Kerangka Teori Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Partisipasi Politik Perempuan Di Dprd Kabupaten Nias Pada Pemilihan Legislatif Tahun 2014

• Bagi Masyarakat, penelitian ini diharapkan mampu membantu masyarakat kabupaten Niassecara khusus dalam memahami pengaruh budaya patriarki terhadap keterwakilan politik perempuan.

F. Kerangka Teori

Dalam sebuah penelitian, teori-teori merupakan alat atau “tool”untuk menjelaskan fenomena yang akan diteliti. Teori-teori yang digunakan harus mampu untuk menjelaskan gejala-gejala yang terjadi dalam sebuah peristiwa dalam hal ini adalah peristiwa politik. Menurut Miriam Budiardjo, teori adalah bahasan dan renungan atas tujuan kegiatan, cara-cara mencapai tujuan, kemungkinan-kemungkinan atau prediksi dan kewajiban yang diakibatkan oleh tujuan. 10 Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah Public Policy. Kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberi suara dalam pemelihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan hubungan contacting atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya. F.1Partisipasi Politik 11 10 Miriam Budiardjo. 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka. Hal. 30. 11 Ibid. hal. 367. Keith Fauls memberikan batasan partisipasi politik sebagai keterlibatan secara aktif the active angagement dari individu atau kelompok ke dalam proses pemerintahan. Keterlibatan ini mencakup keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan maupun berlaku oposisi terhadap pemerintahan. 12 • Partisipasi aktif, yaitu partisipasi yang berorientasi pada proses input dan output. Artinya setiap orang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah tinggi. Warga negara secara aktif mengajukan usul mengenai kebijakan publik, mengajukan alternatif kebijakan publik yang berlainan dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan umum, memilih pemimpin pemerintah dan lain-lain. F.1.1 Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Secara umum bentuk-bentuk partisipasi sebagai kegiatan dibedakan sebagai berikut : • Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang berorientasi hanya pada output, dalam arti hanya mentaati peraturan pemerintah, menerima dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah. • Golongan putih golput atau kelompok apatis, karena menganggap sistem politik yang ada telah menyimpang dari apa yang di cita-citakan. Michael Rush dan Philip Althoffmengidentifikasi bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai suatu tipologi politik. Hirarki tertinggi dari partisipasi politik menurut Rush dan Althoff adalah menduduki jabatan politik atau 12 Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 180. administratif. Sedangkan hierarki yang terendah dari suatu partisipasi politik adalah orang yang apati secara total, yaitu orang yang tidak melakukan aktivitas politik apapun secara total. Semakin tinggi hierarki partisipasi politik maka semakin kecil kuantitas dari keterlibatan orang-orang, seperti yang diperlihatkan oleh Bagan Hierarki Partisipasi Politik, dimana garis vertikal segitiga menunjukkan hierarki, sedangkan garis horizontalnya menunjukkan kuantitas dari keterlibatan orang-orang . 13 Menduduki jabatan politik atau administrasi. Bentuk dan hierarki partisipasi politik itu sendiri dalam kerangka konsep Rush dan Althoff, secara berturut-turut adalah: Gambar 1.3 Hierarki Partisipasi Politik Mencari jabatan politik atau administrasi, Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik, Keanggotaan aktif suatu organisasi semu politikquasi political, Keanggotaan pasif suatu organisasi semu politik quasi political, Partisipasi dalam rapat umum Ikut serta dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik Voting pemberian suara, Apati total Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal. 185. 