menjadi pekerjaan tetap. Para pemburu biasanya mengetahui perilaku atau aktifitas dan habitat satwa yang akan diburu Soehartono Mardiastuti 2003.
2. Kelompok perantara Kelompok ini merupakan kumpulan orang yang bergerak untuk mencari
satwaliar yang telah dikumpulkan oleh kelompok pertama untuk menjualnya ke kota-kota. Kelompok ini memanfatakan satwa untuk kepentingan keuntungan
materi semaksimal mungkin tanpa memperhitungkan proses konservasi. 3. Kelompok pemanfaatan hilir
Kelompok ini terdiri dari pedagang di kota yang menjual satwa untuk kalangan domestik dan luar negeri. Biasanya terdiri dari satwa eksotik dan
dilindungi. Perdagangan ilegal bisa diartikan dengan membeli, menjual dan memelihara satwaliar. Beberapa bentuk pelanggaran sudah banyak terjadi, dalam
hal ini Departemen Kehutanan telah mengambil sikap represif dan preventif berupa patroli, sosialisasi dan kampanye Mardiastuti 2009. Pemburu satwa di
Pulau Jawa lebih banyak dibandingkan pemburu satwa di Pulau Sumatera dan Kalimantan, namun untuk jumlah satwa yang diburu atau dipanen belum tentu
sama Soehartono Mardiastuti 2003.
2.3 Status Perlindungan
Perdagangan satwa untuk konsumsi ekspor di Indonesia sudah mengikuti konvensi CITES, yang berarti setiap negara-negara yang telah bergabung harus
mengikuti aturan-aturan yang diterapkan oleh CITES. Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora
CITES merupakan konvensi internasional mengenai perdagangan fauna dan flora.
Komitmen Indonesia untuk mengikuti konvensi CITES pada tahun 1978 mewajibkan pengontrolan dan meminimalkan adanya pelanggaran yang
mengakibatkan ancaman satwa terhadap kepunahan Waryono 2008. Dalam Aturan CITES satwa dikelompokkan menjadi Apendiks I yaitu satwa yang
jumlahnya sangat terbatas dan tidak bisa diperdagangkan secara komersil sedangkan Apendiks II yaitu jenis yang masih bisa diperdagangkan, namun untuk
memastikan proses pemanfaatan secara lestari maka dilakukan adanya penentuan kuota tahunan oleh Scientific Authority, hal ini berlaku untuk spesies hidup dan
produk turunannya Soehartono Mardiastuti 2003. Waryono 2008 menyebutkan adanya Apendiks III yaitu satwa yang perdagangannya memperoleh
kuota dari otorita pengelola dan otorita ilmiah negara masing-masing. Kuota yang ditetapkan untuk setiap jenis tidak boleh melebihi laju pertambahan populasi.
Nilai perdagangan satwa liar ilegal menurut sekretariat CITES menduduki peringkat kedua setelah perdagangan ilegal narkotika Waryono 2008.
Soehartono dan Mardiastuti 2003 menyatakan, peraturan konvensi CITES juga mengenal beberapa pengecualian terhadap; pertunjukkan satwa, perdagangan non
komersil, barang-barang pribadi, spesimen yang transit, spesimen yang diperdagangkan sebelum berlakunya konvensi, spesimen dari penangkaran dan
spesimen ranching pembesaran dari alam. Dalam rangka mengetahui status populasi hidupan liar, IUCN International
Union for Conservation of Nature and Nature Resources juga membagi status
populasi konservasi versi 3.1 satwa ke dalam kategori: Extinct punah yaitu satwa sudah punah, Extinct in the wild punah di alam satwa tidak ditemukan di
alam dan bertahan di area penangkaran, Critically endangerd kritis yaitu satwa yang mengalami ancaman kepunahan yang tinggi dalam rentang waktu dekat,
Endangered genting yaitu yang tidak tergolong kritis namun ancaman
kepunahan tinggi di alam, Vulnerable rentan yaitu tidak tergolong dalam kedua kategori diatas namun rentan terhadap kepunahan di alam, Near threatened
mendekati terancam punah yaitu jenis satwa yang tidak masuk kategori genting, rentan dan krisis namun mendekati klasifikasi terancam di masa yang akan
datang, Least concern resiko rendah yaitu yang telah dilakukan evaluasi dan tidak tergolong dalam keempat kategori diatas, Data deficient kurang data yaitu
informasi tidak memadai untuk dilakukan penilaian terhadap status perlindungan, Not evaluated
tidak dievaluasi karena tidak memenuhi kriteria yang ada. Indonesia sendiri telah ada peraturan menyangkut perlindungan satwa, yaitu PP
RI No. 7 tahun 1999 tentang pengawetan flora dan fauna. Segala bentuk perlindungan hukum terhadap jenis satwa yang
diperdagangkan sudah ada, namun masih ditemukan pelanggaran terhadap hukum tersebut. Sebagai contoh Sinaga 2008 meyatakan bahwa masih terdapat satwa
yang dilindungi yaitu Batagur baska yang dilindungi oleh PP RI No. 7 tahun
1999, serta termasuk kategori Apendiks 1 CITES dan Critically endangered IUCN yang masih diperdagangkan pada pasar-pasar di Jakarta. Perdagangan
jenis-jenis reptil yang telah mulai langka perlu dihentikan agar kelestariannya dapat senantiasa terjaga Soehartono Mardiastuti 2003.
2.4 Reptilia sebagai Binatang Peliharaan