Analisis Diksi Dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan Syair Ta'lim Al-Muta'alim
Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan
Syair
Ta’lim al-Muta’allim
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)
Oleh:
Rahmat Darmawan
NIM: 107024001300JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
(2)
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber data yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 12 Agustus 2011
(3)
(4)
(5)
i ABSTRAK
Rahmat Darmawan. 107024001300. “Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan Syair Ta’lim al-Muta’allim”. Jurusan Tarjamah, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui metode penerjemahan yang digunakan oleh Achmad Sunarto dalam menerjemahkan teks syair pada kitab Ta’lim al-Muta’allim, (2) mengetahui pengaruh metode penerjemahan yang dipakai oleh Achmad Sunarto terhadap isi makna syair, dan (3) mengetahui ketepatan dan kesesuaian diksi yang dipakai oleh Achmad Sunarto, serta mengetahui kesesuaian unsur sastra pada konstruksi kalimat dalam terjemahan syair Ta’lim al-Muta’allim dengan ciri-ciri konstruksi syair dalam penulisannya.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus yang berorientasi pada hasil terjemahan syair dan mengkaji aspek subjektif. Sumber data yang digunakan adalah kitab terjemahan Ta’lim al-Muta’allim yang dikarang oleh Syekh al-Zarnuji dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto. Dokumen yang dianalisis adalah terjemahan syair pada kitab terjemahan Ta’lim al-Muta’allim.
Temuan penelitian sebagai berikut. Pertama, metode terjemahan yang banyak digunakan oleh Achmad Sunarto dalam menerjemahkan teks syair Ta’lim al-Muta’allim adalah ragam penerjemahan harfiyah dan bebas. Ragam penerjemahan harfiyah banyak penulis temui di bab 2, 4, 5, dan bab 11; sedangkan ragam penerjemahan bebas banyak penulis temui di bab 3, 9, 1, dan bab 12; dan ragam penerjemahan yang paling sedikit dipakai oleh penerjemah adalah setia, yang hanya terdapat pada bab 6.
Kedua, metode penerjemahan yang digunakan oleh Achmad Sunarto pada semua bab dalam kitab terjemahan Ta’lim al-Muta’allim yang telah penulis analisis, tentunya sangat berpengaruh terhadap makna yang terkandung dalam terjemahan syair Ta’lim al-Muta’allim. Karena penerjemah hanya mengutamakan metode penerjemahan yang dipakai tanpa memperdulikan faktor-faktor pemilihan kata. Pesan yang ingin disampaikan dari terjemahan syair Ta’lim al-Muta’allim pun masih sulit dipahami.
Ketiga, diksi yang dipakai oleh Achmad Sunarto pada tiap-tiap terjemahan syair Ta’lim al-Muta’allim belum semuanya tepat dan sesuai. Selain itu, dalam penyusunan kalimat terjemahan syairnya pun belum efektif. Unsur sastra pada konstruksi kalimat di setiap terjemahan syair kitab Ta’lim al-Muta’allim belum semuanya sesuai dengan ciri-ciri penulisan sebuah syair, karena penerjemah menulis terjemahan syairnya menjorok ke dalam, serta kebanyakan dari hasil terjemahan teks syair Ta’lim al-Muta’allim diterjemahkan dengan tidak berpola di ahir sajaknya, yang menyebabkan hilangnya unsur kesusastraan pada syair.
(6)
ii KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt. seru sekalian alam, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini akhirnya dapat terselesaikan. Shalawat serta salam terlimpah atas junjungan kita, Nabi Muhammad saw, juga atas segenap keluarga dan semua orang yang mengikuti ajarannya hingga hari kemudian.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA; Dekan Fakultas Adab dan Humaniora, Dr. Abdul Wahid Hasyim, MA; dan kepada Ketua Jurusan Tarjamah, Dr. H. Akhmad Saekhuddin, M.Ag; serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, M. Syarif Hidayatullah, M.Hum.
Terima kasih yang setinggi-tingginya juga penulis ucapkan kepada Makyun Subuki, M.Hum yang telah membimbing penulis selama penyusunan skripsi ini. Serta telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, dan memberikan referensi-referensi yang tak ternilai jumlahnya, juga menyisihkan separuh waktunya untuk sharing bareng bersamanya.
Terima kasih penulis juga ucapkan kepada seluruh dosen jurusan Tarjamah yang telah memberikan waktunya untuk berbagi ilmu serta pengalaman hidupnya kepada penulis. Mudah-mudahan ilmu yang Bapak/ Ibu berikan kepada penulis bermanfaat.
(7)
iii Penghormatan serta salam penulis haturkan kepada kedua orang tua penulis, yaitu Bapak Syarifuddin dan Ibu Amih binti H. Dahir, yang telah mendidik dan menuntun penulis, hingga dapat menyelesaikan kuliah dengan sempurna. Kepada kakak dan adik penulis, yaitu Siti Fatiyah dan Ahmad Rusli, serta Ade Kurniawan yang telah memberikan dorongan dan semangat bagi penulis sewaktu kuliah, sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliahnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan di jurusan Tarjamah angkatan 2007, terutama kawan-kawan seperjuangan saat detik-detik terakhir di “ujung masa” perkuliahan penulis, seperti M. Khoas Rudin Shodiq, Rezha Firmansyah, M. Tohadi, Nurhani, Nur Rahmawati, dan lainnya. Nasrullah Nurdin dan Ridho Dinata yang telah banyak membantu dan meluangkan waktunya, penulis juga ucapkan terima kasih kepada mereka berdua.
Semoga skripsi yang amat sederhana ini membawa manfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan, terutama kajian tentang penerjemahan terhadap syair dan yang sejenis dengannya.
Akhir kata dari penutup kata pengantar ini , penulis lantunkan sebuah puisi yang semoga menjadi motivasi bagi kita semua,
Jangan kau merasa rendah di hadapan orang cerdik Sebab ia belum tentu bijak
Namun, janganlah menjadi takabur karenanya Sebab takabur itu hanyalah milik-Nya
(8)
iv Tetap tegar dan tegap
Dalam menghadapi pelik hidup
Dan tetap optimis meskipun dihadang kesulitan Karena di balik itu semua niscaya kemudahan
Jakarta, 21 Agustus 2011 Rahmat Darmawan
(9)
DAFTAR ISI
ABSTRAK
……….i
KATA PENGANTAR
……….ii
DAFTAR ISI
………v
PEDOMAN TRANSLITERASI
………..viii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah……….. .1
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah………8
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian………..9
D.
Metode Penelitian………10
E.
Tinjauan Pustaka………..11
F.
Sistematika Penulisan………..11
BAB II LANDASAN TEORITIS
A. Penerjemahan
...13
1.
Definisi Penerjemahan………...15
(10)
B. Diksi (pilihan kata)
………...28
1.
Pengertian Diksi dan Korelasinya dengan Makna
a.
Pengertian Diksi………30
b.
Korelasi Diksi dengan Makna………..32
1.1
Ketepatan Diksi
a.
Persoalan Ketepatan Pilihan Kata (Diksi)……….33
b.
Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata (Diksi)………..34
1.2
Kesesuaian Diksi
a.
Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata (Diksi)………...36
b.
Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata (Diksi)………38
2.
Peranti-peranti Diksi
a.
Penggunaan Kata Bersinonim………...40
b.
Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi………40
c.
Penggunaan Kata Umum dan Khusus………...42
d.
Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret………43
e.
Penggunaan Bentuk Idiomatik………..44
(11)
BAB III Biografi Pengarang Kitab Ta’lim al-Muta’allim dan Karya
Monumentalnya
A.
Biografi Pengarang Kitab
Ta’lim al-Muta’allim
………...48
B.
Kitab
Ta’lim al-Muta’allim
, Karya Monumental al-Zarnuji……….50
BAB IV Analisis Data Terkait Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam
Terjemahan Syair Kitab
Ta’lim al-Muta’allim
………...52
1.
Pasal (bab) 1, tentang Hakikat Ilmu, Fiqh dan Keutamaannya……….53
2.
Pasal (bab) II, tentang Niat Untuk Belajar……….57
3.
Pasal (bab) III, tentang Memelihara Ilmu, Guru, Teman dan
Ketabahan………...67
4.
Pasal (bab) IV, tentang Mengagungkan Ilmu dan Ulama………..70
5.
Pasal (bab) V, tentang Tekun, Kontinuitas, dan Minat……….75
6.
Pasal (bab) VI, tentang Permulaan, Ukuran, dan Tata Tertib Belajar..103
7.
Pasal (bab) IX, tentang Kasih Sayang dan Nasehat……….109
8.
Pasal (bab) X, tentang Mencari Faidah………119
9.
Pasal (bab) XI, tentang Sifat Wara’ (wira’i) Di Waktu Belajar……...121
10.
Pasal (bab) XII, tentang Penyebab Hafal dan Lupa………...125
11.
Pasal (bab) XIII, tentang Mendatangkan dan Menolak Rizki, serta
(12)
BAB V Penutup
………135
(13)
Pedoman Transliterasi
a.
Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab
Huruf Latin
Keterangan
ﺍ
tidak dilambangkan
ﺏ
b
be
ﺕ
t
te
ﺙ
ts
te dan es
ﺝ
j
je
ﺡ
h
h dengan garis bawah
ﺥ
kh
ka dan ha
ﺩ
d
de
ﺫ
dz
de dan zet
ﺭ
r
er
(14)
ﺱ
s
Es
ﺵ
sy
es dan ye
ﺹ
S
es dengan garis di
bawah
ﺽ
D
de dengan garis di
bawah
ﻁ
T
te dengan garis di
bawah
ﻅ
Z
zet dengan garis
bawah
ﻉ
‘
koma terbalik di atas
hadap kanan
ﻍ
gh
ge dan ha
ﻑ
f
ef
ﻕ
q
ki
ﻙ
k
ka
ﻝ
l
el
ﻡ
m
em
(15)
ﻭ
w
we
ﻫ
h
ha
ﺀ
´
apostrof
ﻱ
y
ye
b.
Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
َ
_
a
fathah
ﹻ
i
kasrah
ﹹ
u
dammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ﹷ
(16)
ﹷ
و
au
a dan u
Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (
madd
), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab
Tanda Vokal Latin
Keterangan
ﺂ
ˆa
a dengan topi di atas
ِـ
ﻲ
ˆı
i dengan topi di atas
ْﻮُـ
ˆu
u dengan topi di atas
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu
لا
,
dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah
maupun huruf
qamariyyah
. Contoh: rijˆal bukan ar-rijal,
al-dˆiwˆan bukan ad- al-dˆiwˆan.
(17)
Syaddah
atau
tasydid
yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (
ﹽ
), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda
syaddah
itu. Akan tetapi,
hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah
itu terletak
setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf
syamsiyyah
. Misalnya, kata
ةَرْوُﺮﱠﻀﻟا
tidak ditulis dengan
ad-darˆurah
melainkan
al-darˆurah
, demikian
seterusnya.
Ta Marbutah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf
ta marbutah
terdapat pada
kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf
/h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika
ta marbutah
tersebut diikuti oleh kata sifat (
na’t
) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf
ta
marbutah
tersebut diikuti kata benda (
ism
), maka huruf tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (lihat contoh 3).
Contoh:
No
Kata Arab
Alih Aksara
1
ﺔﻘﯾﺮﻃ
tariqah
2
ﺔّﯿﻣﻼﺳﻹا
ﺔﻌﻣﺎﺠﻟا
jamiah
al-islamiyyah
(18)
3
دﻮﺟﻮﻟا ةﺪﺣو
wahdat al-wujud
Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf capital tidak dikenal, dalam
alih aksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan mengikuti
ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) bahasa
Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf awal nama
tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting diperhatikan, jika nama
diri didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf capital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
(Contoh: Abu Hamid al-Ghazali bukan Abu Hamid Al-Ghazali).
Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat diterapkan
dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring (
italic
)
atau cetak tebal (
bold
). Jika menurut EYD, judul buku itu ditulis dengan cetak
miring, maka demikian halnya dalam alih aksaranya. Demikian seterusnya.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal
dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun akar
katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-Palimbani,
tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbani.
(19)
Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja (
fi’il
), kata benda (
ism
), maupun huruf (
harf
)
ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara atas
kalimat-kalimat dalam bahasa Arab, dengan berpedoman pada
ketentuan-ketentuan di atas:
Kata Arab
Alih Aksara
ُذﺎَﺘْﺳُﻷا َﺐَھَذ
dzahaba al-ustˆadzu
ُﺮْﺟَﻷا َﺖَﺒَﺛ
tsabata al-ajru
ﺔﱠﯾِﺮْﺼَﻌﻟا ﺔَﻛَﺮَﺤﻟا
al-harakah al-‘asriyyah
ﷲا ُﻢُﻛُﺮﱢﺛَﺆُﯾ
yu’atstsirukum Allah
تاَرْﻮُﻈْﺤَﻤﻟا ُﺢْﯿِﺒُﺗ ةَرْوُﺮﱠﻀﻟا
al-darˆurat tubˆihu al-mahzˆurˆat
ﷲاﱠﻻِإ َﮫﻟِا ﻻ ْنَأ ُﺪَﮭْﺷَأ
asyhadu an lˆa ilˆaha illa Allˆah
ﺢِﻟﺎَﺼﻟا ﻚِﻠَﻣ ﺎَﻧَﻻْﻮَﻣ
Maulˆanˆa Malik al-Sˆalih
ﺔﱠﯿِﻠْﻘَﻌﻟا ﺮِھﺎَﻈَﻤﻟا
al-mazˆahir al-‘aqliyyah
ﺔﱠﯿِﻧْﻮَﻜﻟا تﺎَﯾﻵا
al-ˆayˆat al-kauniyyah
(20)
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Jika berbicara atau menulis, setiap orang selalu menggunakan kata. Kata
merupakan suatu unit dalam bahasa yang memiliki stabilitas intern dan
mobilitas posisional, yang berarti ia memiliki komposisi tertentu (entah
fonologis entah morfologis) dan secara relatif memiliki distribusi yang bebas.
Distribusi yang bebas misalnya dapat dilihat dalam kalimat:
Saya memukul
anjing itu; anjing itu kupukul; kupukul anjing itu
.
1Di samping itu, kata
berfungsi sebagai alat penyalur gagasan. Hal tersebut dapat dilihat pada
kalimat
Saya memukul anjing itu, anjing itu kupukul
dan
kupukul anjing itu
.
Semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, maka semakin banyak pula
ide atau gagasan yang dikuasainya dan yang sanggup diungkapkannya.
Dalam pengertian lain, kata adalah suatu unit dalam bahasa yang terdiri dari
beberapa huruf. Kata dapat dibentuk menjadi frasa, klausa, kalimat, paragraf,
hingga akhirnya menjadi sebuah wacana.
Begitu juga dengan seorang penerjemah. Penerjemah adalah orang yang
mengalihkan bahasa sumber ke bahasa sasaran, baik obyeknya itu berupa teks
(tulisan) maupun pelafalan (ucapan). Dalam menerjemahkan, seorang
1Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan ke-15 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 21.
(21)
penerjemah haruslah jeli dalam mengalihkan kata-kata yang tepat dan akurat
agar pesan yang disampaikan dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dapat
dipahami.
Salah satu persyaratan yang perlu dan mendesak dalam menerjemahkan
bahasa asing ke dalam bahasa sasaran adalah pemilihan kata (
diksi
), yaitu
mencari dan memilih kata, istilah atau ungkapan dalam BSa yang tepat,
cermat, dan selaras. Sebab, proses pemilihan kata (
diksi
)
termasuk dalam
langkah-langkah menerjemahkan teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran
(TSa). Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat
untuk menyatakan sesuatu.
2Apalagi dalam dunia karang-mengarang atau
dalam tutur sehari-hari, memilah-milih kata merupakan unsur yang sangat
penting. Sebab dapat mempengaruhi dan memungkinkan pesan yang ingin
disampaikan bisa tersampaikan.
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan
tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping
itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat
penggunaan kata-kata itu.
Sebuah kata yang tepat untuk menyatakan maksud
tertentu, perlu diperhatikan kesesuaian dengan situasi yang dihadapi. Dalam
hal ini diperlukan gaya yang tepat digunakan dalam suatu situasi. Gaya
bahasa merupakan pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam
2
Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademika Pressindo, 2004), h. 25.
(22)
bertutur atau menulis, serta menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk
tulis maupun lisan.
3Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan
ungkapan-ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik
yang tinggi.
4Dengan gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi,
watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa. Diksi dan
gaya bahasa ini juga dapat dimanfaatkan dalam pemikiran strategis dan
penerjemahan
(pengalihan
bahasa),
salah
satunya
yaitu
kegiatan
menerjemahkan teks asing ke dalam bahasa sasaran.
Seperti teks di bawah ini,
ﷲﺍ ﱃﺍ ﻰﺳﻮﻣ ﻊﺟﺭ
Kata
ﻊ
ﺠ
ﺮ
sendiri dalam kamus al-Munawwir, versi Arab-Indonesia,
bermakna ‘kembali’, yaitu dari kata
ﺎًﻋْﻮُﺟُر
-
ُﻊِﺟْﺮَﯾ
-
َﻊَﺟَر
. Tetapi bila kata
roja’a
dalam teks di atas diterjemahkan dengan ‘kembali’ rasanya kurang
tepat dan kurang nyaman dibaca, karena setelah kata
ﻰ
ﺴ
ﻮ
ﻤ
ﻊ
ﺠ
ﺮ
ada kalimat
إﻟ
ﻰ
ا
ﷲ
yang bila ditejemahkan secara harfiah menjadi “
Musa kembali ke
Allah
”. Di sini, seorang penerjemah mempunyai pengaruh penting dalam
memilih kalimat yang sepadan dengan kalimat ‘kembali ke Allah’ yang telah
diterjemahkan secara harfiah pada TSu di atas. Frase “kembali ke Allah” bagi
3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 422.
