stock utang luar negeri secara riil mencapai 64.25 persen GDP, kemudian membengkak menjadi 95.3 persen GDP.
Memburuknya kondisi perekonomian internasional tersebut membawa dampak pada perubahan perekonomian dalam negeri. Harga barang- barang
impor melonjak tinggi, kemudian diikuti oleh kenaikan harga barang-barang lain yang sesungguhnya tidak ada hubungannya dengan nilai tukar rupiah terhadap
dollar yang lebih merupakan pengaruh psikologi sentimen pasar. Data pada akhir tahun 1997 tercatat angka inflasi mencapai 11.1 persen per tahun, dan terus
meningkat hingga mencapai 77.6 persen pertahun pada tahun berikutnya. Menurut data Bank Indonesia 1999, pertumbuhan ekonomi tahunan PDB riil mencatat
sebesar 4.7 persen, hingga tahun 1998 turun sebesar 13.2 persen. Faktor-faktor inilah yang menyebabkan terjadinya krisis ekonomi yang berkembang menjadi
krisis multidimensional yang menyentuh segala aspek kehidupan. Menurut Sudjijono 2002, krisis ekonomi merupakan indikasi dari kegagalan sistem pasar
market failure, sedangkan ketidakberdayaan piha k pemerintah merupakan kegagalan sistem pemerintahan government failure.
5.4. Gambaran Perkembangan Makroekonomi Indonesia
Perekonomian Indonesia pasca krisis masih menunjukkan bahwa stabilitas belum tercapai secara penuh. Sementara pertumbuhan ekonomi pada tahun 2006
telah mencapai 5.5 persen setelah krisis dan menunjukkan kecendrungan meningkat, industrial production index serta uang beredar juga cendrung
meningkat setiap tahunnya, sedangkan beberapa indikator makroekonomi lainnya tetap mengalami fluktuasi seperti inflasi,sukubunga SBI,dan sukubunga dunia dan
nilai tukar rupiah mengalami penurunan dari periode 1999 sampai 2006 Tabel 4. Namun setelah itu trendnya menuju arah yang sebaliknya.
Tabel 4. Beberapa Indikator Makroekonomi Indonesia Tahun 1999-2006
Rincian 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
2006 Pertumbuhan PDB
5.76 4.9
3.5 4.4
4.9 5.1
5.6 5.5
Industrial Production Index
105.44 100 104.27 107.67 113.55 117.33 118.85
120.96
M2 Milyar
624151 685464 786741 849401 903987 970838 1092069 1260445
Nilai Tukar Rp
7808 8534
10265 9261 8571
9030 9750
9141
Inflasi
2.01 9.35
12.55 10.03
5.06 6.4
17.11 6.6
Sukubunga SBI
11.92 14.53
17.62 12.93
8.31 7.43
9.23 11.83
Sukubunga Dunia
8.02 9.27
6.7 4.6
4.12 4.47
6.41 8
Sumber : Laporan Tahunan Bank Indonesia 2006
Nilai tukar rupiah pada tahun 1999 sebesar Rp. 7808 per dollar AS depresiasi menjadi Rp.10 265 per dollar AS. Dari tahun 2001 ke tahun 2003 nilai
tukar rupiah menguat apresiasi menjadi Rp.8570 per Dollar AS dan inflasi mengalami penurunan sampai tahun 2003 sebesar 5.06 persen. Pada tahun 2005
nilai tukar rupiah mengalami depresiasi lagi menjadi Rp. 9750 per dollar AS sedangkan inflasi mengalami kenaikan lagi 17.11 persen artinya semakin nilai
tukar mengalami depresiasi maka harga mengalami kenaikan sehingga terjadi inflasi. begitu juga sebaliknya apabila nilai tukar mengalami apresiasi maka harga
mengalami penurunan. Sukubunga SBI bulanan pada tahun 1999 sebesar 11.92 persen mengalami
peningkatan menjadi 17.62 persen pada tahun 2001. Pada tahun 2002 suku bunga SBI sebesar 12.93 persen lebih rendah dari dua tahun sebelumnya. Pada tahun
2004 suku bunga SBI merupakan rekor terendah pasca krisis yaitu sebesar 7.43 persen. Begitu juga Sukubunga dunia bulanan pada tahun 1999 sebesar 8.02
persen mengalami peningkatan pada tahun 2000 sebesar 9.27 persen . Pada tahun
2004 turun manjadi sebesar 4.47 persen dan pada tahun 2006 meningkat lagi sebesar 8.0 persen
Pertumbuhan ekonomi dari tahun 1999 ke tahun 2003 mengalami penurunan dari 5.76 persen menjadi 4.90 persen. Sedangkan dari tahun 2004
kembali meningkat sebesar 5.10 persen dan turun sampai tahun 2006 sebesar 5.5 persen. Tingkat inflasi dari tahun 1999 sebesar 2.01 persen mengalami
peningkatan menjadi 12.55 persen pada tahun 2001. pada tahun 2002 tingkat inflasi sebesar 10.03 persen lebih rendah dari tahun 2001, namun masih lebih
besar dari tahun 2000. Penurunan inflasi drastis terjadi pada tahun 2003 yaitu 5.06 persen yang hampir separuhnya dari tahun 2002. Tahun 1999 tersebut merupakan
tahun inflasi terendah pasca krisis, dan pada tahun 2005 mengalami peningkatan lagi menjadi 17.11 persen dan turun pada tahun 2006 sebesar 6.60 persen. Oleh
karena itu apabila dengan membaiknya pertumbuhan perekonomian tetapi tidak didukung oleh variabel inti makroekonomi lainnya karena semakin tidak
terkendalinya variabel makroekonomi Indonesia, jika ini dibiarkan terus menerus, maka akan membahayakan pertumbuhan itu sendiri.
