33
4. Rancangan IV
Elemen  pemanas  rancangan  IV  ini  dibuat  hampir  sama  dengan  rancangan  II,  hanya  saja pada rancangan IV diameter dari lilitan pipa tembaga diperkecil  menjadi 85  mm  yang awalnya
pada rancangan II adalah sebesar 100 mm. Hal ini dilakukan karena pada rancangan II ketika lilitan  diameter  pipa  tembaga  dibuat  100  mm,  pipa  tembaga  menempel  di  dinding  tabung  yang
menyebabkan pemanasan kurang optimum karena terjadi kehilangan panas dari pipa tembaga ke dinding  tabung.  Pada  rancangan  IV,  diameter  lilitan  pipa  tembaga  diperkecil  agar  tidak
menempel pada dinding tabung sehingga ada celah antara lilitan pipa tembaga dengan dinding di dalam  tabung  knalpot.  Setelah  dilakukan  pengukuran  suhu,  rancangan  IV  dapat  memanaskan
minyak  nyamplung  hingga  suhu  optimum  110
o
C  hasil  pengukuran  suhu  dapat  dilihat  pada Gambar  23
sehingga  rancangan  IV  dapat  digunakan  untuk  memanasakan  minyak  nyamplung sehingga dapat langsung digunakan sebagai bahan bakar motor diesel.
Gambar 19. Knalpot rancangan IV
6.3 UJI FUNGSIONAL ELEMEN PEMANAS
1. Pengukuran Suhu Minyak Nyamplung Hasil Pemanasan Elemen Pemanas
Pengukuran suhu minyak hasil pemanasan  elemen pemanas dilakukan untuk mengetahui apakah  rancangan  elemen  pemanas  yang  dibuat  sudah  sesuai  dengan  yang  diharapkan,  yaitu
mencapai suhu optimum pemanasan minyak nyamplung hingga 110
o
C. Pengukuran suhu minyak nyamplung  dilakukan  pada  semua  rancangan.  Pengukuran  dilakukan  di  lima  titik.  Titik
pengukuran pertama yaitu mengukur suhu minyak dalam tangki bahan bakar minyak nyamplung. Titik  pengukuran  kedua  yaitu  mengukur  suhu  minyak  nyamplung  di  pipa  saluran  bahan  bakar
sebelum minyak nyamplung masuk ke elemen pemanas. Titik pengukuran ketiga yaitu mengukur suhu  minyak  nyamplung  setelah  keluar  dari  elemen  pemanas.  Titik  pengukuran  keempat  yaitu
mengukur  suhu  keluaran  gas  buang  dari  motor  diesel  suhu  knalpot,  dan  titik  pengukuran kelima mengukur suhu ruangan. Letak titik pengukuran dapat dilihat pada Gambar 20.
34
5
4 1
2 3
Keterangan :
1 : Titik pengukuran suhu dalam tangki bahan bakar T1 2 : Titik pengukuran suhu minyak masuk ke elemen pemanas T2
3 : Titik pengukuran suhu minyak keluar dari elemen pemanas T3 4 : Titik pengukuran suhu keluaran knalpot T4
5 : Titik pengukuran suhu ruangan T5 Gambar 20. Titik pengukuran suhu pada motor Diesel
Pengukuran  suhu  dilakukan  dengan  dua  perlakuan  yang  berbeda  yaitu  pengukuran  suhu pada  rpm  1700  dan  2000,  masing-masing  rpm  dilakukan  3  kali  pengulangan.  Untuk
membandingkan  hasil  pemanasan  dari  semua  rancangan,  jenis  minyak  yang  digunakan  hanya minyak  N2.  Hal  ini  dilakukan  karena  persediaan  minyak  yang  terbatas,  selain  itu  penggunaan
minyak  N2  adalah  dikarenakan  minyak  N2  memiliki  viskositas  yang  lebih  kecil  dibandingkan minyak  N1,  dan  proses  pembuatan  minyak  N2  lebih  mudah  dibandingkan  dengan  minyak  N3
dan N4. Minyak N1 tidak digunakan di awal pengujian  karena dikhawatirkan  minyak  N1 tidak dapat  digunakan  langsung  sebagai  bahan  bakar  motor  diesel,  dengan  mempertimbangkan  dari
kekentalan minyak yang mencapai 63 cSt sehingga dipilih minyak N2 pada pengujian awal, dan digunakan untuk semua rancangan. Hasil pengujian pengukuran suhu rata-rata semua rancangan
dapat  dilihat  pada  Tabel  6.  Sedangkan  data  lengkap  hasil  pengukuran  suhu  dapat  dilihat  pada Lampiran 8.
