Gambaran Budaya Patriarki di Kabupaten Nias

Dinas Pengelolaan Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah PPKAD, Badan Perencana Pembangunan Daerah Bappeda, dan Bagian Sumber Daya Alam SDA di sekretariat daerah Kota Gunungsitoli. 49 1. Fraksi Demokrat Ketua Fatou’osa Waruwu D.8 Pembagian Fraksi di DPRD Kabupaten Nias Fraksi di DPRD Kabupaten Nias terdiri dari 6 Fraksi Partai Politik yaitu : 2. Fraksi PDIP Ketua Rahmat Nduru 3. Fraksi GERINDRA Ketua Agustinus Waruwu 4. Fraksi GOLKAR Ketua Talizamuala Lawolo 5. Fraksi PKPI Ketua Bowoli Zandroto 6. Fraksi Gabungan NasDem, PKB Ketua Maspena Gulo 50

E. Gambaran Budaya Patriarki di Kabupaten Nias

Orang Nias berciri fisik mongoloid dengan kulit kuning cerah dan berambut lurus. Sistem silsilah keturunan Nias adalah sebuah keluarga besar yang di sebut Songambato yang terdiri dari keluarga senior dengan keluarga-keluarga anak-anak mereka. Songambato ini merupakan sebuah sebutan unik dalam kehidupan nias di susun berdasarkan garis Patrilineal yaitu mengikuti garis keturunan Laki-laki atau marga laki-laki. Sesama anggota marga tidak 49 Data DPRD Kabupaten Nias Tahun 2014 50 Data DPRD Kabupaten Nias Tahun 2014 diperbolehkan untuk saling menikah kecuali masing-masing pasangan dapat membuktikan bahwa secara silsilah keturunan mereka paling tidak sudah merupakan generasi ke -10 sampai ke – 15, sehingga orang-orang Nias mempunyai tradisi perkawinan eksogami antar marga. Pada zaman dulu tipe rumah tangga cenderung sebagai sebuah keluarga besar.Beberapa keluarga yang segaris keturunan atau sesame marga dimungkinkan tinggal disebuah rumah besar omo hada. Hal ini di sebabkan oleh beberapa hal yaitu :Pertama untuk menjaga status sosial mereka, misalnya kekerabatan keluarga bangsawan. Kedua Kebanggaan kelurga mereka merupakan sesuatu yang sangat esensial. Oleh karena itu marga harus ditambahkan dibelakang nama mereka karna hanya marga yang termasuk bangsaan yang dapat mengklaim sebagai penerus leluhur mereka. Ketiga tidak ada tuan tanah disetiap wilayah, kecuali masyarakat. Peraturan setempat menyatakan bahwa terkait dengan kepemilikan tanah, tidak mengacu pada kekayaan individu, tetapi merupakan milik kekerabatan.Dari beberapa alasan tersebut sangat jelas bahwa sistem kekerabatan dalam masyarakat Nias mempunyai peran utama dalam mengontrol kehidupan sosial mereka. 51 Masyarakat Nias umumnya mengenal sistem struktur sosial yaitu kelompok bangsawan si’ulu, si’ ila, salawa dan kelompok masyarakat biasa D.1 Struktur Sosial 51 Elkarya T wau. 2014. Profil kepulauan Nias. TherryGallery.. Hal. 9 sato. Struktur sosial ini selalu dalam konteks budaya patriarki atau konteks laki- laki, dimana yang menjadi pimpinan dalam masyarakat haruslah seorang laki-laki. Struktur sosial masyarakat Nias terdiri dari : • Kelompok bangsawan si’ulu, si’ila, salawa, • Kelompok masyarakat biasa sato dan • Kelompok budak sawuyu, harakana. Masyarakat Nias dalam melaksanakan sistem pemerintahan tradisionalnya membagi masyarakat atas empat bagian yaitu kelompok bangsawan si’ulu, salawa, kelompok bangsawan, penasehat si’ila, kelompok masyarakat biasa sato dan kelompok budak sawuyu, harakana. Sedangkan dalam kegiatan religi masyarakat Nias memiliki empat struktur pelapisan masyarakat yaitu: siulu bangsawan, ere