Faktor, tujuan dan pemangku kepentingan

86 pada Tabel 6.2, 6.3 dan 6.4. Hasil pengolahan terlampir pada Lampiran 4 dan penilaian masing-masing pakar pada Lampiran 5 – 7. Tabel 6.2. Hasil pembobotan faktor-faktor pengembangan Sub-elemen Bobot kepentingan 1. Pasar 2. Dukungan kebijakan 3. Modal 4. Bahan baku 5. Informasi 6. Teknologi 7. Ekologi 8. Legalitas usaha 9. Sumberdaya manusia 10. Sosial budaya 0,188 0,172 0,160 0,132 0,109 0,072 0,056 0,045 0,035 0,032 Inkonsistensi 0,060 Tabel 6.3. Hasil pembobotan tujuan pengembangan Sub-elemen Bobot kepentingan 1. Kelangsungan usaha 2. Kontinuitas bahan baku 3. Kepastian harga kualitas bahan baku 4. Nilai tambah yang layak 5. Kemudahan akses informasi 6. Kemandirian petani 7. Pengembangan industri hilir 8. Kelestarian lingkungan 9. Pengembangan ekonomi lokal 10. Pendapatan asli daerah 0,234 0,163 0,150 0,128 0,094 0,074 0,055 0,038 0,032 0,031 Inkonsistensi 0,060 Tabel 6.4. Hasil pembobotan tingkat kepentingan pelaku kepentingan Sub-elemen Bobot kepentingan 1. Industri karet 2. Lembaga dana 3. Petani karet 4. Pemerintah daerah 5. Koperasi petani 6. Pedagang perantara 7. Pendamping kelompok tani 8. Perguruan tinggi 9. Lembaga penelitian 0,252 0,199 0,143 0,133 0,089 0,065 0,055 0,032 0,032 Inkonsistensi 0,070 87

a. Faktor-faktor pengembangan

Hasil pembobotan terhadap faktor-faktor pengembangan Tabel 6.2 menempatkan pasar 0,176, dukungan kebijakan 0,159, modal 0,143, bahan baku 0,141 dan informasi 0,138 pada posisi teratas. Faktor pasar ini terkait kepastian pasar dan kemudahan akses pasar. Pasar dan harga karet masih didominasi oleh para pedagang perantara karena kekuatan modal, informasi, jaringan dan sarana transportasi. Informasi yang asimetris berdampak pada dominasi pihak-pihak tertentu dalam aliran rantai pasok komoditas seperti pengumpul, pedagang besar, agen komisi, dan pengecer. Pada kasus rantai pasok karet alam di Indonesia, para petani hanya menerima nilai 30 – 40 dari nilai FOB SIR 20. Berdasarkan kajian BPTK 2004 di lokasi, para petani hanya menerima 50,2 dari harga FOB SIR 20. Ketika terjadi kenaikan harga karet pada bulan Januari 2011 yang mencapai 5,3 USD sekitar Rp. 48.000 para petani hanya menerima Rp. 18.000kg karet kering atau 37,5, tidak berbeda dengan hasil penelitian Peramune dan Budiman 2007 dan Arifin 2005. Modal yang minim merupakan kendala umum bagi para petani karet dalam pengembangan pengembangan agroindustri. Kekurangan modal, khususnya modal kerja dan kesulitan mengakses kredit atau sumber dana disebutkan oleh banyak peneliti Kachru 2006; Shehrawat, 2006; Fatah, 2007; Reardon et al., 2009. Lembaga-lembaga dana lebih suka memberikan pinjaman untuk modal tetap, sementara sektor agroindustri lebih membutuhkan modal kerja. Bank memberikan modal kerja dengan bunga yang lebih besar untuk modal kerja ketimbang pinjaman modal lainnya Ghandi dan Jain, 2011. Pengembangan agroindustri karet alam di lokasi khususnya untuk kegiatan peremajaan terkendala dan belum bisa dimulai akibat kurangnya modal dan persyaratan akses modal kredit yang mengharuskan para petani memiliki sertifikat lahan dan persyaratan adanya perusahaan penjamin avalis. Berdasarkan Statistik Perkebunan Barito Utara 2009, luas lahan yang tersedia di lokasi tahun 2008 adalah 53.333 hektar dengan produksi karet kering 41.564 ton atau rata-rata produktivitas 0,779 kghatahun. Nilai ini lebih rendah 0,64 dibandingkan tahun 2007 0,784 kghatahun. Sebenarnya dari sisi produktivitas tidak terjadi penurunan, namun yang terjadi adalah peningakatan 88 luas TBM dari dari 41.554 hektar menjadi 53.333 hektar atau penambahan seluas 11.779 hektar. Rincian data per kecamatan dapat dilihat padaTabel 6.7 halaman 95. Berdasarkan kajian BPTK 2004 produksi bokar di lokasi ini hanya memenuhi syarat untuk diolah menjadi karet remah SIR-20. Terkait bahan baku industri kayu gergajian, Greenomics Indonesia 2004 melaporkan bahwa sejak periode 2002-2004 kontribusi pasokan kayu hutan alam untuk industri kayu hanya mencapai 20. Departemen Kehutanan memproyeksikan kontribusi kayu karet untuk industri kayu di tahun 2007-2025 sebanyak 6 juta m 3 tahun dengan alokasi masing-masing untuk kayu gergajian 45, kayu lapis 45 dan papan partikel 10 Manurung et al., 2007. Kelayakan penggunaan kayu karet sebagai bahan bangunan juga telah diteliti oleh Abdurachman dan Hadjib 2009 yang membandingkan 10 jenis kayu berdasarkan sifat mekanisnya mengacu kepada SNI 01-7207-2006 menunjukkan bahwa kayu karet memiliki kerapatan tertinggi 0,61 gramcm 3 dan kelas kuat II-III sehingga layak digunakan untuk bahan bangunan struktural maupun non-struktural. Bahan baku untuk industri kayu gergajian dan furnitur dapat diperoleh melalui kegiatan peremajaan bertahap 10.000 hektar karet tua yang tersedia di lokasi.

b. Tujuan pengembangan

Berdasarkan hasil pembobotan, tujuan pengembangan Tabel 6.3 yang mendapat bobot tertinggi adalah kelangsungan usaha 0,233, kontinuitas bahan baku 0,165, kepastian harga dan kualitas bahan baku 0,150 serta nilai tambah yang layak 0,128. Kelangsungan usaha menjadi kebutuhan semua pelaku baik petani karet, pedagang perantara maupun industri, hanya saja dalam hal ini terdapat pertentangan kepentingan. Dari sisi petani tentu menghendaki harga yang tinggi agar diperoleh keuntungan yang tinggi juga. Pedagang perantara menghendaki harga beli yang rendah dan harga jual tinggi. Pihak industri karet remah menghendaki bahan baku dengan harga rendah serta pasokan bahan baku yang kontinyu dengan jumlah dan mutu yang jelas. Karena itu diperlukan mekanisme pasar dan tataniaga yang dapat menjamin kelangsungan usaha semua pihak dan msing-masing pelaku mendapatkan nilai tambah yang pantas. Nilai tambah yang pantas bagi para petani sesuai ketentuan sekurang- kurangnya adalah 75 dari harga FOB per kilogram karet kering di tingkat unit