UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS

33 4. Rancangan IV Elemen pemanas rancangan IV ini dibuat hampir sama dengan rancangan II, hanya saja pada rancangan IV diameter dari lilitan pipa tembaga diperkecil menjadi 85 mm yang awalnya pada rancangan II adalah sebesar 100 mm. Hal ini dilakukan karena pada rancangan II ketika lilitan diameter pipa tembaga dibuat 100 mm, pipa tembaga menempel di dinding tabung yang menyebabkan pemanasan kurang optimum karena terjadi kehilangan panas dari pipa tembaga ke dinding tabung. Pada rancangan IV, diameter lilitan pipa tembaga diperkecil agar tidak menempel pada dinding tabung sehingga ada celah antara lilitan pipa tembaga dengan dinding di dalam tabung knalpot. Setelah dilakukan pengukuran suhu, rancangan IV dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum 110 o C hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Gambar 23 sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk memanasakan minyak nyamplung sehingga dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar motor diesel. Gambar 19. Knalpot rancangan IV

6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS

1. Pengukuran Suhu Minyak Nyamplung Hasil Pemanasan Elemen Pemanas Pengukuran suhu minyak hasil pemanasan elemen pemanas dilakukan untuk mengetahui apakah rancangan elemen pemanas yang dibuat sudah sesuai dengan yang diharapkan, yaitu mencapai suhu optimum pemanasan minyak nyamplung hingga 110 o C. Pengukuran suhu minyak nyamplung dilakukan pada semua rancangan. Pengukuran dilakukan di lima titik. Titik pengukuran pertama yaitu mengukur suhu minyak dalam tangki bahan bakar minyak nyamplung. Titik pengukuran kedua yaitu mengukur suhu minyak nyamplung di pipa saluran bahan bakar sebelum minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas. Titik pengukuran ketiga yaitu mengukur suhu minyak nyamplung setelah keluar dari elemen pemanas. Titik pengukuran keempat yaitu mengukur suhu keluaran gas buang dari motor diesel suhu knalpot, dan titik pengukuran kelima mengukur suhu ruangan. Letak titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 20. 34 5 4 1 2 3 Keterangan : 1 : Titik pengukuran suhu dalam tangki bahan bakar T1 2 : Titik pengukuran suhu minyak masuk ke elemen pemanas T2 3 : Titik pengukuran suhu minyak keluar dari elemen pemanas T3 4 : Titik pengukuran suhu keluaran knalpot T4 5 : Titik pengukuran suhu ruangan T5 Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel Pengukuran suhu dilakukan dengan dua perlakuan yang berbeda yaitu pengukuran suhu pada rpm 1700 dan 2000, masing-masing rpm dilakukan 3 kali pengulangan. Untuk membandingkan hasil pemanasan dari semua rancangan, jenis minyak yang digunakan hanya minyak N2. Hal ini dilakukan karena persediaan minyak yang terbatas, selain itu penggunaan minyak N2 adalah dikarenakan minyak N2 memiliki viskositas yang lebih kecil dibandingkan minyak N1, dan proses pembuatan minyak N2 lebih mudah dibandingkan dengan minyak N3 dan N4. Minyak N1 tidak digunakan di awal pengujian karena dikhawatirkan minyak N1 tidak dapat digunakan langsung sebagai bahan bakar motor diesel, dengan mempertimbangkan dari kekentalan minyak yang mencapai 63 cSt sehingga dipilih minyak N2 pada pengujian awal, dan digunakan untuk semua rancangan. Hasil pengujian pengukuran suhu rata-rata semua rancangan dapat dilihat pada Tabel 6. Sedangkan data lengkap hasil pengukuran suhu dapat dilihat pada Lampiran 8. Dari Tabel 6 dapat dilihat hasil pengukuran suhu semua rancangan pada rpm 1700 dan 2000 yang menunjukkan bahwa rancangan IV merupakan rancangan yang dapat memanaskan minyak hingga suhu 110 o C. Sedangkan pada rancangan I suhu maksimal untuk memanaskan minyak hanya mencapai 54.8 o C T3, pada rancangan II pemanasan minyak hanya mencapai 74.5 o C T3, dan pada rancangan III pemanasan minyak hanya mencapai 83.2 o C T3. Perbedaan hasil pemanasan minyak juga dipengaruhi oleh rpm mesin, semakin tinggi rpm mesin maka suhu keluaran dari knalpot semakin besar begitu juga sebaliknya. Seperti yang ditampilkan dalam Tabel 6, T5 menunjukkan suhu keluaran gas buang dari motor diesel. Pada