Dari  Tabel  6  dapat  dilihat  hasil  pengukuran  suhu  semua  rancangan  pada  rpm  1700  dan 2000  yang  menunjukkan  bahwa  rancangan  IV  merupakan  rancangan  yang  dapat  memanaskan
minyak  hingga  suhu  110
o
C.  Sedangkan  pada  rancangan  I  suhu  maksimal  untuk  memanaskan minyak  hanya  mencapai  54.8
o
C  T3,  pada  rancangan  II  pemanasan  minyak  hanya  mencapai 74.5
o
C T3, dan pada rancangan III pemanasan minyak hanya mencapai 83.2
o
C T3. Perbedaan hasil pemanasan minyak juga dipengaruhi oleh rpm mesin, semakin tinggi rpm
mesin  maka  suhu  keluaran  dari  knalpot  semakin  besar  begitu  juga  sebaliknya.  Seperti  yang ditampilkan dalam  Tabel 6, T5  menunjukkan suhu keluaran gas buang dari motor diesel. Pada
rancangan IV suhu minyak mencapai 110
o
C ketika rpm mesin 2000 sedangkan pada rancangan
35
lainnya  pada  rpm  2000  tidak  dapat  memanaskan  minyak  hingga  110
o
C  Lampiran  8.  Untuk mengetahui  perbedaan  hasil  pemanasan  minyak  pada  setiap  rancangan  dapat  dilihat  pada
Gambar 21 dan Gambar 22. Tabel 6. Hasil Pengukuran Suhu Semua Rancangan
Elemen Pemanas
Bahan Bakar
Rpm T1
o
C T2
o
C T3
o
C T4
o
C T5
o
C R I
N2 1700
30.3 31.5
54.8 141.8
30.3 R II
N2 1700
30.3 36.8
70.6 139.8
30.4 2000
26.4 37.5
74.5 156.2
25.9 R III
N2 1700
29.6 29.4
65.6 138.8
31.9 2000
31.7 43.2
83.2 156.4
31.6
R IV N2
1700 28.0
30.4 86.4
149.0 28.5
2000 29.6
36.3 98.6
171.6 29.8
N3 1700
30.7 32.1
83.9 157.3
31.0 2000
29.7 31.8
100.8 180.5
29.8 N4
1700 30.8
32.5 91.6
151.9 30.7
2000 29.3
31.8 108.5
180.7 29.7
N1 1700
32.6 36.2
87.0 154.7
32.0 2000
29.1 38.3
107.4 175.6
29.9
20 40
60 80
100 120
140 160
T1 T2
T3 T4
T5
Titik Pengukuran Suhu
o
C
R1 1700 R2 1700
R3 1700 R4 1700
Gambar 21. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 1700 n
1
pada semua rancangan
36
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
T1 T2
T3 T4
T5
Titik Pengukuran Suhu
o
C
R2 2000 R3 2000
R4 2000
Gambar 22. Perbedaan suhu pemanasan minyak N2 di rpm 2000 n
2
pada semua rancangan Gambar  21  menunjukkan  perbedaan  hasil  pemanasan  minyak  N2  di  setiap  rancangan
pada  rpm  mesin 1700. Pada  grafik dapat dilihat, rancangan I hanya dapat  memanaskan  minyak hingga  suhu  54.8
o
C  T3,  hal  ini  dikarenakan  pipa  tembaga  yang  menjadi  saluran  minyak nyamplung pada rancangan I  dililitkan di bagian luar tabung knalpot yang kemudian diselimuti
oleh plat sehingga panas yang diterima oleh pipa tembaga kurang maksimal. Selain itu panjang pipa  tembaga  yang  digunakan  masih  kurang  panjang.  Hal  ini  dikarenakan  perhitungan  yang
digunakan  pada  rancangan  I  masih  menggunakan  data  sekunder  dari  literatur,  bukan  data  dari hasil  pengukuran.  Sehingga  pengujian  rancangan  I  pada  rpm  2000  tidak  dilakukan.  Setelah
memperoleh  data  suhu  keluaran  dari  knalpotgas  buang,  maka  dilakukan  perhitungan  ulang rancangan
dan  hasilnya  digunakan  untuk  membuat  elemen  pemanas  rancangan  II. Hasil
