Gambar 58 Tumpang susun antara sebaran nilai amplitudo dan batimetri.
Gambar 59 Tumpang susun antara sebaran nilai backscatter dan batimetri. Berdasarkan Gambar 57, 58 dan 59 nampak bahwa tipe substrat lanau
pasiran menutupi sebagian besar daerah kajian. Substrat pasir lanauan terletak di bagian Timurlaut dan bagian tengah daerah kajian, ditandai dengan nilai
backscatter nya yang lebih besar dibandingkan lokasi lainnya. Semakin ke arah Selatan dan Tenggara, semakin dalam perairannya, pola kecenderungan nilai
backscatter nya semakin kecil. Hal ini bersesuaian dengan tipe sedimen yang memiliki ukuran butir lebih kecil seperti lanau, liat dan campuran dari keduanya.
Terlihat bahwa dalam satu jenis substrat yang sama bisa memiliki nilai backscatter yang berbeda. Hal ini disebabkan persentase komposisi partikel
penyusun substrat tersebut berbeda-beda, sehingga respon terhadap pulsa akustik yang mengenainya akan berbeda pula.
Sebaran berbagai jenis sedimen di dasar laut ini dipengaruhi oleh faktor arus dan gelombang. Substrat pasir yang memiliki ukuran butir lebih besar,
cenderung akan terendapkan pada kondisi arus laut yang lebih kuat dibandingkan dengan lanau dan liat, sehingga pasir akan cenderung berada di area yang
berdekatan dengan daratan dan perairan yang lebih dangkal. Gambar 60 menyajikan perbandingan beberapa hasil penelitian mengenai
backscatter dasar perairan dengan instrumen MBES yang berbeda.
Gambar 60 Perbandingan nilai backscattering strength pada beberapa tipe substrat.
Dalam analisa backscatter untuk mengidentifikasi jenis sedimen, terdapat perbedaan yang mendasar antara sistem single beam dan multibeam. Sistem single
beam memiliki beberapa keuntungan yaitu sudut datang setiap ping yang dipancarkan konstan, dan ukuran data akustiknya relatif lebih kecil. Kelemahan
sistem ini terletak pada cakupan area dasar laut yang diensonifikasi terbatas hanya pada beam tunggal, sehingga resolusinya rendah.
Pada sisi lain, sistem multi beam memiliki cakupan area dan tingkat resolusi yang lebih baik daripada single beam, namun pemrosesan datanya lebih
komplek.
Hasil penelitian menggunakan instrumen single beam Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu yang beroperasi pada frekuensi 200 kHz
menunjukkan bahwa nilai rata-rata acoustic backscattering strength untuk substrat pasir lanauan adalah sebesar -20.32 dB. Sedangkan penelitian menggunakan
instrumen Elac Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat yang dioperasikan pada frekuensi 180 kHz menunjukkan bahwa untuk tipe substrat pasir lanauan
memiliki nilai rata-rata sebesar -22.0 dB. Pada sistem single beam maupun multi beam nilai acoustic backscattering
strength dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar laut tipe sedimen, komposisi partikel penyusun
sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar jarak, beamwidth, kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air, serta geometri pengukuran Oliveira
Clarke 2007. Jenis sedimen yang sama yang terletak pada lokasi perairan yang berlainan dapat memiliki nilai backscatter yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh
persentase komposisi material penyusun dasar lautnya berbeda-beda, selain faktor oseanografis kolom air.
Dalam hal konfigurasi sonar dan geometri pengukuran, pada sistem single beam, untuk setiap pemancaran pulsa akustik ping tunggal hanya akan
didapatkan satu set parameter-parameter informasi pada posisi tunggal, yaitu tepat berada di bawah badan kapal. Besar kecilnya ukuran footprint dari beam akustik
tidak akan memberikan pengaruh. Sehingga sepanjang lintasan survei akan dihasilkan sebuah garis yang tersusun dari discrete points yang mengandung
informasi tentang sejumlah parameter seperti kedalaman, kekerasan hardness, dan kekasaran roughness pada tiap-tiap titik.