pemuka agama, Ono mbanuasato rakyat biasa dan Sawuyu budak. Tingkatan kasta kekerabatan tersebut tidak berdasarkan marga, melainkan berdasarkan kemampuan melaksanakan upacara adat Owasa. Kelompok kekerabatan yang terkecil yang disebut keluarga batih di Nias paling tidak ada dua penyebutannya.Keluarga batih di Nias bagian Utara disebut fanganbaton sedangkan di Selatan disebut gagambato.Dalam masyarakat Nias kelompok yang terpenting adalah Sambun mohelo atau sambua faono keluarga luas yaitu keluarga batih senior beserta keluarga batih putera-puteranya yang tinggal bersama di dalam satu rumah, dan merupakan satu kesatuan ekonomis.Keluarga luas ini boleh berpisah jika keluarga anaknya dapat membangun sendiri rumah yang tentunya dibarengi dengan pesta adat.Kelompok kekerabatan yang lebih besar yang merupakan gabungan dari beberapa keluarga luas dari satu leluhur disebut Mado.Seperti halnya marga pada masyarakat Batak, Mado di Nias juga memiliki cabang-cabang.Dalam masyarakat Nias kelompok organisasi sosial yang terkecil disebut gana.Kelompok organisasi tradisional ini terdiri dari beberapa keluarga batih dari satu marga atau dapat juga dari beberapa marga yang di dalam desa itu tidak cukup banyak anggotanya dalam membentuk gana tersebut. Dalam kelompok gana itu terdapat seorang pemimpin yang tugas fungsinya sangat jelas pada upacara adat saja.Kumpulan dari pada beberapa gana disebut nafolu.Seperti halnya gana, nafolu juga dipimpin oleh seseorang yang tugas fungsinya sangat jelas hanya pada upacara adat saja.Kumpulan dari beberapa nafolu disebut banua, yang dapat diidentikkan dengan desa dengan pemimpinnya disebut salawa di utara dan siulu di Selatan. Selain pejabat tersebut di desa juga ada pejabat lain yang di sebut si’ ila yang diangkat oleh rakyat dan tidak didapatkan secara turun temurun. Si’ ila ini dalam sebuah kampung jumlahnya bisa banyak dan pemimpin si’ ila disebut balo si’ ila. Di Selatan pemimpin banua yang disebut siulu memiliki pemimpin lagi yang disebut balo siuluSedangkan kumpulan dari beberapa banua disebut öri negeri yang dipimpin oleh tuhenöri. Di Kabupaten Nias yang menjadi setingkat dengan camat adalah “Tuhenõri”, sedangkan yang menjadi pemimpin dalam masyarakat adalah “Balugu”. Syarat menjadi seorang kepala daerah balugutuhenõri.Tidaklah mudah, sangat banyak pengorbanan untuk mendapatkannya.Syarat-syarat itu antara lain : ` a. Mengadakan “OWASA” atau lebih di kenal dengan pesta besar-besaran, selama tiga hari dan tiga malam.Owasa adalah pesta adat tertinggi bagi orang Nias.Bagi orang yang sudah menjalankan Owasa, maka segala perkataannya menjadi hukum.Merekalah yang kemudian menduduki strata paling tinggi dalam masyarakat.Owasa adalah sebuah upacara adat pengukuhan.Upacara adat ini ditandai dengan adanya pesta dan pemotongan babi dalam jumlah yang banyak dan dilaksanankan dengan meriah.Owasa menjadi ciri khas ritualitas aktivitas adat orang Nias. b. Dalam pesta tersebut haruslah diikuti tiga orang kepala desa tetangga bersama warganya. c. Sebagai bukti harus memberikan “ simbi mbawi “ dagu babi yang sudah di potong kepada masing-masing orang yang di anggap mampu membantu dia di dalam kekerabatan, sedangkan untuk pihak dari pada perempuan di berikan “ ta’io mbawi bagian depan. d. Dalam waktu tiga hari tersebut, ketiga desa yang hadir di beri makan tiga kali sehari selama tiga hari lamanya. e. Mengangkat saudara dan orang terdekatnya untuk di jadikan sebagai pembantu, sekaligus yang memperkokoh dia dalam jabatannya. f. Mampu mengorganisir, cakap dalam mengambil keputusan, berasal dari keluarga yang berada ataupun merupakan keluarga balugu, serta tidak mudah terpengaruh denagn pendapat orang lain yang memang dianggap tak perlu. 