13 Ibid. hal 185. Samuel P.Huntington dan Juan M.Nelsonjuga menemukan bentuk-bentuk partisipasi politik yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk partisipasi politik meliputi : • Kegiatan Pemillihan, mencakup suara, juga sumbangan-sumbangan untuk kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seoranng calon, atau setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. • Lobbying, mencakup upaya perorangan atau kelompok untuk menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin politik dengan maksud mempengaruhi keputusan politik mereka mengenai persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang. • Kegiatan organisasi menyangkut partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang tujuannya yang utama adalah mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. • Mencari koneksi, merupakan tindakan peorangan yang ditujukan terhadap pejabat-pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat bagi hanya satu atau segelintir orang. • Tindak kekerasan, merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan jalan menimbukan kerugian fisik terhadap orang-orang atau harta benda 14 14 Samuel P Huntington Joan Nelson.1990. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta hal. 17-18. Gabriel A. Almondjugamembedakan partisipasi atas dua bentuk, yaitu : • Partisipasi Politik konvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang “normal“ dalam demokrasi modern. • Partisipasi politik nonkonvensional, yaitu suatu bentuk partisipasi politik yang tidak lazim dilakukan dalam kondisi normal, bahkan dapat berupa kegiatan illegal, penuh kekerasan dan revolusioner. 15 Adapun rincian dari pandangan Almond tentang dua bentuk partisipasi dapat dilihat pada Gambar 1.4berikut : Gambar 1.4 Bentuk Partisipasi Politik Kovensional Tradisional • Pemungutan suara • Diskusi Politik • Kegiatan Kampanye • Membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan • Komunikasi Individual dengan pejabat politik dan administratif • Pengajuan Petisi • Demonstrasi • Konfrontasi • Mogok • Tindak kekerasan politik terhadap benda Perusakan,Pembakaran • Tindak kekerasan Politik terhadap ManusiaPenculikan, Pembunuhan • Perang Gerilya dan Revolusi Sumber : Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana Prenada Media. hal.189 15 Op.Cit. hal.183-189. F.1.2 Alasan Partisipasi Politik Menurut Max weber terdapat empat alasan mengapa masyarakat ikut berpatisipasi politik yaitu: • Alasan Rasional nilai, yaitu alasan yang didasarkan atas penerimaan secara rasional akan nilai-nilai suatu kelompok. • Alasan emosional afektif, yaitu alasan yang didasarkan atas kebencian atau sukacita terhadap suatu ide,organisasi, partai atau individu. • Alasan tradisional, yaitu alasan yang yang didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu atau tradisi tertentu dari suatu kelompok sosial. Pada kelompok tertentu tradisi dijunjung tinggi, misalnya kaum laki-laki yang hanya dibolehkan aktif diranah publik,sedangkan perempuan diharapkan lebih mendominasi ranah domestik, sehingga mempengaruhi pola partisipasi politik mereka. • Alasan rasional instrumental, yaitu alasan yang didasarkan atas kalkulasi untung rugi secara ekonomi. 16 F.2 Budaya Politik Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. 17 16 Op.cit. hal 193-198. 17 Gabriel A. Almond Sidney Verba. 1990. Budaya Politik. Jakarta: Bumi Aksara hal. 16. Batasan ini memperlihatkan adanya unsur individu, yakni warga negara dan sistem politik serta keterikatanya. Dalam hal ini, budaya politik terlihat dari bagaimana sikap individu terhadap sistem politik dan bagaimana pula sikapnya terhadap individu didalam sistem politik.Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut. Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. Objek Orientasi Politik dapat digolongkan dalam beberapa unsur. Pertama, adalah sistem politik secara umum. Kedua, adalah pribadi sebagai aktor politik yang meliputi dan kualitas, norma-norma kewajiban politik seseorang, serta isi dan kualitas kemampuan diri setiap orang dalam berhadapan dengan sistem politik.Ketiga, adalah Peranan atau struktur khusus seperti badan legislatif, eksekutif atau birokrasi yudikatif. Kemudian Pemegang jabatan dan kebijakan timbal balik yang dapat diklasifikasikan dalam proses atau input politik dan proses administratif atau output politik. 