4
(23)
penulis berarti
berpulang kepada sang Pencipta
, dengan kata lain orang yang
telah ‘kembali kepada Allah’ berarti orang yang telah tutup usia. Kata
tutup
usia
dalam bahasa Indonesia memiliki banyak sinonim/ persamaan kata yang
maknanya hampir sama. Dikatakan “hampir sama” karena memang tidak
akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama
sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.
Kata-kata yang bersinonim dengan kata ‘tutup usia’ atau ‘berpulang kepada
sang Pencipta’ diantaranya
meninggal, wafat, gugur, tewas, dan mati
. Dari
sederet kata bersinonim tersebut yang tepat untuk terjemahan kata
ﻊﺟر
→
ﷲا ﻰﻟا
pada teks sumber di atas adalah meninggal dan wafat. Kata gugur,
tewas dan mati tidak cocok untuk terjemahan kata
roja’a
→
ilallah
, karena
faktor kegiatan yang berbeda.Kata
gugur
diperuntukkan bagi para veteran/
pahlawan negara yang tengah bertempur di medan peperangan, sedangkan
kata
tewas
diperuntukkan bagi orang yang meninggal secara tak wajar atau
mengenaskan, misalnya karena kecelakaan akibat balapan motor di jalan lalu
orang yang melakukan aksi balap tersebut tewas, dan kata
mati
diperuntukkan
bagi makhluk hidup selain manusia, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Dengan begitu, terjemahan dari teks
ﷲﺍ ﱃﺍ ﻰﺳﻮﻣ ﻊﺟﺭ
yaitu “
Musa telah
wafat.
”
Selain itu, ada dua persyaratan yang dituntut bagi seorang penerjemah
dalam menerjemahkan atau mengalihkan bahasa sumber (BSu) ke dalam
bahasa sasaran (BSa), yaitu
ketepatan
dan
kesesuaian
dalam memilih kata. Di
(24)
sisi lain, semata-mata memperhatikan
ketepatan
tidak selalu membawa hasil
yang diinginkan. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan
pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu dapat
juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Sebuah kata yang tepat
untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu dapat diterima oleh
para hadirin atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang diikat oleh
berbagai norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan harus
cocok
atau
sesuai
dengan situasi yang ada.
5Dalam kitab-kitab klasik, khususnya versi terjemahannya, penulis
banyak menemukan beberapa kata yang diterjemahkan kurang tepat dan
sesuai dalam penggunaannya. Perhatikan teks syair beserta terjemahannya
dalam kitab terjemahan
Ta’lim Muta’alim
di bawah ini,
ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻲِﻫ
ِﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ ﺎﻬﹸﻘِﺷﺎﻋﻭ
ِﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ ﻦِﻣ
“
Dunia adalah sedikit perkara yang sedikit; dan orang yang sangat
mencintainya adalah sehina-hina suatu yang hina.”
Terjemahan yang digaris bawahi di atas menurut penulis kurang tepat
dalam pemilihan katanya. Penulis sengaja memberi garis bawah pada
sebagian terjemahan di atas dengan tujuan untuk menganalisisnya.
5
(25)
Kata
ﱡﻞﻗﺃ
dan
ﱡﻝﺫﺃ
(pada bait syair yang kedua) merupakan nomina
perbandingan. Nomina perbandingan dalam bahasa Arab ada dua pola, yaitu
pola
komparatif
dan pola
superlatif
.
6Untuk komparatif, polanya adalah
َأ
ُﻞَﻌْﻓ
+
ْﻦِﻣ
, yang dalam bahasa Indonesia sama maknanya dengan kata
lebih
+
dari
. Sedangkan untuk superlatif, polanya adalah
ُلﻌﹾﻓَﺃ
, yang dalam bahasa
Indonesia sama maknanya dengan kata
paling
atau
ter-
. Jadi kata
ﱡﻞﹶﻗ
ﺃ
dan
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ
pada teks syair di atas termasuk dalam jenis komparatif, karena ada
ﻦِﻣ
setelah kata
aqollu
dan juga pada kata
adzallu
. Kata
ﱡﻞﹶﻗﺃ
sendiri di dalam
kamus mempunyai arti: yang paling sedikit, lebih sedikit/kecil dari, dan
sedikit-sedikitnya. Sedangkan kata
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ
di dalam kamus mempunyai arti
‘yang sedikit’.
7Begitu juga dengan kata
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ
, di kamus al-Munawwir kata
tersebut mempunyai arti: mendapatinya rendah, hina, layak direndahkan, dan
berteman orang-orang yang hina.
8Kemudian untuk kata
ﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ
di kamus yang
sama, yakni al-Munawwir, mempunyai arti: yang rendah, dan yang hina.
9Jadi, terjemahan keseluruhan untuk syair
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ
menjadi “lebih sedikit
6
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab- Indonesia (Pamulang: Dikara, 2010), h. 25.
7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), h. 1152.
8
Ibid., h. 450. 9
(26)
dari yang sedikit”, dan terjemahan keseluruhan untuk syair
ﻞﻴِﻟﹼﺬﻟﺍ ﻦِﻣ
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ
menjadi “lebih hina dari yang hina”.
Kata ‘perkara’ pada terjemahan
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ
yang diartikan oleh
penerjemah dengan “sedikit perkara yang sedikit” sebaiknya dihilangkan,
karena kata ini telah mengalami penyempitan makna. Namun, bila terjemahan
tersebut tetap dipakai, maka nilai estetika dari teks syair tersebut tidak
nampak. Sebab kata ‘perkara’ digunakan untuk masalah yang bersifat di luar
sastra seperti masalah hukum yang melingkupi pidana, perdata, dan
sebagainya.
Selain itu, penulisan terjemahan syair di atas seharusnya tidak menjorok
ke dalam. Karena salah satu syarat penulisan sebuah syair yaitu tidak
menjorok ke dalam.
Kata syair sebenarnya berasal dari bahasa Arab (baca:
syi’run
), yaitu
semacam puisi lama dari daratan Arab. Syair itu sendiri muncul di Indonesia
setelah agama Islam beserta kesusastraan Islam tersebar di Indonesia, dan
perkembangannya telah berlangsung sejak akhir abad 16 dan awal abad 17
Masehi. Penulisan syair ditulis dengan ciri-ciri bentuknya: (a) Terdiri dari 4
baris, (b) Masing-masing baris terdiri dari 8-12 suku kata, (c) berpola sajak
(27)
a-a-a-a, dan (d) Keempat barisnya berturut-turut mempunyai hubungan logis,
serta penulisannya tidak menjorok ke dalam.
10Jadi, menurut penulis terjemahan yang tepat untuk teks syair
ِﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻲِﻫ
ِﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ ﺎﻬﹸﻘِﺷﺎﻋﻭ
adalah,
Lebih sedikit dari yang sedikit adalah dunia
Dan lebih hina dari yang hina adalah pencintanya
Bertolak dari permasalahan tentang pemilihan kata secara tepat terhadap
contoh terjemahan di atas, penulis tertarik untuk mengambil pembahasan
tentang diksi sebagai bahan analisa dalam mengkaji skripsi penulis,
khususnya terhadap terjemahan syair dalam kitab
Ta’lim al-Muta’alim
yang
dikarang oleh Syekh al-Zarnuji yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia oleh Achmad Sunarto. Kitab tersebut berisikan tentang
nasihat-nasihat keagamaan serta etika bagi seorang pelajar dalam menuntut ilmu. Di
dalamnya juga banyak terdapat syair-syair dari para ulama terdahulu. Di masa
kini, kitab tersebut sering digunakan di sebagian majelis-majelis ta’lim
remaja saat ini. Adapun judul penelitian yang akan penulis suguhkan bertema
“Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan Syair
Ta’lim
al-Muta’allim
”.
10
(28)
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk mempermudah penelitian dan menghindari penjelasan yang melebar
terkait dengan objek penelitian penulis, yaitu kitab terjemahan
Ta’lim
al-Muta’allim
, penulis hanya meneliti terjemahan syairnya saja. Sebab, selain
syair, korpus pada kitab terjemahan
Ta’lim al-Muta’allim
juga terdapat hadis
nabi Muhammad saw., perkataan para sahabat, serta wasiat para ulama di
masa hidup Syekh al-Zarnuji. Selain itu, untuk mempermudah pembahasan
supaya lebih terarah penulis membuat perumusan masalah sebagai berikut:
Metode penerjemahan apakah yang digunakan oleh Achmad Sunarto
dalam menerjemahkan teks syair dalam kitab
Ta’lim al-Muta’allim
?
Apakah metode penerjemahan yang dipakai oleh Achmad Sunarto
berpengaruh terhadap makna syair kitab
Ta’lim al-Muta’allim
?
