79 1.212 10 0,30 0,14 0,49 0,79 1.312 11 0,23 0,21 0,56 0,79 1.411 12 0,16 0,28 0,63 0,79 1.511 13 0,09 0,07 0,70 0,79 1.610 14 0,02 0,14 0,77 0,79 1.710 15 - 0,21 0,84 0,84 1.848 1.146 Keterangan: • TM1 : luas tanaman menghasilkan sebelum peremajaan • TM2 : luas tanaman menghasilkan saat peremajaan • TBM: luas tanaman belum menghasilkan • Peremajaan dilakukan 115 atau 0,07 hatahun setara 37 batang pohon karet • Hasil peremajaan 150 m 3 15 = 10 m 3 per tahun • Hasil TM = 779x kolom 2 + 2.200 x kolom 4. Tabel 6.11. Pendapatan usaha tani dari hasil peremajaan Kriteria Nilai Investasi Rp 27.000.000 NPV Rp 46.903.000 IRR 26 BC rasio 2,74 PBP tahun 5,1 Produktivitas lateks kghathn 1.146 Produksi kayu m 3 hathn 150 Hasil percobaan di daerah Bungo Jambi dan Sanggau Kalimantan Barat menunjukkan bahwa karet klonal pada sistem wanatani memberikan hasil tiga kali lebih tinggi. Matang sadap karet klonal lebih cepat daripada karet lokal. Petani karet dapat lebih cepat mendapatkan penghasilan dari kebun karetnya Budi et al., 2008. Namun semua kajian ini berhenti pada level on farm yang bukan merupakan ranah agroindustri. Kajian-kajian ini masih harus ditingkatkan ke level integrasi ke hilir untuk mendapatkan nilai tambah lebih bagi para pemangku kepentingan. 105 7 MODEL AGROINDUSTRI TERINTEGRASI Seperti ditunjukkan pada analisis persaingan, semua unit usaha selain usaha tani karet rakyat, menunjukkan tingkat persaingan yang tinggi bahkan untuk industri furnitur intensitas persaingan mendekati sangat tinggi. Selain pertimbangan efisiensi, integrasi merupakan salah satu upaya dan strategi untuk memenangkan persaingan Riordan, 2005. Integrasi dapat dilakukan dalam bentuk integrasi ke sumber bahan baku integrasi hulu maupun ke hilir pasar, serta pemusatan lokasi industri aglomerasi untuk menyatukan sumberdaya dan pangsa tenaga kerja. Untuk mencapai skala operasi ekonomi maka para petani harus melakukan aksi kolektif dalam bentuk kelembagaan koperasi atau kelompok petani karet. Pada kajian ini, model agroindustri terintegrasi dirancang menjadi beberapa level unit usaha dan dibandingkan dengan jika masing-masing unit beroperasi secara terpisah. Analisis kelayakan integrasi dilakukan pada unit-unit usaha sebagai berikut: 1. Integrasi dengan pola kontrak tani contract farming antara industri karet remah dengan kelompok tani. 2. Integrasi industri kayu gergajian dengan kegiatan peremajaan 3. Integrasi industri furnitur dengan industri kayu gergajian 4. Integrasi industri furnitur, industri kayu gergajian dan peremajaan 5. Integrasi seluruh unit usaha

7.1 Integrasi industri karet remah dan kebun karet rakyat