pemanasan yang diperoleh lebih baik dibandingkan dengan rancangan I yaitu pemanasan minyak mencapai  suhu  70.6
o
C  T3.  Akan    tetapi  rancangan  II  ini  belum  dapat  memanaskan  minyak hingga  suhu  optimum  110
o
C  pada  rpm  1700.  Kemudian  rpm  motor  diesel  dinaikkan  menjadi 2000 Gambar 22, dan hasil pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 74.5
o
C, terjadi kenaikan  suhu  pemanasan  minyak  sebesar  3.9
o
C. Oleh  karena    rancangan  II  belum  dapat
memanaskan  minyak  nyamplung  hingga  suhu  optimum,  maka  dibuat  rancangan  III  dengan mengubah diameter pipa tembaga dari 8 mm menjadi 6 mm. Pada pengujian pertama yaitu pada
rpm 1700, pemanasan minyak yang diperoleh hanya mencapai 65.6
o
C lebih rendah dibandingkan dengan  rancangan  II.  Sedangkan  pada  pengujian  rpm  2000  suhu  pemanasan  minyak  yang
diperoleh    mencapai  83.2
o
C  atau  terjadi  kenaikan  pemanasan  suhu  sebesar  17.6
o
C  dan  lebih tinggi dari rancangan II. Akan tetapi, rancangan III belum  mencapai pemanasan suhu optimum
minyak nyamplung sehingga dirancang kembali rancangan IV. Pada  rancangan  IV  dibuat  sama  dengan  rancangan  II  hanya  saja  diameter  lilitan  pipa
tembaga  pada  rancangan  IV  diperkecil  lebih  jelasnya  dapat  dilihat  di  hasil  rancangan  elemen pemanas. Hasil pengujian pada rpm 1700 diperoleh suhu pemanasan minyak hingga 86.4
o
C lebih tinggi  dibandingkan  dengan  rancangan  lainnya,  sedangkan  pada  pengujian  rpm  2000  suhu
pemanasan  minyak  mencapai  98.6
o
C.  Bila  dibandingkan  dengan  rancangan  I,  II,  dan  III, rancangan  IV  menghasilkan  suhu  hasil  pemanasan  yang  lebih  tinggi  dan  mendekati  suhu
37
pemanasan  optimum  minyak  nyamplung.  Sehingga  rancangan  IV  dapat  digunakan  untuk menguji  minyak  nyamplung  lainnya  minyak  N1,  N3  dan  N4.  Untuk  mengetahui  hasil  dari
pemanasan minyak nyamplung pada rancangan IV dapat dilihat pada Gambar 23. Gambar  23  menunjukan  perbedaaan  suhu  hasil  pemanasan  minyak  nyamplung  dari
rancangan  IV  pada  rpm  1700  dan  2000.  Pada  rpm  1700,  dapat  di  lihat  bahwa  minyak  N4 memiliki  pemanasan  yang  lebih  tinggi  yaitu  91.6
o
C,  sedangkan  minyak  N1  87
o
C,  minyak  N2 86.4
o
C,  dan  minyak  N3  83.9
o
C. Pada  rpm  2000,  minyak  N4  memiliki  hasil  pemanasan  yang
lebih  tinggi  yaitu  108.5
o
C  dan  mendekati  suhu  optimum  110
o
C,  sedangkan  minyak  N1 107.4
o
C,  minyak  N2  98.6
o
C,  dan  minyak  N3  100.8
o
C.  Dari  pengukuran  suhu  hasil  pemanasan minyak  nyamplung  pada  rpm  yang  berbeda  yaitu  pada  rpm  1700  dan  2000  dapat  disimpulkan
bahwa  minyak  N4  memiliki  pemanasan  yang  lebih  tinggi  dan  mendekati  suhu  optimum pemanasan minyak nyamplung yaitu 110
o
C. Hal ini dapat disebabkan karena viskositas minyak N4 pada suhu ruangan 30
o
C lebih kecil dibanding minyak nyamplung lainnya. .
