Diksi dalam terjemahan: studi kritik terjemahan al-Risalah al-Qusyairiyyah fi olmi al-tasawwuf

(1)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

ANNA SARASWATI

NIM : 104024000830

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(2)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh

ANNA SARASWATI

NIM : 104024000830

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 14 Mei 2008


(4)

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ

ILMI AL-TASAWWUF

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S)

Oleh Anna Saraswati NIM: 104024000830

Pembimbing,

Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum NIP: 150 370 229

PROGRAM STUDI TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1429 H./2008 M.


(5)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK

TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH ILMI

AL-TASAWWUF telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan

Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 3 Juni 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Program Studi Tarjamah.

Jakarta, 3 Juni 2008 Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Ikhwan Azizi, MA Ahmad Syaekhuddin, M.Ag

150 265 589 150 303 001

Anggota,

Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum 150 370 229


(6)

ABSTRAK

ANNA SARASWATI

Diksi Dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf

Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Jadi, dalam menerjemahkan, penerjemah harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan baik. Diksi yang dipergunakan penerjemah harus diksi yang umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan sempurna dilahirkan kepada orang lain. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Sanksi yang langsung dapat diterima oleh penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat tanggapan dari pembaca.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerjemah Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf dalam memilih diksi. Melalui data yang telah dianalisis, terdapat kata yang masih belum tepat dan belum sesuai menurut gaya bahasa. Dengan kata lain, sebagian diksi yang digunakan oleh penerjemah

al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf belum umum dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagian istilah-istilah tasawufnya masih mengikuti bahasa sumbernya atau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan menimbulkan pembaca sulit memahami isi bacaan. Dengan demikian, Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih dekat, tentunya dengan merujuk ke beberapa kamus. Dalam usulan terjemahan tersebut tidak sepenuhnya benar dan masih selalu dapat diperdebatkan.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadiat Allah SWT, karena hanya berkat rahmat, hidayah, dan karunia-Nya Penulis berhasil menyelesaikan skripsi dengan judul

DIKSI DALAM TERJEMAHAN: STUDI KRITIK TERJEMAHAN AL-RISÂLAH AL-QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan program sarjana (S1) pada Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan terima kasih setulus-tulusnya atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari beberapa pihak selama proses studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. H. Abdul Chaer selaku dekan Fakultas Adab dan Humaniora. 2. Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA selaku ketua jurusan Tarjamah dan bapak

Ahmad Syaekhuddin, M.Ag selaku sekretaris jurusan Tarjamah yang telah memberikan dukungan dan kemudahan sehingga segalanya dapat terlaksana.

3. Bapak Moch. Syarif Hidayatullah, M.Hum selaku dosen pembimbing atas ketulusan dan kesabarannya dalam membimbing Penulis dan memberikan masukan dalam menyelesaikan skripsi, sekaligus telah memberikan wawasan yang luas tentang dunia penerjemahan.Bapak Dr. Sukron Kamil, MA sebagai dosen seminar skripsi yang telah memberikan banyak pengetahuan kepada Penulis tentang langkah-langkah penyusunan skripsi.


(8)

4. Bapak dan ibu dosen lainnya atas curahan ilmunya selama masa studi. 5. Staf pegawai dan pengurus perpustakaan utama, perpustakaan Adab dan

Humaniora, perpustakaan pribadi Mas Tatam, dan perpustakaan pribadi lainnya yang telah memfasilitasi buku-buku hingga Penulis terbantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Mohammad Luqman Hakiem selaku penerjemah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf di tengah-tengah kesibukannya, beliau bersedia dihubungi via telepon dan mengirimkan profilnya lewat

e-mail.

7. Bapak dan Mama tercinta (H. Agus Salim dan Hj. Tuti Fatmawati) yang tiada hentinya berdoa untuk keberhasilan anak-anaknya, terima kasih atas semua kasih sayang dan support yang telah diberikan selama ini. Kak Zikri dan dek Meyla yang tak pernah lupa untuk memberikan perhatian dan semangat kepada Penulis.

8. Kawan-kawan di Fakultas Adab dan Humaniora, khususnya kawan-kawan Tarjamah angkatan 2004 (Nay, Moena, Fiena, Nungke, Iziel, Poet, Tatam, Erwan, Omen, dll) yang menjadi tempat bertukar pikiran bagi Penulis. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, yang tidak dapat Penulis sebutkan namanya satu persatu, terima kasih.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa mendatang.

Ciputat, 12 Mei 2008 Anna Saraswati


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

ABSTRAK ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka ... 8

F. Landasan Teori ... 9

G. Metodologi Penelitian ... 9

H. Sistematika Penulisan ...10

BAB II KERANGKA TEORETIK A. Teori Terjemah ... 12

1. Definisi Penerjemahan ... 12


(10)

3. Metode Penerjemahan ... 19

B. Teori Diksi ... 25

1. Definisi Diksi ... 25

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan ... 27

3. Peranti-peranti Diksi ... 29

a. Penggunaan Kata Bersinonim ... 29

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi .. 32

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 32

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 33

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis ... 34

4. Ketepatan Pilihan Kata ... 34

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata ... 34

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ... 35

5. Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata ... 37

BAB III SEPUTAR RISALAH QUSYAIRIYYAH, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH A. Seputar Risalah Qusyairiyyah ... 41

B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis ... 42

C. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penerjemah ... 47


(11)

AL-QUSYAIRIYYAH FÎ ‘ILMI AL-TASAWWUF

A. Kritik Peranti-peranti Diksi ... 49

1. Penggunaan Kata Bersinonim ... 49

2. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi ... 52

3. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 54

4. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 56

5. Penggunaan Bentuk Idiomatis ... 57

B. Kritik Ketepatan Pilihan Kata ... 58

C. Kritik Kesesuaian Pilihan Kata ... 64

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 75


(12)

PEDOMAN TRANSLITERASI

Skripsi ini menggunakan transliterasi yang bersumber pada buku Pedoman

Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh CeQDA.

1. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin: No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

1 Tidak dilambangkan

2 b be

3 t te

4 ts te dan es

5 j je

6 h h dengan garis bawah

7 kh ka dan ha

8 d de

9 dz de dan zet

10 r er

11 z zet

12 s es

13 sy es dan ye

14 s es dengan garis di bawah


(13)

No. Lambang Bunyi Transliterasi Keterangan

17 z zet dengan garis di bawah

16 t te dengan garis di bawah

18 ‘ koma terbalik di atas hadap

kanan

19 gh ge dan ha

20 f ef

21 q ki

22 k ka

23 l el

24 m em

25 n en

26 w we

27 h ha

28 ` apostrof

29 y ye

2. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

a. Vokal Tunggal

Untuk vokal tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan


(14)

2 " i kasrah

3 # u dammah

b. Vokal Rangkap

Untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

!

ai a dan i

2

!

au a dan u

c. Vokal panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

No. Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

1

$!

â a dengan topi di atas

2

%&"

î i dengan topi di atas

3

%'#

û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun huruf


(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bahasa Indonesia terus menerus berkembang. Akhir-akhir ini, perkembangannya itu menjadi demikian pesatnya sehingga bahasa ini telah menjelma menjadi bahasa modern, yang kaya akan kosakata dan mantap dalam stuktur. Untuk itu, sebagai masyarakat Indonesia harus mempergunakan kosakata tersebut sesuai dengan waktu, tempat, dan kondisi.

Jika berbicara menulis atau menerjemahkan, maka seseorang selalu menggunakan kata. Kata tersebut dibentuk manjadi kelompok kata, klausa, kalimat, paragraf, dan akhirnya sebuah wacana. Dengan begitu, untuk menguasai suatu bahasa, seseorang dituntut untuk menguasai kosakata bahasa tersebut. Walaupun demikian, penguasaan kosakata saja tidak cukup sebagai syarat untuk menguasai bahasa tertentu. Salah satu syarat yang perlu dan mendesak dalam berbicara, menulis, dan menerjemahkan adalah pemilihan kata.

Pemilihan kata dalam Linguistik disebut diksi. Diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).1

Pemakaian bahasa diatur oleh dua perangkat kaidah. Kaidah yang pertama disebut tata bahasa, yang menentukan benar tidaknya kalimat. Kaidah yang kedua dinamakan gaya bahasa, yang membuat bahasa yang kita gunakan menjadi baik, indah, dan efektif. Penggunaan bentuk kata yang tepat, seperti pemilihan antara

1Alwi dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), ed. 3, cet. ke-3, h. 264.