Apakah diksi yang digunakan Achmad Sunarto sudah semunya tepat
dan sesuai, serta apakah unsur sastra pada konstruksi kalimat dalam
terjemahan syair
Ta’lim al-Muta’allim
sudah sesuai dengan ciri-ciri
dalam penulisan sebuah syair?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Seperti masalah yang sudah dikemukakan oleh penulis di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah (1) mengetahui metode penerjemahan yang
digunakan oleh Achmad Sunarto dalam menerjemahkan teks syair pada kitab
(29)
Ta’lim al-Muta’allim
, (2) mengetahui pengaruh metode penerjemahan yang
dipakai oleh Achmad Sunarto terhadap isi makna syair, dan (3) mengetahui
ketepatan dan kesesuaian diksi yang dipakai oleh Achmad Sunarto, serta
mengetahui kesesuaian unsur sastra pada konstruksi kalimat dalam
terjemahan syair
Ta’lim al-Muta’allim
dengan ciri-ciri konstruksi syair dalam
penulisannya.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah dapat menambah khasanah
pengetahuan, khususnya bagi para penerjemah. Selain itu, penelitian ini juga
bermanfaat untuk menunjang kontribusi ilmiah dalam penerjemahan yang
baik dan sesuai dengan kaidah tata bahasa Indonesia. Serta baik pula dalam
menyusun sebuah syair, terutama dalam memilih kata-kata yang tepat dan
sesuai dengan tidak menghilangkan isi pesan, nilai rasa, daya imajinasi, dan
estetika yang terkandung dalam syair.
D.
Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam membahas skripsi ini adalah
studi kasus. Studi kasus merupakan penelitian terhadap cara bentuk atau
fenomena tertentu, dalam hal ini diksi terhadap penerjemahan syair.
Sedangkan sumber data yang diperoleh adalah kajian pustaka (
library
research
).
Adapun sumber data yang digunakan penulis pada penelitian ini adalah
kitab terjemahan
Ta’lim al-Muta’allim
yang dikarang oleh Syekh al-Zarnuji
(30)
dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto. Syair
pada kitab tersebut dipilih penulis sebagai objek penelitian skripsi.
Mengenai langkah-langkah penulis dalam menganalisis data terkait
permasalahan yang ada pada terjemahan syair dalam kitab
Ta’lim
al-Muta’allim
yaitu, (1) mencari kata-kata yang menurut penulis tidak tepat dan
tidak sesuai pada hasil terjemahan kitab tersebut, (2) mencari padanan kata
yang sesuai dan tepat terhadap kata-kata yang masih abstrak (sulit dipahami),
juga terhadap kata, frase, atau kalimat yang menurut penulis belum sesuai,
tepat, dan efektif dalam penulisannya, (3) merubah konstruksi terjemahan
kalimat syair semula dengan konstruksi kalimat dalam penulisan syair.
Kebanyakan dari hasil terjemahan syair kitab
Ta’lim al-Muta’allim
tersebut
masih ditulis seperti menerjemahkan teks-teks biasa, umpamanya seperti
menerjemahkan kitab tasauf, fiqh, teks politik dan sebagainya, yang struktur
dan gaya penulisannya tidak
berima
atau berpola.
E.
Tinjauan Pustaka
Berdasarkan hasil survei yang penulis temukan di perpustakaan Fakultas
Adab dan Humaniora, UIN Jakarta, sudah ada 7 mahasiswa jurusan Terjemah
yang membahas tentang diksi. Di antaranya: Umanih, mahasiswa angkatan
2000; Reima Tenisia dan Muhammad Hotib, mahasiswa angkatan 2001;
Elang Satya Negara, mahasiswa angkatan 2002; Joni Irawan, mahasiswa
angkatan 2003; Anna Saraswati, mahasiswa angkatan 2004; dan Asep
Saepullah, mahasiswa angkatan 2005. Kebanyakan dari mereka menggunakan
(31)
kitab-kitab klasik sebagai objek penelitiannya. Pada skripsi ini, penulis
membahas tentang kajian mengenai diksi, dan objek penelitian yang penulis
gunakan adalah kitab tasawuf
Ta’lim al-Muta’allim
karya Syekh al-Zarnuji.
Penulis tertarik untuk mengkaji terjemahan kitab tersebut, karena banyak
ketidaktepatan dan ketidaksesuaian terhadap pemilihan kata-kata dalam
terjemahan kitab tersebut.
F.
Sistematika Penulisan
Untuk menghindari penulisan yang keliru, penulis sepenuhnya berpedoman
pada buku Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang
diterbitkan oleh
Center for Quality Development and Assurance
(CeQDA
UIN Jakarta) tahun 2007. Selain itu, untuk dapat memberikan penjelasan
yang lebih sistematis, maka penulis menyusun skripsi ini dalam lima bab,
dengan rincian sebagai berikut:
Bab I
merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, tinjauan pustaka dan sistematika penulisan.
Bab II
berisi tentang definisi dan metode penerjemahan, pengertian diksi
dan korelasinya dengan makna serta peranti-perantinya. Di samping itu, pada
bab ini penulis juga akan menjelaskan tentang pengertian syair.
Bab III
tentang biografi pengarang kitab
Ta’lim al-Muta’allim
dan karya
monumentalnya.
(32)
Bab IV
merupakan analisis data terkait diksi dan konstruksi kalimat dalam
terjemahan syair kitab
Ta’lim al-Muta’allim
Bab V
merupakan penutup yang mencakup kesimpulan dari penelitian
yang telah dilakukan, dengan tidak lupa menyertakan saran.
(33)
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Penerjemahan
Kebudayaan tidak lahir dari kekosongan. Ia didahului oleh kebudayaan-kebudayaan lain yang menjadi unsur pembentuknya. Kebudayaan suatu bangsa selalu merupakan ikhtisar dari kebudayaan sebelumnya atau seleksi dari berbagai kebudayaan lain. Proses seperti ini terjadi dan berkembang melalui berbagai sarana, diantaranya penerjemahan.
Catatan sejarah menegaskan bahwa peradaban Islam pertama-tama berkembang melalui penerjemahan karya-karya lama Yunani, Persia, India, dan Mesir dalam bidang ilmu eksakta dan kedokteran. Kegiatan ini dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far al-Mansur (137-159 H./ 754-775 M), seorang khalifah dari Dinasti Abbasiah. Upayanya itu mencapai kegairahan yang menakjubkan pada masa Khalifah al-Ma’mun, sehingga mengantarkan umat Islam ke masa keemasan.1
Kegiatan penerjemahan, terutama nas keagamaan, sebagai transfer budaya dan ilmu pengetahuan juga dilakukan oleh bangsa Indonesia sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) di Aceh. Hal ini ditandai dengan dijumpainya karya-karya terjemahan ulama Indonesia terdahulu. Upaya umat Islam Indonesia – juga kaum missionaris – terus berlanjut hingga sekarang.
1
(34)
Pada umumnya kegiatan penerjemahan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia terfokus pada nas-nas keagamaan, mulai dari kitab suci al-Qur’an, al-Hadis, dan tafsir hingga buku-buku tentang dakwah, akhlak, dan buku yang menelaah aneka pemikiran keislaman. Kegiatan tersebut (penerjemahan) pada mulanya dilakukan secara trial and error hingga akhirnya mereka
memperoleh berbagai pengalaman dalam memecahkan persoalan
penerjemahan. Kemudian pengalaman tersebut dijadikan prinsip, pedoman, dan acuan dalam melakukan kegiatan selanjutnya. Demikianlah para penerjemah tersebut umumnya dibesarkan oleh pengalaman individual dan bukan merupakan hasil belajar formal.2
Di Indonesia, aktifitas penerjemahan selain kerap dilakukan pada bidang keagamaan, juga dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat umum, seperti penerjemahan terhadap karangan ilmiah, buku-buku fiksi maupun nonfiksi bahasa asing, dan jurnal serta sarana lain yang memungkinkan seseorang dapat mengikuti perkembangannya.
Banyak yang beranggapan bahwa penerjemahan adalah sekadar pengalihbahasaan. Lebih tepat bila dikatakan bahwa penerjemahan adalah pengalihan pesan (message) dari teks sumber (TSu) ke dalam teks sasaran (TSa).3 Dengan demikian, idealnya adalah TSa (terjemahan) akhirnya berisi pesan yang sepadan dengan pesan dalam TSu.
2Ibid., h. 3.
3
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: PT Dunia Pustaka
(35)
Hal ini kelihatannya sederhana. Namun, kalau dikaji lebih dalam, ada masalah yang dapat timbul dari istilah sepadan di atas. Kalau dipandang sebagai keserupaan pesan TSu dan TSa, maka masalahnya siapa yang membaca TSu dan siapa yang membaca TSa? Sudah barang tentu orangnya tidak sama. Bukan hanya orangnya yang tidak sama, tetapi kebudayaan yang melatari kedua jenis pembaca (TSu dan TSa) juga berbeda. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pesan yang sepadan, penerjemah harus memahami dan menyesuaikan terjemahannya dengan (calon) pembaca atau pendengarnya. Oleh karena itu, bila seseorang menjadi penerjemah jangan berpikir “Bagaiman kalimat ini diterjemahkan?”, tetapi “Bagaimana pesan dalam teks ini terungkapkan dalam bahasa sasaran?”
