Uji In Vitro dan Kultur Sel

13

E. Uji In Vitro dan Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik yang biasa digunakan untuk mengembangbiakan sel di luar tubuh in vitro. Kultur sel dapat digunakan untuk mengevaluasi dampak yang ditimbulkan dari kondisi abnormal atau dari keberadaan senyawa berbahaya pada sel. Untuk melakukan kultur sel secara in vitro dibutuhkan kondisi pertumbuhan yang mirip dengan kondisi in vivo seperti pengaturan temperatur, konsentrasi O 2 dan CO 2 , pH, tekanan osmosis, dan kandungan nutrisi. Saat ini kultur sel telah banyak digunakan dalam laboratorium sitogenetik, biokimia, dan molekuler untuk melakukan diagnostik dan penelitian. Dalam bidang ilmu pangan, kultur sel seringkali digunakan untuk evaluasi fungsi dan keamanan bahan pangan secara in vitroDavis, 1994. Beberapa kelemahan dari teknik kultur sel, yaitu kultur sel harus dilakukan dalam kondisi steril, butuh keahlian dan ketrampilan khusus untuk mengkultur, dan biaya relatif mahal. Keuntungan penggunaan kultur sel adalah lingkungan tempat hidup sel dapat dikontrol, seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO 2 dan O 2 , sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan Malole, 1990. Menurut Malole 1990, faktor yang mendukung pertumbuhan sel dalam kultur adalah media pertumbuhan. Fungsi media kultur sel adalah mempertahankan pH, menyediakan lingkungan yang baik dimana sel dapat bertahan hidup, dan juga menyediakan sunbstansi-substansi yang tidak dapat disintesis oleh sel itu sendiri. Nutrisi yang biasanya terkandung dalam plasma adalah asam amino, vitamin, glukosa atau gula lain, garam, dan protein tertentu. Pemilihan media pertumbuhan didasarkan pada kandungan zat gizi yang disesuaikan dengan jenis sel yang ditumbuhkan Davis, 1994. Media yang sering digunakan untuk mengkultur sel limfosit manusia adalah RPMI- 1640. RPMI dikembangkan oleh Roswell Park Memorial Institute. Selain RPMI-1640, terdapat juga RPMI-1630 dan RPMI-1629 Davis, 1994 . Hal lain yang perlu diperhatikan dalam metode kultur sel adalah konsentrasi sel yang akan dikulturkan. Limfosit tidak dapat bertahan hidup 14 dan tumbuh pada konsentrasi sel yang rendah kurang dari 10 5 selml. Jumlah sel limfosit yang akan dikultur sebaiknya sekitar 1-4 x 10 6 selml. Saat dikulturkan, sel ditambahkan serum sebesar 10. Serum merupakan suplemen peningkat pertumbuhan yang efektif untuk semua jenis sel karena kompleksitas dan banyak faktor pertumbuhan, perlindungan sel, dan faktor nutrisi di dalamnya. Jenis serum yang biasa digunakan dalam kultur sel adalah serum hewan. Fetal Bovine Serum telah digunakan sebagai suplemen standar. Pada umumnya, serum ditambahkan dengan konsentrasi 5-20 Walum et al., 1990. Pada pembuatan medium untuk kultur sel, dilakukan penambahan buffer dan antibiotik. Buffer ditambahkan dengan tujuan menjaga keseimbangan pH agar tetap memiliki nilai 7.4. Menurut Freshney 1992, pertumbuhan sel memerlukan pH 7.4. Bila pada proses pertumbuhan, pH lingkungan sekitar lebih rendah dari 7, maka pertumbuhan sel akan terhambat. Buffer yang biasa digunakan adalah NaHCO 3 . Penambahan antibiotik pada medium bertujuan mencegah kontaminasi pada medium. Faktor utama untuk memilih jenis antibiotik adalah tidak bersifat toksik, memiliki spektrum antimikroba yang luas, ekonomis, dan kecenderungan minimum untuk menginduksi pembentukan mikroba yang kebal. Sel limfosit membutuhkan O 2 untuk bertahan hidup. Kondisi rendah O 2 dapat mendorong proses proliferasi, tetapi pertumbuhan tidak berlangsung lama dalam kondisi anaerob. Suhu kultur dipertahankan 37 C dengan konsentrasi CO 2 5 dan O 2 95 untuk menyamakan dengan kondisi di dalam tubuh. Selain memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan sel, temperatur juga mempengaruhi pH melalui peningkatan kelarutan CO 2 dan melalui perubahan ionisasi dan dari pH buffer Freshney, 1994. F. Eritrosit dan Hemolisis Eritrosit Eritrosit atau sel darah merah merupakan komponen yang menyusun darah sekitar 99. Komponen lain penyusun darah adalah leukosit dan platelet. Fungsi utama eritrosit adalah untuk membawa oksigen dari paru-paru dan karbondioksida hasil metabolism sel. Eritrosit tersusun oleh hemoglobin 15 dalam jumlah besar. Hemoglobin dapat berikatan dengan oksigen sehingga oksigen dapat didistribusikan ke seluruh sel. Konsentrasi rata-rata dari hemoglobin di dalam darah adalah 14g100ml darah pada wanita dan 16g100ml darah pada pria dewasa Vander et al., 2004. Eritrosit atau sel darah merah adalah suatu sel yang berisi hemoglobin dan membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh. Sel ini berbentuk lempeng bikonkaf yang meningkatkan area permukaan sel sehingga memudahkan difusi oksigen dan karbondioksida. Bentuk ini dipertahankan oleh suatu sitoskeleton yang terdiri atas berberapa protein. Diameter eritrosit ini kira-kira 7.8 µm, dengan ketebalan 2.5 µm pada