Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis produksi daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka pengembangan bioenergi

(1)

KL

SINGKO

KAD

KAR

PROGR

DEPART

LASIFIKA

ONG

(Man

DAR PAT

RAWANG

RAM STU

TEMEN IL

INS

ASI KESE

nihot utilis

TI DAERA

G DALAM

BI

NURU

A

UDI MANA

LMU TAN

FAKULT

STITUT P

SUAIAN

ssima)

BER

AH BOGO

M RANGK

IOENERG

UL HIDAY

A14061550

AJEMEN

NAH DAN

TAS PERT

PERTANIA

2011

LAHAN T

RBASIS P

OR, SUKA

KA PENGE

GI

YAH

0

SUMBER

N SUMBE

TANIAN

AN BOGO

TANAMA

PRODUKS

ABUMI DA

EMBANG

RDAYA L

ERDAYA L

OR

AN

SI DAN

AN

GAN

LAHAN

LAHAN


(2)

ABSTRACT

The classification of cassava (Manihot utilissima) land suitability with the basis of production and starch content in Bogor, Sukabumi, and Karawang for the development of bioenergy resources. Nurul Hidayah A14061550. Under the guidance of WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI and MUHAMMAD HIKMAT

Cassava (tapioca or manioc) is an annual tropical and subtropical tree of Euphorbiaceae family. The easiness in planting cassava leads people attracted to plant it. Moreover, it contains starch that can be used as a basic substance in producing bioethanol and as one of the bioenergy sources. The quality of cassava used as bioenergy source can be observed from its tuber production and starch concentration. Therefore, a cassava growth requirements needs to be paid more attention in order to meet the maximum productivity. The determination of land suitability criteria was using withdrawal limit method or also known as Boundary Line Method. This research was conducted in Bogor, Karawang and Sukabumi by withdrawing datas in several places. Laboratory observations were also done to measure starch concentration and to analyze the soil. The study is based on the correlation between cassava production level and its starch concentration and land's quality elements which spread in specific pattern that is restricted by the outline. The limit of land suitability criteria classes for each evaluated land qualities could be made by creating projection from the intersection of the outline limit (boundary line) with production partition/bulkhead. The boundary limit for cassava production is obtained from the maximum imprint production value (75 tons/ha) which are S1/S2 60 tons/ha, S2/S3 45 tons/ha, S3/N 18,75 tons/ha. The boundary limit for starc cassava concentration from maximum imprint production value (7,29 ton/ha) are S1/S2 5,83 tons/ha, S2/S3 4,37 tons/ha, S3/N 1,82 tons/ha. That limit will be used to make cassava suitability criteria classes. The exploration study that are conducted once withdrawing data and determining limit based on boundary withdrawal could be used for land suitability criteria formation. Correlation pattern between land quality parameter and cassava production and its starch consentration that relatively the same, portrayed that there is interconnectedness between the cassava production and its starch concentration


(3)

RINGKASAN

Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka pengembangan sumber bioenergi. Nurul Hidayah A14061550. Di bawah

bimbingan WIDIATMAKA, ATANG SUTANDI dan MUHAMMAD

HIKMAT

Singkong (ketela pohon atau ubi kayu) adalah pohon tahunan tropika dan subtropika dari keluarga Euphorbiaceae. Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang memiliki diameter dan panjang yang beragam tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Kemudahan dalam menanam singkong menjadi daya tarik masyarakat untuk menanam singkong. Selain itu, singkong mengandung pati yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar pembuatan bioetanol dan salah satu sumber bioenergi. Kualitas tanaman singkong yang digunakan sebagai sumber bioenergi dapat dilihat dari produksi umbi dan kadar patinya. Oleh karena itu, syarat tumbuh singkong perlu lebih diperhatikan agar produktifitasnya maksimum.

Penelitian ini bertujuan untuk : (1) Mempelajari pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong. (2) Menetapkan kriteria kesesuaian lahan untuk beberapa parameter kualitas lahan yang berkaitan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong di wilayah penelitian. Penetapan kriteria kesesuaian lahan ini menggunakan metode penarikan batas yang dikenal dengan Boundary Line Method. Penelitian ini dilaksanakan di Bogor, Karawang, dan Sukabumi dengan pengambilan data di beberapa titik. Pengamatan laboratorium dilakukan untuk pengukuran kadar pati dan analisis tanah.

Penelitian didasarkan pada hubungan tingkat produksi tanaman singkong dan kadar pati singkong dengan unsur kualitas lahan yang menyebar dengan pola tertentu yang dibatasi oleh garis luar. Batas kriteria kelas kesesuaian lahan untuk setiap kualitas lahan yang dievaluasi dapat dibuat dengan membuat proyeksi dari perpotongan garis batas luar (boundary line) dengan sekat produksi.

Batas sekat untuk produksi tanaman singkong dihasilkan dari nilai produksi teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu S1/S2 60 ton/ha, S2/S3 45 ton/ha, S3/N 18,75 ton/ha. Sementara batas sekat untuk kadar pati singkong dari nilai kadar pati teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu S1/S2 5,83 ton/ha, S2/S3 4,37 ton/ha, S3/N 1,82 ton/ha. Batas sekat tersebut akan digunakan untuk membuat kelas kriteria kesesuaian tanaman singkong.

Studi ekplorasi yang dilakukan saat pengambilan data dan penetapan batas berdasarkan metode penarikan batas (Boundary Line Methods) dapat digunakan untuk pembentukan kriteria kesesuaian lahan. Pola hubungan antara parameter kualitas lahan dengan produksi tanaman singkong dan kadar pati relatif sama, menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara produksi tanaman singkong dengan kadar pati.


(4)

KLASIFIKASI KESESUAIAN LAHAN TANAMAN SINGKONG (Manihot

utilissima) BERBASIS PRODUKSI DAN KADAR PATI DAERAH BOGOR,

SUKABUMI DAN KARAWANG DALAM RANGKA PENGEMBANGAN BIOENERGI

Nurul Hidayah A14061550

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011


(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Klasifikasi kesesuaian lahan tanaman singkong (Manihot utilissima) berbasis produksi dan kadar pati daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang dalam rangka pengembangan sumber bioenergi

Nama : Nurul Hidayah

NIM : A14061550

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Widiatmaka, DAA Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi NIP. 19621201 198703 1 002 NIP. 19541212 198103 1 010

Pembimbing III

Ir. Muhammad Hikmat, MSi NIP. 19690110 200112 1 001

Mengetahui, Ketua Departemen,

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc NIP. 19621113 198703 1 003


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 13 September 1988. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Dadin Syaripudin dan Ibu Yeyet Kusmiati.

Penulis memulai masa sekolahnya pada tahun 1992 di TK Islam Al-Azhar Sukabumi hingga tahun 1994. Penulis melanjutkan studinya di SD Islam Al-Azhar Sukabumi dan selesai pada tahun 2000. Kemudian melanjutkan sekolah di Mts Darul Arqam hingga tahun 2003 dilanjutkan sekolah di MA Darul Arqam hingga tahun 2006. Selanjutnya penulis meneruskan pendidikan ke perguruan tinggi. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Setelah menjalani masa Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Selama masa perkuliahan penulis aktif menjadi panitia di beberapa acara di Departemen Ilmu Tanah seperti Seminar Nasional, Masa Perkenalan Departemen, dan Soilidarity. Selain di kepanitiaan, penulis juga ikut berpartisipasi sebagai asisten praktikum mata kuliah, yaitu Geomorfologi dan Analisis landskap pada tahun ajaran 2009/2010.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah swt berkat rahmat, kasih sayang, dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Klasifikasi Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong (Manihot utilissima) Berbasis Produksi dan Kadar Pati Daerah Bogor, Sukabumi, dan Karawang Dalam rangka Pengembangan Bioenergi” ini dengan baik. Ucapan terimakasih kepada para dosen pembimbing Dr. Ir. Widiatmaka, DAA, Dr. Ir. Atang Sutandi, MSi dan Ir. Muhammad Hikmat, MSi atas kesabaran, bimbingan dan segala saran sejak dimulainya penelitian ini hingga skripsi selesai. Penelitian ini dibiayai melalui Program Insentif Ristek TA 2010, dengan peneliti utama Dr. Ir. Widiatmaka, DAA. Untuk itu, diucapkan terimakasih kepada Kementrian Negara Riset dan Teknologi RI.

Pada kesempatan kali ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak, ibu tercinta yang selalu mendukung baik materi maupun spirit, yang tak henti berdoa untuk kelancaran penyusunan skripsi penulis.

2. Kakak tercinta Tia Agustiani yang selalu membantu dalam proses pembuatan skripsi ini.

3. Ir. Hermanu Widjaya, MSc selaku dosen penguji yang telah memberikan berbagai masukan.

4. Pak Halim yang tak henti memberikan masukan dan bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Para dosen Ilmu tanah dan Sumberdaya Lahan yang telah memberikan berbagai macam ilmu di bangku perkuliahan.

6. Kepada para pengurus lab yang bersedia berbagi ilmu dalam analisis. 7. Kepada keluarga besar tante dan om yang memberkan semangat tak henti. 8. Kepada Imam Ismail dan Aprianto T atas doa dan dukungannya selama

berlangsungnya penelitian ini.

9. Kepada sahabat-sahabat Rahmi, Anissa R, Miranty, Nailah, Mawar, Melly dan Puti yang tak henti memberikan semangat.

10.Kepada para maleaers Izha, Dede, Ceu Reres, Ipeh, Aan, Nurul, dan Dina atas segala perhatian dan doa.


(8)

11.Para rekan seperjuangan, mahasiswa Ilmu Tanah angkatan 43 anggota DR, para Mpo-mpo, Ivong, Popy, Luluk, Laras, Mike, Ajang, Sony, Adi, Sabda, dan lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu terimakasih banyak.

