2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kondisi Tanah Pascatambang
Kegiatan penambangan bahan galian berharga dari lapisan bumi telah berlangsung sejak lama. Selama kurun waktu 50 tahun terakhir, perkembangan
teknologi pengolahan semakin meningkat dan ekstraksi bijih kadar rendah menjadi lebih ekonomis, sehingga semakin luas dan semakin dalam mencapai
lapisan bumi jauh di bawah permukaan. Apabila kegiatan penambangan terus dibiarkan tanpa ada upaya perbaikan lingkungan dapat berdampak terhadap
kerusakan lingkungan hidup, seperti hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai
dan perubahan bentuk lahan BAPEDAL 2001.
Kegiatan penambangan yang kurang produktif dapat berpengaruh pada kesuburan tanah sehingga tanaman sulit mengalami pertumbuhan. Sembiring dan
Simon 2008 menjelaskan bahwa lahan bekas penambangan secara nyata memperlihatkan kondisi tanah yang mengalami kerusakan struktur dan pemadatan
sehingga berefek negatif terhadap sistem tata air dan aerasi yang secara langsung dapat mempengaruhi fungsi dan perkembangan akar. Rusaknya struktur tanah
juga berdampak pada tanah yang kurang mampu menyimpan dan meresapkan air pada musim hujan, sehingga terjadi erosi tanah. Sebaliknya pada musim kemarau
tanah menjadi keras dan padat, sehingga tanah menjadi sulit untuk diolah. Selain itu, wilayah pascatambang merupakan tanah dengan pH yang rendah masam,
miskin air dan unsur hara. Kondisi ini adalah hambatan utama untuk pertumbuhan tanaman Pietrzykowski et al. 2013.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa akibat dari kegiatan penambangan secara fisik dapat mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan tanah,
mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan Setyaningsih 2007. Lahan bekas tambang tertentu dapat juga memiliki kandungan logam berat dalam tanah
dalam jumlah yang tinggi. Logam-logam yang berada dalam tanah pascatambang sebagian adalah logam berat pada awalnya logam itu tidak berbahaya jika
terpendam dalam perut bumi. Tapi ketika ada kegiatan tambang, logam-logam tersebut ikut terangkat bersama batu-batuan yang digali, termasuk batuan yang
digerus dalam processing plant. Logam-logam itu berubah menjadi ancaman ketika terurai di alam bersama tailing yang dibuang Yu et al. 2013.
Menurut Verloo 1993 dalam Notohadiprawiro 2006, bahwa logam berat yang terdapat di dalam tanah menjadi berbagai fraksi atau bentuk, antara lain:
1. Larut air, berada dalam larutan tanah. 2. Tertukarkan, terikat pada tapak-tapak jerapan adsorption sites pada koloid
tanah dan dapat dibebaskan oleh reaksi pertukaran ion. 3. Terikat secara organik, berasosiasi dengan senyawa humus yang tidak
terlarutkan 4. Terjerat occluded di dalam oksida besi dan mangan
5. Senyawa-senyawa tertentu, seperti karbonat, fosfat dan sulfida 6. Terikat secara struktural di dalam mineral silikat atau mineral primer.
Unsur logam yang berada dalam larutan tanah dapat juga berbentuk senyawa kompleks elektrolit atau non-elektrolit atau berbentuk L
n+
. Senyawa non-
elektrolit bermuatan bersih netral L
n+.
A
m-,o o
, sedangkan senyawa elektrolit dapat bermuatan bersih positif, negatif atau amfoter L
n+.
A
m-,o +,-,+
. “A” merupakan
suatu senyawa anion atau molekul mineral atau organik alami atau sintetik Notohadiprawiro 2006.
2.2. Perbaikan Kualitas Tanah Pascatambang
Kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang kompleks dan sangat rumit, memiliki resiko yang besar, bersifat jangka panjang, melibatkan teknologi
tinggi, padat modal dan aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Selain itu, kegiatan penambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar,
sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pascatambang, diantaranya adalah kegiatan perbaikan kualitas tanah. Salah satu
tujuan utama perbaikan kualitas tanah pascapenambangan dalam jangka panjang adalah membangun ekosistem hutan yang berkelanjutan dengan meningkatkan
unsur hara tanah dan pertumbuhan tanaman Pietrzykowski et al. 2013. Kunci utama dalam keberhasilan upaya reklamasi lahan kritis adalah pemilihan jenis-
jenis tanaman, dengan memperhatikan kendala yang ada yaitu kesuburan yang rendah dan sifat fisik yang jelek. Jenis tanaman yang dapat beradaptasi baik dan
cepat tumbuh tanaman pioner, misalnya jenis tanaman penutup tanah leguminose dan rumput-rumput dapat dimanfaatkan sebagai mulsa untuk
memperbaiki sifat tanah dan mempercepat perbaikan atau terbentuknya media
tumbuh tanaman Tala’ohu dan Irawan 2014.
a Reklamasi Lahan Pascatambang
Reklamasi adalah suatu usaha untuk memulihkan atau mengembalikan lahan yang rusak sebagai akibat adanya kegiatan penambangan, sehingga dapat
berfungsi secara optimal sesuai dengan kemampuannya Latifah 2005. Selanjutnya Sembiring dan Simon 2008 menjelaskan bahwa reklamasi seringkali
menjadi bagian dari kegiatan penambangan, sehingga dibutuhkan pendekatan teknis dan dukungan dari disiplin ilmu yang lain. Penyelenggaraan reklamasi
tambang dapat membuka peluang investasi untuk investor sektor lain, seperti kehutanan, perkebunan, pertanian, peternakan, permukiman, pariwisata dan
kawasan perindustrian. Setiap keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang merupakan promosi bagi keberlanjutan usaha penambangan. Keberlanjutan terjadi
tidak terlepas dari perencanaan penambangan yang baik dan menghasilkan reklamasi yang baik pula. Akibatnya dampak negatif dari setiap penambangan
dapat dikendalikan.
Kebijakan reklamasi telah diatur dalam berbagai peraturan perundangan antara lain a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2010 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara; b Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; c Peraturan Pemerintah
Nomor 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan ; d Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang.
Berdasarkan Lampiran V Pedoman Penilaian Kriteria Keberhasilan Reklamasi, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 Tahun
2008, reklamasi yang mengarah kepada revegetasi lahan bekas tambang dinilai