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
T1 T2
T3 T4
T5
Titik Pengukuran Suhu
o
C
N1 1700 N2 1700
N3 1700 N4 1700
N1 2000 N2 2000
N3 2000 N4 2000
Gambar 23. Grafik hasil pemanasan minyak nyamplung menggunakan rancangan IV pada rpm 1700 n
1
dan 2000 n
2
Selain  melakukan  pengukuran  suhu  hasil  pemanasan  minyak  nyamplung  pada  semua rancangan,  dilakukan  pula  pengukuran  rpm  motor  diesel.  Pengukuran  ini  dilakukan  untuk
mengetahui  perubahan  rpm  motor  diesel  pada  saat  menggunakan  biosolar  dan  minyak nyamplung. Untuk mengetahui hasil pengukuran rpm, dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari  Tabel  7  dapat  dilihat  bahwa  secara  umum  kecepatan  motor  diesel  relatif  cukup stabil.  Pada  saat  pergantian  bahan  bakar  dari  biosolar  ke  minyak  nyamplung  terjadi  penurunan
rpm, namun hal ini tidak berlangsung lama karena setelah beberapa menit selanjutnya rpm motor kembali  stabil.  Pada  saat  pengujian,  motor  diesel  sempat  beroperasi  tersendat-sendat,  hal  ini
dikarenakan  terdapat  rongga  udara  di  dalam  saluran  bahan  bakar  yang  menyebabkan  aliran bahan  bakar  tidak  lancar.  Rongga  udara  di  dalam  saluran  bahan  bakar  ini  ditimbulkan  akibat
aliran minyak nyamplung yang belum lancar dan stabil. Salah satu cara agar aliran bahan bakar minyak nyamplung lancar dan stabil adalah dengan memastikan minyak yang keluar dari elemen
pemanas sudah mengalir dengan baik dan kontinyu.
38
Tabel 7. Pengukuran rpm motor diesel pada saat menggunakan minyak nyamplung menggunakan RIV
Rancangan Bahan
Bakar Rpm
Waktu menit 6
12 18
24 30
I N2
1700 1716  1704  1702  1695  1691
II N2
1700 1726  1732  1730  1724  1723
2000 2029  2028  2024  2018  2015
III N2
1700 1715  1721  1719  1715  1713
2000 2020  1903  1946  1979  1989
IV N1
1700 1699  1694  1692  1697  1707
2000 2016  2005  2004  2004  2001
N2 1700
1730  1720  1719  1719  1715 2000
2018  2008  2008  2013  2008 N3
1700 1718  1708  1709  1710  1710
2000 2019  2017  2017  2016  2010
N4 1700
1691  1680  1684  1680  1683 2000
2011  2009  2009  2008  2007 Untuk  mengetahui  lebih  jelas  mengenai  hasil  pengukuran  rpm  motor  diesel  berbahan
bakar  minyak  nyamplung  dengan  menggunakan  rancangan  IV  pada  rpm  1700  dan  2000,  dapat dilihat pada Gambar 24 dan Gambar 25.
. Gambar 24. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm
1700 menggunakan R IV Pada  grafik  Gambar  24,  dapat  dilihat  bahwa  terjadi  penurunan  rpm  motor  diesel  pada
saat  menggunakan  minyak  nyamplung  sebagai  bahan  bakar  di  banding  biosolar.  Minyak  N1 terlihat  mengalami  kenaikan  rpm  dibanding  dengan  minyak  lainnya  N2,  N3,  N4.  Akan  tetapi
secara  umum  rpm  dari  motor  diesel  pada  saat  menggunakan  minyak  nyamplung  tidak konstanstabil.  Sehingga  belum  dapat  ditentukan  pengaruh  penggunaan  minyak  nyamplung
sebagai bahan bakar motor diesel terhadap kinerja motor diesel bila dibanding dengan biosolar. Hal  ini  pun  terjadi  pada  pengujian  di  rpm  2000,  rpm  motor  diesel  turun  naik  atau  tidak
39
kostanstabil. Sebagai contoh pada minyak N1, pada saat pengujian di rpm 1700 performa motor diesel rpm mengalami kenaikan, tetapi mengalami penurunan pada saat pengujian di rpm 2000.