Bogor, Februari 2011


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima) ... 3

2.2 Syarat Tumbuh Singkong ... 4

2.2.1 Iklim ... 4

2.2.2 Media Tanam ... 4

2.2.3 Ketinggian Tempat ... 5

2.3 Singkong Sebagai Biodiesel ... 5

2.4 Pati Tanaman Singkong ... 6

2.5 Lahan ... 7

2.5.1 Karakteristik Lahan ... 8

2.5.2 Kualitas Lahan ... 8

2.5.3 Klasifikasi Lahan ... 8

2.5.4 Pengertian Kesesuaian Lahan ... 9

2.6 Boundary Line Methods ... 12

2.7 Metode Pembatasan Minimum ... 13

III.BAHAN DAN METODE ... 14

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 14

3.2 Bahan dan Alat ... 14

3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong ... 14


(10)

3.5 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan ... 15

3.5.1 Peneraan Umur untuk Produksi Singkong ... 15

3.5.2 Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan ... 15

3.5.3 Perumusan Batas Kesesuaian Lahan ... 16

IV.KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN ... 17

4.1 Bogor ... 17

4.1.1 Formasi Geologi ... 17

4.1.2 Jenis Tanah ... 18

4.1.3 Kelas Lereng ... 19

4.1.4 Ketinggian ... 19

4.2 Sukabumi ... 25

4.2.1 Formasi Geologi ... 25

4.2.2 Jenis Tanah ... 26

4.2.3 Kelas Lereng ... 26

4.2.4 Ketinggian ... 27

4.3 Karawang ... 32

4.3.1 Formasi Geologi ... 32

4.3.2 Jenis Tanah ... 33

4.3.3 Kelas Lereng ... 33

4.3.4 Ketinggian ... 33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38

5.1 Budidaya Singkong ... 38

5.2 Produksi Singkong Teraan ... 39

5.3 Produksi Pati Singkong Teraan ... 40

5.4 Penetapan Kriteria Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong ... 41


(11)

5.4.1 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan

Elevasi ... 41

5.4.2 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Media Perakaran... 42

5.4.3 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Retensi Hara ... 44

5.4.4 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Kondisi Terrain ... 48

5.4.5 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Toksisitas ... 49

5.5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Singkong ... 51

5.7 Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria Karakteristik Lahan dan Kriteria Produksi ... 54

VI.KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

6.1. Kesimpulan ... 57

6.2. Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat ... 5

2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol ... 6

3. Komposisi kimia singkong ... 7

4. Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan ... 40

5. Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan ... 41

6. Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 42

7. Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43

8. Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43

9. Selang kelas tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 43

10. Selang nilai pH untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 45

11. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 45

12. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 46

13. Selang nilai KB untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 46

14. Selang nilai kemiringan lereng untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 48

15. Selang nilai Al-dd untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong ... 50

16. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong ... 51

17. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis broduksi pati singkong ... 52

18. Data kelas kesesuaian sampel Bogor berdasarkan produksi singkong dan karakteristik lahan ... 54


(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976) ... 10

2. Peta sebaran titik pengamatan Bogor ... 20

3. Peta geologi Bogor ... 21

4. Peta tanah Bogor ... 22

5. Peta kelas lereng Kabupaten Bogor ... 23

6. Peta sebaran ketinggian Bogor ... 24

7. Peta sebaran titik pengamatan Sukabumi ... 28

8. Peta geologi Sukabumi ... 29

9. Peta tanah Sukabumi ... 30

10.Peta sebaran ketinggian Sukabumi... 31

11.Peta sebaran titik pengamatan Karawang ... 34

12.Peta geologi Karawang ... 35

13.Peta tanah Karawang ... 36

14.Peta sebaran ketinggian Karawang ... 37

15.Hubungan umur dengan produksi singkong ... 39

16.Hubungan umur dengan produksi pati singkong ... 40

17.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi ... 42

18.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur ... 44

19.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan pH H2O ... 47

20.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-orgnik ... 47

21.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK ... 47

22.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB ... 48

23.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan kemiringan lereng ... 49

24.Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan Al ... 50

25.Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi ... 53


(14)

26.Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan ... 53


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Blanko pengamatan ... 63

2. Lokasi titik pengamatan Bogor ... 65

3. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Bogor ... 65

4. Lokasi titik pengamatan Sukabumi ... 66

5. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Sukabumi ... 66

6. Lokasi titik pengamatan Karawang ... 66

7. Tabel kondisi umum pada titik pengamatan Karawang ... 66

8. Data pengamatan lapang, tanah, dan data produksi teraan ... 67


(16)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Nasional (Puslitbangtanak, 2001) Indonesia mempunyai wilayah daratan yang cukup luas sekitar 188,2 juta ha, yang terdiri dari 148 juta ha lahan kering dan 40,2 juta ha lahan basah. Wilayah Indonesia ini memiliki sifat tanah, fisiografi, elevasi, iklim, dan lingkungan yang beragam serta tanahnya yang berasal dari berbagai macam bahan induk. Oleh karena itu, Indonesia berpotensi untuk memproduksi berbagai komoditas.

Salah satu komoditas yang sangat potensial untuk ditanam adalah singkong atau yang dikenal sebagai ketela pohon. Menurut Suprapti (2005), masyarakat Indonesia mengenal singkong sebagai bahan makanan pokok setelah beras dan jagung. Singkong memiliki berbagai manfaat lain yaitu daunnya dapat digunakan sebagai bahan sayuran, kayunya dapat digunakan sebagai kayu bakar, dan umbinya dapat digunakan sebagai obat. Selain itu, umbi singkong merupakan sumber pati yang cukup tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar bioetanol (Kusumastuti, 2007).

Seiring dengan isu nasional mengenai alternatif BBM (Bahan Bakar Minyak) maka energi alternatif yang dipilih adalah sumber-sumber terbarukan dan ramah lingkungan, tetapi harganya relatif terjangkau. Salah satu sumber yang memenuhi syarat tersebut adalah bahan tanaman (bio-fuel). Sumber bio-fuel yang cukup potensial dikembangkan di Indonesia adalah singkong (Manihot utilissima). Singkong dipilih karena masyarakat mengenal singkong sebagai tanaman yang mudah untuk ditanam dimanapun, baik di lahan kritis maupun di lahan subur. Selain itu, singkong merupakan tanaman yang sudah dikenal lama oleh petani Indonesia walaupun bukan tanaman asli Indonesia. Singkong pertama kali didatangkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal abad ke-19 dari Amerika Latin. Karena sudah dikenal lama oleh petani Indonesia, pengembangan singkong untuk diolah menjadi bahan baku bioetanol tidak terlalu sulit. Indonesia adalah penghasil singkong terbesar keempat di dunia. Dari luas areal 1,24 juta ha


(17)

pada tahun 2005, produksi singkong Indonesia sebesar 19,5 juta ton (Yakinudin, 2010).

Kemudahan dalam menanam singkong mengakibatkan terjadinya demam bertanam singkong tanpa perencanaan yang matang, baik dikalangan masyarakat (termasuk swasta dan BUMN) maupun pemerintah. Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa singkong adalah tanaman ”serba super” yang dapat ditanam di mana saja dan seolah-olah tanpa memerlukan pemeliharaan. Karena itu tidak mengherankan jika semua daerah memprogramkan pengembangan singkong. Di satu sisi hal ini positif karena akan mempercepat tersedianya singkong sebagai bahan baku industri bio-fuel, tetapi di sisi lain dapat menimbulkan kekecewaan karena tingkat produktifitas yang diperhitungkan tidak tercapai akibat kesalahan pemilihan lokasi. Perlu disadari bahwa tingkat produktifitas dipengaruhi oleh potensi genetik, kondisi lingkungan, dan teknologi (manajemen) pengelolaan tanaman. Untuk itu, dibutuhkan kriteria yang akurat untuk pemilihan lahan penanaman singkong yang akan digunakan sebagai bioenergi yaitu dengan penentuan kelas kesesuaian berbasis produksi dan kadar pati untuk tanaman singkong.

1.2 Tujuan

1. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi singkong.

2. Melihat pola hubungan antara beberapa parameter kualitas lahan dengan produksi pati singkong.

3. Menghasilkan kriteria kesesuaian lahan pada beberapa parameter kualitas lahan dan kaitannya dengan produksi singkong dan produksi pati singkong di wilayah penelitian.


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Taksonomi Tanaman Singkong (Manihot utilissima)

Singkong (Manihot utilissima), termasuk dalam Kingdom Plantae atau tumbuh-tumbuhan, Divisi Spermathophyta atau tumbuhan berbiji, Sub divisi Angiospermae atau berbiji tertutup, Kelas Dicotyledoneae atau biji berkeping dua, Ordo Euphorbiales, Family Euphorbiaceae, GenusManihot, dan SpesiesManihot utilissima pohl dan Manihot esculenta Crantz sin.

Singkong merupakan tanaman pangan yang berasal dari benua Amerika berupa perdu, memiliki nama lain ubi kayu, singkong, kasepe, dan dalam Bahasa Inggris cassava. Singkong termasuk famili Euphorbiaceae yang umbinya dimanfaatkan sebagai sumber karbohidrat dan daunnya dikonsumsi sebagai sayuran. Di Indonesia, singkong menjadi bahan pangan pokok setelah beras dan jagung (Lidiasari et al., 2006).

Singkong merupakan umbi atau akar pohon yang panjang dengan diameter dan tinggi yang beragam tergantung dari varietas singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan disimpan lama meskipun di dalam lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia. Umbi singkong merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, namun sangat miskin protein. Sumber protein terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino dan metionin.

Singkong merupakan salah satu sumber pati. Pati merupakan senyawa karbohidrat yang kompleks. Sebelum difermentasi, pati diubah menjadi glukosa, karbohidrat yang lebih sederhana. Dalam penguraian pati diperlukan bantuan cendawan Aspergillus sp. Cendawan ini akan menghasilkan enzim alfaamilase dan glikoamilase yang akan berperan dalam mengurai pati menjadi glukosa atau gula sederhana. Setelah menjadi gula baru difermentasi menjadi etanol (Kusumastuti, 2007).


(19)

2.2 Syarat Tumbuh Singkong

Meningkatnya produktifitas tanaman singkong akan dipengaruhi oleh beberapa aspek karakteristik lahan yang menjadi syarat tumbuh. Bappenas (2009) mengeluarkan beberapa persyaratan tumbuh singkong berdasarkan iklim, media tanam, dan ketinggian.

2.2.1 Iklim

Kondisi iklim yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah : a) Curah hujan antara 1.500-2.500 mm/tahun.

b) Suhu udara minimal sekitar 100C. Bila suhunya di bawah 100C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna.

c) Kelembaban udara optimal antara 60-65%.

d) Sinar matahari yang dibutuhkan sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya.

2.2.2 Media Tanam

Media tanam yang menjadi syarat tumbuh singkong adalah :

a) Tanah yang paling sesuai adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Pertumbuhan tanaman ketela pohon akan lebih baik dengan menggunakan tanah yang subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya.

b) Jenis tanah yang sesuai adalah jenis alluvial, latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumusol dan andosol.

c) Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ketela pohon.


(20)

2.2.3 Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat yang baik dan ideal untuk tanaman ketela pohon antara 10-700 mdpl, sedangkan toleransinya antara 10-1.500 mdpl. Jenis ketela pohon tertentu dapat ditanam pada ketinggian tempat tertentu untuk dapat tumbuh optimal.