rancangan IV suhu minyak mencapai 110 o C ketika rpm mesin 2000 sedangkan pada rancangan 35 lainnya pada rpm 2000 tidak dapat memanaskan minyak hingga 110 o C Lampiran 8. Untuk mengetahui perbedaan hasil pemanasan minyak pada setiap rancangan dapat dilihat pada Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan Elemen Pemanas Bahan Bakar Rpm T1 o C T2 o C T3 o C T4 o C T5 o C R I N2 1700 30.3 31.5 54.8 141.8 30.3 R II N2 1700 30.3 36.8 70.6 139.8 30.4 2000 26.4 37.5 74.5 156.2 25.9 R III N2 1700 29.6 29.4 65.6 138.8 31.9 2000 31.7 43.2 83.2 156.4 31.6 R IV N2 1700 28.0 30.4 86.4 149.0 28.5 2000 29.6 36.3 98.6 171.6 29.8 N3 1700 30.7 32.1 83.9 157.3 31.0 2000 29.7 31.8 100.8 180.5 29.8 N4 1700 30.8 32.5 91.6 151.9 30.7 2000 29.3 31.8 108.5 180.7 29.7 N1 1700 32.6 36.2 87.0 154.7 32.0 2000 29.1 38.3 107.4 175.6 29.9 20 40 60 80 100 120 140 160 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran Suhu o C R1 1700 R2 1700 R3 1700 R4 1700 Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 n 1 pada semua rancangan 36 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran Suhu o C R2 2000 R3 2000 R4 2000 Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 n 2 pada semua rancangan Gambar 21 menunjukkan perbedaan hasil pemanasan minyak N2 di setiap rancangan pada rpm mesin 1700. Pada grafik dapat dilihat, rancangan I hanya dapat memanaskan minyak hingga suhu 54.8 o C T3, hal ini dikarenakan pipa tembaga yang menjadi saluran minyak nyamplung pada rancangan I dililitkan di bagian luar tabung knalpot yang kemudian diselimuti oleh plat sehingga panas yang diterima oleh pipa tembaga kurang maksimal. Selain itu panjang pipa tembaga yang digunakan masih kurang panjang. Hal ini dikarenakan perhitungan yang digunakan pada rancangan I masih menggunakan data sekunder dari literatur, bukan data dari hasil pengukuran. Sehingga pengujian rancangan I pada rpm 2000 tidak dilakukan. Setelah memperoleh data suhu keluaran dari knalpotgas buang, maka dilakukan perhitungan ulang rancangan dan hasilnya digunakan untuk membuat elemen pemanas rancangan II. Hasil pemanasan yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan rancangan I yaitu pemanasan minyak mencapai suhu 70.6 o C T3. Akan tetapi rancangan II ini belum dapat memanaskan minyak hingga suhu optimum 110 o C pada rpm 1700. Kemudian rpm motor diesel dinaikkan menjadi 2000 Gambar 22, dan hasil pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 74.5 o C, terjadi kenaikan suhu pemanasan minyak sebesar 3.9 o C. Oleh karena rancangan II belum dapat memanaskan minyak nyamplung hingga suhu optimum, maka dibuat rancangan III dengan mengubah diameter pipa tembaga dari 8 mm menjadi 6 mm. Pada pengujian pertama yaitu pada rpm 1700, pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 65.6 o C lebih rendah dibandingkan dengan rancangan II. Sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak yang diperoleh mencapai 83.2 o C atau terjadi kenaikan pemanasan suhu sebesar 17.6 o C dan lebih tinggi dari rancangan II. Akan tetapi, rancangan III belum mencapai pemanasan suhu optimum minyak nyamplung sehingga dirancang kembali rancangan IV. Pada rancangan IV dibuat sama dengan rancangan II hanya saja diameter lilitan pipa tembaga pada rancangan IV diperkecil lebih jelasnya dapat dilihat di hasil rancangan elemen pemanas. Hasil pengujian pada rpm 1700 diperoleh suhu pemanasan minyak hingga 86.4 o C lebih tinggi dibandingkan dengan rancangan lainnya, sedangkan pada pengujian rpm 2000 suhu pemanasan minyak mencapai 98.6 o C. Bila dibandingkan dengan rancangan I, II, dan III, rancangan IV menghasilkan suhu hasil pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu 37 pemanasan optimum minyak nyamplung. Sehingga rancangan IV dapat digunakan untuk menguji minyak nyamplung lainnya minyak N1, N3 dan N4. Untuk mengetahui hasil dari pemanasan minyak nyamplung pada rancangan IV dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar 23 menunjukan perbedaaan suhu hasil pemanasan minyak nyamplung dari rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000. Pada rpm 1700, dapat di lihat bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi yaitu 91.6 o C, sedangkan minyak N1 87 o C, minyak N2 86.4 o C, dan minyak N3 83.9 o C. Pada rpm 2000, minyak N4 memiliki hasil pemanasan yang lebih tinggi yaitu 108.5 o C dan mendekati suhu optimum 110 o C, sedangkan minyak N1 107.4 o C, minyak N2 98.6 o C, dan minyak N3 100.8 o C. Dari pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada rpm yang berbeda yaitu pada rpm 1700 dan 2000 dapat disimpulkan bahwa minyak N4 memiliki pemanasan yang lebih tinggi dan mendekati suhu optimum pemanasan minyak nyamplung yaitu 110 o C. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas minyak N4 pada suhu ruangan 30 o C lebih kecil dibanding minyak nyamplung lainnya. . 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 T1 T2 T3 T4 T5 Titik Pengukuran Suhu o C N1 1700 N2 1700 N3 1700 N4 1700 N1 2000 N2 2000 N3 2000 N4 2000 Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 n 1 dan 2000 n 2 Selain melakukan pengukuran suhu hasil pemanasan minyak nyamplung pada semua rancangan, dilakukan pula pengukuran rpm motor diesel. Pengukuran ini dilakukan untuk mengetahui perubahan rpm motor diesel pada saat menggunakan biosolar dan minyak nyamplung. Untuk mengetahui hasil pengukuran rpm, dapat dilihat pada Tabel 7. Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa secara umum kecepatan motor diesel relatif cukup stabil. Pada saat pergantian bahan bakar dari biosolar ke minyak nyamplung terjadi penurunan rpm, namun hal ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa menit selanjutnya rpm motor kembali stabil. Pada saat pengujian, motor diesel sempat beroperasi tersendat-sendat, hal ini dikarenakan terdapat rongga udara di dalam saluran bahan bakar yang menyebabkan aliran bahan bakar tidak lancar. Rongga udara di dalam saluran bahan bakar ini ditimbulkan akibat aliran minyak nyamplung yang belum lancar dan stabil. Salah satu cara agar aliran bahan bakar minyak nyamplung lancar dan stabil adalah dengan memastikan minyak yang keluar dari elemen pemanas sudah mengalir dengan baik dan kontinyu. 38 Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV Rancangan Bahan Bakar Rpm Waktu menit 6 12 18 24 30 I N2 1700 1716 1704 1702 1695 1691 II N2 1700 1726 1732 1730 1724 1723 2000 2029 2028 2024 2018 2015 III N2 1700 1715 1721 1719 1715 1713 2000 2020 1903 1946 1979 1989 IV N1 1700 1699 1694 1692 1697 1707 2000 2016 2005 2004 2004 2001 N2 1700 1730 1720 1719 1719 1715 2000 2018 2008 2008 2013 2008 N3 1700 1718 1708 1709 1710 1710 2000 2019 2017 2017 2016 2010 N4 1700 1691 1680 1684 1680 1683 2000 2011 2009 2009 2008 2007 Untuk mengetahui lebih jelas mengenai hasil pengukuran rpm motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung dengan menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 dan 2000, dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25. . Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 1700 menggunakan R IV Pada grafik Gambar 24, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung sebagai bahan bakar di banding biosolar. Minyak N1 terlihat mengalami kenaikan rpm dibanding dengan minyak lainnya N2, N3, N4. Akan tetapi secara umum rpm dari motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung tidak konstanstabil. Sehingga belum dapat ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel terhadap kinerja motor diesel bila dibanding dengan biosolar. Hal ini pun terjadi pada pengujian di rpm 2000, rpm motor diesel turun naik atau tidak 39 kostanstabil. Sebagai contoh pada minyak N1, pada saat pengujian di rpm 1700 performa motor diesel rpm mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada saat pengujian di rpm 2000. Sehingga perlu dilakukan pengujian daya poros dari motor diesel yang menggunakan minyak nyamplung agar bisa ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar motor diesel. Untuk mengetahui lebih jelas hasil pengukuran rpm di rpm awal 2000, dapat dilihat pada Gambar 25. Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV 2. Uji karakteristik Penyemprotan Bahan Bakar Uji karakteristik penyemprotan bahan bakar dilakukan untuk membandingkan bahan bakar dilihat dari segi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Hal ini dilakukan untuk membandingkan hasil penyemprotan minyak nyamplung dengan biosolar. Pengujian penyemprotan dilakukan untuk semua jenis perlakuan minyak, yaitu minyak N1, N2, N3, dan N4. Hasil penyemprotan minyak N1 dapat dilihat pada Gambar 26 dan 27, sedangkan hasil penyemprotan boiosolar dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude kasar tanpa pemanasan 40 Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude kasar dengan pemanasan 110 o C menggunakan R IV Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar Dari hasil pengujian dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan hasil semprotan antara minyak nyamplung dengan biosolar, baik dengan perlakuan tanpa pemanasan ataupun dengan pemanasan pada suhu 110 o C. Butiran-butiran pengkabutan pada biosolar terlihat lebih halus dan merata, sedangkan butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung cenderung lebih besar dan tidak merata. Pengujian semprotan dilakukan pada semua jenis perlakuan minyak nyamplung minyak N1, N2, N3, dan N4. Gambar hasil dari pola semprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 7. 41 54.83 61.33 62.83 70.67 63.33 53.33 61.5 63.33 67.67 10 20 30 40 50 60 70 80 D iame te r P en ye mp rota n mm N1 N1 110 N2 N2 110 N3 N3 110 N4 N4 110 Biosolar Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar Gambar 29 menunjukkan diameter penyemprotan untuk kelima jenis bahan bakar, yaitu minyak N1, N2, N3, N4, dan biosolar. Minyak nyamplung semua jenis perlakuan N1, N2, N3 dan N4 tanpa pemanasan suhu ruangan menghasilkan semprotan dari nozzle injektor dengan diameter 54.83 mm, 62.83 mm, 63.33 mm, dan 61.5 mm. Setelah dipanaskan pada suhu 110 o C, diameter penyemprotan yang dihasilkan sebesar 61.33 mm, 70.67 mm, 53.33 mm, dan 63.33 mm. Biosolar sebagai bahan bakar utama dari motor diesel memiliki diameter penyemprotan sebesar 67.67 mm. Dari hasil penyemprotan dapat dilihat bahwa ada perubahan diameter penyemprotan ketika minyak nyamplung dipanasakan hingga suhu 110 o C. Sebagai contoh, diameter semprotan minyak N1 sebelum dipanaskan adalah 54.83 mm, kemudian setelah dipanaskan meningkat menjadi 61.33 mm lebih besar 6.5 mm, begitu juga untuk minyak nyamplung dengan perlakuan lainnya. Akan tetapi minyak N3 mengalami pengecilan ukuran diameter sebesar 10 mm. Hal ini dapat disebabkan karena pengaruh lingkungan pada saat pengujian, seperti angin, dan lain-lain sehingga pengkabutan hasil dari semprotan minyak N3 tidak sepenuhnya mengenai kertas milimeter blok. Namun, secara umum minyak nyamplung hasil pemanasan dengan suhu 110 o C mengalami perubahan diameter menjadi lebih besar dibanding sebelum dipanaskan dan sudah mendekati diameter semprotan dari biosolar yang merupakan bahan bakar utama motor diesel. Setelah mengetahui diameter semprotan dari masing-masing bahan bakar, maka dapat diketahui sudut penyemprotan. Selain diameter penyemprotan, tinggi penyemprotan juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perhitungan sudut penyemprotan. Dari pengolahan data diameter diatas dan memperhitungkan tinggi penyemprotan yaitu 30 cm, maka didapatkan sudut penyemprotan seperti tertera pada Gambar 30. Untuk mengetahui hasil sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 6. 42 10.44 11.67 11.96 13.43 12.05 10.16 11.71 12.05 12.87 2 4 6 8 10 12 14 16 S u d u t P en ye mp rota n o N1 N1 110 N2 N2 110 N3 N3 110 N4 N4 110 Biosolar Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar Gambar 30 menunjukkan sudut penyemprotan dari semua jenis bahan bakar minyak nyamplung dan biosolar. Dari gambar dapat dilihat bahwa diameter penyemprotan bahan bakar mempengaruhi sudut penyemprotannya. Semakin besar diameter penyemprotan maka sudut penyemprotan semakin besar. Dengan asumsi bahwa tinggi penyemprotan adalah sama di tiap pengujian. Sama halnya dengan diameter penyemprotan, minyak nyamplung setelah dipanaskan akan memiliki sudut semprot yang lebih besar dibandingkan dengan minyak nyamplung yang tidak dipanaskan karena butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung yang sudah dipanaskan lebih halus dibandingkan dengan minyak nyamplung tanpa pemanasan. Sebagai contoh, minyak N1 sebelum dipanaskan memiliki sudut diameter 10.44 o , setelah dipanaskan menjadi 11.67 o selisihnya adalah 1.23 o . Akan tetapi selisih tersebut tidak berlaku sama untuk semua jenis minyak nyamplung karena setiap jenis minyak nyamplung memiliki hasil penyemprotan yang berbeda. 