Pertumbuhan ekonomi yang membaik, jika tidak ditopang oleh perbaikan variabel makroekonomi lainnya, akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi itu
sendiri. Peningkatan suku bunga akan berdampak negatif pada sisi permintaan dan sisi penawaran agregat. Pasa sisi permintaan, peningkatan suku bunga akan
berdampak pada penurunan konsumsi, investasi dan semakin tidak kompettifnya ekspor daya saing melemah. Penurunan peranan ketiga komponen ini akan
mengerem laju pertumbuhan dari sisi permintaan. Dari sisi penawaran, peningkatan suku bunga akan berdampak terhadap
meningkatnya biaya – biaya cost push. Peningkatan suku bunga, akan
meningkatkan sukubunga pinjaman terutama pinjaman modal kerja. Peningkatan kapasitas produksi maupun perluasan usaha akan semakin terbebani jika biaya
modal kerja mahal. Akhirnya produksi akan terhambat akibat suku bunga tinggi atau dengan kata lain pertumbuhan ekonomi dari sisi penawaran akan terhambat.
Peningkatan laju inflasi juga akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi. Inflasi artinya terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan harga-harga
yang tidak terkendali akan berdampak negatif terhadap sisi permintaan maupun sisi penawaran. Kenaikan harga –harga barang konsumsi yang dihasilkan oleh
produsen domestik, akan mengalihkan preferensi konsumen untuk mengkonsumsi barang-barang impor yang sejenis. Artinya, konsumsi barang-barang yang
dihasilkan oleh produsen domestik akan menurun akibat tingginya inflasi. Kenaikan harga-harga barang domestik juga akan memicu impor, karena
dipandang barang impor lebih murah kompetitif. Selain itu, kenaikan harga- harga akan memperlemah daya beli konsumen terutama yang berpendapatan
tetap dan rendah. Ekspor juga akan melemah karena kenaikan harga-harga menyebabkan mahalnya barang-barang yang diproduksi di domestik. Lebih parah
lagi, karena inflasi tinggi, maka tabungan masyarakat akan berkurang. Dari sisi penawaran, kenaikan harga-harga pada batas-batas tertentu
memang akan merangsang produksi, karena produsen akan memperoleh penerimaan tinggi, sehingga meningkatkan profitnya. Namun, jika daya beli
masyarakatnya menurun karena harga-harga meningkat maka penerimaan perusahaan juga akan terkendala. Kenaikan harga-harga akan membebani
perusahaan dari sisi produksi. Kenaikan harga-harga akan memicu kenaikan upah karyawan dan biaya bahan baku, sehingga keuntungan perusahaan akan
berkurang. Selain itu, kenaikan harga-harga juga akan menambah resiko berusaha,
karena ketidakpastian berusaha. Tingginya ketidakpastian berusaha akan mengakibatkan relokasi industri ke negara-negara lain. Akumulasi dampak negatif
inflasi tinggi, akan mengakibatkan kerawanan sosial dan perpecahan. Jadi, singkatnya inflasi yang tinggi merupakan beban cost baik dari sisi ekonomi
maupun sosial. Pelemahan nilai tukar rupiah akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi.
Dari sisi permintaan, terdepresiasinya rupiah akan mempengaruhi konsumsi, investasi dan ekspor-impor. Nilai tukar rupiah yang semakin melemah akan
mempengaruhi preferensi konsumen dalam memilih barang yang sejenis. Rupiah yang terdepresiasi artinya harga barang-barang impor menjadi lebih mahal
dibandingkan harga-harga produksi dalam negeri. Jika rupiah terdepresiasi, sesuai dengan prinsip maksimisasi kepuasan konsumen akan mengalihkan konsumsinya
ke produk-produk lokal. Jika produk lokal yang sejenis terbatas atau kualitasnya dianggap rendah, maka konsumen terpaksa memilih produk impor atau tidak
melakukan konsumsi yang dibutuhkannya. Ketidakstabilan variabel makroekonomi khususnya inflasi dan nilai tukar
tidak terlepas dari permasalahan klasik yang dihadapi Indonesia. Periode pasca krisis perekonomian Indonesia memiliki sejumlah permasalahan berat.
Permasalahan itu diantaranya 1 tingginya hutang luar negeri, 2 masih tingginya subsidi BBM dan terbatasnya pendanaan APBN, 3 masih terbatasnya kapasitas
produksi, masih tingginya impor bahan baku, masih lemahnya daya saing, dan masih lemahnya kinerja ekspor, dan 4 masih belum optimalnya struktur dan
kelembagaan perbankan. Karena perekonomian Indonesia rentan, ketika terjadi guncangan baik yang berasal dari internal maupun eksternal, menyebabkan
ketidakseimbangan pada variabel makroekonomi Indonesia.
Dari sisi internal, pemerintah otoritas fiskal mengupayakan pertumbuhan ekonomi yang diindikasikan dengan meningkatnya investasi. Namun karena
kapasitas industri masih terbatas dan kandungan impor bahan baku industri masih tinggi, maka selain kurang tersentuhnya penyerapan tenaga kerja juga
menimbulkan pengurasan devisa dan tingginya inflasi. Dari sisi eksternal, peningkatan sukubunga AS dan peningkatan harga minyak dunia, menyebabkan
semakin beratnya beban APBN, akibat meningkatnya subsidi BBM dan pembayaran utang termasuk cicilanya. Masih bermasalahnya struktur
perekonomian, tekanan otoritas fiskal untuk mendorong pertumbuha n ekonomi dan kuatnya tekanan negatif eksternal, semakin memberatkan otoritas moneter
untuk menstabilkan variabel makroekonomi.
VI. PENGUJIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN