Pendekatan Akustik terhadap Dasar Perairan

Sumber : Burczynski 2002 Gambar 10 Bentuk echo dasar perairan yang keras hard dan lunak soft; a. Amplitudo sinyal echo b. Kurva energi kumulatif. Selain kekasaran dan kekerasan dasar laut, perbedaan densitas antara air laut dan dasar laut, amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan oleh dasar laut juga dipengaruhi oleh reverberation di dalam substrat Watt Eng 1999; Penrose et al. 2005. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa reverberation level dari dasar perairan yang berbatu adalah lebih besar daripada dasar perairan yang berlumpur. Hal ini menjadi landasan untuk mengaitkan bottom backscattering strength Sb dengan jenis material dasar laut seperti lumpur, lanau, pasir, bongkah, rock, meskipun pada kenyataannya ukuran partikel penyusun sedimen dasar laut hanya merupakan indikator secara tidak langsung terhadap acoustic scattering Urick 1983; Waite 2002. Backscattering strength dasar perairan nilainya bervariasi terhadap grazing angle, frekuensi akustik yang digunakan, serta material penyusun dasar perairan. Namun demikian nilainya dapat dianggap konstan pada frekuensi hingga 10 kHz dan grazing angle hingga 10º. Menurut Waite 2002, berdasarkan survei di perairan dangkal UK, nilai bottom backscattering strength bervariasi mulai dari yang rendah – 45 dB yaitu untuk lumpur, hingga tinggi - 25 dB untuk batuan rock Gambar 11. Sumber : Waite 2002 Gambar 11 Distribusi nilai bottom backscattering strength untuk perairan dangkal. Sumber : Urick 1983 Gambar 12 Variasi frekuensi pada bottom backscattering strength. Simbol titik untuk grazing angle 30º; simbol huruf untuk grazing angle 10º. Urick 1983 mengatakan bahwa berdasarkan kompilasi pengukuran bottom backscattering strength dari berbagai sumber, termasuk memasukkan frekuensi 48 kHz dan grazing angle yang rendah, diketahui bahwa tidak terdapat ketergantungan yang nyata pada frekensi kisaran 0.53 – 100 kHz Gambar 12 dan 13. Sumber : Urick 1983 Gambar 13 Kurva bottom backscattering strength sebagai fungsi grazing angle untuk berbagai tipe substrat. Pada akhirnya, refleksi dasar laut untuk vertical incidence telah menjadi cara yang penting dalam klasifikasi sedimen Jackson Richardson 2007. Echo akustik dari dasar laut ini mengandung informasi tentang backscatter, bottom reverberation dan spectral frequencies yang memiliki keterkaitan langsung dengan karakter dasar laut, seperti roughness, tipe sedimen, distribusi ukuran butir grain size, porositas, dan densitas material. Klasifikasi dasar laut secara akustik merupakan pengorganisasian dasar laut menjadi tipe-tipe dasar laut berdasarkan karakteristik dari respon akustiknya Watt Eng 1999. Namun demikian akan tetap menjadi kenyataan bahwa sinyal akustik yang dipantulkan oleh dasar laut adalah kompleks dan tidak ada hubungan yang sederhana antara sinyal backscatter dan tipe sedimen Anderson et al. 2008. 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1 Single Beam Echo Sounder Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder dilaksanakan pada tanggal 14 April – 15 April 2012, berlokasi di perairan sekitar Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang termasuk dalam gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu – Jakarta Utara. dengan kedalaman relatif dangkal yang berkisar antara 2 – 4 m. Pemilihan lokasi diusahakan memiliki tipe sedimen yang berlainan sehingga data akustik yang akan didapat bisa mewakili tipe substrat yang berbeda. Gambar 14 menunjukkan peta lokasi penelitian. Pengolahan data akustik single beam dilakukan di Laboratorium Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai Penelitian Tanah – Bogor.

3.1.2 Multi Beam Echo Sounder

Untuk multi beam, penelitian ini mengambil lokasi pengkajian di perairan Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, yang telah disurvei pada tanggal 17 September 2011 menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV milik BPPT. Area survei dibatasi oleh koordinat : 124º 42’ 04” – 124º 42’ 26” Bujur Timur, dan 0º 50’ 03” – 0º 50’ 28” Lintang Utara. Gambar 15 dan 16 menunjukkan lokasi pengkajian. Transek survei ditunjukkan pada Gambar 17. Pengolahan data multi beam dilakukan di Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT – Jakarta. Gambar 14 Lokasi pengambilan data dengan instrumen single beam. Gambar 15 Lokasi pengkajian data multibeam. Sumber : citra satelit Google Earth Gambar 16 Batas-batas area survei multi beam.