Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria

Produksi Pati Singkong. Berdasarkan persyaratan tumbuh dan studi lapang yang telah diperoleh, maka dapat disusun kriteria kesesuaian lahan seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi pati singkong Kualitas lahan Kelas kesesuaian lahan Sangat sesuai S1 Cukup sesuai S2 Sesuai marjinal S3 Tidak sesuai N Temperatur t - Elevasi mdpl 490,25 490,25-672,75 672,75-991,5 991,5 Media Perakaran r - Tekstur SiL dan CL L dan SiCL SL, Si dan SCL LS, S, C, SC, dan SiC Retensi Hara f - KTK tanah cmol + kg -1 - KB - pH H2O - C-organik 13,78 41,75 4,79-5,31 1,33 13,29-13,78 37,84-41,75 4,71-4,79 5,31-5,37 1,13-1,33 13,29 37,84 4,6-4,71 5,37-5,48 1,13 - - 4,6 5,48 - Toksisitas x - Kejenuhan Al cmol + kg -1 3,01 3,01-5,55 5,55 - Kondisi terrain m - Lereng 12,42 12,42-21,84 21,84-38,29 38,29 Keterangan: C = Clay; L = Loam; S = pasir Sand; Si = debu Silt, SL = lempung berpasir Sandy loam; pasir berlempung Loamy Sand; SC = liat berpasir Sandy Clay; SCL = Lempung Liat Berpasir; SiCL = Lempung Liat Berdebu; CL = Lempung Berliat; SiC = Liat Berdebu; SiL = Lempung berdebu. Berdasarkan dua kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat Tabel 16 dan Tabel 17, dapat diketahui bahwa antara kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi singkong dan berbasis produksi pati singkong menunjukkan batas-batas kelas kesesuaian yang relatif sama. Hal ini berarti antara produksi singkong dan produksi pati singkong memiliki keterkaitan.

5.6 Peta Kesesuaian Lahan Tanaman Singkong

Setelah didapatkan kriteria kesesuaian lahan tanaman singkong yang baru, maka data tersebut dapat diaplikasikan kedalam peta. Untuk mengetahui perbedaan dengan kriteria kesesuaian lahan yang telah dibuat sebelumnya oleh Badan Litbang Deptan 2000 berdasarkan sifat tanah yang relatif, maka pada Gambar 25 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi dan pada Gambar 26 akan disajikan peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan 2000. Gambar 25. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi Gambar 26. Peta kesesuaian lahan tanaman singkong berdasarkan kriteria kesesuaian lahan Badan Litbang Deptan Kedua peta di atas memperlihatkan adanya perbedaan. Pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria baru didominasi oleh kelas S1 di bagian utara disusul dengan kelas Nm yang artinya lokasi tersebut tergolong kelas N dengan faktor pembatas lereng, sedangkan pada peta kesesuaian berdasarkan kriteria Badan Litbang Deptan didominasi oleh kelas S3oa yang artinya lokasi tersebut tergolong kelas S3 dengan faktor pembatas drainase. Perbedaan yang diperlihatkan oleh kedua peta tersebut diakibatkan kriteria kesesuaian lahan baru belum mencakup seluruh kualitas lahan dan karakteristik lahan yang mempengaruhi produktifitas tanaman singkong. Adanya beberapa data yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria yang baru menjadi salah satu alasan terjadinya perbedaan diantara kedua peta tersebut. Tidak dijumpainya karakteristik lahan di lapang mengakibatkan data tersebut tidak dapat dimasukkan dalam kriteria yang baru. Data drainase merupakan salah satu data yang tidak dapat dimasukkan dalam kriteria lahan yang baru.