18 18 Ibid hal.17. F.2.1 TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK F 2.1.1 Budaya Politik Parokial Budaya Politik parokial merupakan tipe budaya politik yang paling rendah, yang didalamnya masyarakat bahkan tidak merasakan bahwa mereka adalah warga negara dari suatu negara, mereka lebih mengidentifikasikan dirinya pada perasaan lokalitas. Tidak terdapat kebanggaan terhadap sistem politik tersebut. Mereka tidak memiliki perhatian terhadap apa yang terjadi dalam sistem politik, pengetahuannya sedikit tentang sistem politik, dan jarang membicarakan masalah-masalah politik.Budaya politik ini juga mengindikasikan bahwa masyarakatnya tidak memiliki minat maupun kemampuan untuk berpartisipasi dalam politik. Perasaan kompetensi politik dan keberdayaan politik otomatis tidak muncul, ketika berhadapan dengan institusi-institusi politik. Oleh karena itu terdapat kesulitan untuk mencoba membangun demokrasi dalam budaya politik parokial, hanya bisa bila terdapat institusi-institusi dan perasaan kewarganegaraan baru. Budaya politik ini bisa dtemukan dalam masyarakat suku-suku di negara-negara belum maju, seperti di Afrika, Asia, dan Amerika Latin. F.2.1.2 Budaya Politik Subjek Budaya Politik subyek lebih rendah satu derajat dari budaya politikpartisipan. Masyarakat dalam tipe budaya ini tetap memiliki pemahaman yang sama sebagai warga negara dan memiliki perhatian terhadap sistem politik, tetapi keterlibatan mereka dalam cara yang lebih pasif. Mereka tetap mengikuti berita- berita politik, tetapi tidak bangga terhadap sistem politik negaranya dan perasaan komitmen emosionalnya kecil terhadap negara. Mereka akan merasa tidak nyaman bila membicarakan masalah-masalah politik. Demokrasi sulit untuk berkembang dalam masyarakat dengan budaya politik subyek, karena masing-masing warga negaranya tidak aktif. Perasaan berpengaruh terhadap proses politik muncul bila mereka telah melakukan kontak dengan pejabat lokal. Selain itu mereka juga memiliki kompetensi politik dan keberdayaan politik yang rendah, sehingga sangat sukar untuk mengharapkan artisipasi politik yang tinggi, agar terciptanya mekanisme kontrol terhadap berjalannya sistem politik. F.2.1.3 Budaya Politik Partisipan Masyarakat dalam budaya politik partisipan mengerti bahwa mereka berstatus warga negara dan memberikan perhatian terhadap sistem politik. Mereka memiliki kebanggaan terhadap sistem politik dan memiliki kemauan untuk mendiskusikan hal tersebut. Mereka memiliki keyakinan bahwa mereka dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan publik dalam beberapa tingkatan dan memiliki kemauan untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok-kelompok protes bila terdapat praktik-praktik pemerintahan yang tidak fair. Budaya politik partisipan merupakan lahan yang ideal bagi tumbuh suburnya demokrasi. Hal ini dikarenakan terjadinya harmonisasi hubungan warga negara dengan pemerintah, yang ditunjukan oleh tingkat kompetensi politik, yaitu menyelesaikan sesuatu hal secara politik, dan tingkat efficacy atau keberdayaan, karena mereka merasa memiliki setidaknya kekuatan politik yang ditunjukan oleh warga negara. Oleh karena itu mereka merasa perlu untuk terlibat dalam proses pemilu dan mempercayai perlunya keterlibatan dalam politik. Selain itu warga negara berperan sebagai individu yang aktif dalam masyarakat secara sukarela, karena adanya saling percaya trust antar warga negara. Oleh karena itu dalam konteks politik, tipe budaya ini merupakan kondisi ideal bagi masyarakat secara politik. 19 a. Budaya politik subyek-parokial the parochial- subject culture Namun dalam kenyataan tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, pariokal atau subyek. Melainkan terdapat variasi campuran di antara ketiga tipe-tipe tersebut, ketiganya menurut Almond dan Verba tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu Tipe budaya politik ini sebagian besar penduduknya menolak tuntutan- tuntutan ekslusif khusus masyarakat kesukuan atau desa atau otoritas feodal dan telah mengembangkan kesetiaan terhadap sistem politik yang kompleks dengan struktur-struktur pemerintahan pusat yang bersifat khusus.Budaya ini merupakan peralihan dari budaya Parokial menuju budaya Subyek. b. Budaya politik subyek-partisipan the subject-participant culture Tipe budaya ini sebagian besar penduduk telah memperoleh orientasi- orientasi input yang bersifat khusus dari serangkaian orientasi sebagai seorang aktivis, sementara itu penduduk lainnya terus diorientasikan kea rah suatu struktur pemerintahan otoritarian dan secara relatif memiliki orientasi pribadi yang pasif. 