3. Uji daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung menggunakan R IV Setelah dilakukan pengukuran suhu minyak hasil pemanasan dan uji karakteristik semprotan dari minyak nyamplung selanjutnya dilakukan pengukuran daya poros motor diesel tanpa beban dengan menggunakan bahan bakar minyak nyamplung yang kemudian hasilnya dibandingkan dengan daya poros tanpa beban yang dihasilkan motor diesel dengan menggunakan bahan bakar biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan pada pengukuran daya adalah minyak N4 karena N4 merupakan minyak yang terbaik dilakukan proses degumming dan netralisasi dibanding minyak nyamplung perlakuan lainnya. Pengukuran daya dilakukan tiga kali ulangan. Berikut adalah grafik pengukuran daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung, sedangkan untuk mengetahui hasil lengkap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 12. 43 Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III 44 Gambar 31 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji I. Pada pengukuran pertama diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 4.88 kW dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. kenaikan torsi terjadi sangat tinggi sampai pada saat titik maksimum yaitu pada rpm 1246. Gambar 32 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji II. Pada pengukuran kedua diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.35 kW dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. Kenaikan torsi yang sangat tinggi pada pengukuran kedua terjadi pada rpm 1367. Sedangkan pada pengujian ketiga diperoleh daya maksimum motor diesel sebesar 5.39 kW dan torsi maksimum yang dicapai adalah sebesar 123.74 Nm, serta kenaikan torsi maksimum terjadi pada pengukuran rpm 1377. Grafik hasil pengukuran ulangan ketiga dapat dilihat pada Gambar 33. Kenaikan torsi secara tajam menunjukan bahwa pengereman berlangsung dengan cepat, dari titik nol mencapai pengereman maksimum Pramuditya. A.F, 2009. Nilai torsi maksimum di setiap pengulangan diperoleh hasil yang sama, nilai torsi maksimum diperoleh ketika sesaat mesin akan mati. Nilai gaya µS yang ditunjukan handy strain meter pada saat motor diesel akan mati adalah 11 µS, hanya saja terjadi pada perbedaan rpm motor diesel di setiap pengukuran. Sehingga daya yang diperoleh di setiap pengulangan berbeda. Untuk mengetahui perbandingan daya poros yang dihasilkan motor diesel berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung Bahan bakar Torsi N.m Daya kW Uji I Uji II Uji III Uji I Uji II Uji III Biosolar 144.53 144.53 123.74 5.99 5.95 5.87 Minyak Nyamplung 123.74 123.74 123.74 4.88 5.35 5.39 Data pengujian daya motor diesel berbahan bakar biosolar diperoleh dari hasil penelitian Ahmad. H 2010, hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 11. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terjadi penurunan daya dari motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung jika dibandingkan dengan motor diesel berbahan bakar biosolar. Rata-rata penurunan torsi adalah sebesar 9.59 dan rata-rata penurunan daya motor sebesar 12.26. Hal ini menunjukkan bahwa biosolar masih memiliki daya maksimum yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nyamplung. Akan tetapi dengan rata-rata penurunan yang tidak terlalu jauh 15 dari biosolar maka minyak nyamplung memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar motor diesel pengganti biosolar. Penurunan daya dan torsi motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung adalah akibat dari penggunaan minyak nabati sebagai bahan bakar, karena nilai kalor dari minyak nyamplung lebih rendah 9.7 dibanding nilai kalor biosolar. . 45

VII. KESIMPULAN DAN SARAN