2.3 Singkong Sebagai Biodiesel

Bioetanol merupakan hasil fermentasi dari tanaman yang mengandung pati, gula dan serat selulosa. Beberapa tanaman yang berpotensi sebagai penghasil etanol adalah aren dengan potensi produksi 40.000 liter per hektar per tahun, jagung (6.000 liter), biji sorgum (4.000 liter) dan singkong (7.800 liter) (Fortuna, 2008).

Singkong merupakan tanaman pangan dan perdagangan (crash crop). Sebagai tanaman perdagangan, singkong menghasilkan pati, gaplek, tepung singkong, etanol, gula cair, sorbitol, tepung aromatik, dan pellet. Sebagai tanaman pangan, singkong merupakan sumber karbohidrat bagi sekitar 500 juta manusia di dunia. Singkong merupakan penghasil kalori terbesar dibandingkan dengan tanaman lain perharinya. Data nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat disajikan pada Tabel 1 dan data potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol disajikan pada Tabel 2.

Tabel 1. Nilai kalori berbagai tanaman penghasil karbohidrat

No. Jenis Tanaman Nilai Kalori (kal/ha/hari)

1 Singkong 250 x 103

2 Jagung 200 x 103

3 Beras 176 x 103

4 Sorgum 114 x 103


(21)

Tabel 2. Potensi beberapa tanaman sebagai bahan baku etanol

No. Jenis Tanaman Hasil Panen (ton/ha/tahun) Etanol (liter/ha/tahun)

1 Jagung 1-6 400-2.500

2 Singkong 10-50 2.000-7.000

3 Tebu 40-120 3.000-8.500

4 Ubi Jalar 10-40 1.200-5.000

5 Sorgum 3-12 1.500-5.000

6 Sorgum manis 20-60 2.000-6.000

7 Kentang 10-35 1.000-4.500

8 Bit 20-100 3.000-8.000

Tabel 2 menunjukkan bahwa singkong merupakan tanaman penghasil etanol kedua setelah tebu. Hal ini menunjukkan bahwa singkong memiliki potensi yang cukup bagus sebagai tanaman bahan baku etanol. Bit tidak dipertimbangkan karena tidak dapat berproduksi optimal di Indonesia sehingga tidak ekonomis. Keunggulan singkong dibanding tebu adalah masa panen singkong relatif lebih singkat dan biaya produksi lebih murah. Singkong yang akan digunakan sebagai bahan Fuel Grade Ethanol (FGE) disarankan memiliki kadar pati tinggi, potensi hasil tinggi, tahan cekaman biotik dan abiotik, dan fleksibel dalam usaha tani dan umur panen (Yakinudin, 2010).

2.4 Pati Tanaman Singkong

Pati merupakan karbohidrat berupa polisakarida yang terbentuk dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Untuk mengetahui kadar karbohidrat dalam singkong, Tabel 3 menunjukkan komposisi kimia singkong. Bentuk pati berupa kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan. Pati memiliki perbedaan bentuk dan ukuran granula tergantung pada jenis tanamannya. Tabel 3 menunjukkan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram karbohidrat. Karbohidrat tersebut merupakan polisakarida yang berarti pati, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam singkong terdapat 34 gram pati.


(22)

Tabel 3. Komposisi kimia singkong

Komponen Kadar /100 gram

Kalori 146 kal

Air 62,5 gram

Phospor 40 gram

Karbohidrat 34 gram

Kalsium 33 mg

Vitamin C 30 mg

Protein 1,2 gram

Besi 0,7 mg

Lemak 0,3 gram

Vitamin B1 0,06 mg

Berat yang dapat dimakan 75 mg (Sumber : BSN, 1996)

Pati mengandung 10% air pada RH 54% dan 20oC. Pada umumnya pati tersusun dari 25% amilosa dan 75% amilopektin. Amilosa merupakan polimer berbentuk panjang dan lurus dan sedikit cabang (kurang dari 1%) (Nwokocha, 2008) dengan berat molekul 50.000-200.000 g/mol. Unit-unit glukosa terhubung oleh ikatan α-1,4 pada molekul amilosa. Molekul amilosa berbentuk helix dan bersifat hidrofobik. Amilopektin memiliki bentuk yang bercabang dan memiliki berat molekul 107-109 g/mol bergantung pada jenis tanamannya. Pati terbentuk dari monomer-monomer glukosa.

Berdasarkan Wikipedia, amilosa merupakan polisakarida yang tersusun dari glukosa sebagai monomernya. Tiap-tiap monomer terhubung dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilosa merupakan polimer tidak bercabang yang bersama-sama dengan amilopektin menjadi komponen penyusun pati. Amilosa sebagai fraksi pati yang larut dalam air, tetapi tidak larut dalam N-butanol atau pelarut organik polar lainnya, tersusun dari rantai lurus D-glukosa yang berkaitan a -1,4 dengan derajat polimerasi antara 100-400, berwarna biru tua dengan iodine. Amilosa menyusun sekitar 20% dari pati serealia, tetapi hanya 1% dalam jagung dan sorgum.

2.5 Lahan

Lahan merupakan bagian dari bentang alam yang mencakup pengertian lingkungan fisik termasuk iklim, topografi, hidrologi, bahkan keadaan vegetasi alami yang semuanya secara potensial akan berpengaruh terhadap


(23)

penggunaannya. Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk yang sudah dipengaruhi oleh berbagai aktifitas manusia ( FAO, 1976).

2.5.1 Karakteristik Lahan

Karakteristik lahan mencakup beberapa faktor yang dapat diukur atau ditaksir, seperti lereng, curah hujan, tekstur tanah, air tersedia, dan sebagainya. Sifat-sifat tersebut saling berinteraksi, karena itu apabila karakteristik lahan digunakan secara langsung dalam evaluasi lahan maka akan menimbulkan kesulitan. Untuk itulah diperlukan adanya perbandingan antara lahan dan penggunaannya dalam pengertian kualitas lahan. Masing-masing kualitas lahan mempunyai keragaman tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaian untuk penggunaan tertentu. Setiap kualitas lahan dapat terdiri dari satu atau lebih karakteristik lahan (FAO, 1976).

Penentuan karakteristik lahan yang berhubungan dengan tanah seperti tekstur, kedalaman efektif, KTK, kejenuhan basa, reaksi tanah (pH), unsur hara (N, P2O5, K2O). Sitorus (1985), mengemukakan bahwa karakteristik lahan pada

sistem penggunaan lahan jarang yang bersifat langsung. Contohnya, pertumbuhan tanaman tidak secara langsung dipengaruhi oleh curah hujan atau tekstur tanah tetapi dipengaruhi oleh ketersediaan air, dan unsur hara.

2.5.2 Kualitas Lahan

Kualitas lahan adalah sifat-sifat yang kompleks dari satuan lahan. Masing-masing kualitas lahan mempunyai kondisi tertentu yang berpengaruh terhadap kesesuaiannya bagi penggunaan tertentu. Kualitas lahan kadang-kadang dapat diduga atau diukur secara langsung di lapang, tetapi pada umumnya ditetapkan dari pengertian karakteristik lahan. Kualitas lahan menunjukkan sifat-sifat lahan yang mempunyai pengaruh nyata terhadap kesesuaian lahan untuk penggunaan tertentu. Satu jenis kualitas lahan dapat disebabkan oleh beberapa karakteristik lahan (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

2.5.3 Klasifikasi Lahan

Klasifikasi lahan adalah pengaturan satuan-satuan lahan ke dalam berbagai kategori berdasarkan sifat-sifat lahan atau kesesuaiannya untuk berbagai


(24)

penggunaan (Sitorus, 1985). Dalam klasifikasi lahan diperlukan faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat lahan secara umum. Sifat-sifat lahan ini dibedakan antara karakteristik lahan dan kualitas lahan (FAO, 1976)

2.5.4 Pengertian Kesesuaian Lahan

Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan suatu bidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (present) atau setelah diadakan perbaikan (improvement). Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat-sifat fisik lingkungannya, yang terdiri atas iklim, tanah, topografi, hidrologi dan/atau drainase sesuai untuk usaha tani atau komoditas yang produktif (Djaenudin et al., 2003).

Kesesuaian lahan terbagi menjadi dua, yaitu kesesuaian lahan aktual dan kesesuaian lahan potensial (Hardjowigeno, 1994). Kesesuaian lahan aktual merupakan kesesuaian lahan menurut kondisi yang ada saat ini atau kondisi lahan sekarang, belum mempertimbangkan masukan yang diperlukan untuk mengatasi faktor pembatas yang ada. Faktor pembatas tersebut ada yang bersifat permanen dan tidak memungkinkan atau tidak ekonomis untuk diperbaiki, serta ada faktor pembatas yang dapat diatasi atau diperbaiki dan secara ekonomis masih menguntungkan. Kesesuaian lahan potensial menggambarkan keadaan lahan yang dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus sejalan dengan tingkat penilaian kesesuaian lahan yang akan dilaksanakan. Dalam pelaksanaannya perlu dirinci faktor-faktor ekonomi yang disertakan dalam menduga biaya yang diperlukan untuk perbaikan-perbaikan tersebut. Alur logik penilaian kesesuaian lahan (FAO, 1976) disajikan pada Gambar 1 di bawah ini.


(25)

Gambar 1. Alur logik penyusunan kesesuaian lahan (FAO, 1976)

Penilaian kesesuaian lahan dapat dilakukan dengan menggunakan hukum minimum yaitu membandingkan antara kualitas lahan dan karakteristik lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri dari empat kategori, yaitu:

1. Kesesuaian lahan pada tingkat ordo menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak untuk penggunaan tertentu. Dikenal dua ordo, yaitu:

 Ordo S (sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang dapat digunakan dalam jangka waktu yang tidak terbatas untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. Keuntungan dari hasil pengelolaan lahan itu akan memuaskan setelah dihitung dengan

BMG/GIS Survai Tanah Penelitian Dasar

Kualitas Lahan Data

“matching”

Data Persyaratan Agro-ekologi

Tanaman

Kendala Agro-Kesesuaian Aktual/fisik

Kesesuaian Lahan Potensial pada Tingkat

Manajemen Produksi

Manajemen Produksi


(26)

masukan yang diberikan, tanpa atau sedikit resiko kerusakan terhadap sumberdaya lahannya.

 Ordo N (tidak sesuai): lahan yang termasuk ordo ini adalah lahan yang mempunyai kesulitan sedemikian rupa, sehingga mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan yang telah direncanakan. Lahan dapat digolongkan sebagai lahan tidak sesuai digunakan bagi suatu usaha pertanian karena berbagai penghambat, baik secara fisik (lereng yang sangat curam) atau secara ekonomi (keuntungan yang didapat lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan).

