19
Pteris trpartita Sw., mensiha Alangium rotudifolium Hass. Bloemb., kayu kendidai Schefflera farinosa Bl. Merr., balam timah Ilex cissoidea Loes. dan
medang tanduk Ryparosa caesia Kurz ex King.. Jenis-jenis tumbuhan ini diketahui beberapa termasuk ke dalam tumbuhan yang terdapat di hutan sekunder
tua.
4.3.1 Fauna
Dengan kondisi yang masih terjaga dengan baik, maka akan banyak juga satwaliar yang terdapat di hutan adat ini. Jenis satwaliar yang masih terdapat di
hutan adat ini antara lain lutung simpai Presbitys melalophos, monyet beruk Macaca nemestrina dan beruang madu Helarctos malayanus.
4.4 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
4.4.1 Bahasa
Dalam tradisi atau adat istiadat Kerinci, mereka mengenal “kata empat kali empat yaitu adat bakato atau berkeramo” yaitu cara berbahasa dengan
memeperhatikan tata krama dan kedudukan orang yang diajak berbicara, suasana kekeluargaan akan tampak harmonis. Bahasa Kerinci adalah bagian dari bahasa
Melayu, namun terdapat perbedaan dialek dengan bahasa Melayu yang ada di Sumatera. Menurut Arfensa 2003 dalam Efrison 2009, ada sekitar 177 dialek
bahasa Kerinci yang di setiap desa dusun asli, masyarakat persekutuan adat memiliki dialek masing-masing. Dusun atau nagehi ini merupakan kelompok-
kelompok yang terbagi berdasarkan genealogis teritorialnya. Efrison, 2009 menjelaskan salah satu contoh pemakaian dialek bahasa
Kerinci yang dipakai sekarang yaitu tekanan suara yang terletak pada suku kata pertama dan terakhir. Perbedaan bahasa Kerinci dalam fenolik dapat dilihat
sebagai berikut : Pemakaian vokal
1 Huruf i pada akhir kata, dibunyikan menjadi ai. Misalnya kerinci disebutkan kincai atau kerincai; kami menjadi kamai dan seterusnya.
Kecuali sebutan pangkal nama orang tetap dibaca Si. 2 Huruf a pada suku kata akhir menjadi o, apablia suku kata yang pertama
huruf vokal a, i, dan e. Misalnya kata kaya menjadi kayo; kepala mejadi
20
kepalo; siapa mejadi siapo; kita mejadi kito; dera menjadi dero dan seterusnya. Tetapi berubah menjadi ao apabila suku pertamanya memakai
vokal u, misalnya pula menjadi piulao; dusta menjadi duatao; tua menjadai tuao dan seterusnya.
3 Huruf u atau o baik pada suku kata akhit atau terapit, dibunyikan menjadi au, misalnya kata dudul menjadi dudau; batu menjadi batau; selalu
menjadi selalau; hukum menjadi hukaom dan seterusnya. Pemakaian konsonan
1 Huruf r umumnya dibunyikan ha apabila akhir kata berbunyi r, misalnya kata mari manjadi mahai; sirih menjadi sihaih; kecuali apabila suku kata
yang kedua dari akhir merupakan huruf vokal seperti u, misalnya pencuri menjadi pencurai; duri menjadi durai; kenduri menjadi durai dan
seterusnya. 2 Huruf t pada suku akhir, biasanya dibunyikan k, atau sebaliknya,
misalnya kata logat menjadi logek; diagak menjadi diaget; jahat menjadi jahek; kecuali suku kata kedua sebelum terakhir merupakan huruf vokal u,
o, i, e maka t atau k tetap dipakai seperti biasa, misalnya kata duduk menjadi dudouk; tidak menjadi tidaek; turut manjadi toruat dan seterusnya.
3 Huruf m atau n pada suku akhir dipertukarkan, ada juga yang dihilangkan, misalnya kata makan menjadi maka; pandan menjadi panda;
ikan menjadi ikang; hukum menjadi hukum dan seterusnya. 4 Huruf ng dibunykan n, misalnya kata uang menjadi wan; tetapi pedang
menjadi pedon; kering menjadi kereng dan seterusnya. 5 Huruf s biasa situkar dengan huruf h, misalnya kata habis menjadi habih;
dan huruf h pada akhir kata biasanya dihilangkan, misalnya kata penuh menjadi peno; kumuh menjadi kumo.
6 Huruf b pada akhir kata dibunyikan t, misalnya pada kata jawab menjadi jawot; sebab menjadi sebaot; tetapi dalam kata kerja huruf b, ditukar
dengan m misalnya kata membasuh menjadi mamasuh Efrison, 2009.
4.4.2 Jumlah penduduk