5.7 Perbandingan Data Analisis Sampel Bogor Berdasarkan Kriteria

Karakteristik Lahan dan Kriteria Produksi Setelah dibuat kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi, maka akan diterapkan pada sampel bogor. Hasil pengkelasan kesesuaian lahan berdasarkan karakteristik lahan akan dicoba untuk dibandingkan dengan kelas kesesuaian berdasarkan produksi. Tabel 18. Data kelas kesesuaian sampel Bogor berdasarkan produksi singkong dan karakteristik lahan Kode Kecamatan Desa Produksi Singkong teraan tonha Elevas i mdpl Le reng Tekstur pH A l cmo l + kg -1 C-org a ni k KTK cmol + kg -1 KB Kelas kes e suaian lah a n ber d asa rkan p ro d u k si si ngko ng Kel as keses u ai a n l a han ber das ar ka n kara kteri sti k l a han B3 Sukaraja Sukatani 25,08 277 3 C 4,8 4,16 1,83 17,15 41,22 S3 S2 B4 Bogor Timur Katulampa 53,64 575 3 SiC 4,7 5,2 1,67 16 38,38 S2 S2 B5 Babakan Madang Cijayanti 29,84 321 3 C 4,8 4,02 1,6 12,84 43,46 S3 S2 B6 Dramaga Cikarawang 34,84 384 3 C 5 2,62 0,83 14,48 31,08 S3 S3 B7 Dramaga Alamsinarsari 48,84 260 13 C 5,1 2,18 1,6 15,81 46,74 S2 S2 B8 Cisarua Cisarua 39,80 181 5 L 5,4 0,56 3,03 19,05 46,98 S3 S2 B9 Megamendung Cidokom 27,09 231 3 L 5,1 1,84 2,15 16 70,5 S3 S2 Berdasarkan kriteria kesesuaian lahan berbasis produksi Tabel 16 dan data pada Tabel 18, dapat dilihat singkong dengan kode sampel B3 memiliki faktor pembatas berupa pH dan Al sehingga sampel ini masuk kedalam kategori kesesuaian lahan aktual S2fx. Apabila dilakukan usaha perbaikan berupa pemupukan dan pengapuran, maka kesesuaian lahan potensial menjadi S1. Kode sampel B4 memiliki faktor pembatas berupa tekstur, Al, pH, dan KB sehingga sampel ini masuk kedalam kategori kesesuaian lahan aktual S2rfx. Usaha perbaikan dapat dilakukan terhadap kesuburan tanah, tetapi tekstur tidak dapat diperbaiki, sehingga sampel ini termasuk kesesuaian lahan potensial kelas S2r. Kode sampel B5 memiliki faktor pembatas berupa KTK dan Al. Hasil evaluasi lahan akhir diperoleh kesesuaian aktual termasuk kelas S2fx. Usaha perbaikan dapat dilakukan terhadap retensi harakesuburan tanah. Apabila dilakukan usaha perbaikan berupa pemupukan dan pengapuran, maka kesesuaian lahan potensial menjadi S1. Sampel B6 memiliki faktor pembatas berupa C-organik. Kesesuaian lahan aktual termasuk dalam kelas S3f. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan adalah perbaikan kesuburan tanah, sehingga kesesuaian lahan potensial menjadi S2. Sampel B7 tidak memiliki faktor pembatas, sehingga kesesuaian lahan aktualnya adalah S1. B8 memiliki faktor pembatas berupa pH. Hasil evaluasi lahan akhir diperoleh kesesuaian lahan aktual termasuk kelas S3f. Usaha perbaikan yang dapat dilakukan berupa perbaikan retensi harakesuburan tanah dan pengapuran dapat merubah kesesuaian menjadi S2. Sampel B9 memiliki faktor pembatas tekstur sehingga kelas kesesuaian lahan termasuk S2r dan tidak dapat diperbaiki. Penentuan kelas kesesuaian lahan berdasarkan produksi singkong sebagaimana disajikan pada Tabel 18 dan mengacu pada Tabel 4. menunjukkan bahwa sampel B3 memiliki produksi 25,08 tonha, sehingga termasuk kelas S3. Sampel B4 dan B7 memiliki produksi 53,64 dan 48,84 tonha sehingga termasuk kelas S2. Sampel B5, B6, B8 dan B9 memiliki produksi 29,84; 34,84; 39,8 dan 27,09 tonha sehingga termasuk kelas