2. Kesesuaian lahan pada tingkat kelas menunjukkan kesesuaian dari ordo dan pembagian lebih lanjut dari ordo tersebut. Banyaknya kelas dibagi dalam tiga kelas ordo S dan dua kelas dalam ordo N, yaitu:

 Kelas S1: Sangat sesuai, artinya lahan tidak mempunyai pembatas yang besar untuk pengelolaan yang diberikan, atau hanya mempunyai pembatas yang tidak secara nyata berpengaruh terhadap produksi dan tidak akan menaikkan masukan yang telah biasa diberikan.

 Kelas S2: Cukup sesuai, artinya lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produk atau keuntungan dan meningkatkan masukan yang diperlukan.

 Kelas S3: Sesuai marjinal, artinya lahan mempunyai pembatas-pembatas yang besar untuk mempertahankan tingkat pengelolaan yang harus diterapkan. Pembatas akan mengurangi produksi dan keuntungan atau lebih meningkatkan masukan yang diperlukan.

 Kelas N1: Tidak sesuai pada saat ini, artinya lahan mempunyai pembatas yang lebih besar, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi dengan modal yang lebih besar dan tidak bisa diperbaiki dengan modal normal. Keadaan pembatas sedemikian besarnya, sehingga mencegah penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.


(27)

 Kelas N2: Tidak sesuai untuk selamanya, artinya lahan mempunyai pembatas permanen yang mencegah segala kemungkinan penggunaan lahan yang lestari dalam jangka panjang.

3. Kesesuaian lahan pada tingkat sub-kelas menunjukkan jenis pembatas atau macam perbaikan yang harus dijalankan dalam masing-masing kelas. Setiap kelas dapat terdiri dari satu atau lebih sub-kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. Jenis pembatas yang ada ini ditunjukkan dengan simbol huruf kecil yang ditempatkan setelah simbol kelas. Contohnya kelas S2 yang mempunyai pembatas kejenuhan basa (n) menjadi sub-kelas S2n. Dalam satu sub-kelas dapat mempunyai satu atau lebih simbol pembatas, dimana pembatas yang paling dominan ditulis paling depan.

4. Kesesuaian lahan pada tingkat unit menunjukkan perbedaan-perbedaan besarnya faktor penghambat yang berpengaruh dalam pengelolaan suatu sub-kelas. Pemberian simbol dalam tingkat unit dilakukan dengan penambahan angka-angka yang dipisahkan oleh strip dari simbol kelas, contohnya S3r-2. Unit dalam satu sub-kelas jumlahnya tidak terbatas.

2.6 Boundary Line Methods

Boundary line methods adalah metode penarikan batas, dimana garis pembungkus dari diagram sebar menunjukkan hubungan antara produksi dan kualitas lahan. Garis tersebut membatasi data aktual lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut. Garis batas ini menggambarkan hasil yang dapat terjadi pada produksi optimum dengan faktor-faktor pertumbuhan tertentu dan dapat digunakan untuk menetapkan kualitas lahan yang sesuai untuk mendapatkan produksi yang optimum. Diagram sebaran hasil yang direncanakan untuk mengatasi faktor pertumbuhan tanaman umumnya mencapai puncak pada tingkat optimum dari faktor pertumbuhan tertentu, dimana garis pembatas memisahkan data dari situasi nyata dan tidak nyata. Penggambaran seperti ini sangat bermanfaat dalam mendiagnosa kemungkinan perolehan produksi maksimum yang konsisten dengan nilai apapun dari faktor pertumbuhan tertentu yang dapat ditentukan (Walworth et al., 1986).


(28)

2.7 Metode Pembatasan Minimum

Keseluruhan sifat fisik yang sesuai dari area lahan untuk tipe penggunaan lahan diambil dari yang paling membatasi kualitas lahan, yaitu kualitas lahan yang nilainya paling buruk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu sederhana. Mengacu pada Hukum Minimum (Law of the minimum) Liebig bahwa jika tingkat kualitas-kualitas lahan tergambar menurut suatu standar satuan pengurangan hasil dan faktor-faktor hasil ini tidak saling berhubungan (Alvyanto, 2010), maka dengan metoda ini akan diperoleh kelas yang sesuai. Praktek FAO secara umum, S1 sesuai untuk 80-100% dari hasil yang optimum, S2 pada 60-80%, dan S3/N pada 25-60%. Tetapi beberapa faktor fisik tidak mempengaruhi hasil, mereka hanya membuat pengelolaan menjadi lebih sulit. Kerugiannya adalah metoda ini tidak membedakan antara area lahan dengan beberapa pembatas dan hanya memiliki satu pembatas, selama pembatas maksimum sama (FAO, 1976 dalam Rossiter, 1994).


(29)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lapang yaitu di Bogor, Karawang, dan Sukabumi. Pengamatan kadar pati dilakukan di Laboratorium BPTP Cimanggu Bogor. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei 2010 sampai September 2010.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah singkong (Manihot utilissima). Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah dengan pengamatan lapang dan laboratorium. Proses pengamatan lapang dilakukan pada singkong siap panen dengan mengamati ciri morfologi tanaman dan menimbang hasil produksi. Pengamatan yang dilakukan di laboratorium adalah uji kadar pati. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa alat lapang, seperti bor, cangkul, munsell, abney level, timbangan, dan plastik. Bahan lain yang digunakan adalah peta dasar lokasi Bogor, Karawang dan Sukabumi dan diolah menggunakan program Arcview dan Microsoft Excel pada komputer.

3.3 Pengambilan Sampel Tanah dan Umbi Singkong

Pengambilan sampel tanah dilakukan secara komposit pada setiap titik lokasi. Pengambilan tanah secara komposit dimaksudkan untuk mewakili jenis tanah di titik tersebut. Sampel tanah ini kemudian dianalisis di laboratorium untuk penetapan pH H2O, C-organik, N, KTK, KB, K, P, Al, dan tekstur tanah.

Pengambilan sampel umbi dilakukan secara acak. Sampel umbi ini kemudian dianalisis di laboratorium untuk analisis kadar pati.

3.4 Metode Analisis

Umbi yang akan dianalisis laboratorium terlebih dahulu dijadikan tepung. Langkah yang dilakukan dalam pembuatan tepung adalah dengan pemotongan singkong secara tipis, pengeringan dengan oven pada suhu 900C, dan kemudian digiling menjadi tepung. Umbi yang telah berbentuk tepung kemudian dianalisis kadar pati dengan menggunakan metode spektro. Data lapang dan data laboratorium diolah dengan menggunakan Microsoft Excel.


(30)

3.5 Analisis Data untuk Penentuan Kelas Kesesuaian Lahan

Data-data yang sudah diperoleh selanjutnya akan dianalisis untuk menentukan kelompok kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan akan disusun dari berbagai kriteria yang diamati dilapang dan juga dari konsep kriteria kesesuaian lahan yang sudah dikembangkan. Pengelompokan data ini dikaitkan dengan produksi dan kandungan pati yang sudah diketahui. Pembuatan model kesesuaian lahan meliputi studi kondisi ekologi dan pengembangan konsep/model. Sifat biofisik didapat dari lapang dan hasil laboratorium.

3.5.1 Peneraan Umur untuk Produksi Singkong

Umur tanaman tidak sama sedangkan produksi merupakan fungsi dari umur, dimana produksi yang satu dengan yang lainnya akan diperbandingkan yaitu sebagai dependent variabel, maka produksi perlu ditera oleh umur tanaman. Metode peneraan (Rathfon dan Burger, 1991) yang dipakai sebagai berikut :

Ý = f (x) Keterangan:

Y= Produksi dugaan berdasarkan umur x = Umur (tahun atau bulan)

Yteraan = Ÿ + (Yi – Ýi)

Keterangan:

Yteraan = Produksi teraan

Ÿ = Rataan umum

Yj = Produksi aktual pada umur ke- i Ýi = Produksi dugaan pada umur ke- i.

3.5.2 Model Penarikan Batas Kriteria Kesesuaian Lahan

Data yang sudah diperoleh selanjutnya dianalisis untuk menentukan batas kriteria kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian lahan disusun dari berbagai karakteristik lahan yang diamati di lapang. Sebaran data ini dikaitkan dengan produksi yang sudah dianalisis. Pembuatan model kesesuaian lahan diterapkan pada produksi tersebut.


(31)

Berdasarkan metode penarikan batas berdasarkan titik potong garis sekat produksi dengan garis batas (boundary line):

a) Diagram sebar hubungan antara produksi teraan dan karakteristik lahan dibungkus oleh garis batas dimana garis tersebut membatasi data aktual di lapang, sehingga sangat kecil peluangnya akan ditemukan data di luar garis tersebut.

b) Garis tersebut ada kaitannya dengan peningkatan atau penurunan produksi sesuai kualitas atau karakteristik lahan yang sedang dinilai.

c) Batas penurunan produksi dari produksi maksimum untuk Kelas S1 adalah 80%, Kelas S2 sampai 60%, dan S3 adalah 25% (FAO, 1976).

d) Perpotongan antara garis batas dan tingkat produksi yang diharapkan merupakan batas kriteria penilaian kualitas lahan.

3.5.3 Perumusan Batas Kesesuaian Lahan

Batas kriteria kesesuaian lahan ditetapkan sebagai berikut: 1. Berdasarkan persyaratan tumbuh tanaman

2. Studi lapang yaitu berdasarkan keterkaitan antara produksi dengan kualitas lahan.


(32)

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4.1 Bogor

Bogor dengan luasan total 273.930,153 ha terdiri dari kabupaten dan kotamadya, yang masing–masing memiliki beberapa kecamatan. Kotamadya Bogor terdiri dari 6 kecamatan dengan luas 11.115,951 ha dan Kabupaten Bogor terdiri dari 32 kecamatan dengan luas 262.814,202 ha. Titik pengamatan di daerah Bogor terdiri dari 21 titik. Sebaran titik pengamatan yaitu 19 titik di kabupaten dan 1 titik di kotamadya. Data lokasi ditampilkan pada Gambar 2 dan Lampiran 2.