Sehingga  perlu  dilakukan  pengujian  daya  poros  dari  motor  diesel  yang  menggunakan  minyak nyamplung agar bisa ditentukan pengaruh penggunaan minyak nyamplung sebagai bahan bakar
motor diesel. Untuk mengetahui lebih jelas hasil pengukuran rpm di rpm awal 2000, dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Grafik hasil pengukuran rpm motor diesel bahan bakar minyak nyamplung pada rpm 2000 menggunakan R IV
2. Uji karakteristik Penyemprotan Bahan Bakar
Uji  karakteristik  penyemprotan  bahan  bakar  dilakukan  untuk  membandingkan  bahan bakar dilihat dari segi pola penyemprotan, diameter penyemprotan, dan sudut penyemprotan. Hal
ini  dilakukan  untuk  membandingkan  hasil  penyemprotan  minyak  nyamplung  dengan  biosolar. Pengujian penyemprotan dilakukan untuk semua jenis  perlakuan minyak, yaitu minyak N1, N2,
N3,  dan  N4.  Hasil  penyemprotan  minyak  N1  dapat  dilihat  pada  Gambar  26  dan  27,  sedangkan hasil penyemprotan boiosolar dapat dilihat pada Gambar 28.
Gambar 26. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude kasar tanpa pemanasan
40
Gambar 27. Pola penyemprotan minyak nyamplung crude kasar dengan pemanasan 110
o
C menggunakan R IV
Gambar 28. Pola penyemprotan biosolar Dari  hasil  pengujian  dapat  dilihat  bahwa  terdapat  perbedaan  hasil  semprotan  antara
minyak  nyamplung  dengan  biosolar,  baik  dengan  perlakuan  tanpa  pemanasan  ataupun  dengan pemanasan pada suhu 110
o
C. Butiran-butiran pengkabutan pada biosolar terlihat lebih halus dan merata,  sedangkan  butiran-butiran  pengkabutan  minyak  nyamplung  cenderung  lebih  besar  dan
tidak  merata.  Pengujian  semprotan  dilakukan  pada  semua  jenis  perlakuan  minyak  nyamplung minyak  N1,  N2,  N3,  dan  N4.  Gambar  hasil  dari  pola  semprotan  minyak  nyamplung  dan
biosolar dapat dilihat pada Lampiran 7.
41
54.83 61.33
62.83 70.67
63.33 53.33
61.5 63.33
67.67
10 20
30 40
50 60
70 80
D iame
te r P
en ye
mp rota
n mm
N1 N1 110
N2 N2 110
N3 N3 110
N4 N4 110
Biosolar
Gambar 29. Diameter penyemprotan bahan bakar Gambar  29  menunjukkan  diameter  penyemprotan  untuk  kelima  jenis  bahan  bakar,  yaitu
minyak N1, N2, N3, N4,  dan biosolar. Minyak  nyamplung semua jenis perlakuan  N1, N2, N3 dan N4  tanpa pemanasan suhu ruangan  menghasilkan semprotan dari nozzle injektor dengan
diameter 54.83 mm, 62.83 mm, 63.33 mm, dan 61.5 mm. Setelah dipanaskan pada suhu 110
o
C, diameter  penyemprotan  yang  dihasilkan  sebesar  61.33  mm,  70.67  mm,  53.33  mm,  dan  63.33
mm.  Biosolar  sebagai  bahan  bakar  utama  dari  motor  diesel  memiliki  diameter  penyemprotan sebesar  67.67  mm.  Dari  hasil  penyemprotan  dapat  dilihat  bahwa  ada  perubahan  diameter
penyemprotan  ketika  minyak  nyamplung  dipanasakan  hingga  suhu  110
o
C.  Sebagai  contoh, diameter  semprotan  minyak  N1  sebelum  dipanaskan  adalah  54.83  mm,  kemudian  setelah
dipanaskan  meningkat  menjadi  61.33  mm  lebih  besar  6.5  mm,  begitu  juga  untuk  minyak nyamplung  dengan  perlakuan  lainnya.  Akan  tetapi  minyak  N3  mengalami  pengecilan  ukuran