1. Definisi Penerjemahan
Translation atau penerjemahan selama ini didefinisikan melalui berbagi cara dengan latar belakang teori dan pendekatan yang berbeda. Meskipun sangat tidak mewakili keseluruhan definisi yang ada dalam dunia penerjemahan dewasa ini, penulis di sini akan menyoroti beberapa definisi mengenai penerjemahan sebagai landasan pijakan memasuki pembahasan.
Menurut definisi kamus, penerjemahan merupakan pengubahan dari suatu bentuk ke dalam bentuk lain atau pengubahan dari suatu bahasa –biasa disebut bahasa sumber- ke dalam bahasa lain- biasa disebut bahasa penerima atau bahasa sasaran. Yang dimaksud dengan bentuk bahasa lain ialah kata,
(36)
frase, klausa, paragraf, dan lain-lain, baik lisan maupun tulisan. Dalam penerjemahan, bentuk bahasa sumber diganti menjadi bentuk bahasa penerima.
Dalam Wikipedia, dikemukakan bahwa translation is an activity comprising the interpretation of the meaning of a text in one language –the source text- and the production of a new, equivalent text in another language- called the target text, or the translation. Yang mengandung pengertian, penerjemahan adalah suatu aktivitas yang terdiri dari menafsirkan makna teks dalam satu bahasa (bahasa sumber) dan membuat teks yang baru yang sepadan dalam bahasa lain (bahasa sasaran).4
Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan, dan ia mendefinisikannya sebagai “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language(TL)” (mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahasa teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Definisi ini lebih menekankan pada padanan struktural antara bahasa sumber dan bahasa sasaran.
Newmark (1988) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” (menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa
4
Abdul Munip, Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa
(37)
lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang).5 Sedangkan Nida dan Taber (1969) mendefinisikan translating consists of reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source-language message, first in terms of meaning and secondly in terms of style, yaitu pengungkapan kembali di dalam bahasa penerima (disebut bahasa sasaran/ BSa) padanan yang terdekat dan wajar dari pesan dalam bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasanya”.6
Dengan demikian, penerjemahan berarti: (1) Mempelajari leksikon, struktur gramatikal, situasi komunikasi, dan konteks bahasa sumber. (2) Penerjemahan adalah upaya ‘mengganti’ teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. (3) Menganalisis teks bahasa sumber untuk menemukan maknanya, dan (4) Mengungkapkan kembali makna yang sama itu dengan menggunakan leksikon dan struktur gramatikal yang sesuai dalam bahasa sasaran dan konteks budayanya.
Ada beberapa catatan yang perlu dikemukakan dalam kaitan dengan istilah
penerjemahan, terjemahan, penerjemah, dan juru bahasa. Kata dasar terjemah berasal dari bahasa Arab tarjamah yang maknanya adalah menyalin (memindahkan) suatu bahasa ke bahasa lain.7 Dalam hal ini teks yang diterjemahkan disebut teks sumber (TSu) dan bahasanya disebut bahasa sumber (BSu), sedangkan teks yang disusun oleh penerjemah disebut teks
5
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah (Jakarta: PT Grasindo, 2000), h. 5.
6
Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan, h. 39.
7
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
(38)
sasaran (TSa) dan bahasnya disebut bahasa sasaran (BSa). Hasil dari kegiatan penerjemahan yang berupa TSa disebut terjemahan (dalam bahasa Inggris disebut translation), sedangkan penerjemah (bahasa Inggris: translator) adalah orang yang melakukan kegiatan penerjemahan. Ihwal penerjemahan biasanya disebut penerjemahan (bahasa Inggris: translating). Juru bahasa
adalah orang yang melakukan kegiatan kegiatan penerjemahan, baik secara lisan maupun tulisan.
Di kalangan ilmuwan tarjamah, hampir terjadi kesepakatan bahwa ada perbedaan antara penerjemahan dan interpretasi. Istilah penerjemahan dipakai untuk menyebut aktivitas memindahkan gagasan dalam bentuk tertulis dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Adapun interpretasi dipakai untuk menyebut aktivitas memeindahkan pesan secara lisan atau dengan menggunakan isyarat dari saru bahasa ke bahasa lainnya. Dengan demikian, aktivitas seorang penerjemah selalu terkait dengan teks tertulis, sementara aktivitas seorang interpretator atau juru bicara selalu terkait dengan pengalihan pesan secara lisan.
Secara sekilas, penerjemahan dan interpretasi hampir sama, yang berbeda hanya media yang digunakan. Dalam penerjemahan, media yang digunakan adalah teks tulis, sedangkan interpretrasi menggunakan media lisan. Namun demikian, keterampilan yang dibutuhkan oleh seorang translator berbeda dengan keterampilan yang harus dimiliki oleh seorang interpretator. Seorang
penerjemah dituntut untuk mahir dalam menulis atau mengungkapkan gagasan dalam bahasa sasaran secara tertulis. Dia juga harus mahir
(39)
memahami teks bahasa sumber dan budayanya, juga mampu menggunakan kamus dan referensi lainnya. Sementara seorang interpreter (juru bicara) harus mampu mengalihkan isi informasi dari bahasa sumber ke bahasa sasaran secara langsung tanpa bantuan kamus. Dia juga harus mempunyai keterampilan dalam mengambil keputusan secara tepat dalam waktu yang sangat singkat.
2. Metode Penerjemahan
Istilah metode berasal dari kata method dalam bahasa Inggris. Dalam
Macquarie Dictionary (1982), a method is a way of doing something, especially in accordance with a definite plan (metode adalah suatu cara melakukan sesuatu, terutama yang berkenaan dengan rencana tertentu).
Dari definisi tersebut, penulis menarik dua butir hal penting. Pertama,
metode adalah cara melakukan sesuatu, yaitu “cara melakukan
penerjemahan” dalam konteks di sini. Kedua, metode berkenaan dengan rencana tertentu, yaitu rencana dalam pelaksanaaan penerjemahan, yaitu terangkum dalam proses penerjemahan, yaitu analisis, pengalihan, dan penyelarasan.
Sebelum menerjemahkan, seorang penerjemah menentukan dulu siapa calon pembaca terjemahannya dan/ atau akan digunakan untuk keperluan apa terjemahan itu. Oleh karena itu, penerjemahan sering didasari oleh audience design dan/ atau needs analysis. Dalam praktiknya, penerjemah memilih salah
(40)
satu metode yang sesuai dengan untuk siapa dan untuk tujuan apa penerjemahan dilakukan. Banyak metode penerjemahan yang dikembangkan oleh para ahli bahasa. Namun, dalam hal ini, penulis hanya mengambil metode yang dipakai oleh Newmark, karena Ia mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang mewakili BSu dan (2) metode yang mewakili keterbacaan BSa. Oleh karenanya, penulis menganggap bahwa metode yang ditawarkan oleh Newmark-lah yang paling lengkap dan memadai.
Newmark (1988) mengajukan dua kelompok metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa), yang kesemuanya terbagi menjadi delapan metode penerjemahan.8 Metode penerjemahan adalah prinsip yang mendasari cara seseorang menerjemahkan yang sudah barang tentu bermuara pada bentuk (jenis) terjemahannya. Berikut di bawah ini adalah gambar metode penerjemahan dengan bentuk diagram V.