52 a Menurut tradisi bahwa nenek moyang Ono Niha yang turun ke Tanõ Niha Daerah Nias adalah laki-laki, oleh karena itu yang meneruskan generasi adalah laki-laki. D.2 Kedudukan Laki-laki dalam Adat Berdasarkan system yang dimiliki oleh masyarakat Nias yaitu system Patrilineal dimana peranan yang sangat besar dan dominan adalah ditangan kaum laki-laki atau bergaris keturunan kaum Bapak. b Yang menaikkan status sosial Bosi dalam masyarakat Nias untuk mencapai kuasa, wibawa dan kedudukan yang lebih tinggi adalah laki-laki bukan perempuan. Laki-laki dengan nama keluargalah yang melaksanakan pesta adat yang disebut Owasa Pesta Adat Besar misalnya pemberian gelar Balugu, dan pendirian batu kebesaran Gowe Zalawa, perempuan hanya duduk sebagai pelengkap. 52 Ketut Wiradnyana.2007.kearifan lokal pembentuk karakter masyarakat nias. Balai Arkeologi Medan.Hal. 4-6 c Yang menjadi pemimpin dalam mengambil keputusan dalam masyarakat Nias mulai dari keluarga sampai pada kesatuan masyarakat Nias yang terbesar adalah laki-laki. 53 D.3 Perempuan Dalam Adat Nias 54 Kedudukan perempuan sebagai nomor dua membuka kesempatan kepada pihak laki-laki untuk berlaku secara sewenang-wenang terhadap perempuan.Perempuan bukan tidak diperlukan, tapi dikalahkan.Perempuan dilihat sebagai jenis kelamin kedua.Akan tetapi, dalam beberapa hal perempuan nias Perempuan dalam adat istiadat dan suku Nias adalah warga kelas dua.Tingkatan ini jelas, dan secara terang-terangan terjadi.Pertama, yang menjadi kepala keluarga adalah laki-laki.Kedua, perempuan tidak bisa mengambil keputusan apapun tanpa suaminya.Ketiga, perempuan sering disamakan dengan baranghartakekayaan laki-laki.Keempat, anak yang diharapkan dalam keluarga adalah laki-laki.Bila laki-laki belum ada, maka orang nias bisanya merasa belum memiliki anak.Anak laki-laki adalah penerus marga. Yang mampu mengantikan posisi keluarga dan meneruskan nama klan. Artinya lelaki adalah hidup itu sendiri. 53 Mariati Zendato, Sh, M.Hum. 2003. “Perkembangan Kedudukan Wanita Dalam System Partineal Terhadap Hak-Hak Pewarisan Tanah Di Daerah Kabupaten Nias.” Jurnal Ilmu Hukum Tahun 2003Hal.10. 54 P. Johannes Maria Harmmerle,OFMCap. 2001. Asal Usul Masyarakat Nias – suatu Interpretasi. Gunung Sitoli: Yayasan Pusaka Nias. Hlm. 42-46. memiliki peranan yang sangat sentral.Misalnya saat pesta perkawinan.Merekalah yang mamidi afo membuat sirih dan mamotu ono nihalő menasehati pengantin perempuan.Dan mereka juga yang pertama sekali menyambut ketika tamu rombongan dari pengantin laki-laki datang. Memperlakukan perempuan sebagai jenis kelamin kedua memang tidak adil.Akan tetapi perspektif budaya nias membuka kesempatan ke arah ketidakadilan ini.Dalam adat perkawian, perempuan secara tidak langsung itu dibeli oleh pihak laki-laki. Dengan membayar “ bowő ” jujuran yang besar, maka perempuan