PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

d. Gambaran Stres pada Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Pekerjaan Ibu Tabel. 4.17 Gambaran Stres Ibu dari Anak Autis ditinjau dari Pekerjaan Pekerjaan N Minimum Maksimum Mean Standar Deviasi PNS 9 32 117 74,56 26,674 Peg. Swasta 11 37 120 69,64 23,880 Wiraswasta 4 37 69 50,50 14,248 IRT 16 35 122 75,19 23,487 Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa ibu yang tidak bekerja IRT memiliki mean Stres yang paling tinggi 75,19, kemudian diikuti dengan ibu yang bekerja sebagai PNS 74,56, ibu yang bekerja sebagai Pegawai Swasta 69,64 dan pekerjaan ibu yang memiliki mean paling rendah adalah ibu yang bekerja sebagai Wiraswasta 50,50. Peneliti menggunakan pengujian One-Way ANOVA untuk melihat perbedaan mean lebih dari 2 kelompok. Berdasarkan hasil pengujian, maka diperoleh nilai p = 0,309 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari pekerjaan yang dimiliki ibu.

C. PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki Anak Autis, dengan demikian dapat diketahui bagaimana gambaran umum stres dilihat dari aspek-aspek pengukur stres yang dikemukakan oleh Sarafino 2011, yaitu aspek Kognisi, aspek Emosi dan aspek Perilaku Sosial. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan secara umum stres pada ibu yang memiliki anak autis berada dalam kategori sedang. Dari 40 ibu yang Universitas Sumatera Utara menjadi subjek penelitian, terdapat 26 ibu yang kategori stresnya sedang, 7 orang ibu yang kategori stresnya rendah dan 7 orang ibu yang kategori stresnya tinggi. Sarafino 2011 mendefinisikan stres sebagai adanya kesenjangan atau ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan individu dengan apa yang dapat dilakukan individu sesuai dengan sumber daya yang dimilikinya, sehingga mengakibatkan menurunnya kemampuan berpikir dan mengingat, individu menjadi mudah marah dan tersinggung, sedih, cemas, takut, khawatir, gelisah dan muncul perilaku menyendiri atau menarik diri dari lingkungan. Ibu yang memiliki kategori stres sedang berarti bahwa ibu memang mengalami stres, dikarenakan kondisi anaknya yang autis, namun ibu telah dapat melakukan coping stress yang sesuai sehingga stres tersebut tidak berdampak besar terhadap kemampuan berpikir, perasaan ibu dan perilaku dalam lingkungan sosial ibu. Ibu yang memiliki kategori stres pada level rendah berarti bahwa stres yang dialaminya tidak memiliki dampak terhadap kemampuan ibu dalam berpikir, mengingat, tidak menjadikan emosi ibu tidak stabil dan tidak mempengaruhi perilaku ibu dalam lingkungan sosial; sedangkan Ibu yang memiliki kategori stres yang tinggi berarti stres yang dialaminya menjadikan ibu sering lupa, lekas marah tersinggung, serta menjadikan ibu menyendiri dan menarik diri dari lingkungan. Beckman et al dalam Lam Mackenzie, 2002 menyatakan, bahwa orangtua dengan anak yang memiliki gangguan, lebih mengalami stres pada tingkatan lebih tinggi dibandingkan dengan orangtua dari anak normal. Hal ini dapat dikaitkan dengan sumber stres yang dikemukakan oleh Sarafino 2011 bahwa salah satu sumber stres yaitu berasal dari keluarga. Memiliki anak yang Universitas Sumatera Utara autis tentunya menjadi beban tersendiri bagi ibu. Ibu harus siap memberi perhatian ekstra kepada anak, bahkan ibu harus bersedia menerima kenyataan bahwa anak akan sulit untuk mandiri di kehidupannya kelak. Mendukung pernyataan diatas, Pisula 2011 menyatakan terdapat tiga penyebab utama stres ibu dari anak autis, yaitu karakteristik perilaku anak, kurangnya dukungan dari profesional yang tepat dan sikap negatif dari lingkungan sosial atas kondisi anak. Berdasarkan nilai mean yang diperoleh dari setiap aspek stres, yaitu mean aspek kognisi sebesar 18,68, mean aspek emosi sebesar 30,95 dan mean aspek perilaku sosial sebesar 8,041, diketahui bahwa stres dari aspek emosi memiliki nilai mean yang tertinggi. Hal ini berarti bahwa stres yang dimiliki ibu dari anak autis termanifestasi paling besar terhadap aspek emosinya. Ibu menjadi mudah marah dan tersinggung ketika anaknya tidak mendapat fasilitas yang sesuai, takut memikirkan kondisi anak yang tidak dapat mandiri, dan sedih atau depresi menghadapi karakteristik anaknya yang autis. Mean yang terendah ialah pada aspek kognisi, hal ini dapat berarti bahwa stres yang dimiliki ibu dari anak autis tidak menjadikan ibu sulit berkonsentrasi, menurunkan kemampuan mengingat dan tidak melemahkan kemampuan ibu dalam memecahkan masalah. Untuk memperkaya hasil penelitian ini, peneliti melakukan analisa tambahan terkait dengan usia ibu, usia dari anak, suku bangsa ibu dan pekerjaan ibu. Berdasarkan hasil analisa tambahan berkaitan dengan usia ibu, diperoleh bahwa ibu dengan usia Dewasa Awal 18-40 tahun memiliki mean Stres yang lebih tinggi dibandingkan dengan usia Dewasa Madya 41-60 tahun. Lebih lanjut Universitas Sumatera Utara lagi, hasil pengujian independent sample t-test memperoleh nilai p = 0,016 0,05 yang berarti terdapat perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari usia ibu. Sesuai dengan teori Hurlock 2001 yang menyatakan bahwa usia mempengaruhi kematangan emosi seseorang, maka semakin bertambahnya usia individu, diharapkan semakin baik kemampuannya dalam mengekspresikan emosinya. Kedewasaan dalam emosi menjadikan individu tidak lagi menampilkan pola emosional yang tidak pantas Dariyo, 2007. Terdapat hubungan yang bersifat negatif antara kematangan emosi dengan tingkat stres seseorang, semakin baik kematangan emosi yang dimiliki seseorang, maka semakin rendah pula tingkat stres yang dimilikinya Hidayati dkk, 2008. Ibu dengan usia yang lebih dewasa dapat memiliki kematangan emosi yang lebih baik, sehingga hal ini mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan coping stress dengan cara yang lebih baik. Hastings Johnson dalam Pisula, 2011 menyatakan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara cara orangtua melakukan coping dengan tingkat stres yang dimilikinya. Oleh karena itu, ibu dewasa madya memiliki tingkat stres yang lebih rendah dibandingkan ibu dewasa awal. Hasil analisa tambahan terkait dengan usia anak diperoleh bahwa ibu yang memiliki anak autis dengan kategori usia Kanak-Kanak Akhir 6-12 tahun memiliki mean Stres Ibu yang lebih tinggi dibandingkan dengan mean Stres Ibu yang memiliki anak autis dengan kategori usia Kanak-Kanak Awal 2-5 tahun Namun pada hasil pengujian independent sample t-test diperoleh nilai p = 0,897 0,05 yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu Universitas Sumatera Utara ditinjau dari usia anak. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun mean stres ibu dengan anak autis usia 6-12 tahun lebih besar daripada ibu dengan anak autis usia 2-5 tahun, namun perbedaan mean stres yang dimiliki ibu tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak menjadikan ibu dengan usia anak autis Kanak-Kanak Akhir 6-12 tahun lebih stres dibandingkan ibu dengan usia anak autis Kanak-Kanak Awal 2-5 tahun. Setiap ibu memiliki tantangan tersendiri dalam membesarkan anak autis. Perjuangan ibu dalam membesarkan anak autis adalah perjuangan seumur hidup Suraiya Yulianti, 2011. Ibu dengan usia anak autis 2-5 tahun akan berperang dengan dirinya sendiri dalam menerima anak. Diagnosa dokter, kondisi anak, penyesuaian dirinya sebagai caregiver utama, bahkan penyesuaian dengan keluarga besar merupakan tantangan bagi ibu yang dapat menjadikan ibu stres Safaria, 2005. Ibu dengan usia anak yang lebih besar, akan menghadapi tantangan baru. Semakin besarnya usia dari anak autis, tentu diikuti dengan semakin banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi oleh orangtua khususnya ibu. Kebutuhan dan perubahan aspek biologis, akademis dan tuntutan sosial yang semakin kompleks menambah beban tersendiri bagi ibu. Misalnya, dalam hal kebutuhan pendidikan. Anak autis pada usia kanak-kanak awal belum memiliki kebutuhan akan dunia pendidikan, namun pada usia kanak-kanak akhir, anak autis membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik autis yang dimilikinya. Oleh sebab itu, ibu harus mulai menyeleksi layanan pendidikan yang tersedia yang mendukung kemampuan anak. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi ibu Universitas Sumatera Utara yang dapat membuat ibu stres karena meskipun saat ini sudah banyak ditemukan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan beragam metode yang digunakan dalam menanganinya, namun tidak ada sekolah atau layanan pendidikan yang dapat menjamin sepenuh keberhasilan program pendidikan terhadap anak Kalaei, 2008. Hasil analisa tambahan terkait dengan Suku Bangsa diperoleh bahwa ibu bersuku Minangkabau memiliki mean Stres Ibu yang paling tinggi 75,33, kemudian diikuti dengan ibu bersuku Melayu 74,00, ibu bersuku Jawa 71,57, ibu bersuku Batak 71,48, ibu bersuku Nias 66,50 dan yang terakhir ibu bersuku Tionghoa 55,50. Namun pada pengujian One-Way ANOVA diperoleh nilai p = 0,962 0,05 yang menunjukkan tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu ditinjau dari suku bangsa yang dimiliki ibu. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan mean stres yang dimiliki ibu ditinjau dari suku bangsa tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak menjadikan ibu bersuku Minangkabau lebih stres dibandingkan ibu bersuku lainnya. Hasil ini tidak sesuai dengan Smet 1994 yang menyatakan bahwa karakteristik individu seperti jenis kelamin, suku bangsa, latar belakang sosial ekonomi membuat individu mengalami stres dalam tingkatan yang berbeda-beda. Hasil analisa tambahan terkait pekerjaan menyatakan bahwa ibu yang tidak bekerja IRT memiliki mean Stres yang paling tinggi 75,19 dan pekerjaan ibu yang memiliki mean paling rendah adalah ibu yang bekerja sebagai Wiraswasta 50,50. Namun pada hasil pengujian One-Way ANOVA diperoleh nilai p = 0,309 0,05 dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan skor pada Stres Ibu Universitas Sumatera Utara ditinjau dari pekerjaan yang dimiliki ibu. Berdasarkan hasil diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan mean stres yang dimiliki ibu ditinjau dari pekerjaan tidaklah signifikan sehingga hal tersebut tidak dapat dikatakan ibu yang tidak bekerja IRT lebih stres dibandingkan ibu yang bekerja. Hal ini tidak sejalan dengan penemuan sebelumnya dari Washington State University pada tahun 2010 yang menyatakan bahwa ibu anak autis yang bekerja cenderung lebih ‘membayar harga’ dibandingkan ibu yang tidak bekerja. Beban pekerjaan yang dimiliki ibu menjadikan ibu tidak bisa berperan aktif sepenuhnya dalam merawat anak. Kesulitan menyesuaikan waktu dengan jadwal terapi, penyelesaian masalah dalam aktifitas sehari-hari dan akomodasi kebutuhan anak yang sulit dilakukan ibu bekerja seharusnya mengarahkan ibu bekerja dalam kondisi stres yang lebih tinggi NewsRX, 2010. Universitas Sumatera Utara 61

BAB V KESIMPULAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan hasil kategorisasi, gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis lebih banyak pada kategori sedang, yaitu 26 orang 65, kemudian diikuti dengan 7 orang pada kategori rendah 17,5 dan 7 orang pada kategori tinggi 17,5. 2. Berdasarkan nilai mean dari setiap aspek stres, nilai mean tertinggi terletak pada aspek Emosi yaitu sebesar 30,95, kemudian diikuti oleh aspek Perilaku Sosial, sebesar 21,43 dan aspek Kognisi sebesar 18,68. Perincian kategorisasi stres ditinjau dari aspek stres adalah sebagai berikut: a. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki anak autis ditinjau dari aspek Kognisi berada dalam kategori sedang, yaitu 26 orang 65, kemudian diikuti oleh 7 orang pada kategori rendah 17,5 dan 7 orang pada kategori tinggi 17,5. b. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki anak autis ditinjau dari aspek Emosi berada dalam kategori sedang, yaitu 25 orang 62,5, kemudian diikuti oleh 8 orang pada kategori rendah 20 dan 7 orang pada kategori tinggi 17,5. c. Gambaran Stres pada Ibu yang memiliki anak autis ditinjau dari aspek Perilaku Sosial berada dalam kategori sedang, yaitu 25 orang 62,5, Universitas Sumatera Utara