diameter  sebesar  10  mm.  Hal  ini  dapat  disebabkan  karena  pengaruh  lingkungan  pada  saat pengujian,  seperti  angin,  dan  lain-lain  sehingga  pengkabutan  hasil  dari  semprotan  minyak  N3
tidak  sepenuhnya  mengenai  kertas  milimeter  blok.  Namun,  secara  umum  minyak  nyamplung hasil  pemanasan  dengan  suhu  110
o
C  mengalami  perubahan  diameter  menjadi  lebih  besar dibanding  sebelum  dipanaskan  dan  sudah  mendekati  diameter  semprotan  dari  biosolar  yang
merupakan bahan bakar utama motor diesel. Setelah  mengetahui  diameter  semprotan  dari  masing-masing  bahan  bakar,  maka  dapat
diketahui  sudut  penyemprotan.  Selain  diameter  penyemprotan,  tinggi  penyemprotan  juga merupakan  salah  satu  faktor  yang  mempengaruhi  perhitungan  sudut  penyemprotan.  Dari
pengolahan data diameter diatas dan memperhitungkan tinggi penyemprotan yaitu 30 cm, maka didapatkan  sudut  penyemprotan  seperti  tertera  pada  Gambar  30.  Untuk  mengetahui  hasil  sudut
penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar dapat dilihat pada Lampiran 6.
42
10.44 11.67
11.96 13.43
12.05 10.16
11.71 12.05
12.87
2 4
6 8
10 12
14 16
S u
d u
t P en
ye mp
rota n
o
N1 N1 110
N2 N2 110
N3 N3 110
N4 N4 110
Biosolar
Gambar 30. Sudut penyemprotan minyak nyamplung dan biosolar Gambar  30  menunjukkan  sudut  penyemprotan  dari  semua  jenis  bahan  bakar  minyak
nyamplung dan biosolar. Dari gambar dapat dilihat bahwa diameter penyemprotan bahan bakar mempengaruhi  sudut  penyemprotannya.  Semakin  besar  diameter  penyemprotan  maka  sudut
penyemprotan  semakin  besar.  Dengan  asumsi  bahwa  tinggi  penyemprotan  adalah  sama  di  tiap pengujian. Sama halnya dengan diameter penyemprotan, minyak nyamplung setelah dipanaskan
akan  memiliki  sudut  semprot  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan  minyak  nyamplung  yang tidak dipanaskan karena butiran-butiran pengkabutan minyak nyamplung yang sudah dipanaskan
lebih halus dibandingkan dengan minyak nyamplung tanpa pemanasan. Sebagai contoh, minyak N1  sebelum  dipanaskan  memiliki  sudut  diameter  10.44
o
,  setelah  dipanaskan  menjadi  11.67
o
selisihnya  adalah  1.23
o
.  Akan  tetapi  selisih  tersebut  tidak  berlaku  sama  untuk  semua  jenis minyak  nyamplung  karena  setiap  jenis  minyak  nyamplung  memiliki  hasil  penyemprotan  yang
berbeda. 3.
Uji daya motor diesel berbahan bakar minyak nyamplung menggunakan R IV Setelah  dilakukan  pengukuran  suhu  minyak  hasil  pemanasan  dan  uji  karakteristik
semprotan  dari  minyak  nyamplung  selanjutnya  dilakukan  pengukuran  daya  poros  motor  diesel tanpa  beban  dengan  menggunakan  bahan  bakar  minyak  nyamplung  yang  kemudian  hasilnya
dibandingkan  dengan  daya  poros  tanpa  beban  yang  dihasilkan  motor  diesel  dengan menggunakan bahan bakar biosolar. Minyak nyamplung yang digunakan pada pengukuran daya
adalah  minyak  N4  karena  N4  merupakan  minyak  yang  terbaik  dilakukan  proses  degumming dan  netralisasi  dibanding  minyak  nyamplung  perlakuan  lainnya.  Pengukuran  daya  dilakukan
tiga  kali  ulangan.  Berikut  adalah  grafik  pengukuran  daya  motor  diesel  berbahan  bakar  minyak nyamplung, sedangkan untuk mengetahui hasil lengkap pengukuran dapat dilihat pada Lampiran
12.