4.1.1 Formasi Geologi

Data geologi wilayah Bogor disajikan pada Gambar 3. Geologi wilayah Bogor dan sekitarnya terangkum dalam enam lembar peta geologi keluaran Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Ditjen Geologi dan Sumberdaya Mineral, Departemen Pertambangan dan Energi Republik Indonesia (1992) yaitu Lembar Serang, Leuwidamar, Jakarta, Bogor, Karawang dan Cianjur. Interpretasi kondisi geologi daerah penelitian untuk penelitian ini lebih banyak didasarkan atas kedudukan masing-masing formasi di lapangan. Formasi geologi daerah Bogor didominasi oleh formasi konglomerat dan batupasir tufaan atau kipas aluvium (Qav) yang berumur Pleistosen. Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi Qav berada di bagian utara daerah Bogor dengan luasan 57.293,103 ha (18,14 % dari luasan daerah Bogor). Formasi ini terdiri dari tuf halus, berlapis, tuf pasiran berselingan dengan tuf konglomeratan. Formasi ini terdistribusi di bagian timur laut dan berdampingan dengan formasi endapan sungai, rawa dan pantai (Qa), yang terdiri dari lempung, lanau, pasir, kerikil, kerakal dan bongkah. Formasi endapan batupasir konglomeratan dan batu lanau (Qoa) terdiri dari batu pasir konglomeratan, batu lanau, dan batu pasir. Formasi Qa dan Qoa menyebar di bagian timur daerah penelitian Bogor.

Formasi Genteng dijumpai di bagian utara sampai barat laut. Formasi genteng (Tpg) terdiri dari tuf berbatu apung, batupasir tufan, konglomerat, breksi andesit dan sisipan lempung tufan. Tuf berbatu apung memiliki morfologi putih sampai kelabu, berbutir halus sampai kasar, bersusunan menengah sampai kasar.


(33)

Batupasir tufaan berwarna kelabu kehijauan, mengandung glaukonit, berbutir menengah sampai kasar. Konglomerat berwarna kelabu tua, agak padat, komponennya terutama adalah andesit, dengan massa dasar pasir tufaan, lempung tufaan, berwarna kelabu kehijauan. Formasi Kelapanunggal (Tmk) terdistribusi di bagian timur laut. Formasi Tmk terdiri dari batugamping koral, sisipan batugamping pasiran, napal, dan batupasir kuarsa plokonitan hijau.

Di bagian timur terdapat formasi Jatiluhur (Tmj) yang terdiri dari napal dan batulempung dengan sisipan batupasir gampingan. Selain itu, di bagian ini terdapat pula satuan batuan andesit hornblenda dan porfir diorit (ha) dan satuan batuan terobosan mangerit (ma), formasi Qos yang terdiri dari batupasir tufaan dan konglomerat, serta formasi Catayan (mttc, mtts dan mttb) terdistribusi di bagian tenggara.

Wilayah bagian selatan didominasi oleh formasi Qvpo yang berada dalam kontak dengan formasi Qvsb dan Qvst. Formasi batuan Gunungapi Endut (Qpv) yang berumur pleistosen terdapat di bagian barat daya. Sementara itu, di bagian barat terdapat formasi Tmbs, Tmbl, Tmbc yang menyatu dengan anggota formasi Bojongmanik (Tmbs: batupasir; Tmbl: batugamping; Tmbc: batulempung) dan Tma (andesit) yang berumur pliosen akhir.

Di bagian barat laut terdapat formasi batuan sedimen Tpg (Formasi Genteng: Tuf batuapung, batupasir tufaan, breksi konglomerat, napal dan kayu terkersikkan), formasi Bojongmanik (Tmb) yang merupakan perselingan batupasir dengan lempung, sisipan batu gamping dan berumur Miosen. Terdapat juga batuan terobosan Tba (andesit) dan satuan batuan endapan permukaan Qa yang berumur Pliosen.

Titik-titik pengamatan terdapat pada 6 jenis formasi geologi, yaitu Qav, Qvst, Qvsb, Qvk, Qvpo, dan Tmj. Data sebaran formasi geologi pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran 3.

4.1.2 Jenis Tanah

Jenis tanah daerah Bogor sangat beragam. Wilayah Bogor didominasi oleh latosol coklat kemerahan dengan luas 30.234,34 ha (meliputi 9,6 % dari total wilayah) yang berada di bagian utara (Puslittan, 1981) . Sebaran tanah pada luasan sekitar titik pengamatan disajikan pada Gambar 4, dan data sebaran tanah pada


(34)

titik pengamatan disajikan pada Lampiran 3. Titik pengamatan daerah Bogor tersebar pada beberapa jenis tanah, yaitu 11 titik pada tanah latosol coklat kemerahan, 7 titik pada tanah regosol coklat kekelabuan, 3 titik pada tanah podsolik kuning, 2 titik pada tanah latosol coklat, 3 titik pada tanah latosol eutrik, dan 1 titik pada tanah podsolik coklat kekuningan. Sebaran titik pengamatan didominasi pada tanah latosol coklat kemerahan.

4.1.3 Kelas Lereng

Kelas lereng yang mendominasi kabupaten Bogor adalah kelas A, yaitu selang antara 0-3% (datar) dengan luasan 95.074,22 ha (31,92 % dari luasan kabupaten Bogor). Sebaran titik pengamatan daerah Bogor terdapat pada kelas lereng 0-3% (datar), 3-8% (landai/berombak), dan 8-15% (agak miring/bergelombang). Sebaran kelas lereng akan disajikan pada Gambar 5 dan data sebaran kemiringan lereng pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran 3.

4.1.4 Ketinggian

Daerah penelitian Bogor dominan memiliki ketinggian 0-300 mdpl yang berada pada bagian utara Bogor. Ketinggian 0-300 mdpl ini berada dekat dengan Provinsi DKI Jakarta yang memiliki formasi-formasi alluvium, sehingga ketinggian semakin menurun. Makin ke bagian selatan ketinggian akan semakin meningkat yaitu daerah yang berbatasan dengan daerah Sukabumi. Ketinggian pun meningkat pada bagian selatan yang mengarah ke daerah Puncak dimana lokasi dekat dengan Gunung Pangrango. Ketinggian daerah Bogor disajikan pada Gambar 6 dan data sebaran ketinggian pada titik pengamatan akan disajikan pada Lampiran 3.


(35)

(36)

(37)

(38)

(39)

(40)

4.2 Sukabumi

Sukabumi dengan luas total 372.362,051 ha terdiri dari 56 kecamatan yang tersebar di kotamadya dan kabupaten. Kabupaten memiliki jumlah kecamatan sebanyak 49 dengan luasan 367.668,602 ha, sedangkan kotamadya memiliki 7 kecamatan dengan luasan 4.693,449 ha. Pengamatan yang dilakukan di Sukabumi terdiri dari 4 titik yang tersebar di Kabupaten Sukabumi. Sebaran titik pengamatan yaitu 1 titik di Kecamatan Cicurug, 1 titik di Kecamatan Parungkuda, dan 2 titik di Kecamatan Cibadak. Data koordinat lokasi ditampilkan pada Lampiran 5 dan Gambar 7.

4.2.1 Formasi Geologi

Formasi geologi Sukabumi didominasi oleh formasi tersier batu pasir tufan berselingan dengan konglomerat batugamping dan tufa dasit yang mengandung batubara, disajikan pada Gambar 8. Menurut Effendi et al. (1998) secara stratigrafis, batuan tertua di daerah Sukabumi adalah Formasi Walat yang disusun oleh batupasir kuarsa berlapisan silang, konglomerat kerakal kuarsa, batulempung karbonan, dan lapisan tipis-tipis batubara; ke atas ukuran butir bertambah kasar; tersingkap di Gunung Walat dan sekitarnya. Umur satuan ini diduga Oligosen Awal. Di atasnya secara selaras diendapkan Formasi Batuasih yang terutama terdiri atas batulempung napalan hijau dengan konkresi pirit. Di beberapa tempat mengandung banyak fosil foraminifera besar dan kecil yang diduga berumur Oligosen Akhir. Tebal satuan ini mencapai 200 m, dan tersingkap baik di Kampung Batuasih. Selanjutnya, diendapkan Formasi Rajamandala yang disusun oleh napal tufan, lempung napalan, batupasir, dan lensa-lensa batugamping mengandung fosil Globigerina oligocaenica, Globigerina praebulloides, Orbulina, Lepidocyclina, dan Spiroclypeus yang memberikan informasi kisaran umur Oligosen Akhir - Miosen Awal. Formasi ini menindih secara tak selaras Formasi Batuasih dengan tebal sekitar 1.100 m. Anggota Batugamping Formasi Rajamandala yang terdiri atas batugamping terumbu koral dengan sejumlah fosil Lithothamnium, Lepidocyclina sumatrensis, dan Lepidocyclina (Eulepidina) ephippiodes, biasanya terdolomitkan. Di atasnya diendapkan Formasi Halang yang terdiri atas Anggota Tuf berupa batupasir tuf dasitan, tuf andesit, dan Anggota Breksi berupa breksi andesit/dasit tufan, batugamping, dan batulempung


(41)

napalan; setempat lapisan batugamping mengandung fosil Trillina howchini, Lepidocyclina brouweri, dan Globorotalia mayeri, yang memberikan indikasi umur Miosen Awal. Anggota ini merupakan bagian pa-ling bawah Formasi Jampang yang menindih secara selaras Formasi Rajamandala. Selanjutnya, ke arah atas terdapat batuan Gunung Api Tua yang terdiri atas: (1) Batuan Gunung Api Pangrango, endapan lebih tua, lahar, dan lava serta basal andesit, dan (2) Breksi Gunung Api, breksi bersusunan andesit – basal, setempat aglomerat, lapuk.

Titik-titik pengamatan terdapat pada formasi Walat (Tow), anggota batu gamping formasi Rajamandala (Toml), breksi gunung api, breksi dengan kandungan tuff (Qvt), endapan lebih tua, lahar dan lava (Qvpy). Data sebaran formasi geologi pada titik pengamapatan ditampilkan pada Lampiran 5.

4.2.2 Jenis Tanah

Jenis tanah yang tersebar di daerah Sukabumi sangat beragam. Kompleks mediteran coklat kemerahan dan litosol merupakan tanah yang paling mendominasi daerah Sukabumi dengan luasan 56.870,447 ha (meliputi 13,51% dari total wilayah) yang berada di bagian utara. Pengamatan yang dilakukan di Sukabumi berada di bagian utara daerah Sukabumi. Titik pengamatan tersebar pada 3 tipe tanah, yaitu tanah kompleks grumusol, regosol dan mediteran, tanah latosol coklat kemerahan, dan tanah asosiasi latosol coklat dan regosol kelabu. Sebaran tanah daerah Sukabumi ditampilkan pada Gambar 9 dan data sebaran tanah pada titik pengamatan pada Lampiran 5.