19 Ibid. hal 20-22 c. Budaya politik parokial-partisipan the parochial-participant culture Tipe budaya ini banyak terdapat pada negara-negara berkembang yang sedang melaksanakan pembangunan politik. Disejumlah negara ini pada umumnya buday politik yang dominan adalah budaya parokial. Norma-norma struktural yang diperkenalkan biasanya bersifat partisipan, dan demi keselarasan mereka menuntut suatu budaya partisipan Persoalan yang muncul adalah sering kali terjadi ketimpangan antara struktur yang yang menghendaki sifat partisipan dengan budaya alamiah yang masih bersifat parokial. Oleh karena itu satu hal yang harus ditanggulangi adalah upaya mengembangkan orientasi input dan output secara perlahan sehingga tidak mengherankan jika sistem politik ini berjalan tidak stabil, yang suatu ketika kearah otoritarian, namun saat yang lain ke arah demokrasi. 20 Aliran Fungsional struktural atau sering disebut aliran Fungsionalisme, adalah mazhab arus utama mainstream dalam ilmu sosial yang dikembangkan oleh Rober Merton dan Talcott Parsons. Teori ini memang tidak secara langsung menyinggung kaum perempuan.Namun keyakinan mereka bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang terdiri atas bagian dan saling berkaitan Agama, pendidikan, struktur politik sampai keluarga dan masing-masing bagian secara terus menerus mencari keseimbangan.equilibrium dan harmoni dalam F.3 Teori Feminisme F.3.1 Paradigma Fungsionalisme dalam Feminisme 20 Komarudin Sahid. 2011. Memahami Sosiologi Politik. Bogor: Ghalia Indonesia hal 158-160. menjelaskan posisi mereka tentang kaum perempuan. Interelasi itu terjadi karena konsensus. Pola yang nonnormatif dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi, maka masing-masing bagian berusaha secepatnya menyesuaikan diri untuk mencapai keseimbangan kembali.Bagi penganut teori ini masyarakat berubah secara evolusioner.Konflik dalam suatu masyarakat dilihat sebagai tidak berfungsinya integrasi sosial dan keseimbangan.Oleh karena itu harmoni dan integrasi dipandang sebagai fungsional bernilai tinggi dan harus ditegakan sedangkan konflik harus dihindarkan.Teori ini menolak setiap usaha yang menggoncangkan status quo, termasuk berkenan dengan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.Pengaruh fungsionalisme ini dapat kita lihat pada pemikiran Feminisme Liberal. • Feminisme Liberalis Feminisme Liberal. Dalam lingkup sosial, kebebasan freedom dan kesamaan equlity berakar dari rasionlitas dan pemisahan antara dunia privat dan public yang didalamnya ada hak perempuan dan laki-laki sehingga sisi pembedaan tidak ada. Perempuan pun adalah makhluk rasional, maka kalaupun perempuan terbelakang atau tertinggal, feminisme liberal beranggapan bahwa hal itu disebabkan kaum perempuan sendiri.Pemecahannya adalah menyiapkan kaum perempuan agar bisa bersaing dalam situasi dunia yang penuh dengan persaingan bebas.Sebagian usaha ini dapat dilihat dari pembangunan Women in Development dengan menyediakan “program intervensi guna meningkatkan taraf hidup keluarga spirit pendidikan, keterampilan “serta” kebijakan yang dapat meningkatkan kaum perempuan sehingga mampu berpartisipasi dalam pembangunan. F.2.2 Paradigma Konflik dalam Feminisme Paradigma konflik percaya bahwa setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan interest dan kekuasaan power yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial termasuk hubungan kaum laki-laki dan perempuan. Yang termasuk dalam paradigm konflik yaitu: • Feminisme Radikal Munculnya aliran ini dilatarbelakangi oleh adanya kultur diskriminasi sosial berdasarkan jenis kelamin di barat pada tahun 60-an.Penganut aliran ini muncul sebagai bentuk perlawanan atas kekerasan seksual dan pornografi yang terjadi pada waktu itu 21 Sejumlah penganut feminis radikal, menyebutkan ada dua sistem kelas sosial: pertama, sistem kelas ekonomi didasarkan pada hubungan produksi, kedua, Sistem kelas seks yang didasarkan pada hubungan reproduksi. Sistem kelas seks dianggap menyebabkan penindasan terhadap perempuan.Konsep patriarki menunjuk pada kekuasaan atas kaum perempuan oleh kaum laki-laki, yang didasarkan pada pemilikan dan control laki-laki atas kapasitas reproduksi perempuan.Para penganut feminism radikal tidak melihat adanya perbedaan atara tujuan personal dan politik, unsur-unsur sosial atau biologis, sehingga dalam . 