BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hutan tropis di Indonesia saat ini mendapat perhatian khusus karena mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi perubahan iklim global.
Menurut CIFOR 2010 pada saat ini telah terjadi fenomena peningkatan suhu global. Salah satu penyebabnya adalah meningkatnya konsentrasi GRK di
atmosfer. Salah satu upaya yang ditempuh untuk menekan laju pemanasan global adalah dengan mengurangi laju deforestasi dan degradasi hutan. Pada pertemuan
COP yang ke-13 lahirlah konsep Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation REDD. REDD merupakan salah satu upaya pendekatan
yang dilakukan guna pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan yang bertujuan untuk penyimpanan karbon di kawasan hutan. Konsep REDD tersebut
dapat diaplikasikan dengan pengukuran terhadap kondisi biomassa yang terdapat di hutan-hutan tropis Indonesia. Pengukuran biomassa dapat digunakan untuk
menilai perubahan jumlah biomassa pada struktur hutan sehingga sangat bermanfaat untuk mengevaluasi kondisi biomassa pada suatu kawasan tertentu
dan monitoring keberhasilan reklamasi pada suatu kawasan. Degradasi lingkungan akibat kegiatan pertambangan telah menyebabkan
kerusakan pada struktur vegetasi, keanekaragaman fauna, tanah serta ekosistem yang asli. Dampak akibat kerusakan vegetasi yang hilang adalah erosi,
sedimentasi, rusaknya daerah aliran sungai DAS, hilangnya biodiversitas dan rusaknya habitat satwa,, oleh karena itu, tindakan reforestasi untuk membentuk
kembali hutan hujan tropis yang lestari sangat diperlukan. Menurut Setiadi 2005 dalam Puspaningsih 2010, permasalahan yang
terjadi di areal pertambangan adalah pemadatan tanah, kekurangan nutrisi, tekstur tanah, CEC Cation Exchangeable Capacity, bahan organik rendah, pH rendah
asam, berpotensi mengandung racun misalnya Fe dan Al, dan rendahnya aktivitas mikroba, hal-hal tersebut menyebabkan tindakan-tindakan reforestasi
yang dilakukan di areal pertambangan sulit untuk berhasil.
Kegiatan penelitian khususnya di areal tambang sebelumnya telah dilakukan di beberapa lokasi. Umumnya, penelitian-penelitian yang telah dilakukan
bertujuan untuk mempercepat keberhasilan reforestasi dan monitoring di areal tambang dengan cara 1 penanaman tumbuhan toleran untuk mempercepat atau
memfasilitasi spesies yang lainnya; 2 penanaman monokultur untuk mempercepat proses suksesi dan 3 pemakaian kompos aktif guna meningkatkan
kesuburan tanah. Ekosistem lahan bekas tambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
saat ini sangat berbeda dengan kondisi pada 20 tahun yang lalu. Hal ini
dikarenakan terjadinya pembukaan akses yang berlangsung lama oleh pihak-pihak tertentu baik pada areal-areal direklamasi maupun yang belum direklamasi seperti
kegiatan masyarakat lokal yang melakukan kegiatan penambangan timah secara illegal. Dengan demikian telah terjadi perubahan kondisi vegetasi pada lahan-
lahan bekas tambang tersebut. Untuk mengetahui perubahan kondisi biomassa pada ekosistem lahan bekas tambang maka diperlukan penelitian mengenai
pengukuran biomassa sehingga dapat diperoleh distribusi biomassa pada arel- areal bekas tambang yang dapat digunakan sebagai bahan evaluasi keberhasilan
tindakan reklamasi areal pertambangan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Infomasi yang diperoleh dari penelitian-penelitian biomassa sangat
diperlukan untuk mempelajari cadangan karbon dan hara lainnya dalam suatu ekosistem serta pengaruhnya terhadap siklus biogeokimia. Informasi tentang
potensi biomassa pada suatu areal dapat diperoleh dengan pengukuran biomassa secara langsung di lapangan. Namun cara ini membutuhkan biaya dan waktu yang
besar serta kurang mengimbangi permintaan informasi yang cepat dan akurat bilamana dibutuhkan skala intensitas yang tinggi. Seiring dengan perkembangan
zaman, teknologi penginderaan jauh remote sensing dapat digunakan untuk keperluan pemantauan kondisi sumberdaya alam saat ini.Teknologi pengideraan
jauh remote sensing dapat memberikan data yang lengkap dalam waktu yang relatif singkat dan murah serta detailnya informasi permukaan bumi yang dapat
dideteksi. Selain itu penggunaan teknologi remote sensing dapat mempermudah pekerjaan di lapangan.
Penerapan teknik penginderaan jauh untuk berbagai keperluan telah cukup lama dilakukan di Indonesia. Namun teknik penginderaan jauh berbasis citra optik
memiliki kelemahan untuk monitoring biomassa di dalam suatu kawasan hutan. Hal ini terkait dengan kondisi geografi Indonesia yang mempunyai dua musim.
Keberadaan awan yang terjadi pada musim hujan dan kemarau akan sangat menggangu dalam perekaman untuk proses identifikasi dan pemantauan objek
dipermukaan bumi dan tidak dapat memberikan informasi yang akurat khususnya objek-objek yang berada pada di bawah awan.
Sistem penginderaan jauh aktif RADAR merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan untuk mengatasi kendala yang terjadi dalam penggunaan data
citra optik. Sistem RADAR mempunyai kemampuan dalam perekaman dalam segala cuaca, baik dilakukan pada siang hari maupun malam hari serta mengatasi
keberadaan tutupan akibat awan dan asap. Pada tanggal 24 Januari 2006 pemerintah Jepang meluncurkan salah satu satelit yang membawa sensor
RADAR, yaitu satelit ALOS Advanced Land Observing Sattelite. ALOS memliki
tiga jenis sensor yaitu PRISM Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping, AVNIR-2 Advanced Visible and Near Infrared
Radiometer type-2, dan PALSAR Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar. Sensor PALSAR merupakan sensor gelombang mikroaktif yang memiliki
keunggulan dapat menembus lapisan awan dan asap tebal. Dalam penelitan ini, sensor PALSAR digunakan untuk pendugaan distribusi biomassa di lahan bekas
tambang di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
1.2 Tujuan