itu menjadi miliknya. Artinya perempuan adalah harta suaminya.Lelaki memiliki kuasa penuh kepada istrinya.Orang tua perempuan tidak boleh ikut campur lagi.Kedudukan laki-laki yang lebih tinggi dalam budaya Nias tampaknya tidak terlepas dari mitos asal-usul masyarakat Nias.Di mana Sirao, menurunkan anak-anaknya ke dunia, dan mereka semua adalah laki-laki. D.3.1 Kedudukan Wanita Nias Dalam Kelembagaan. Di dalam masyarakat Nias Perempuan dalam kelembagaan tidak dapat mengadakan pesta adat untuk menaikkan derajat atau statusnya, sebagaimana diuraikan diatas, nilai perempuan yang diskriminatif menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua, tidak produktif, malah kehadiran wanita di forum publik cenderung disepelekan, wanita itu dianggap melampaui kodrat wanitanya. Misalnya berkarya, berbisnis, berorganisasi dll. D.3.2 Kedudukan Wanita Dalam Hubungannya Dengan Keluarga. Hubungan keluarga dalam Hukum Adat Nias merupakan Hukum Adat yang mengatur kedudukuan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orang tuanya yang mengatur pertalian darah. 1. Kedudukan wanita sebagai anak. • Sebelum berkeluarga atau sebelum menikah dipelihara oleh orang tuanya, dan segala keperluannya ditanggung oleh orang tuanya sebagai anak yang sah. • Setelah berkeluarga tetap sebagai anak yang sah dari orang tuanya tetapi dalam tanggung jawab penuh adalah suaminya dan mertuanya Orang tua suaminya. 2. Kedudukan Wanita sebagai Anak Piatu • Apabila orang tuanya meninggal baik bapak atau ibunya jika masih dibawah umur atau sudah dewasa maka yang berhak memelihara dan melindunginya adalah pihak saudara bapaknya dan setelah berkeluarga adalah suami dan mertuanya. 3. Kedudukan Wanita sebagai Anak Angkat Mengangkat anak apabila yang sama sekali bukan keluarganya, anak tersebut dimasukkan dalam keluarga yang mengangkatnya sebagai anak sendiri dan berkedudukan sama sebagai anak kandung yang mengangkatnya. Dalarn hal ini orang tua yang mengangkatnya kurang memenuhi persyaratan-persyaratan misalnya menjamu makan semua masyrakat dan keluarga anak yang diangkat, orang tua, saudara pihak hapak dan ibu dan pengetua adat, juga dengan membayar dengan emas sebesar 3 fanulo 30 gram untuk berikan kepada pengetua adat dan pihak paman saudara laki-laki dari ibu sianak. Beberapa contoh kasus yang dihadapi oleh perempuan di Nias terutama di desa-desa antara lain: 1. Berpendidikan rendah Anak perempuan jarang bersekolah tinggi misalnya melanjutkan sekolah di SMPSMU, apalagi ke Perguruan Tinggi.Mereka hanya tamat Sekolah Dasar, setelah itu tinggal di rumah membantu orangtua membanting tulang mencari nafkah dan biaya pendidikan untuk saudara laki-laki.Salah satu penunjang biaya pendidikan anak laki-laki biasanya dalam keluaraga menurut kebiasaan mereka adalah memelihara babi.Dalam hal ini yang ditugaskan untuk itu adalah anak perempuan.Mereka harus mengurus dan memelihara sampai besar dan setelah besar, lalu dijual. Hasilnya akan diserahkan untuk biaya sekolah anak laki-laki. Hal ini paling menyakitkan, karena perempuan tidak menikmati hasil jerih payahnya.Akibat dari pendidikan yang rendah ini, perempuan semakin terpinggirkan dan tinggal dalam kebodohan dengan dalih kodrat. 