44
C. Pengaruh ekstrak tulang terhadap proliferasi limfosit
Sel limfosit merupakan sel yang erat hubungannya dengan status imun individu Erniati, 2007 dan rentan terhadap senyawa asing, sehingga dapat
digunakan sebagai model untuk uji ketoksikan pangan. Salah satu uji yang dapat dilakukan adalah uji in vitro dengan kultur sel. Kultur sel secara in vitro
memerlukan kondisi lingkungan yang sama dengan keadaan lingkungan dalam tubuh sehingga proses biologis yang terjadi dalam kultur sel dapat berlangsung
mendekati keadaan sebenarnya. Pendekatan terhadap kondisi lingkungan tubuh diperoleh dengan aplikasi media pertumbuhan dan fase gas yang sesuai untuk
pertumbuhan sel. Media yang tepat untuk pertumbuhan sel limfosit adalah RPMI dengan kombinasi suhu sebesar 37
C dan kadar karbondioksida sebesar 5. Pengaruh ekstrak tulang A terhadap proliferasi sel limfosit
Gambar 15. Absorbansi akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang
noniradiasi
Pada Gambar 15 terlihat nilai absorbansi pada tulang A dengan berbagai
perlakuan pengenceran dibandingkan dengan absorbansi tulang noniradiasi. Nilai absorbansi hasil pengukuran dengan spectrophotometer microplate reader
menyatakan ukuran penyerapan sinar oleh kristal formazan yang terbentuk sebagai hasil konversi MTT dengan adanya enzim suksinat dehidrogenase. Enzim
ini dihasilkan dari mitokondria sel hidup, dengan demikian kristal formazan hanya dapat terbentuk oleh sel hidup Kubota et al., 2003. Hasil penelitian
Tulang Noniradiasi Tulang A
45 menunjukkan nilai absorbansi tulang noniradiasi dan tulang A berada di antara
kontrol negatif dan kontrol positif dengan kecenderungan nilai absorbansi semakin menurun pada konsentrasi yang lebih kecil.
Pada Gambar 16 dapat dilihat perbandingan indeks stimulasi proliferasi
limfosit antara tulang noniradiasi dengan tulang A. Nilai indeks stimulasi tersebut diperoleh dengan membandingkan absorbansi sampel dengan absorbansi kontrol
negatif. Indeks stimulasi tulang noniradiasi
secara umum lebih besar dibandingkan dengan indeks stimulasi tulang A pada semua pengenceran. Hasil
penelitian menunjukkan tulang A memiliki indeks stimulasi yang lebih besar dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada setiap pengenceran.
Gambar 16.
Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh tulang A dibandingkan dengan tulang noniradiasi
Pada pengenceran C1 nilai indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.50 pada
tulang noniradiasi dan sebesar 1.26 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik dengan uji ANOVA, pada pengenceran C1 tidak terjadi perbedaan yang nyata
p0.05 antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi. Pada pengenceran C2, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.39 pada tulang noniradiasi dan sebesar 1.16 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
Tulang Noniradiasi Tulang A
46 dengan uji ANOVA, pada pengenceran C2 tidak terjadi perbedaan yang nyata
p0.05 antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi. Pada pengenceran C3, indeks stimulasi tulang noniradiasi lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai indeks stimulasi tulang A, yaitu sebesar 1.31 pada tulang noniradiasi dan sebesar 0.98 pada tulang A. Berdasarkan analisis statistik
dengan uji ANOVA, pada pengenceran C3 tidak terjadi perbedaan yang nyata p0.05 antara indeks stimulasi pada tulang A, dengan tulang noniradiasi.
Pengaruh ekstrak tulang B terhadap proliferasi sel limfosit
Gambar 17. Absorbansi akibat pengaruh ekstrak tulang B dibandingkan dengan
Tulang noniradiasi
Pada Gambar 17 di atas diperlihatkan data absorbansi sampel 2008
dibandingkan dengan tulang noniradiasi, kontrol positif dan kontrol negatif. Nilai absorbansi tulang B pada semua pengenceran lebih kecil dibandingkan dengan
tulang noniradiasi dan pada tingkat pengenceran yang lebih tinggi nilai absorbansi semakin turun. Nilai absorbansi yang lebih tinggi berarti terdapat sel limfosit yang
lebih banyak. Karena prinsip dari metode ini adalah dengan mewarnai sel limfosit, semakin banyak sel limfosit maka akan semakin banyak sel yang menyerap zat
warna, sehingga meningkatkan nilai absorbansi apabila diukur dengan spektrofotometer mikroplate reader.
Tulang Noniradiasi Tulang B
47 Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung
nilai indeks stimulasi proliferasi limfosit yang dapat dilihat pada Gambar 18.
Profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang B sama dengan profil dari indeks stimulasi proliferasi limfosit pada tulang A, yaitu pada pengenceran
yang lebih besar memiliki indeks stimulasi yang lebih rendah. Indeks stimulasi tulang B pada pengenceran C1 sebesar 1.42, pengenceran C2 sebesar 1.23, dan
pengenceran C3 sebesar 1.16.
Gambar 18. Indeks stimulasi proliferasi limfosit akibat pengaruh ekstrak tulang B
Indeks stimulasi sampel yang diperoleh pada tulang B lebih kecil dibandingkan dengan tulang noniradiasi pada masing-masing pengenceran dan
nilainya lebih besar dari kontrol negatif. Artinya ekstrak tulang B dapat memicu terjadinya proliferasi limfosit akan tetapi kemampuan untuk memicu terjadinya
hemolisis tidak lebih besar dari tulang noniradiasi. Hal ini diduga karena radikal bebas yang terdapat pada tulang lebih besar dibandingkan yang terdapat pada
tulang noniradiasi, akan tetapi jumlah radikal tersebut belum mampu untuk membuat kerusakan sel, sehingga proliferasi limfosit masih dapat terjadi.
Tulang Noniradiasi Tulang B
48
D. Pengukuran kapasitas antioksidan dengan metode DPPH