4.2.3 Kelas Lereng

Sukabumi memiliki kondisi lereng yang paling dominan pada selang 3-8% (landai/berombak), dengan luasan 119.118,823 ha (28,30%) dari luasan daerah Sukabumi). Daerah yang memilki kelas lereng 0-3% (landai) tersebar dibagian tenggara daerah Sukabumi. Kelas lereng 8-15% (agak miring/bergelombang) tersebar di bagian tengah dan sedikit dibagian utara. Kelas lereng 25-40% (agak curam) dan >40% (curam) tersebar di bagian barat laut daerah Sukabumi. Bagian timur laut didominasi oleh lereng dengan kelas 15-25 % (miring/berbukit). Data sebaran kelas lereng ditampilkan pada Lampiran 5.


(42)

4.2.4 Ketinggian

Pada bagian utara daerah Sukabumi memiliki ketinggian yang cukup tinggi, karena berdekatan dengan lokasi Gunung Pangrango. Sedangkan semakin ke selatan daerah semakin rendah. Bagian selatan daerah Sukabumi berbatasan dengan Pantai Selatan. Sebaran ketinggian daerah Sukabumi ditampilkan pada Gambar 10. Daerah Sukabumi didominasi oleh daerah yang landai dan berombak, dengan luasan 160.404,85 ha (38,13% dari luasan wilayah) bagian dari Plateau Jampang. Tabel sebaran ketinggian ditampilkan pada Lampiran 5.


(43)

(44)

(45)

(46)

(47)

4.3 Karawang

Kabupaten Karawang terletak di bagian utara propinsi Jawa Barat. Secara geografis, letaknya berada diantara 107003’15” - 107040’00”BT dan 05052’30” - 6034’30”LS. Kabupaten Karawang memiliki cakupan wilayah seluas 1.753,27 km2 atau 3,73 % dari luas Propinsi Jawa Barat. Kabupaten Karawang merupakan salah satu daerah yang memiliki lahan yang cukup subur di Jawa Barat. Sebagian besar lahannya digunakan untuk pertanian. Pengamatan yang dilakukan di Kabupaten Karawang terdiri dari 3 titik, yaitu yang berada di Kecamatan Telukjambe. Penyebaran titik pengamatan akan ditampilkan pada Gambar 11 dan Lampiran 7.

4.3.1 Formasi Geologi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Karawang daerah Kabupaten Karawang sebagian besar terbentuk dari formasi geologi Kuarter yang berupa endapan dataran banjir dan susunan batupasir bernapal dan konglomerat. Hanya sebagian kecil saja yang merupakan formasi geologi Tersier.

Bagian utara yang merupakan bagian terbesar dari daerah Kabupaten Karawang terutama terbentuk dari endapan Kuarter yang merupakan endapan dataran banjir (Qaf) bersusunan batupasir berliat dan batuliat berpasir. Pada daerah yang lebih sempit, yaitu di daerah dekat pantai, batuannya terbentuk dari endapan pantai (Qac) dengan susunan batupasir dan batuliat, serta terbentuk dari endapan laut dangkal (Qnd) tersusun dari pasir, liat, dan debu. Daerah sempit yang memanjang sejajar pantai merupakan endapan pematang pantai (Qbr).

Wilayah Kabupaten Karawang di bagian barat daya terutama terbentuk dari formasi geologi Tersier yang tersusun dari batupasir, batuliat, dan batugamping berpasir dari Formasi Subang (Tms dan Tmst). Pada daerah yang lebih sempit, terbentuk batugamping klastik dan batugamping terumbu dari Formasi Parigi (Tmp) serta batuliat bergamping dengan sisipan batugamping berpasir dari Formasi Jatiluhur (Tmj). Pada daerah yang berbatasan dengan daerah tersier terbentuk dari endapan tua (Qoa) yang tersusun dari batupasir berkonglomerat, batuliat, dan batupasir.

Bagian tenggara terutama terbentuk dari formasi geologi yang lebih muda berupa endapan volkanik yang tersusun dari batupasir bertufa. Konglomerat dan


(48)

breksi (Qav). Sebaran formasi geologi disajikan pada Gambar 12 dan data penyebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran 7.

4.3.2 Jenis Tanah

Tanah di Kabupaten Karawang dapat dikelompokkan kedalam 33 sub-grup tanah. Jenis tanah vertic tropaquept merupakan tanah yang mendominasi daerah Karawang, dengan luasan 63.522 ha (38,56% dari luasan daerah Karawang) di bagian utara Karawang. Peta penyebaran tanah ditampilkan pada Gambar 13 dan data penyebarannya disajikan pada Lampiran 7.

4.3.3 Kelas Lereng

Daerah Karawang yang memiliki kemiringan lahan 0-3%, meliputi areal 83,52% yang berada di Kecamatan Batujaya, Pedes, Rawamerta, Lemahabang, Tempuran, Cilamaya, Cikampek, Jatisari, Klari (sebagian Karawang, Rengasdengklok, Telagasari, dan sebagian Telukjambe). Wilayah yang berlereng 3-8%, meliputi areal 8,93% dari luas Kabupaten Karawang, terletak di Kecamtan Cikampek, sebagian Klari, dan Telukjambe. Wilayah yang berlereng 15-40%, kurang lebih 10,94% dari luas wilayah Kabupaten, berada di Kecamatan Cikampek, Klari, Telukjambe dan Pangkalan. Wilayah yang berlereng lebih dari 40% hanya sebagian kecil yaitu kurang dari 2,59% dari seluruh luas Kabupaten yaitu berada di Kecamatan Telukjambe dan Pangkalan. Data penyebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran 7.

4.3.4 Ketinggian

Ketinggian Karawang berada pada kisaran 0-175 mdpl. Ketinggian antara 0-12,5 mdpl mendominasi bagian utara daerah Karawang dengan luasan 161.270,90 ha (84,2 % dari luasan Karawang). Bagian utara daerah Karawang berdekatan dengan Laut Jawa sehingga cenderung rendah. Semakin ke selatan, ketinggian semakin meningkat. Titik pengamatan tersebar pada ketinggian antara 0-37,5 mdpl. Sebaran ketinggian ditampilkan pada Gambar 14 dan sebaran pada titik pengamatan disajikan pada Lampiran 7.


(49)

(50)

(51)

(52)

(53)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Budidaya Singkong

Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Karawang merupakan wilayah yang dijadikan sebagai lokasi penelitian. Ketiga lokasi tersebut dipilih karena memiliki lahan pertanian yang ditanami singkong. Singkong ditanam oleh penduduk untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Berdasarkan hasil survey, lokasi Bogor merupakan lokasi yang paling mudah dalam menemukan lahan singkong. Di daerah Karawang cenderung sulit dalam menemukan lahan singkong, hal ini dikarenakan daerah Karawang didominasi oleh lahan sawah.

Singkong yang ditanam di ketiga daerah tersebut cenderung berada di tanah yang gembur. Jenis yang ditanam para petani adalah jenis singkong lokal. Jenis singkong yang didapatkan di daerah Bogor adalah Manggu, Kuru, Adira, Hiris, Roti, Hijau, Belitung, Tambilung, Putih, Kuning, dan Mentega. Di daerah, Karawang, jenis singkong yang ditemukan adalah Rema, Perelek, dan Putih. Di daerah Sukabumi terdapat singkong jenis Manggu dan Lampining. Singkong cenderung ditanam di lokasi yang datar dan beberapa diberi guludan, sedangkan yang ditanam di lahan yang miring, para petani membuat teras bangku. Jarak tanam yang digunakan oleh para petani cenderung seragam, yaitu ± 100X100 cm. Perlakuan yang diberikan pada singkong berbeda di setiap daerah. Di daerah Bogor, kebanyakan petani menggunakan pupuk kandang seperti kotoran sapi dan kambing ditambah dengan pupuk kimia seperti Urea, Ponska, dan TSP, tetapi ada juga beberapa petani yang memilih untuk tidak memberi pupuk sedikitpun. Lahan singkong yang berada di daerah Karawang sebagian besar tidak diberi pupuk. Pemupukan untuk lahan singkong daerah Sukabumi dilakukan dengan pemberian pupuk kandang pada awal penanaman dan selanjutnya diberikan pupuk kimia, seperti Urea. Panen yang dilakukan di ketiga daerah penelitian tersebut sebagian besar dilakukan pada umur singkong 8-9 bulan. Produksi singkong pada umur tanaman siap panen mencapai nilai rata-rata 33,4 ton/ha.


(54)

5.2 Produksi Singkong Teraan

Sampel yang diambil di lapang memiliki umur yang beragam. Untuk menghilangkan pengaruh faktor umur terhadap produksi singkong maka produksi singkong harus ditera terhadap umur. Peneraan dilakukan agar produksi singkong yang satu dapat dibandingkan dengan produksi singkong yang lainnya (Gambar 15).

Gambar 15. Hubungan umur dengan produksi singkong

Walaupun koefisien determinan R2sangat kecil namun cenderung produksi

singkong dipengaruhi oleh umur. Dengan menggunakan persamaan Ý = -1,221x2 + 23,56x - 75,94 pada produksi singkong, maka akan didapatkan produksi singkong tera berdasarkan rumus:

Yti = 33,24 + (Yi – (-1,221x2 + 23,56x - 75,94)

Keterangan:

Yti = Produksi teraan ke- i

Yi = Produksi aktual pada umur ke- i x = Umur (bulan)

Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian lahan, maka selang produksi singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah ≥80% dari produksi singkong teraan maksimum (75 ton/ha) yaitu ≥60 ton/ha, kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi singkong teraan maksimum atau 45-60 ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari produksi singkong teraan maksimum atau antara 18,75-45 ton/ha, dan kelas N (tidak sesuai) mempunyai selang produksi ≤25% dari produksi singkog teraan maksimum atau

y = -1,221x2+ 23,56x - 75,94

R² = 0,132

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90

4 6 8 10 12

pr

odu

ks

i s

ingk

ong

(t

on/

ha

)


(55)

≤18,75 ton/ha. Data produksi singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23.

Tabel 4. Sekat produksi singkong untuk kelas kesesuaian lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Singkong

Ton/ha Persentase (%) Sangat sesuai/Cukup sesuai S1/S2 60 80

Cukup sesuai/Sesuai marjinal S2/S3 45 60 Sesuai marjinal/Tidak sesuai S3/N 18,75 25

5.3 Produksi Pati Singkong Teraan

Bagian dari singkong yang dijadikan sebagai bahan dasar bioenergi adalah pati. Untuk menilai hubungan antara produksi singkong yang akan digunakan sebagai bahan dasar bioenergi dengan kualitas lahan maka digunakan produksi pati singkong. Sama halnya dengan studi lapang produksi singkong, agar dapat dibandingkan satu sama lain, maka produksi pati singkong harus ditera terlebih dahulu dengan umur.

