Analisis Teoritis Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2014

instrumental. Dan hasil koefisien determinasi menyatakan bahwa 70.7 partisipasi perempuan Nias di pengaruhi oleh faktor tradisional budaya. Maka kemungkinan sisanya sebesar 29,3 dipengaruhi oleh faktor Rasional Nilai, Emosional Afektif dan Rasional instrumental.

F. Analisis Teoritis

Menurut Mansour Fakih implikasi dari Budaya patriarki terhadap perempuan adalah sebagai berikut: • Subordinasi perempuan Subordinasi ini berkaitan dengan politik terutama menyangkut soal proses pengambilan keputusan dan pengendalian kekuasaan. Pertanyaan dalam kuesioner tentang pengaruh budaya patriarki yang mengutamakan seorang AyahLaki-laki yang mempunyai hak dalam mengambil sebuah keputusan dalam keluarga dikabupaten Nias Pada Tabel 3.5 Mengambarkan bahwa mayoritas jumlah responden menjawab setuju jika seorang Ayah atau laki-laki yang berhak mengambil keputusan, Setuju sebanyak 238 orang 88 kemudian tidak setuju sebanyak 32 orang 12. Hal ini mengambarkan bahwa telah terjadi subordinasi pada mayoritas perempuan nias dalam kehidupan budaya patriarki sehingga laki- laki yang dominan mempunyai hak untuk mengambil keputusan. • Marginalisasi perempuan. Proses marginalisasi perempuan terjadi dalam kultur, birokrasi maupun program-program pembangunan. Sistem pemargaan Nias yang berasal dari laki- laki, kemudian sejarah raja-raja atau pemimpin adat di kabupaten Nias yang selalu dalam konteks laki-laki, Hal ini telah memarginalisasi kaum perempuan dalam kehidupan bermasyarakat.Marginalisasi berdampak negatif pada kaum masyarakat dimana pendapat perempuan tidak dihargai bahkan dalam adat perempuan dilarang berbicara. Pada lampiran persentase jawaban responden, mengambarkan bahwa mayoritas perempuan merasakan dan menyadari bahwa didalam masyarakat pendapat perempuan kurang dihargai, hal ini terlihat dari jawaban responden sebesar 236 orang menjawab positif bahwa dalam adat nias pendapat perempuan kurang dihargai dan hanya sebagian kecil responden yaitu 34 orang yang menjawab negatif. Hal ini semakin membuat perempuan nias terpuruk dan tidak mampu bersaing dengan laki-laki secara mentalitas dan psikologis.Karena ruang gerak perempuan nias sangat dibatasi oleh budaya dan adat istiadat yang berlaku di kabupaten Nias. • Membentuk Stereotip. Stereotip merupakan satu bentuk penindasan ideologi dan kultural, yakni pemberian label yang memojokan kaum perempuan sehingga berakibat kepada posisi dan kondisi kaum perempuan.Misalnya stereotip perempuan sebagai ibu rumah tangga.Akibatnya jika mereka hendak aktif dalam kegiatan yang dianggap sebagai bidang kegiatan laki-laki seperti kegiatan politik, bisnis ataupun di pemerintahan maka dianggap bertentangan atau tidak sesuai dengan kodrat perempuan.Stereotip ini terjadi dikabupaten nias, sebagai contoh budaya nias membuat anak laki-laki harus bependidikan tinggi karena laki-laki yang bertanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga oleh karena itu laki-laki harus sukses.Sedangkan perempuan boleh tidak berpendidikan tinggi karena dalam budaya nias, perempuan bekerja untuk mengurus rumah, suami dan keluarga. Hal ini diakui kebenaranya oleh mayoritas responden dimana pada tabel 3.7, ada sebanyak 241 orang 90 menjawab setuju bahwa budaya nias lebih mementingkan laki-laki untuk berpendidikan tinggi disbanding perempuan. • Peran ganda. Budaya patriarki Membuat kaum perempuan bekerja lebih keras karna mempunyai peran ganda yaitu mengurusi pekerjaan rumah dan pekerjaan nya di luar rumah. Peran perempuan nias sebagai pengurus keluarga pasti akan mendapatkan peran ganda yaitu mencari usaha sampingan untuk mendukung ekonomi keluarga. Laki-laki pantang untuk melakukan pekerjaan rumah dalam adat nias, seperti memasak, mencuci pakaian dan menjaga anak. Sehingga perempuan tetap mengerjakan pekerjaan mengurus rumah setelah ia selesai bekerja di luar rumah. Hal ini tampak pada pertanyaan kuesioner bahwa budaya Nias membuat laki-laki lebih dominan dari perempuan, tabel 3.8 dapat kita lihat bahwa mayoritas responden perempuan 147 orang 91 mengakui bahwa budaya nias lebih mengutamakan laki-laki. • Melahirkan kekerasan. Kekerasan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan baik secara fisik maupun mental sangat didukung dan dipengaruhi oleh budaya patriarki yang menjadikan laki-laki dalam posisi superior.Adat nias yang mensuperioritaskan laki-laki cenderung merendahkan kaum perempuan, karena perempuan diibaratkan barang yang dibeli pada saat pesta adat Owasa.Oleh karena itu perempuan harus tunduk terhadap suami.Posisi yang seperti itu cenderung membenarkan dan memberikan peluang kepada laki-laki untuk bersikap kasar terhadap perempuan jika keinginannya tidak terpenuhi. Max weber juga menjelaskan bahwa terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi dalam politik yaitu: • Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok. • Emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu. • Tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. • Rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi Pada masyarakat Nias alasan Tradisional menjadi pengaruh yang sangat kuat sebagai alasan untuk berpartisipasi dalam berpolitik.Jika melihat tabel 4.9 maka hasil Koefisien Determinasinya adalah 70.7 . Jumlah tersebut menjelaskan bahwa partisipasi politik perempuan dipengaruhi oleh Budaya patriarki sebesar 70.7 persen sedangkan sisanya 29.3 100 - 70.7 di pengaruhi oleh faktor lain diluar Budaya Patriarki. Hal ini bisa disimpulkan bahwa Adat nias telah membuat kaum perempuan dikabupaten nias menganut Budaya Politik parokial,dimana kaum perempuan tidak merasakan bahwa mereka adalah bagian dari suatu sistem politik, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah- masalah politik.Budaya politik ini juga membuat perempuan tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Hasilnya perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan