Bio-ekologi Reptilia Perdagangan Reptilia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bio-ekologi Reptilia

Reptilia merupakan satwa yang mempunyai ciri yang khas yang membedakannya dengan satwa pada umumnya, Reptilia menutupi tubuhnya dengan sisik yang rata maupun berduri dengan fungsi mengatur sirkulasi air. Reptilia juga tidak mempunyai telinga eksternal dan termasuk satwa eksotermal karena saat metabolisme reptilia membutuhkan sumber panas eksternal dan tidak mempunyai rambut atau bulu Grizmek 1975. Penyebaran reptilia sangat dipengaruhi oleh cahaya matahari yang sampai ke permukaan bumi Halliday Adler 2000. Ciri lain reptilia ialah mayoritas ovipar dan sebagian lagi ovivipar Goin Goin 1971. Umumnya reptilia merupakan karnivora, terkecuali kura-kura air yang omnivora dan kura-kura darat yang herbivora O’shea Halliday 2001. Ciri utama dalam membedakan jantan dan betina pada reptilia ialah ukuran, bentuk dan warna tubuh dewasa Halliday Adler 2000. Dalam taksonomi reptilia masuk dalam kingdom Animalia, filum Chordata, sub-filum Vertebrata, kelas Reptilia, sub kelas Eureptilia, dibagi menjadi tiga super ordo: Lepidosauria, Testudinidae, Archosauria. Pengelompokkan ordo dibagi menjadi empat yaitu Testudinidae, Squamata, Rhynchocephalia dan Crocodylia Savage 1998. Reptilia yang ada Indonesia berasal dari Ordo Testudinata, Squamata dan Crocodylia Halliday Adler 2000. Di Indonesia terdapat 39 jenis kura-kura yang terdiri dari 25 jenis kura-kura air tawar, enam labi-labi, enam penyu dan dua kura-kura darat, sedangkan pada buaya di Indonesia terdapat enam jenis buaya Iskandar 2000.

2.2 Perdagangan Reptilia

Perdagangan satwa menjadi bentuk pemanfaatan satwa yang keberadaannya mengancam populasi dan keberadaan satwa tersebut di alam. Perdagangan salah satu penyebab hilangnya keanekaragaman hayati Diamond 1984. Dalam perdagangan satwa pengambilan dari alam merupakan cara yang dominan ditempuh dibandingkan cara lain seperti penangkaran. Beberapa penelitian terdahulu menyatakan pengambilan langsung dari alam akan mengancam populasi reptilia penelitian seperti yang ditulis oleh Situngkir 2009 tentang perdagangan ular, Soehartono dan Mardiastuti 2003 dan Sinaga 2008 tentang cara mendapatkan reptilia. Perdagangan reptilia dilakukan dalam jumlah yang besar dengan nilai yang sangat komersil. Sinaga 2008 mencatat beberapa penelitian pada pasar tradisional, perdagangan jenis reptilia asing cenderung meningkat seperti yang tercatat dalam penelitian Sheperd dan Nijman 2007 di Thailand dan Goh dan O’Riordan 2007 di Singapura. Penelitian terdahulu yang telah dilakukan oleh Sinaga pada tahun 2008 dan Sheperd dan Nijman di tahun 2007, kedua penelitian ini hanya mengambil kura-kura darat dan air tawar sebagai objek penelitian. Penelitian Sinaga 2008 mencatat selain untuk binatang peliharaan, kura-kura darat dan air tawar juga digunakan sebagai bahan makanan, obat-obatan dan keagamaan seperti pada Pasar Petak Sembilan Glodok. Sebanyak 48 jenis kura- kura dari total 264 individu dijual di Jakarta. Pasar maya cyber market memperluas jaringan penawaran perdagangan kura-kura Sinaga 2008. Informasi yang diperlukan oleh pembeli terdapat dalam situs tersebut yang meliputi data mengenai ukuran, harga, kondisi dan cara transaksi. Penelitian Nijman dan Sheperd 2007 mencatatt bahwa tidak ada perbedaan harga yang signifikan antara kura-kura yang terancam punah atau tidak. Hal menarik lainnya bahwa dalam mendapatkan dan menjual satwa, akan lebih mudah mendapatkan dan menjual satwa yang masuk dalam daftar CITES. Perdagangan ilegal tumbuhan dan satwaliar merupakan jenis pelanggaran kehutanan yang sangat memarak dilakukan di pasar umum dan pasar satwa Mardiastuti 2009. Waryono 2008 menyatakan bahwa pelanggaran dalam penangkapan dan pemasaran satwa bisa terbagi kedalam tiga kelompok : 1. Kelompok pemanfaatan di daerah hulu Kelompok ini merupakan masyarakat yang tinggal berdekatan dengan habitat satwa. Kelompok ini merupakan kelompok yang masih berpengetahuan kurang dalam konservasi satwa, ditambah dengan perekonomian rendah menjadikan pengambilan satwa dari alam menjadi penghasilan tambahan bahkan menjadi pekerjaan tetap. Para pemburu biasanya mengetahui perilaku atau aktifitas dan habitat satwa yang akan diburu Soehartono Mardiastuti 2003. 2. Kelompok perantara Kelompok ini merupakan kumpulan orang yang bergerak untuk mencari satwaliar yang telah dikumpulkan oleh kelompok pertama untuk menjualnya ke kota-kota. Kelompok ini memanfatakan satwa untuk kepentingan keuntungan materi semaksimal mungkin tanpa memperhitungkan proses konservasi. 3. Kelompok pemanfaatan hilir Kelompok ini terdiri dari pedagang di kota yang menjual satwa untuk kalangan domestik dan luar negeri. Biasanya terdiri dari satwa eksotik dan dilindungi. Perdagangan ilegal bisa diartikan dengan membeli, menjual dan memelihara satwaliar. Beberapa bentuk pelanggaran sudah banyak terjadi, dalam hal ini Departemen Kehutanan telah mengambil sikap represif dan preventif berupa patroli, sosialisasi dan kampanye Mardiastuti 2009. Pemburu satwa di Pulau Jawa lebih banyak dibandingkan pemburu satwa di Pulau Sumatera dan Kalimantan, namun untuk jumlah satwa yang diburu atau dipanen belum tentu sama Soehartono Mardiastuti 2003.

2.3 Status Perlindungan