bagian paling tebal dan kurang kebih 1 mikrometer pada bagian tengah. Volume rata-rata eritrosit adalah 90 sampai 95 µm 3 Guyton dan Hall, 1997. Persentase jumlah eritrosit di dalam volume darah dikenal dengan istilah hematocrit. Dalam keadaan normal kadarnya sekitar 45 yang dapat diukur dengan teknik sentrifugasi dengan mengendapkan eritrosit dan diukur volumenya Vander et al., 2004. Eritrosit merupakan sel yang sangat terdiferensiasi, berupa kantung- kantung dikelilingi oleh membran plasma yang mengandung hemoglobin. Sebesar 33 berat sel eritrosit manusia merupakan hemoglobin. Eritrosit yang telah dewasa, selain tidak mengandung nukleus, ribosom, dan mitokondria, juga telah kehilangan kemamupan untuk mensintesis protein dan metabolisme aerobik. Selain itu eritrosit yang telah dewasa juga telah kehilangan kemampuannya untuk mensintesis membran yang baru Weiss et al., 1977. Eritrosit yang tidak memiliki nukleus, membuat lebih banyak ruang bagi hemoglobin. Selain itu, bentuknya yang bikonkaf meningkatkan rasio volume permukaan dan sitoplasma. Karakteristik ini membuat difusi oksigen lebih mudah pada eritrosit. Dengan menggunakan mikroskop elektron, eritrosit dapat memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu normal disciocyte, crenated, echinochyte, codocyte, oat, bulan sabit, helmet, pinched, pointed, berlekuk, poikilocyte, dan sebagainya. Paruh hidup eritrosit sendiri adalah sekitar 120 hari. Fungsi utama eritosit adalah mengangkut hemoglobin dan seterusnya oksigen dari paru-paru ke jaringan. Jika hemoglobin ini terbebas dalam plasma 16 manusia, kurang lebih 3 bocor melalui membran kapiler masuk ke dalam ruang jaringan atau membran glomerolus pada ginjal terus masuk ke dalam saringan glomerolus setiap kali darah melewati kapiler. Oleh karena itu, agar hemoglobin tetap berada dalam aliran darah, hemoglobin tersebut harus tetap berada dalam eritrosit. Selain mengangkut hemoglobin, eritrosit juga mempunyai fungsi lain. Eritrosit banyak sekali mengandung karbonik anhidrase, yang mengkatalis reasksi antara karbondioksida dan air sehingga meningkatkan kecepatan reaksi bolak-balik ini berberapa ribu kali lipat. Kecepatan reaksi ini yang tinggi ini membuat air dalam darah dapat bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida, dan dengan demikian mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat HCO 3 - . Hemoglobin yang terdapat dalam sel juga merupakan dapar asam basa seperti kebanyakan protein, sehingga eritrosit bertanggung jawab untuk sebagian daya pendaparan sel darah Guyton dan Hall, 1997. Hemoglobin, pigmen merah yang membawa oksigen dalam eritrosit, merupakan suatu protein yang mempunyai berat molekul 64.450 dan terdiri dari empat subunit, di mana masing-masing sub unit mengandung satu bagian heme yang berkonjugasi dengan suatu polipeptida. Heme adalah suatu derifat porifirin yang mengandung Fe 2+ yang dapat mengikat oksigen. Eritrosit mengandung sekitar 270 juta molekul hemoglobin di mana tiap sel mengandung tepat 29 pg hemoglobin dengan masing-masing membawa empat kelompok heme. Dengan demikian, didapatkan sekitar 3x10 13 sel darah merah dan sekitar 900 g hemoglobin di dalam darah seorang laki-laki dewasa Ganong, 1990. Eritrosit memiliki berberapa sistem membran yang dapat melindungi dirinya dari kerusakan oksidatif dan hemolisis, antara lain superoksida dismutase SOD, glutation peroksidase, dan katalase. Juga terdapat asam askorbat dan asam urat yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut air berada di plasma dan tokoferol yang berfungsi sebagai penangkap radikal bebas larut lemak yang terdapat di membran eritrosit Zhu et al., 2002. Hemolisis adalah pecahnya membran eritrosit, sehingga hemoglobin bebas ke dalam medium sekelilingnya plasma. Kerusakan membran eritrosit 17 dapat disebabkan oleh antara lain penambahan larutan hipotonis, hipertonis ke dalam darah, penurunan tekanan permukaan membran eritrosit, zatunsur kimia tertentu, pemanasan dan pendinginan, rapuh karena ketuaan dalam sirkulasi darah serta adanya radikal bebas yang berinteraksi dengan membran. Membran eritrosit tersusun atas polisakarida dan protein spesifik yang berbeda antara satu orang dengan orang lainnya. Penggunaan eritrosit sebagai model pada penelitian sudah banyak dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Mrowczynska 2001 yang menggunakan eritrosit sebagai model untuk membandingkan dan menghubungkan aktivitas hemolitik terhadap sifat sitotoksik garam empedu, Zhu et al. 2005 yang mengukur pengaruh flavonoid kakao terhadap ketahanan membran eritrosit yang dioksidasi dengan AAPH, Suwalsky 2007 yang mengukur sifat antioksidan tumbuhan Ugni molinae dan pengaruhnya pada eritrosit manusia dalam menanggulangi stress oksidatif yang dipicu dengan HClO, dan Karimi 2008 yang mengukur efek perlindungan eritrosit oleh silimarin.

G. Limfosit dan Proliferasi Limfosit