Hubungan produksi pati singkong dengan umur disajikan pada Gambar 16. Walaupun koefisien determinan R2 sangat kecil namun cenderung produksi pati

singkong dipengaruhi oleh umur. Produksi pati singkong ditera dengan umur dengan menggunakan persamaan Ý = -0,088x2 + 1,873x – 7,759 dan rumus Yteraan = Ÿ + ( Yi – Ý), maka akan didapatkan produksi pati singkong yang bebas dari pengaruh umur sehingga dapat dibandingkan dengan kualitas lahan.

Gambar 16. Hubungan umur dengan produksi pati singkong

Dalam menentukan kualitas lahan yang dipersyaratkan untuk kesesuaian lahan, maka selang produksi pati singkong untuk kelas S1 (sangat sesuai) adalah

y = -0,088x2+ 1,873x - 7,759

R² = 0,127

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9

4 6 8 10 12

Pr od uks i pat i s ingk ong (t on/ ha ) umur (bulan)


(56)

≥80% dari produksi pati singkong teraan maksimum (7,29 ton/ha) yaitu ≥5,83 ton/ha , kelas S2 (cukup sesuai) adalah 60-80% dari produksi pati singkong teraan maksimum atau 4,37-5,83 ton/ha, kelas S3 (sesuai marginal) adalah 25-60% dari produksi pati singkong teraan maksimum atau antara 1,82-4,37 ton/ha, dan kelas N (tidak sesuai) mempunyai selang produksi ≤25% dari produksi pati singkog teraan maksimum atau ≤1,82 ton/ha. Data produksi pati singkong teraan maksimum disajikan pada Lampiran 23.

Tabel 5. Sekat produksi pati singkong untuk kelas kesesuaian lahan

Kelas Kesesuaian Lahan Produksi Pati Singkong Ton/ha Persentase (%) Sangat sesuai/Cukup sesuai S1/S2 5,83 80

Cukup sesuai/Sesuai marjinal S2/S3 4,37 60 Sesuai marjinal/Tidak sesuai S3/N 1,82 25

5.4 Penetapan Kriteria Kesesuaian Lahan Berdasarkan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong

Penetapan kriteria kesesuaian lahan ditentukan berdasarkan hubungan antara karakteristik lahan dengan produksi singkong dan produksi pati singkong. Beberapa karakteristik lahan yang digunakan untuk penetapan kelas kesesuaian lahan adalah temperatur, media perakaran, retensi hara, kondisi terrain, dan toksisitas.

5.4.1 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Elevasi

Penentuan kriteria kesesuaian lahan untuk temperatur menggunakan pendekatan elevasi. Hal ini dikarenakan adanya hubungan antara elevasi dan temperatur, semakin tinggi lokasi (elevasi) maka semakin rendah temperatur di lokasi tersebut. Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan elevasi disajikan pada Gambar 17.Dengan memproyeksikan titik potong sekat produksi dengan garis batas pada sumbu X (karakteristik lahan), maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk elevasi yaitu :


(57)

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi adalah berbanding terbalik. Hal ini dikarenakan pengaruh elevasi terhadap produksi adalah negatif. Nilai elevasi maksimum yang didapatkan di lapang yaitu 890 mdpl dan elevasi minimum 56 mdpl. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Selang nilai elevasi untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang nilai elevasi (mdpl) berdasarkan produksi

singkong

Selang nilai elevasi (mdpl) berdasarkan produksi pati

singkong

S1 < 497,25 <490,25

S2 497,25–714,64 490,25-672,75

S3 714,64 – 1095,07 672,75-991,5

N >1095,07 >991,5

Gambar 17. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan elevasi

5.4.2 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Media Perakaran

Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan tekstur ditunjukan pada Gambar 18. Dengan menggunakan metode yang sama pada penentuan elevasi maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk tekstur liat yaitu :

y-left =1,139x + 14,09 dan y-right = -0,001x2 - 0,879x + 121,8 dan

y-left = 0,154x – 0,887 dan y-right = -0,000x2 – 0,059x + 11,84

y = -0,069x + 94,31 R² = 0,946

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 250 500 750 1000

P roduk s i s ingk ong te ra an ( ton/ ha ) Elevasi (mdpl)

y = -0,008x + 9,752 R² = 0,971

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 250 500 750 1000

Pr o duk si pa ti si ngk ong t e ra a n (to n/ ha) Elevasi (mdpl)


(58)

Persamaan produksi singkong tera dan pati singkong tera untuk tekstur pasir yaitu:

y-left = 0,150x2 - 0,217x + 43,86 dan y-right = -0,980x + 89,81 dan

y-left = -0,011x2 + 0,667x - 0,217 dan y-right = -0,132x + 9,284

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur adalah parabola. Hal ini dikarenakan tekstur memiliki titik optimum. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 7, Tabel 8, dan hasil overlay dari segitiga tekstur disajikan pada Table 9.

Tabel 7. Selang kadar liat untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi singkong

Selang kadar liat (%) berdasarkan produksi pati singkong

S1 40,31-65,44 17,32-32,1

S2 65,44-80,08 atau 27,14-40,31 22,62-32,1 atau 17,32-21,53 S3 80,08-100 atau 4,09-27,14 6,06- 22,62 atau 21,53- 28,88

N <4,09 <6,06 atau >28,88

Tabel 8. Selang kadar pasir untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang kadar pasir (%) berdasarkan produksi singkong

Selang kadar pasir (%) berdasarkan produksi pati

singkong

S1 9,67-30,52 11,1-26,17

S2 2,13-9,67 atau 30,52-45,83 26,17-37,23 atau 7,91-11,1 S3 45,83-72,61 atau <2,13 37,23-56,55 atau 3,23-7,91

N >72,61 >56,55 atau <3,23

Tabel 9. Selang kelas tekstur untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Kelas tekstur berdasarkan produksi singkong

Kelas tekstur berdasarkan produksi pati singkong S1 Liat dan liat berdebu Lempung berdebu dan lempung

berliat S2 Lempung liat berdebu, liat

berpasir, dan lempung berliat

Lempung dan lempung liat berdebu

S3 Lempung berpasir, lempung liat berpasir, lempung, dan lempung

berdebu

Lempung berpasir, debu, dan lempung liat berpasir N Pasir, pasir berlempung dan

debu

Pasir berlempung, pasir, liat, liat berpasir, dan liat berdebu


(59)

Gambar 18. Hubungan antara produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan tekstur.

5.4.3 Hubungan Produksi Singkong dan Produksi Pati Singkong dengan Retensi Hara

Hubungan antara produksi singkong dan produksi pati singkong dengan beberapa aspek dari retensi hara yaitu pH tanah, C-organik, kapasitas tukar kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB) disajikan pada Gambar 19, Gambar 20, Gambar 21, dan Gambar 22. Dengan metode yang sama pada penentuan elevasi, maka didapatkan persamaan produksi singkong tera dan produksi pati singkong tera untuk pH yaitu :

y-left = 540,8ln(x) - 793,0 dan y-right = -450ln(x) + 802,3 dan

y-left = -30,57x2 + 308,3x – 769,6 dan y-right = -24,9x + 138,2

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan pH adalah parabola. Hal ini dikarenakan pH

y = 1,139x + 14,09 R² = 0,845 y = -0,001x2- 0,879x + 121,8

R² = 0,993

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 25 50 75 100

P roduk s i s ingk ong te ra an ( ton/ ha ) liat (%)

y = 0,154x - 0,887 R² = 0,869 y = -0,000x2- 0,059x + 11,84

R² = 1

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 25 50 75 100

P roduk s i pa ti s in g ko ng te ra a n (t on/ ha ) liat (%)

y = 0,150x2- 0,217x + 43,86

R² = 1

y = -0,980x + 89,81 R² = 1

0 10 20 30 40 50 60 70 80

0 10 20 30 40 50

pr od uk si si ng kon g t e ra a n (to n/ ha) Pasir (%)

y = -0,011x2+ 0,667x - 0,217

R² = 1

y = -0,132x + 9,284 R² = 1

0 1 2 3 4 5 6 7 8

0 10 20 30 40 50

Pr o duk si pa ti si ngk ong t e ra a n (to n/ ha) Pasir (%)


(60)

memiliki titik optimum. Nilai pH maksimum yang didapatkan yaitu 6,8 dan pH minimum 4,6. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Selang nilai pH untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang nilai pH berdasarkan produksi singkong

Selang nilai pH berdasarkan produksi pati singkong

S1 4,84 – 5,2 4,79 – 5,31

S2 4,71-4,84 atau 5,2-5,38 4,71-4,79 atau 5,31-5,37 S3 4,49-4,71 atau 5,38-5,7 4,6-4,71 atau 5,37-5,48

N <4,49 atau >5,7 < 4,6 atau > 5,48

Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk C-organik yaitu :

y = -17,00x2 + 87,53x - 26,09 dan y= -0,558x2 + 7,362x - 3,882

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan C-organik adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh C-organik terhadap produksi adalah positif. Nilai C-organik maksimum yang didapatkan yaitu 3,03% dan C-organik minimum 0,6%. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Selang nilai C-organik untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang nilai C-organik (%) berdasarkan produksi

singkong

Selang nilai C-organik (%) berdasarkan produksi pati

singkong

S1 >1,32 >1,33

S2 1,01-1,32 1,13-1,33

S3 <1,01 <1,13

N - -

Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk KTK yaitu :

y = 20,80x - 221,6 dan y = 3,018x - 35,75

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KTK adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh KTK terhadap produksi adalah positif. Nilai KTK


(61)

maksimum yang didapatkan yaitu 19,05 (cmol (+) kg-1) dan KTK minimum 12,63 (cmol (+) kg-1). Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Selang nilai KTK untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang KTK (cmol (+) kg-1) berdasarkan produksi

singkong

Selang nilai KTK (cmol (+) kg-1) berdasarkan produksi

pati singkong

S1 >13,54 >13,78

S2 12,82-13,54 13,29-13,78

S3 <12,82 <13,29

N - -

Persamaan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan untuk KB yaitu :

y = -0,073x2 + 7,970x – 144,4 dan y = 0,374x - 9,783

Pola yang didapatkan dari hubungan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan dengan KB adalah berbanding lurus. Hal ini dikarenakan pengaruh KB terhadap produksi adalah positif. Nilai KB maksimum yang didapatkan yaitu 70,50% dan KB minimum 23,91%. Selang nilai karakteristik lahan yang didapat akan disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Selang nilai KB untuk berbagai kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong dan produksi pati singkong

Kelas kesesuaian

Selang nilai KB (%) berdasarkan produksi

singkong

Selang nilai KB (%) berdasarkan produksi pati

singkong

S1 >41,17 >41,75

S2 34,96-41,17 37,84-41,75

S3 <34,96 <37,84


(1)

5.5 Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Singkong

Produksi Singkong. Berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang yang telah diperoleh, maka dapat disusun kriteria kesesuaian lahan seperti yang disajikan pada Tabel 16.

