Sumber : Lurton 2002
Gambar 5 Reverberation yang disebabkan oleh kolom air, dasar perairan dan permukaan air.
Menurut Urick 1983, besaran reverberation level RL merupakan intensitas dalam unit decibel dari transmisi gelombang bidang yang menghasilkan
output yang sama pada hidrofon seperti pada reverberation yang teramati Gambar 6. Penghambur scatterer yang berdimensi volume, akan menghasilkan
volume reverberation level RL
v
sesuai dengan persamaan,
................................................................................. 12 dimana SL = source level dB
= volume backscattering strength = volume backscattering cross section
V = volume reverberation c = kecepatan suara ms
= panjang pulsa s = equivalent ideal solid angle beamwidth
r = jarak antara transducer dan scatterer
Sumber : Urick 1983
Gambar 6 Geometri dari volume scattering. Penghambur yang berdimensi permukaan surface seperti pada
permukaan dasar laut Gambar 7, akan menghasilkan surface reverberation level RL
s
sesuai dengan persamaan,
................................................................................. 13 dimana = surface backscattering strength
= surface backscattering cross section A = Area reverberation
= beam equivalent aperture in the horizontal plane Parameter backscattering strength pada dasarnya identik dengan parameter
target strength untuk target-target sonar Urick 1983.
Sumber : Urick 1983
Gambar 7 Geometri dari surface scattering.
2.5 Pendekatan Akustik terhadap Dasar Perairan
Dasar perairan merupakan pemantul reflektor dan penghambur scatterer yang efektif terhadap gelombang akustik yang mengenainya serta
bersifat mendistribusikan kembali gelombang yang datang Urick 1983. Pada permukaan dasar perairan yang halus smooth dimana kontras acoustic
impedance antara air dengan bottom adalah besar, maka sebagian besar energi gelombang yang datang akan dipantulkan, dan hanya sebagian kecil yang
dihamburkan. Pada kasus permukaan dasar perairan yang kasar rough, maka seluruh energi akustik akan dihamburkan. Untuk kontras acoustic impedance yang
kecil antara air dengan bottom, maka energi gelombang akustik yang mengenai dasar perairan mampu menembus ke dalam bottom Gambar 8.
Selain itu, pada saat gelombang akustik mengenai dasar perairan, akan menunjukkan pola jejak gema echo trace yang berbeda Gambar 9. Dasar
perairan yang halus dan berlumpur akan menunjukkan echo trace yang memiliki puncak sempit tanpa ekor narrow peak with no tail dimana sebagian besar
energi akustiknya akan dipantulkan kembali ke transducer, dan juga mengalami absorpsi oleh substrat lumpur. Sedangkan echo trace dari dasar perairan yang
kasar, campuran gravel, akan memiliki puncak yang lebar dan berekor Collins Lacroix 1997.
Sumber : Urick 1983
Gambar 8 Pola-pola direksional terhadap gelombang akustik yang mengenai dasar perairan yang memiliki perbedaan kontras acoustic impedance dan
tingkat kekasarannya.
Sumber : Collins dan Lacroix 1997
Gambar 9 Contoh hipotetik dua dasar perairan dan echo trace yang ditunjukkan.
Simbol t melambangkan echo trace dalam waktu.
Burczynski 2002 menyatakan bahwa dasar perairan yang keras hard bottom akan menghasilkan echo dengan amplitudo yang tajam dan tinggi,
sedangkan yang lunak soft bottom akan menghasilkan echo dengan amplitudo yang melebar dan rendah Gambar 10. Bentuk kurva energi kumulatif sinyal
yang berasal dari hard bottom dan soft bottom juga menunjukkan adanya perbedaan yang jelas. Hard bottom akan menghasilkan kurva dengan kenaikan
yang tajam, sementara pada soft bottom kenaikan kurvanya relatif lebih rendah.
Sumber : Burczynski 2002
Gambar 10 Bentuk echo dasar perairan yang keras hard dan lunak soft; a. Amplitudo sinyal echo b. Kurva energi kumulatif.
Selain kekasaran dan kekerasan dasar laut, perbedaan densitas antara air laut dan dasar laut, amplitudo dan bentuk sinyal akustik yang dipantulkan oleh
dasar laut juga dipengaruhi oleh reverberation di dalam substrat Watt Eng 1999; Penrose et al. 2005.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa reverberation level dari dasar perairan yang berbatu adalah lebih besar daripada dasar perairan yang berlumpur.