43
Gambar 31 Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji I
Gambar 32. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji II
Gambar 33. Grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 uji III
44
Gambar 31 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan bakar minyak N4 pada uji I.  Pada  pengukuran  pertama  diperoleh  daya  maksimum  motor  diesel  sebesar  4.88  kW  dengan
torsi  maksimum  sebesar  123.74  Nm.  kenaikan  torsi  terjadi  sangat  tinggi  sampai  pada  saat  titik maksimum yaitu pada rpm 1246. Gambar 32 menunjukkan grafik prestasi motor diesel berbahan
bakar  minyak  N4  pada  uji  II.  Pada  pengukuran  kedua  diperoleh  daya  maksimum  motor  diesel sebesar 5.35 kW dengan torsi maksimum sebesar 123.74 Nm. Kenaikan torsi yang sangat tinggi
pada pengukuran kedua terjadi pada rpm 1367. Sedangkan pada pengujian ketiga diperoleh daya maksimum  motor  diesel  sebesar  5.39  kW  dan  torsi  maksimum  yang  dicapai  adalah  sebesar
123.74  Nm,  serta  kenaikan  torsi  maksimum  terjadi  pada  pengukuran  rpm  1377.  Grafik  hasil pengukuran  ulangan  ketiga  dapat  dilihat  pada  Gambar  33.  Kenaikan  torsi  secara  tajam
menunjukan bahwa pengereman berlangsung dengan cepat, dari titik nol mencapai pengereman maksimum Pramuditya. A.F, 2009. Nilai torsi maksimum di setiap pengulangan diperoleh hasil
yang sama, nilai torsi maksimum diperoleh ketika sesaat mesin akan mati. Nilai gaya µS yang ditunjukan handy strain meter pada saat motor diesel akan mati adalah 11 µS,  hanya saja terjadi
pada perbedaan rpm motor diesel di setiap pengukuran. Sehingga daya yang diperoleh di setiap pengulangan berbeda. Untuk mengetahui perbandingan daya poros yang dihasilkan motor diesel
berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung, dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Perbedaan daya poros mesin berbahan bakar biosolar dan minyak nyamplung
Bahan bakar Torsi N.m
Daya kW Uji I
Uji II Uji III
Uji I Uji II
Uji III
Biosolar 144.53
144.53 123.74
5.99 5.95
5.87 Minyak Nyamplung
123.74 123.74
123.74 4.88
5.35 5.39
Data pengujian daya motor diesel berbahan bakar biosolar diperoleh dari hasil penelitian Ahmad.  H  2010,  hasil  pengukuran  dapat  dilihat  pada  Lampiran  11.  Dari  tabel  di  atas  dapat
dilihat bahwa terjadi penurunan daya dari motor diesel berbahan bakar  minyak  nyamplung jika dibandingkan  dengan  motor  diesel  berbahan  bakar  biosolar.  Rata-rata  penurunan  torsi  adalah
sebesar 9.59 dan rata-rata penurunan daya motor sebesar 12.26. Hal ini menunjukkan bahwa biosolar  masih  memiliki  daya  maksimum  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  minyak
nyamplung. Akan tetapi dengan rata-rata penurunan yang tidak terlalu jauh  15 dari biosolar maka minyak nyamplung memiliki potensi untuk dijadikan bahan bakar motor diesel pengganti
biosolar.  Penurunan  daya  dan  torsi  motor  diesel  pada  saat  menggunakan  minyak  nyamplung adalah  akibat  dari  penggunaan  minyak  nabati  sebagai  bahan  bakar,  karena  nilai  kalor  dari
minyak nyamplung lebih rendah 9.7 dibanding nilai kalor biosolar. .
45
VII. KESIMPULAN DAN SARAN