SL Emphasis TL Emphasis
Word-for-word trans. Adaptation
Literal translation Free translation
Faithful translation Idiomatic translation
8
(41)
Semantic translation Communicative translation
Gambar 1: Diagram V Metode Penerjemahan9
Yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi,
Bahasa Sumber Bahasa Sasaran
Penerj. Kata demi kata Penerj. Adaptasi
Penerjemahan Harfiah Penerjemahan Bebas
Penerjemahan Setia Penerjemahan Idiomatik
Penerj. Semantik Penerj. Komunikatif
1) Penerjemahan kata demi kata
Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata teks sasaran (TSa) langsung diletakkan di bawah versi teks sumber (TSu), seperti
ﻞﻛﺄﻳ
ﺪﲪﺃ
ﺯﺮﻟﺍ
Beras Ahmad Makan
Seharusnya kata ‘beras’ diganti dengan ‘nasi’, karena di Indonesia beras dengan nasi berbeda. Beras itu benda yang berasal dari gabah padi yang belum layak untuk dikonsumsi, sedangkan nasi adalah benda yang berasal 9
(42)
dari beras dan sudah layak untuk dikonsumsi. Sedangkan di Arab kata
ﺯ
ﺭ
ﺍﻠ
memilki makna padi, beras, serta nasi.Seharusnya terjemahan yang benar untuk TSu di atas adalah
Ahmad sedang makan nasi. Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural (misalnya kata ‘
ﺔ
ﻜ
ﻤ
‘) diterjemahkan apa adanya, yaitu ‘Makkah’. Umumnya metode ini dipergunakan sebagai tahapan prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sukar atau untuk memahami mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau tahap awal pengalihan. Namun, dalam praktik penerjemahan di Indonesia metode ini tidak lazim digunakan sebagai metode penerjemahan yang umum.2) Penerjemahan Harfiah
Ketika menerjemahkan BSu ke dalam BSa dan menggunakan metode ini, seorang penerjemah diharuskan untuk tidak lagi menggunakan metode penerjemahan kata demi kata. Sebab di sini, seorang penerjemah sudah mengubah struktur BSu (bahasa sumber) menjadi struktur BSa (bahasa sasaran). Namun, kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu masih dipertahankan dalam TSa. Contoh:
ﺮﻤﻘﻟﺍ ﻝﻮﺣ ﺕﺭﺍﺩ ﺀﺎﻀﻔﻟﺍ ﺔﻨﻴﻔﺳ ﻥﺃ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻑﺮﻋ
(43)
Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini, Karena penerjemahannya hanya mencari padanan konstruksi gramatikal, tetapi masih melepaskannya dengan konteks. Seorang penerjemah harus mengetahui “manusia” yang terlibat pada konteks terjemahan di atas bukanlah manusia biasa pada umumnya. Akan tetapi “manusia” di sini adalah para peneliti atau akademisi. Sebab setelah kata “an-naasu” ada kata “safinatal fadhoi”;pesawat luar angkasa, yang mempengaruhi makna sebenarnya dari kata an-naasu; manusia. Karenanya, terjemahan yang tepat dan sesuai untuk TSu di atas adalah para peneliti mengetahui bahwa pesawat luar angkasa mengitari bulan.
3) Penerjemahan Setia
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah
mereproduksi makna kontekstual, tetapi masih dibatasi oleh struktur gramatikalnya. Yang artinya bahwa metode penerjemahan ini dilakukan dengan mempertahankan sejauh mungkin aspek format (dalam teks hukum) atau aspek bentuk (dalam teks puisi), sehingga kita masih secara lengkap melihat kesetiaan pada segi bentuknya. Kata-kata yang bermuatan budaya dialihbahasakan, tetapi penyimpangan dari segi tata bahasa dan diksi masih tetap dibiarkan. Contoh:
ﺔﻟﻮﻠﻐﻣ ﻙﺪﻳ ﻞﻌﲡﻻﻭ
(44)
Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini, karena penerjemahannya sudah memperhatikan makna kontekstual. Meski demikian, penerjemahan di atas masih tampak mempertahankan arti dari struktur gramatikalnya. Sebenarnya TSu di atas cukup diterjemahkan dengan jangan kikir, karena idiom dari klausa terjemahan dan jangan jadikan tanganmu terbelenggu.
Hoed mengungkapkan bahwa dalam penerjemahan setia juga bisa terjadi metafora (dalam penerjemahan teks sastra), atau ungkapan/ idiom, dan atau istilah (dalam penerjemahan teks hukum atau teks informatika) diterjemahkan ke dalam BSa meskipun tidak lazim dikenal sehingga menjadi apa yang disebut “translationese”.10 Pada teks hukum format teks disesuaikan dengan yang sudah lazim berlaku berlaku di dalam sistem perundangan BSu. Dalam penerjemahan puisi penerjemah berusaha mengikuti model puisi TSu. Dalam penerjemahan di bidang teknologi, kesetiaan berada pada penggunaan padanan baru (neologisme dan “translationese”) atau pemertahanan istilah dari TSu. Tujuan melakukan penerjemahan dengan metode ini ada bermacam-macam, misalnya untuk memperkenalkan metafora asing, untuk memperkenalkan ungkapan dan istilah baru guna mengisi kekosongan ungkapan dan istilah-istilah dalam BSa.
10
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: PT Dunia Pustaka
Jaya, 2006), h. 57. Translationese adalah terjemahan yang diciptakan oleh penerjemah,
tetapi belum sepenuhnya diterima oleh kalangan pembaca atau pemakai terjemahan (Nida
dan Taber 1974: 124). Translationese yang diterima oleh kalangan pemakainya menjadi
bagian dari kosakata BSa, misalnya kata pialang (broker; pasar modal) atau kawasan
(45)
4) Penerjemahan Semantik
Dalam penerjemahan semantik, seorang penerjemah sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun ungkapan yang yang harus dihadirkan dalam terjemahannya. Hal ini biasanya dilakukan dalam penerjemahan karya ilmiah atau teks hukum sesuai dengan “untuk siapa” terjemahan itu dibuat dan “untuk tujuan apa”. Penerjemahan semantik juga mempertimbangkan unsur estetika TSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas wajar. Kata yang hanya sedikit bermuatan budaya diterjemahkan dengan kata yang netral atau istilah fungsional.
Contoh:
ﻞﺼﻔﻟﺍ ﻡﺎﻣﺃ ﲔﺘﻬﺟﻮﻟﺍ ﺍﺫ ﺖﻳﺃﺭ
Aku lihat si muka dua di depan kelas.
Terjemahan tersebut terlihat menggunakan metode ini, karena penerjemahannya saat berhadapan dengan frasa
ﻦﯿﺘﮭﺟﻮﻟا اذ
, yang terjemahannya adalah si muka dua dan kebetulan frasa tersebut dikenal dalam masyarakat penutur TSa (bahasa Indonesia). Secara idiomatis, frasasi muka dua bisa saja diterjemahkan dengan si munafik. Dalam karya ilmiah ada sejumlah istilah yang sudah terdefinisi dan harus diterjemahkan
(46)
secara tepat dari segi semantisnya agar tidak terjadi salah paham atau salah tafsir.
5) Penerjemahan Adaptasi
Metode penerjemahan ini lebih menekankan pada “isi” pesan, sedangkan bentuknya disesuaikan dengan kebutuhan pembaca dalam BSa. Namun demikian, penerjemah tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, seperti tema, karakter, atau alur. Metode penerjemahan ini biasanya dipergunakan untuk penerjemahan drama, puisi, atau film. Ciri lain dari metode ini adalah terjadinya peralihan budaya TSu ke budaya TSa. Dengan kata lain, ada penyesuaian kebudayaan dan struktur kebahasaan. Contoh:
ﻲﻈﻔﺣ ﺀﻮﺳ ﻊﻴﻛﻭ ﱃﺇ ﺕﻮﻜﺷ
ﻲﺻﺎﻌﳌﺍ ﻙﺮﺗ ﱃﺇ ﱐﺪﺷﺭﺄﻓ
ﺭﻮﻧ ﻢﻠﻌﻟﺍ ﻥﺄﺑ ﱐﱪﺧﺃﻭ
ﷲﺍﺭﻮﻧﻭ
ﺹﺎﻌﻟ ﻱﺪﻬﻳ ﻻ
Aku mengadu kepada Waki’ karena buruk hapalanku
Maka aku disuruh untuk menjauhi maksiat
(47)
Dan cahaya Allah tidak menunjuki kepada kemaksiatan
Bila memperhatikan terjemahan di atas, ada upaya dari penerjemah untuk melepaskan diri dari kungkungan struktur gramatika, meskipun struktur maknanya masih dipertahankan TSu. Akan tetapi, terjemahan teks sumber di atas masih belum benar, karena objek terjemahan adalah teks syair. Salah satu ciri penulisan syair yaitu di akhiri dengan pola rima a-a-a-a, sehingga terjemahannya menjadi:
Kepada Waki’ ku mengadu
Buruk sekali hapalanku
Jauhi maksiat katanya
Ilmu itu cahaya Allah yang tidak bernoda
6) Penerjemahan Bebas
Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah biasanya mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Tak jarang bentuk retorik (seperti alur) atau bentuk kalimatnya sudah berubah sekali. Biasanya metode ini dilakukan untuk memenuhi permintaan klien yang hanya ingin mengetahui isi pesannya. Dalam metode ini, terjadi perubahan drastis antara struktur TSu dan struktur luar TSa, seperti:
(48)
ﻉﺎﺒﻳ ﻻﻭ ﺎﻨﳎ ﻉﺯﻮﻳ
Gratis atau Tidak diperjualbelikan
Bila memperhatikan terjemahan di atas, tampak sekali bahwa penerjemahannya tidak ingin dikungkung oleh struktur gramatika dan struktur makna TSu. Penggunaan dengan metode ini seperti ingin memunculkan perspektifnya sendiri, tanpa menghilangkan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis TSu. Jika teks sumber di atas diterjemahkan secara lengkap menjadi dibagi cuma-cuma dan tidak dijual.