Hal ini menjadi landasan untuk mengaitkan bottom backscattering strength Sb dengan jenis material dasar laut seperti lumpur, lanau, pasir, bongkah, rock,
meskipun pada kenyataannya ukuran partikel penyusun sedimen dasar laut hanya merupakan indikator secara tidak langsung terhadap acoustic scattering Urick
1983; Waite 2002. Backscattering strength dasar perairan nilainya bervariasi terhadap grazing
angle, frekuensi akustik yang digunakan, serta material penyusun dasar perairan. Namun demikian nilainya dapat dianggap konstan pada frekuensi hingga 10 kHz
dan grazing angle hingga 10º. Menurut Waite 2002, berdasarkan survei di perairan dangkal UK, nilai bottom backscattering strength bervariasi mulai dari
yang rendah – 45 dB yaitu untuk lumpur, hingga tinggi - 25 dB untuk batuan rock Gambar 11.
Sumber : Waite 2002
Gambar 11 Distribusi nilai bottom backscattering strength untuk perairan dangkal.
Sumber : Urick 1983
Gambar 12 Variasi frekuensi pada bottom backscattering strength. Simbol titik untuk grazing angle 30º; simbol huruf untuk grazing angle 10º.
Urick 1983 mengatakan bahwa berdasarkan kompilasi pengukuran bottom backscattering strength dari berbagai sumber, termasuk memasukkan
frekuensi 48 kHz dan grazing angle yang rendah, diketahui bahwa tidak terdapat
ketergantungan yang nyata pada frekensi kisaran 0.53 – 100 kHz Gambar 12 dan 13.
Sumber : Urick 1983
Gambar 13 Kurva bottom backscattering strength sebagai fungsi grazing angle untuk berbagai tipe substrat.
Pada akhirnya, refleksi dasar laut untuk vertical incidence telah menjadi cara yang penting dalam klasifikasi sedimen Jackson Richardson 2007. Echo
akustik dari dasar laut ini mengandung informasi tentang backscatter, bottom reverberation dan spectral frequencies yang memiliki keterkaitan langsung
dengan karakter dasar laut, seperti roughness, tipe sedimen, distribusi ukuran butir grain size, porositas, dan densitas material. Klasifikasi dasar laut secara akustik
merupakan pengorganisasian dasar laut menjadi tipe-tipe dasar laut berdasarkan karakteristik dari respon akustiknya Watt Eng 1999.
Namun demikian akan tetap menjadi kenyataan bahwa sinyal akustik yang dipantulkan oleh dasar laut adalah kompleks dan tidak ada hubungan yang
sederhana antara sinyal backscatter dan tipe sedimen Anderson et al. 2008.
3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 3.1.1 Single Beam Echo Sounder
Penelitian dengan menggunakan instrumen single beam echo sounder dilaksanakan pada tanggal 14 April – 15 April 2012, berlokasi di perairan sekitar
Pulau Kongsi dan Pulau Burung yang termasuk dalam gugusan Pulau Pari, Kepulauan Seribu – Jakarta Utara. dengan kedalaman relatif dangkal yang
berkisar antara 2 – 4 m. Pemilihan lokasi diusahakan memiliki tipe sedimen yang berlainan sehingga data akustik yang akan didapat bisa mewakili tipe substrat
yang berbeda. Gambar 14 menunjukkan peta lokasi penelitian. Pengolahan data akustik single beam dilakukan di Laboratorium Akustik
dan Instrumentasi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, FPIK – IPB. Analisis sampel sedimen dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Balai
Penelitian Tanah – Bogor.
3.1.2 Multi Beam Echo Sounder
Untuk multi beam, penelitian ini mengambil lokasi pengkajian di perairan Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa, Propinsi Sulawesi Utara, yang telah disurvei
pada tanggal 17 September 2011 menggunakan Kapal Riset Baruna Jaya IV milik BPPT. Area survei dibatasi oleh koordinat : 124º 42’ 04” – 124º 42’ 26” Bujur
Timur, dan 0º 50’ 03” – 0º 50’ 28” Lintang Utara. Gambar 15 dan 16 menunjukkan lokasi pengkajian. Transek survei ditunjukkan pada Gambar 17.
Pengolahan data multi beam dilakukan di Balai Teknologi Survei Kelautan, BPPT – Jakarta.
Gambar 14 Lokasi pengambilan data dengan instrumen single beam.
Gambar 15 Lokasi pengkajian data multibeam.
Sumber : citra satelit Google Earth
Gambar 16 Batas-batas area survei multi beam.