Pada sistem multi beam untuk setiap pemancaran ping tunggal akan didapatkan lebih dari satu lokasi pada area dasar laut yang mengalami ensonifikasi
yang dinamakan beam. Informasi yang terkandung dalam setiap beam berupa kedalaman dan amplitudo atau backscatter dari echo yang kembali. Informasi
tentang kedalaman dan amplitudo bersifat co-located L-3 Communication Seabeam Instrumen 2000, sehingga berdasarkan data multi beam yang diperoleh
dari seluruh area survei dapat dilakukan konstruksi backscatter image. Sinyal backscatter dari dasar laut direkam sebagai fungsi waktu dan intensitas tiap sinyal
backscatter menggambarkan ketidakberaturan dasar laut yang mengalami ensonifikasi Simons Snellen 2009.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menggunakan sistem single beam dengan instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder di perairan Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa
nilai SS untuk substrat pasir berkisar antara -18.68 dB hingga -17.39 dB, substrat pasir berlanau antara -23.25 dB hingga -19.32 dB, dan substrat pasir berliat
sebesar -19.83 dB. Hasil perhitungan nilai echo level EL pada penggunaan source level SL sebesar 163 dB menunjukkan bahwa untuk substrat pasir
berkisar antara 131.4 dB hingga 138.2 dB, substrat pasir berlanau antara 133.5 dB hingga 135.4 dB, dan substrat pasir berliat sebesar 136.5 dB.
Karakteristik fisik sedimen dasar perairan yang terukur seperti tekstur, porositas, dan densitas merupakan faktor yang mempengaruhi besarnya nilai
acoustic backscattering strength dasar perairan. Hasil penelitian menggunakan sistem multi beam dengan instrumen Elac
Seabeam 1050D MBES di perairan Teluk Buyat menunjukkan bahwa nilai SS dasar perairan untuk substrat pasir lanauan berkisar antara -24.26 dB hingga -
20.56 dB dan substrat lanau pasiran antara -25.12 dB hingga -24.30 dB. Adanya perbedaan nilai acoustic backscattering strength pada tipe substrat
yang sama, yang terletak pada lokasi perairan yang berbeda disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : frekuensi alat yang digunakan, sifat-sifat fisis dasar
perairan, komposisi partikel penyusun sedimen dasar perairan, konfigurasi sonar jarak, beamwidth, kecepatan rambat gelombang akustik dalam kolom air faktor
oseanografis perairan, serta geometri pengukuran.
5.2 Saran
Penelitian ini menggunakan dua sistem instrumen yang berbeda single beam dan multi beam echo sounder, yang dilakukan pada dua lokasi perairan
yang berlainan. Untuk mendapatkan nilai hasil perbandingan yang lebih mendekati kebenaran, disarankan untuk melakukan penelitian pada satu lokasi
perairan yang sama, dan dalam waktu yang bersamaan. Pengambilan data sampling sedimen sebagai ground truth perlu
diperbanyak, yang bisa mewakili seluruh area penelitian, baik pada penggunaan
sistem single beam maupun multi beam. Sehingga klasifikasi sedimen yang dilakukan pada area penelitian berdasarkan nilai-nilai acoustic backscattering
strength dapat lebih obyektif.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi H, Williams LJ. 2010. Principal Component Analysis. Wiley Interdisciplinary Reviews : Computational Statistics, 2.
Allo OAT. 2011. Kuantifikasi dan karakterisasi acoustic backscattering dasar perairan di Kepulauan Seribu – Jakarta [Tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Anderson JT, Holliday DV, Kloser R, Reid DG, Simard Y. 2008. Acoustic seabed classification: current practice and future directions. ICES Journal of
Marine Science, 65: 1004–1011.