S3. Apabila dibandingkan antara penentuan kelas berdasarkan kriteria klasifikasi kesesuaian lahan berbasis produksi singkong Tabel 16 dengan penentuan sekat produksi singkong Tabel 4 dapat dilihat pada sampel B3 adalah tidak sejalan. Sampel ini menunjukkan bahwa produksi termasuk dalam kelas S3, sedangkan sebelumnya kesesuaian lahan berdasarkan Tabel 16 menunjukkan kelas S2. Seperti pada sampel B3, pada sampel B7 produksi menunjukkan kelas S2 sedangkan kesesuaian lahan berdasarkan Tabel 16 menunjukkan kelas S1. Pada sampel B4 kelas kesesuaian berdasarkan produksi dan berdasarkan kriteria kesesuaian lahan menunjukkan kelas yang tetap pada kelas S2. Sama halnya dengan sampel B4, sampel B6 dan B8 pun memiliki kesesuaian lahan yang sama antara produksi dan karakteristik lahan yaitu S3. Sampel B5 dan B9 memiliki kesesuaian lahan yang tidak sejalan, karena produksi menunjukkan kelas S3 sedangkan karakteristik lahan pada kelas S2. Hal ini dikarenakan ada beberapa karakteristik lahan yang tidak dapat dirubah. Salah satu alasan pengkelasan berdasarkan produksi lebih rendah dibanding pengkelasan berdasarkan kualitas lahan adalah dimungkinkan adanya hama atau keadaan alam yang tidak dapat dicegah. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria kelas kesesuaian lahan yang dibuat berdasarkan tiga lokasi yaitu Bogor, Sukabumi, dan Karawang masih perlu dilengkapi dengan karakteristik lahan yang lebih beragam.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Tingkat produksi singkong dan produksi pati singkong memiliki keterkaitan yang erat dengan unsur karakteristik lahan yang dievaluasi. Hubungan antara produksi singkong teraan dengan produksi pati singkong teraan memiliki pola yang berbeda-beda. Pola hubungantrendline antara elevasi, kemiringan lereng, dan Al dengan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan adalah berbanding terbalik. Pola hubungantrendline yang dihasilkan antara C-organik, KTK, KB dengan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan adalah pola hubungan yang berbanding lurus. Pola hubungan yang memiliki peak puncak didapatkan dari hubungan antara pH dan tekstur dengan produksi singkong teraan dan produksi pati singkong teraan. 2. Kelas kesesuaian lahan yang berbasis produksi singkong dan produksi pati singkong diperoleh melalui hubungan antara kualitas lahan dengan produksi singkong dan produksi pati singkong. 3. Karakteristik lahan yang terkait dengan temperatur adalah elevasi ketinggian. Berdasarkan produksi singkong, tanah dengan ketinggian 497,25 mdpl tergolong kelas S1, ketinggian 497,25-714,64 mdpl tergolong kelas S2, ketinggian 714,64-1095,07 mdpl tergolong kels S3 dan ketinggian 1095,07 mdpl tergolong kelas N. Sedangkan berdasarkan produksi pati singkong, tanah dengan ketinggian 490,25 mdpl tergolong kelas S1, ketinggian 490,25-672,75 mdpl tergolong kelas S2, ketinggian 672,75-991,5 mdpl tergolong kelas S3, dan ketinggian 991,5 mdpl tergolong kelas N. 4. Karakteristik lahan yang terkait dengan kondisi perakaran adalah kelas tekstur yang ditentukan berdasarkan komposisi kadar pasir, debu dan liat dalam tanah. Berdasarkan produksi singkong, tanah yang tergolong kelas S1 memiliki kelas tekstur liat dan liat berdebu; kelas S2 memiliki kelas tekstur liat berpasir, lempung berliat dan lempung liat berdebu;