Gambar 17 Peta transek survei multi beam di Teluk Buyat
3.2 Perangkat dan Peralatan Penelitian 3.2.1 Single Beam Echo Sounder
3.2.1.1 Instrumen Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder
Pengambilan data akustik menggunakan perangkat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder. Alat ini terdiri dari tiga bagian yaitu interface black box RS-232 serial
data, transduser single beam, dan software yang dijalankan di PC. Frekuensi transduser tersedia dua pilihan yaitu 50 kHz dan 200 kHz. Data akustik akan
terlihat pada layar monitor dalam bentuk grafik analog yang menggambarkan kekuatan sinyal echo dari target. Pada layar monitor juga bisa ditampilkan posisi
kapal lintang – bujur serta kecepatan kapal, dengan syarat interface black box harus terhubung dengan GPS. Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder
dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder
Spesifikasi Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder
Operation setting Operating Voltage
9.5 to 16.0 VDC, 0.05 amps nominal, 4.7 amps peak at max power
Output Power 2560 watts peak-to-peak 320W RMS.
25KW DSP processed power 3200 WRMS
Depth Capability Minimum Depth - 3 feet 1m
1000 feet or more at 200kHz for both shallow and deep water high resolution
2500 Feet or more at 50kHz - See screenshot with PcFF80 working at 2750
feet 840 m and also see screenshot of PcFF80 detecting fish at 680 feet 207 m.
Operating temperature 0 to 50 deg Celsius 32 to 122 deg
Fahrenheit Interface Box
100 x 80 x 50 mm 4 x 3.2 x 2 inch. Powder Coated Aluminum Extrusion
Transducer Dual Frequency 50200kHz,
DepthTemperature, Glass reinforced nylon thru-hull with 30 foot 9,7m cable.
Transom mount and bronze transducers also available
Spesifikasi alat Cruzpro PcFF80 PC Fishfinder lanjutan Spesifikasi Operation setting
Signal Processing 2 analog and 2 Digital Processing DSP
modes Analog Mode 1: Fixed gain
Analog Mode 2: Time varying gain TVG
DSP Mode 1: Using correlation DSP Mode 2: Using quadrature
correlation
3.2.1.2 Alat Pengambil Contoh Sedimen
Pengambilan contoh sedimen dilakukan dengan menggunakan pipa paralon berdiameter 8 cm 3 inch panjang 10 cm yang ditancapkan tegak lurus ke
dasar perairan Gambar 18.
Gambar 18 Pipa paralon ukuran 3 inch panjang 10 cm. Secara garis besar peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik
dengan menggunakan sistem single beam ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Peralatan yang digunakan dalam penelitian akustik dasar perairan Alat dan bahan
Jenis Kegunaan
Fishfinder CruzPro PcFF80 PC
Sonar Fishfinder Pengambilan data
akustik GPS
Garmin 12 XL Penentuan posisi
NotebookLaptop Toshiba A-275 Pemrosesan dan
penyimpanan data akustik
Kamera bawah air
Kodak Waterproof 3 m
Dokumentasi obyek bawah air
Pipa paralon PVC 3 inch panjang
10 cm Pengambilan contoh
sedimen dasar perairan Kapal
Kapal nelayan, panjang 7 m lebar 2 m
Wahana survei dan tempat pemasangan
instrumen akustik
3.2.2 Multi Beam Echo Sounder 3.2.2.1 Elac Seabeam 1050D
Multi beam Elac Seabeam 1050D adalah sistem peralatan untuk mengumpulkan data batimetri dan data backscatter, merupakan hasil kombinasi
dari kinerja sistem Multi beam Seabeam 1180 dan Seabeam 1050; memiliki 126 beam dengan sudut bukaan sebesar 1.5º untuk tiap-tiap beam. Sistem ini dapat
dioperasikan pada laut dangkal dan laut dengan kedalaman medium, yaitu tidak lebih dari 3000 meter, memiliki kemampuan untuk memetakan wilayah laut
secara luas dengan lebar sapuan mencapai 153°. Gambar 19 menunjukkan transducer Elac Seabeam 1050D.
Elac Seabeam 1050D hanya memiliki satu unit sonar processor dan memiliki dua frekuensi yang dapat digunakan, yaitu 50 kHz dan 180 kHz.
Kemampuan deteksi menggunakan frekuensi 180 kHz mencapai kedalaman 580 meter, sedangkan frekuensi 50 kHz bisa mencapai kedalaman 3000 meter.
Gambar 20 menunjukkan lebar sapuan coverage multibeam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50 kHz dan 180 kHz.
Gambar 19 Transducer Elac Seabeam 1050D Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH.
a.
b. Gambar 20 a Lebar sapuan multi beam Elac Seabeam 1050D pada frekuensi 50
kHz dan b pada frekuensi 180 kHz Sumber : L-3 Communications Elac Nautic GmbH.