2. Tidak boleh menentukan pasangan hidup atau jodohnya sendiri Peranan orangtua dalam menentukan jodoh anaknya sangatlah besar, terutama kepada anak perempuan.Banyak perempuan yang sudah menikah sejak umur 16 tahun, bahkan ada juga yang berumur di bawahnya.Dalam hal kesehatan, ini sangat mempengaruhi angka kematian ibu, sebab umur tersebut masih terlalu muda untuk memproduksi melahirkan. Akibat dari perkawinan ini, maka lahirlah keluarga baru yang tidak didasari cinta atau suka sama suka. Dan tidak sedikitnya banyak suami yang pergi merantau meninggalkan istri, bahkan ada juga yang tidak mau pulang.Hal ini terjadi akibat kurang matangnya pemikiran dan rasa tanggungjawab dalam berumah tangga. 3. Kawin paksa Ini juga sudah menjadi tradisi.Banyak alasan mengapa terjadi kawin paksa. Umpamanya, orangtua perempuan memaksa anaknya untuk kawin supaya ia mendapat penghormatan dari orang lain, segera mendapat cucu, merasa berutang budi kepada pihak laki-laki, meringankan beban keluarga, calon menantu kebetulan orang kaya sehingga derajatnya di tengah masyarakat akan meningkat, dan masih banyak alasan lain. 4. Tidak berhak mengemukakan pendapat Sesuai dengan kebiasaan di Nias, perempuan tidak boleh angkat bicara, sekalipun keputusan itu merugikan dirinya sendiri. Dalam hal suami-istri, seandainya suami tidak ada di rumah sementara ada satu hal penting yang harus diputuskan saat itu juga, maka istri tidak boleh mengambil keputusan sendiri, melainkan harus menunggu suami pulang atau bila ada ayah mertuanya, maka itulah yang bisa membantu memberi keputusan. Dalam musyawarah adat, perempuan tidak dilibatkan. Mereka hanya menunggu apa yang diputuskan oleh kaum lelaki. BAB III PENGARUH BUDAYA PATRIARKI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN NIAS TAHUN 2014 Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki.Perempuan secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki.Sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior.Peran perempuan sebagai pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral.Sementara itu, peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut membuat mereka terbatas dalam kegiatan bermasyarakat berpolitik sehingga arena politik identik dengan dunia laki-laki. Kabupaten Nias merupakan salah satu daerah yang sangat kental dengan kehidupan budaya yang patriarki. Dalam adat Nias, terikat kuat oleh adanya sistem kekerabatan yang sering disebut dengan marga. Pengambilan garis keturunan ayah atau marga ayah yang akan menjadi marga anak, pembagian harta dan sampai pada adat istiadat pernikahan. Oleh karena itu peneliti menduga bahwa peran dan partisipasi perempuan dalam politik di kabupaten Nias di pengaruhi oleh Budaya Patriarki. Maka untuk mempermudah menganalisi Pengaruh budaya Patriarki tersebut, maka peneliti membuat hipotesis penelitian sebagai berikut: a Hipotesis Nol H0 : Pernyataan yang menyatakan tidak ada Pengaruh atau hubungan. Maka Hipotesis H0 Pada penelitian ini adalah Budaya patriarki tidak mempengaruhi rendahnya partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Nias. b Hipotesis alternative Ha : Pernyataan yang menyatakan terdapat Hubungan atau Pengaruh. Maka Hipotesis Ha pada penelitian ini adalah adanya pengaruh Budaya Patriarki dengan rendahnya partisipasi politik perempuan di DPRD Kabupaten Nias.

A. Analisis Tabel Frekuensi