Bengen DG. 2000. Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. [BPPT] Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2010. Pengkajian,
Penerapan, dan Pelayanan Jasa Teknologi Survei Kelautan. Laporan 2010. Volume 3. Jakarta: Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT.
Burczynski J. 2002. Bottom Classification. USA. BioSonics, Inc. Chanchal D, Chakraborty B. 2011. Model-Based Acoustic Remote Sensing of
Seafloor Characteristics. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing, Vol. 49, No. 10 hlm 3868 – 3877.
Collins WT, Lacroix P. 1997. Operational Philosophy of Acoustic Waveform Data Processing for Seabed Classification. Singapore. COSU ’97.
Oceanology International ’97. Diaz JVM. 2000. Analysis of Multibeam Sonar Data for the Characterization
of
Seafloor Habitats [Thesis]. The University of New Brunswick. Etter PC. 1996. Underwater Acoustic Modeling-Principles, techniques and
applications Second edition. E FN SPON, London. Chapman Hall. Harahap ZA. 2010. Kuantifikasi hambur balik akustik dasar laut menggunakan
instrumen multi beam echosounder [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Hoffman JC, Burczynski J, Sabol B, Heilman M. 2002. Digital Acoustic System for Ecosystem Monitoring and Mapping: Assessment of Fish, Plankton,
Submersed Aquatic Vegetation, and Bottom Substrata Classification. The BioSonics Newsletter, Volume 12, Issue 2.
Hutabarat S, Evans SM. 2000. Pengantar Oseanografi. Jakarta, UI Press.
IHO. 2008. Standards for Hydrographic Surveys. International Hydrographic Bureau. Monaco.
Ilahude D. 2009. Studi perubahan morfologi dasar laut pada kegiatan penempatan tailing bawah laut Teluk Buyat Sulawesi Utara. PPPGL Bandung.
Jackson DR, Richardson MD. 2007. High Frequency Seafloor Acoustic. Springer Science Business Media. New York. 616 hlm.
Kagesten G. 2008. Geological Seafloor Mapping with Backscatter Data from A Multibeam Echo sounder [Tesis]. Uppsala : Uppsala University.
Kenny AJ, Andrulewicz E, Bokuniewicz H, Boyd E. 2000. An overview of seabed mapping technologies in the context of marine habitat
classification. ICES : Theme session on classification and mapping of marine habitats.
Kim GY, Richardson MD, Bibee DL, Kim DC, Wilkens RH, Shin SR, Song ST. 2004. Sediment types determination using acoustic techniques in the
Northeastern Gulf of Mexico. Geosciences Journal, 8:95-103. L-3 Communications SeaBeam Instruments. 2000. Multibeam Sonar Theory of
Operation. L-3 Communications Elac Nautic Gmbh. Seabeam 1050D-Multibeam Sonar.
L-3 Communications Elac Nautic. 2006. Maintenance Manual for SEABEAM
1000 Series. Technical Manual. TH 58 655 8003 E. Kiel Germany. Lurton X. 2002. An Introduction to Underwater Acoustics. Chichester, UK. Praxis
Publishing. MacLennan DN, Simmonds E J. 2005. Fisheries Acoustics. United Kingdom.
Blackwell Science. Manik HM. 2006. Pengukuran akustik Scattering Strength Dasar Laut dan
Identifikasi Habitat Ikan dengan Echosounder. Seminar Nasional Perikanan Tangkap. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan,
FPIK-IPB. Bogor.
Manik HM. 2011. Underwater Acoustic Detection and Signal Processing Near the Seabed. Di dalam: Kolev N, editor. Sonar Systems. Ed ke-1. Croatia:
Intechweb. hlm 255 – 274. Manik HM. 2012. Seabed Identification and Characterization Using Sonar.
Advances in Acoustics and Vibration. Volume 2012. Article ID 532458. doi: 10.11552012532458.