21 Bownmiller.1976 dalam Mansour Fakih.2004. Analisis Gender Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 84. melakukan analisis tentang penyebab penindasan terhadap kaum perempuan oleh laki-laki, akar permasalahannya pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideology patriarkinya.Berasal dari pemahaman ini, aliran feminism menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual, adalah bentuk penindasan terhadap kaum perempuan.Lebih lanjut aliran feminism radikal, menyebutkan bahwa patriarki adalah sumber ideologi penindasan yang merupakan sistem hierarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior dan privilege ekonomi. 22 • Feminisme Marxis Kelompok ini menolak keyakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologis sebagai dasar pembedaan gender.Bagi kaum ini penindasan perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Menurut marx, hubungan antara suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis, serta tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya. Adapun Engels mengulas masalah ini dalam sejarah prakapitalisme, yang menjelaskan bahwa sejarah terpuruknya status perempuan bukan disebabkan oleh perubahan teknologi, melainkan karna perubahan organisasi kekayaan.Oleh karena sejak awal, laki-laki mengontrol produksi untuk perdagangan, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik dan perempuan direduksi menjadi bagian dari property belaka.Sejak itulah dominasi laki-laki dimulai. 22 Elly M setiadi Usman Kolip. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Prenada Media Group. hal. 897. Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan oleh berbagai cara dan alasan karena mengutungkan. Pertama, eksploitasi pulang kerumah, yaitu suatu proses yang diperlukan guna membuat laki-laki yang dieksploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh laki-laki yang dieksploitasi oleh kapitalis ini, setelah sampai dirumah terlibat hubungan kerja dengan istrinya. Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis,buruh, dan istrinya akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua, Kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi buruh murah.Ketiga, Masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh mereka menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alasan, yaitu upah buruh perempuan sering kali lebih rendah daripada upah buruh laki-laki.Rendahnya upah buruh perempuan ini lebih diperparah karena adanya anggapan masyarakat bahwa perempuan pekerja tidak berupah unpaid worker.Selain itu masuknya permpuan dalam sektor perburuhan juga menguntungkan sistem kapitalisme, karena perempuan dianggap sebagai tenaga cadangan yang tak terbatas.Akibatnya, posisi tawar buruh semakin rendah, dan sekaligus mengancam solidaritas kaum buruh, dan akhirnya akumulasi kapital menjadi semakin cepat.Sehingga banyak analisis yang menyimpulkan bahwa salah satu musuh kapitalisme adalah feminisme. 23 Oleh karena itu, menurut feminism marxis, penindasan perempuan merupakan kelanjutan dari eksploitasi yang bersifat struktural.Aliran ini 23 Ibid. hal 897-899. menganggap sistem kapitalisme sebagai penyebab penindasan perempuan.Maka emansipasi perempuan tejadi jika perempuan terlibat dalam produksi dan berhenti mengurus rumah tangga. Perubahan struktur kelas inilah yang disebut sebagai revolusi • Feminisme Sosialis Aliran ini menurut melakukan sintesa antara metode historis materialistik Marx dan Engels dengan gagasan personal is political kaum radikal. 24

G. Hipotesis