7) Penerjemahan Idiomatik
Penerjemahan idiomatik adalah penerjemahan yang mengupayakan penemuan padanan istilah, ungkapan, dan idiom dari apa yang tersedia dalam BSa. Saat menerjemahkan dengan metode ini, seorang penerjemah dituntut untuk mereproduksi pesan dalam teks BSu. Karena metode ini mengharuskan seorang penerjemah untuk sering menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi lainnya. Contoh:
ﺐﻠﻘﻟﺍ ﻩﻼﺳ ﲔﻌﻟﺍ ﻦﻋ ﺏﺎﻏ ﻦﻣ
Jauh di mata dekat di hati
Terjemahan di atas memperhatikan pengalihan idiom TSu ke dalam idiom TSa yang kebetulan mempunyai makna sejenis. Tanpa memperhatikan
(49)
aspek idiomatik pada TSu, maka terjemahan TSu di atas adalah sebagai berikut: orang yang tak kelihatan mata malah menjadi pengobat hati.
8) Penerjemahan Komunikatif
Saat menerjemahakan dengan metode ini, seorang penerjemah mereproduksi makna kontekstual yang sedemikian rupa. Aspek kebahasaan dan aspek isi langsung dapat dimengerti oleh pembaca. Metode ini mengharuskan penerjemah memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi, sebab isi pesan yang terkandung dalam teks sumbernya-lah yang diutamakan, tetapi tanpa harus menerjemahkan secara bebas. Metode pepenerjemahan ini biasanya dilakukan untuk penerjemahan brosur, pengumuman ataupun tulisan popular. Contoh:
ﻥﻮﻌﺟﺍﺭ ﻪﻴﻟﺇ ﺎﻧﺇ ﻭ ﷲ ﺎﻧﺇ
Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nyalah kita kembali (literlek)
Telah meninggal dunia (komunikatif).
B. Diksi (Pilihan Kata)
Perbedaan pengarang, zaman, latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan agama memberi warna terhadap perbedaan dalam pemilihan kata. Penyair dari Jawa dengan bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah bahasa Indonesia yang kurang tepat sama. Penyair hendaknya
(50)
mencurahkan perasaan dan isi pikirannya dengan setepat-tepatnya, seperti yang dialami oleh batinnya. Selain itu, seharusnya ia mengekspresikan dengan ekspresi yang dapat menjilmakan setepatnya.
Bentuk atau ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan pancaindera, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna
adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan aspek bentuk tadi.11 Sebagai contoh ketika ada seorang wanita yang berteriak minta “tolong!”, maka timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa ada seseorang yang sedang meminta bantuan dari orang-orang sekitar seorang wanita tadi yang berteriak minta “tolong!”. Jadi bentuk atau
ekspresinya adalah kata tolong yang diucapkan wanita tadi, sedangkan makna
atau isinya adalah “reaksi yang timbul pada orang-orang sekitar yang mendengar”.
Reaksi yang timbul itu dapat berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya. Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata”, tetapi dengan suatu rangkaian kata yang mendukung suatu
amanat, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kita yaitu:
pengertian, perasaan, nada, dan tujuan.12 Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih mengarah kepada sikap pembicara terhadap apa yang dikatakannya, bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembicara atau penulis. Nada mencakup sikap
11
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa,Cetakan ke-15 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h. 25.
12
(51)
pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembacanya. Pembaca atau pendengar yang berlainan akan mempengaruhi pula “pilihan kata” dan cara menyampaikan amanat tersebut. Sedangkan tujuan yaitu efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua hal itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari seluruh usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
Jika kita berbicara atau menulis, maka kita akan mengumpulkan sejumlah kata-kata yang mewakili pesan yang akan disampaikan. Pengertian yang tersirat dalam sebuah kata, mengandung makna bahwa tiap kata mengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Dengan kata lain, kata-kata adalah alat penyalur gagasan yang akan disampaikan kepada orang lain.13
Bila kita menyadari bahwa kata merupakan alat penyalur gagasan, maka hal itu berarti semakin banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak pula ide atau gagasan yang dikuasai dan diungkapkan oleh seseorang. Kata-kata ibarat “pakaian” yang dipakai oleh pikiran kita. Tiap Kata-kata memiliki “jiwa”. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui “jiwa” setiap kata, agar ia dapat menggerakkan orang lain dengan “jiwa” dari kata-kata yang digunakannya.14
Mereka yang luas kosa katanya akan memiliki pula kemampuan yang tinggi untuk memilih setepat-tepatnya kata mana yang paling harmonis untuk mewakili maksud atau gagasannya. Seorang yang luas kosa katanya dan
13
Reima Tenisia, “Ketepatan Pilihan Kata Pada Terjemahan Surat-surat Nabi Saw.
Dalam Buku Wejangan Dan Khutbah Nabi Saw.,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 28. 14
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan ke-15, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
(52)
mengetahui secara tepat batasan-batasan pengertiannya, akan mengungkapkan pula secara tepat apa yang dimaksudkannya.
1. Pengertian Diksi dan Korelasinya dengan Makna a. Pengertian Diksi
Diksi atau yang lazim disebut dengan pemilihan kata dalam ilmu bahasa, sesungguhnya memiliki jangkauan makna atau maksud yang jauh lebih luas daripada sekedar rangkaian kata-kata atau salinan kata-kata dalam praktik berbahasa dan bertutur sapa. Diksi tidak semata-mata berurusan dengan valensi kata, maksudnya sebuah kata dan keberterimaan/ kelaziman dari kata tertentu, manakala dia harus hadir dalam lingkungan kata-kata lain pada sebuah kalimat atau tuturan.15
Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. 16 Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, karena kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi berarti pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk
15
Jonni Irawan, “Analisis Diksi Dalam Buku Terjemahan Atlas al-Qur’an Karya Syauqi Abu Khalil “Versi M. Abdul Ghoffar,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2003), h. 16.
16
Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan
(53)
mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).17
Keraf mengungkapkan bahwa istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan ungkapan.18
Adapun menurut A. Widyamartamaya, ia yakin pada umumnya pilihan selalu diarahkan kepada kata-kata yang “tepat”, “seksama”, dan “lazim”. Ketiga unsur tadi menjadi pedoman untuk memilih kata. “Tepat”, mengenai arti dan tempatnya pula, dan kata yang tepat ditempat yang tepat. Itulah yang patut digunakan “seksama”, ialah serasi benar apa yang hendak dituturkan. “Lazim”, ialah sudah menjadi kata umum, kata yang dikenal dan dipakai dalam bahasa Indonesia.19
Diksi menurut Kridalaksana, adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau karang mengarang. Sinonim diksi adalah pilihan leksikal. Pilihan kata sebagai sinonim diksi dapat menyesatkan, karena pilihan kata itu tidak boleh selalu
17
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi
ke-4 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 328
18
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan ke-15 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 2005), h. 23.
19
A. Widyamartamaya, Seni Menggayakan Kalimat, Cetakan ke-5 (Yogyakarta:Kanisius,
(54)
berupa kata (dasar atau turunan), tetapi dapat berupa kata majemuk atau frase.20
Dari beberapa definisi mengenai diksi di atas, secara umum penulis menyimpulkan diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) yang meliputi persoalan, fraseologi dan gaya bahasa, dan diarahkan kepada kata-kata yang tepat, seksama, dan lazim agar terungkapnya suatu ide atau gagasan yang dimaksud.
b. Korelasi Diksi dengan Makna
Jika mendengarkan orang berbicara, seseorang akan menghubungkan bunyi bahasa (fonem yang dibentuk menjadi kata) dengan gambaran yang ditimbulkan oleh kata (referensi) dan benda/ konsep yang didukung (referen). Namun, keadaan ini bisa juga bergeser dari itu, misalnya tidak semua orang akan membayangkan rasa gula jika mendengar kata manis. Ada makna lain dari itu akibat pergeseran atau perubahan tempat dan situasi, misalnya: (1) Wajahnya manis, dan (2) Kata-katanya manis.
Ketepatan pilihan kata mencerminkan kemampuan sebuah kata untuk memberikan makna, dan makna yang tepat ada pada imajinasi pembaca atau pendengar. Kata manis dipoin pertama menjelaskan tentang penilaian seseorang terhadap kekhasan orang yang dimaksudnya, bentuk manis di sini bermaksud tentang senyuman atau raut muka seseorang. Sedangkan kata
manis dipoin kedua menjelaskan penilaian seseorang terhadap tutur bicara seorang yang lain. Maksud kata manis pada poin pertama dan kedua di atas
20
Mohammad Hotib, “Analisis Diksi Terjemahan Buku Bulughul Maram Pada Bab Riba “Versi A. Hassan,” (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001), h. 22.
(55)
bukan merujuk kepada manis atas rasa suatu makanan atau minuman pada alat kecap (lidah).
Makna kata dapat menimbulkan reaksi pada orang yang mendengar atau membaca. Reaksi yang timbul itu dapat berwujud “pengertian” atau “tindakan”. Dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata”, tetapi juga dengan suatu rangkaian kata yang mendukung suatu amanat. Pembaca atau pendengar yang berlainan akan mempengaruhi pula pilihan kata dan cara penyampaian amanat tersebut
.
a. Ketepatan Diksi
a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata (Diksi)
Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok, yaitu pertama ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tadi.21
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara. Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan menyangkut pula masalah makna kata dan kosa kata seseorang. Kosa kata yang kaya raya akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula
21
Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, Cetakan ke-15 (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
(56)
kesadaran penulis atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk bahasa (kata) dengan referensinya.
Bila kita mendengar seorang menyebut kata roti, maka tidak ada seorang pun yang berpikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari unsur-unsur tepung, air, ragi, dan mentega yang telah dipanggang. Semua orang berpikir kepada esensinya yang baru, yaitu sejenis makanan, entah itu disebut roti, bread, brot, brood, pain, pains, atau apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk (rangkaian huruf) yang kita baca akan langsung mengarahkan perhatian kita pada jenis makanan itu.
Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa kata adalah sebuah rangkaian bunyi atau simbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir tentang suatu hal: dan makna sebuah kata pada dasarnya diproleh karena persetujuan informal (konvensi) antara sekelompok orang untuk menyatakan hal atau barang tertentu melaui rangkaian bunyi tertentu. Atau dengan kata lain, arti kata adalah persetujuan atau konvensi umum tentang interrelasi antara sebuah kata dengan referensinya (barang atau hal yang diwakilinya).22
b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata (Diksi)
Karena ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar seperti yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mancapai maksud tersebut. Bahwa kata yan dipakai sudah tepat akan
22
(57)
tampak dari reaksi selanjutnya, baik berupa aksi verbal maupun berupa aksi non-verbal dari pembaca atau pendengar. Ketepatan tidak akan menimbulkan salah paham.
Keraf menyuguhkan beberapa butir persoalan mengenai ketepatan pilihan kata:
1. Membedakan secara cermat denotasi dan konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannya, ia harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu, ia harus memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu.
2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari
sekiannsinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang
diinginkannya. Sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan.
3. Membedakan kata-kata yang mirip dengan ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah paham. Kata-kata yang mirip tulisannya seperti: bahwa-bawah-bawa, interferensi-inferensi, karton-kartun, dan sebagainya.
(58)
4. Hindarilah kata-kata sendiri atau ciptaan sendiri. Walaupun bahasa selalu tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat. Tidak berarti bahwa setiap orang boleh menciptakan kata baru seenaknya. Kata baru biasanya muncul untuk pertama kali karena dipakai oleh orang-orang terkenal atau pengarang terkenal.
5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing. Terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut, seperti kultur-kultural, dan idiom-idiomatik, dan sebagainya.
6. Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara idiomatis, seperti ingat akan bukan ingat terhadap; berharap, berharap akan, mengharapkan bukan mengharap akan; berbahaya, berbahaya bagi, membahayakan sesuatu bukan membahayakan bagi sesuatu; takut akan, menakuti sesuatu (lokatif).
7. Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.
8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus.
9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.
10.Memperhatikan kelangsungan pilihan kata.23
23
(59)
b. Kesesuaian Diksi
a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata (Diksi)
Persoalan kedua dalam pendayagunaan kata-kata adalah kecocokan atau kesesuaian. Perbedaan antara ketepatan dan kecocokan pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi yang lain. Perbedaan yang sangat jelas antara ketepatan dan kesesuain adalah bahwa dalam kesesuain dipersoalkan: apakah kita dapat mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki.
Ada suasana yang menuntut para hadirin bertindak lebih formal, ada pula suasana yang tidak menghendaki tindakan-tindakan yang formal. Dengan demikian, tingkah laku manusia yang berwujud yang berwujud bahasa juga akan disesuaikan dengan suasana yang formal dan nonformal tersebut. Suasana yang formal akan menghendaki bahasa yang formal. Sedangkan suasana yang nonformal menghendaki bahasa yang nonformal.
Jadi secara singkat perbedaan antara persoalan ketepatan dan kesesuaian adalah: dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak akan menimbulkan interpretasi yang beerlainan antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca; sedangkan dalam persoalan kecocokan atau kesesuaian kita
(1)
4. Seorang penerjemah sebaiknya selalu mengikuti perkembangan bahasa, baik bahasa sumber maupun bahasa sasaran.
5. Ketika menerjemahkan sebuah syair atau yang sejenis dengannya, penerjemah sebaiknya jangan menerjemahkan seperti ia berhadapan dengan teks-teks selain syair atau yang sejenisnya. Karena dengan begitu, nilai rasa, daya imajinasi, dan estetika yang terkandung dalam syair tidak hilang.
6. Baik para penerjemah maupun editor buku-buku terjemahan, sebaiknya lebih memperhatikan penggunaan bahasa sasaran (di sini bahasa Indonesia) yang baik dan benar. Tujuan penulis adalah agar pembaca awam nyaman dan biasa memahami makna serta pesan yang ingin disampaikan oleh bahasa sumber. Selain itu, agar tidak terjadi distorsi (perubahan) makna yang dikandung dalam bahasa sumber.
Penulis beranggapan, bahwa penelitian ini sangat penting bagi bidang penerjemahan. Sebab, kebanyakan hasil terjemahan terhadap syair yang penulis temui, khususnya dalam penulisan dan konstruksi kalimatnya, belum mengikuti syarat dalam menulis sebuah syair/ puisi. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah pengetahuan bagi para penerjemah khususnya, dan para ahli bahasa umumnya.
(2)
tahap diksi serta pengaruh konstruksi kalimatnya yang terdapat dalam kitab terjemahan Ta’lim al-Muta’allim.
(3)
Daftar Pustaka
Ahnan, Maftuh. Metode Belajar Ilmu Shorof. Surabaya: Terbit Terang, 1999.
Arifin, E. Zaenal dan Tasai, S. Amran. Cermat Berbahasa Indonesia Untuk Perguruan Tinggi, cet. Ke-1. Jakarta: Akademika Pressindo, 2004.
Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah: Wawasan dan Metode Menerjemah Teks Arab. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004.
Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.
Fitriyah ZA, Mahmudah dan Abdul Gani, Ramlan. Pembinaan Bahasa Indonesia. Ciputat: UIN Jakarta Press, 2007.
Hidayatullah, Moch. Syarif. Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab- Indonesia. Pamulang: Dikara, 2010.
Hoed, Benny Hoedoro. Penerjemahan dan Kebudayaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, 2006.
Hotib, Mohammad. “Analisis Diksi Terjemahan Buku Bulughul Maram Pada Bab Riba “Versi A. Hassan,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001.
Irawan, Jony. “Analisis Diksi Dalam Buku Terjemahan Atlas al-Qur’an Karya Syauqi Abu Khalil “Versi M. Abdul Ghoffar,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan
(4)
Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa, cet. Ke-15. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Machali, Rochayah. Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta: PT Grasindo, 2000.
Markhamah. dkk. Analisis Kesalahan dan Kesantunan Berbahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2009.
Munip, Abdul. Strategi dan Kiat Menerjemahkan Teks Bahasa Arab ke dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Teras, 2009.
Nasuh, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi), cet. Ke-2. Ciputat: CeQDA UIN Jakarta, 2007.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Panduan EYD dan Tata Bahasa Indonesia. Jakarta: TransMedia, 2010.
Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), cet. Ke-1. Bandung: Refika Aditama, 2007.
Rauf, Fathurrahman. Syair-Syair Cinta Rasul: Studi Tahlily atas Corak Sastra Kasidah Burdah Karya al-Busiry. Jakarta: Puspita Press, 2009.
Rofi’i. Dalil fi al-Tarjamah: Bimbingan Tarjamah Arab-Indonesia 2. Ciputat: Persada Kemala, 2002.
(5)
Syaraaqy, Abdussalam. Al-‘Aruud wa al-Qaafiah, cet. Ke-6. Tanta: Al-Tijariyah, 1945.
Syihabuddin. Penerjemahan Arab-Indonesia. Bandung: Humaniora, 2005.
Tenisia, Reima. “Ketepatan Pilihan Kata Pada Terjemahan Surat-surat Nabi Saw. Dalam Buku Wejangan Dan Khutbah Nabi Saw.,” Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2001.
Widyamartamaya. Seni Menggayakan Kalimat, cetakan ke-5. Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Kamus
Al-Hisyam, Firdaus dan Hariyono, Rudy. Kamus Lengkap 3 Bahasa: Arab- Indonesia-Inggris. Surabaya: Gitamedia Press, 2006.
Ali, Muhammad. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern. Jakarta: Pustaka Amani.
Baalbaki, Rohi. Al- Mawrid: A modern Arabic-English Dictionary. Beirut: Dar El IlmLilmalayin, 1995.
Baharun, Hasan. Majmu’atun ‘Ashriyyah fi al-Lughah al-‘Arabiyyah: Bahasa Dunia Islam. Surabaya: 1980.
(6)
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif, 1997.
Ngafenan, Mohammad. Kamus Kesusastraan. Semarang: Dahara Prize, 1990.
Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Tim Redaksi Tesaurus Bahasa Indonesia. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.
Wehr, Hans. A dictionary of Modern Written Arabic. New York: Spoken Language Service, Inc. 1976.