Tabel 16. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong Kualitas lahan

Kelas kesesuaian lahan Sangat sesuai

(S1)

Cukup sesuai (S2)

Sesuai marjinal (S3)

Tidak sesuai (N) Temperatur (t)

-Elevasi (mdpl) <497,25 497,25- 714,64 714,64-1095,07 >1095,07

Media Perakaran (r)

- Tekstur C dan SiC SiCL, SC, dan

CL

SL, SCL, L, dan SiL

S, Si, dan LS Retensi Hara (f)

- KTK tanah (cmol (+) kg-1)

-KB (%)

-pH (H2O)

-C-organik (%)

>13,54 >41,17 4,84-5,2

>1,32

12,82- 13,54 34,96-41,17 4,71-4,84

5,2-5,38 1,01-1,32

<12,82 <34,96 4,49-4,71

5,38-5,7 <1,01

- - <4,49

>5,7 - Toksisitas (x)

- Kejenuhan Al (cmol (+)

kg-1)

<3,79 3,79-7,11 >12,91 -

Kondisi terrain (m)

- Lereng (%) <15,57 15,57-28,15 28,15-50,15 >50,15

Keterangan:

C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam);

pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir;

SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu.


(2)

Produksi Pati Singkong. Berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang yang telah diperoleh, maka dapat disusun kriteria kesesuaian lahan seperti pada Tabel 17.

Tabel 17. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati singkong

Kualitas lahan

Kelas kesesuaian lahan Sangat sesuai

(S1)

Cukup sesuai (S2)

Sesuai marjinal (S3)

Tidak sesuai (N) Temperatur (t)

-Elevasi (mdpl) <490,25 490,25-672,75 672,75-991,5 >991,5

Media Perakaran (r)

- Tekstur SiL dan CL L dan SiCL SL, Si dan SCL LS, S, C, SC, dan

SiC Retensi Hara (f)

-KTK tanah (cmol (+) kg-1)

-KB (%)

-pH (H2O)

-C-organik (%)

>13,78 >41,75 4,79-5,31

>1,33

13,29-13,78 37,84-41,75 4,71-4,79 5,31-5,37 1,13-1,33

<13,29 <37,84 4,6-4,71 5,37-5,48

<1,13

- - <4,6 >5,48

- Toksisitas (x)

- Kejenuhan Al (cmol (+)

kg-1)

<3,01 3,01-5,55 >5,55 -

Kondisi terrain (m)

- Lereng (%) <12,42 12,42-21,84 21,84-38,29 >38,29

Keterangan:

C = Clay; L = Loam; S = pasir (Sand); Si = debu (Silt), SL = lempung berpasir (Sandy loam);

pasir berlempung (Loamy Sand); SC = liat berpasir (Sandy Clay); SCL = Lempung Liat Berpasir;

SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu.

Berdasarkan dua kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat (Tabel 16 dan Tabel 17), dapat diketahui bahwa antara kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi singkong dan berbasis produksi pati singkong menunjukkan batas-batas kelas kesesuaian yang relatif sama. Hal ini berarti antara produksi singkong dan produksi pati singkong memiliki keterkaitan.

5.6 Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong

Setelah didapatkan kriteria kesesuaian lahan tanaman singkong yang baru, maka data tersebut dapat diaplikasikan kedalam peta. Untuk mengetahui perbedaan dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya oleh Badan Litbang Deptan (2000) berdasarkan sifat tanah yang relatif, maka pada Gambar 25 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi dan pada Gambar 26 akan disajikan


(3)

peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan (2000).

Gambar 25. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi

Gambar 26. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan

Kedua peta di atas memperlihatkan adanya perbedaan. Pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria baru didominasi oleh kelas S1 di bagian utara disusul dengan kelas N(m) yang artinya lokasi tersebut tergolong kelas N dengan faktor pembatas lereng, sedangkan pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria


(4)

Badan Litbang Deptan didominasi oleh kelas S3(oa) yang artinya lokasi tersebut tergolong kelas S3 dengan faktor pembatas drainase. Perbedaan yang diperlihatkan oleh kedua peta tersebut diakibatkan kriteria kesesuaian lahan baru belum mencakup seluruh kualitas lahan dan karakteristik lahan yang mempengaruhi produktifitas tanaman singkong. Adanya beberapa data yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria yang baru menjadi salah satu alasan terjadinya perbedaan diantara kedua peta tersebut. Tidak dijumpainya karakteristik lahan di lapang mengakibatkan data tersebut tidak dapat dimasukkan dalam kriteria yang baru. Data drainase merupakan salah satu data yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria lahan yang baru.

5.7 Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria Karakteristik Lahan dan Kriteria Produksi

Setelah dibuat kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi, maka akan diterapkan pada sampel bogor. Hasil pengkelasan kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik lahan akan dicoba untuk dibandingkan dengan kelas kesesuaian berdasarkan produksi.

Tabel 18. Data kelas kesesuaian sampel Bogor berdasarkan produksi singkong dan karakteristik lahan

Kode Kecamatan Desa

Produksi Singkong teraan (ton/ha) Elevas i (mdpl) Le

reng (%) Tekstur pH

A l (cmo l (+ ) kg -1 ) C-org a ni k (%) KTK (cmol (+) kg -1) KB (%) Kelas kes e suaian lah a n ber d asa rkan p ro d u k si si ngko ng Kel as keses u ai a n l a han ber das ar ka n kara kteri sti k l a han

B3 Sukaraja Sukatani 25,08 277 3 C 4,8 4,16 1,83 17,15 41,22 S3 S2 B4 Bogor Timur Katulampa 53,64 575 3 SiC 4,7 5,2 1,67 16 38,38 S2 S2 B5 Babakan Madang Cijayanti 29,84 321 3 C 4,8 4,02 1,6 12,84 43,46 S3 S2 B6 Dramaga Cikarawang 34,84 384 3 C 5 2,62 0,83 14,48 31,08 S3 S3 B7 Dramaga Alamsinarsari 48,84 260 13 C 5,1 2,18 1,6 15,81 46,74 S2 S2 B8 Cisarua Cisarua 39,80 181 5 L 5,4 0,56 3,03 19,05 46,98 S3 S2 B9 Megamendung Cidokom 27,09 231 3 L 5,1 1,84 2,15 16 70,5 S3 S2

Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi (Tabel 16) dan data pada Tabel 18, dapat dilihat singkong dengan kode sampel B3 memiliki faktor pembatas berupa pH dan Al sehingga sampel ini masuk kedalam kategori


(5)

kesesuaian lahan aktual S2fx. Apabila dilakukan usaha perbaikan berupa pemupukan dan pengapuran, maka kesesuaian lahan potensial menjadi S1.

Kode sampel B4 memiliki faktor pembatas berupa tekstur, Al, pH, dan KB sehingga sampel ini masuk kedalam kategori kesesuaian lahan aktual S2rfx. Usaha perbaikan dapat dilakukan terhadap kesuburan tanah, tetapi tekstur tidak dapat diperbaiki, sehingga sampel ini termasuk kesesuaian lahan potensial kelas S2r.

Kode sampel B5 memiliki faktor pembatas berupa KTK dan Al. Hasil evaluasi lahan akhir diperoleh kesesuaian aktual termasuk kelas S2fx. Usaha perbaikan dapat dilakukan terhadap retensi hara/kesuburan tanah. Apabila dilakukan usaha perbaikan berupa pemupukan dan pengapuran, maka kesesuaian lahan potensial menjadi S1.

Sampel B6 memiliki faktor pembatas berupa C-organik. Kesesuaian lahan aktual termasuk dalam kelas S3f. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan adalah perbaikan kesuburan tanah, sehingga kesesuaian lahan potensial menjadi S2. Sampel B7 tidak memiliki faktor pembatas, sehingga kesesuaian lahan aktualnya adalah S1.

B8 memiliki faktor pembatas berupa pH. Hasil evaluasi lahan akhir diperoleh kesesuaian lahan aktual termasuk kelas S3f. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan berupa perbaikan retensi hara/kesuburan tanah dan pengapuran dapat merubah kesesuaian menjadi S2. Sampel B9 memiliki faktor pembatas tekstur sehingga kelas kesesuaian lahan termasuk S2r dan tidak dapat diperbaiki.

Penentuan kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong sebagaimana disajikan pada Tabel 18 dan mengacu pada Tabel 4. menunjukkan bahwa sampel B3 memiliki produksi 25,08 ton/ha, sehingga termasuk kelas S3. Sampel B4 dan B7 memiliki produksi 53,64 dan 48,84 ton/ha sehingga termasuk kelas S2. Sampel B5, B6, B8 dan B9 memiliki produksi 29,84; 34,84; 39,8 dan 27,09 ton/ha sehingga termasuk kelas S3.

Apabila dibandingkan antara penentuan kelas berdasarkan kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong (Tabel 16) dengan penentuan sekat produksi singkong (Tabel 4) dapat dilihat pada sampel B3 adalah tidak sejalan. Sampel ini menunjukkan bahwa produksi termasuk dalam kelas S3,


(6)

sedangkan sebelumnya kesesuaian lahan berdasarkan Tabel 16 menunjukkan kelas S2. Seperti pada sampel B3, pada sampel B7 produksi menunjukkan kelas S2 sedangkan kesesuaian lahan berdasarkan Tabel 16 menunjukkan kelas S1.

Pada sampel B4 kelas kesesuaian berdasarkan produksi dan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan menunjukkan kelas yang tetap pada kelas S2. Sama halnya dengan sampel B4, sampel B6 dan B8 pun memiliki kesesuaian lahan yang sama antara produksi dan karakteristik lahan yaitu S3. Sampel B5 dan B9 memiliki kesesuaian lahan yang tidak sejalan, karena produksi menunjukkan kelas S3 sedangkan karakteristik lahan pada kelas S2. Hal ini dikarenakan ada beberapa karakteristik lahan yang tidak dapat dirubah. Salah satu alasan pengkelasan berdasarkan produksi lebih rendah dibanding pengkelasan berdasarkan kualitas lahan adalah dimungkinkan adanya hama atau keadaan alam yang tidak dapat dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kelas kesesuaian lahan yang dibuat berdasarkan tiga lokasi yaitu Bogor, Sukabumi, dan Karawang masih perlu dilengkapi dengan karakteristik lahan yang lebih beragam.