(16)

tahu dan mengetahui, termasuk dalam cakupan tata bahasa karena pilihan yang salah berakibat kalimat menjadi salah. Sebaliknya, pemilihan antara matahari dan sang surya tergolong ke dalam cakupan gaya bahasa. Pemilihan gaya bahasa yang salah tidak berakibat kalimat menjadi salah, tetapi kalimat itu dapat dianggap tidak tepat, tidak kena sasarannya, atau tidak indah. Kalimat yang betul belum tentu tepat, kena, indah, atau efektif.2 Dalam penelitian ini, Penulis hanya meneliti pemilihan kata atau diksi secara gaya bahasa.

Pilihan kata termasuk dalam ilmu semantik, yaitu ilmu yang mempelajari makna kata. Makna kata tersebut terdapat dalam kamus. Kamus merupakan sebuah referensi yang memuat kosakata dan disusun secara alfabetis disertai keterangan bagaimana menggunakan kata itu. Dengan banyaknya makna dalam kamus, kita harus memilih kata atau makna yang tepat untuk mengungkapkan sebuah gagasan. Hal ini penting, karena tidak jarang sebuah kata dapat berubah arti dalam ruang dan waktu yang berbeda sehingga menimbulkan kesalahpahaman dalam penggunaan.

Bahasa yang dipergunakan penulis atau penerjemah harus bahasa yang umum dan tidak menyalahi norma-norma umum yang berlaku. Baik penulis maupun penerjemah yang belum mahir mempergunakan bahasa akan menemukan berbagai kesulitan, karena apa yang dipikirkan atau dimaksudkan tidak akan sempurna dilahirkan kepada orang lain. Demikian pula dalam pergaulan umum, jika bahasa yang dipergunakan bukan merupakan bahasa yang umum berlaku, maka sukar pula diperoleh komunikasi yang lancar. Hal ini akan menimbulkan kesalahpahaman. Sangsi yang langsung dapat diterima oleh pembicara, penulis,

2 Anton M. Moeliono, Masalah Bahasa yang dapat Anda Atasi Sendiri (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 75.


(17)

dan penerjemah adalah bahwa apa yang diinginkan tidak dapat segera mendapat tanggapan.

Dalam menerjemah bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, penerjemah harus memilih padanan kata yang sesuai dengan tuntutan konteks, sehingga hasil terjemahannya tepat dan benar. Terkadang satu kata dalam bahasa Arab mempunyai belasan arti. Untuk itu penerjemah harus teliti dalam memilih padanan kata. Contoh, kata bermakna ‘banyak, sering, dan melimpah-limpah’, dalam kalimat:

ی !

"#$%"&

Kita sering menonton TV yang menayangkan film cerita.

Pilihan diksi pada kata dalam kalimat di atas, sangat tepat diartikan ‘sering’.

Contoh lain, pada frasa

' ( ) *

, kata

) *

pada frasa tersebut tidak diartikan ‘memukul’, tetapi lebih tepatnya diatikan ‘mengocok’, karena kata yang berdampingan dengannya bermakna ‘telur’. Jadi, frasa tersebut diartikan ‘mengocok telur’.

Penggunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua persoalan pokok:

pertama, ketepatan memilih kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan diamanatkan. Kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Perbedaan antara ketepatan dan kesesuaian diksi adalah dalam ketepatan, kita mempersoalkan apakah kata yang digunakan sudah tepat, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan di antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dengan pembaca. Dalam kesesuaian, kita mempersoalkan apakah pilihan kata dan gaya bahasa tidak merusak suasana atau


(18)

menyinggung perasaan orang lain.

Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang tepat yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf:

(

-+",

-. / 0

1

2 3 4" 3 56 7 89 " 3 : 89 8; <

= >

< 1 6 "9< 8?( 2 3 < 1@ < "9< AB

) )

3

C ( <

Beliau bersabda, “Itu bukanlah malu yang sebenarnya. Orang yang ingin malu dengan yang sebenar-benarnya di hadapan Allah swt, hendaklah menjaga pikiran dan bisikan hatinya, hendaklah ia menjaga perutnya dan apa yang dimakannya, hendaklah ia mengingat mati dan fitnah kubur....4

Kata

C (

di atas diterjemahkan ‘fitnah kubur’, kata

C (

di atas tidak tepat dan tidak sesuai diartikan ‘fitnah’, karena dalam bahasa Indonesia kata

fitnah diartikan ‘perkataan atau pembicaraan yang sengaja disebarkan untuk menjelek-jelekkan orang agar masyarakat mempunyai kesan yang buruk tentang orang yang difitnah itu.’5 Dalam kamus al-Ashri

C ﺏ

bermakna ‘dicoba; diuji’.6 Menurut Penulis, kata

C (

di atas lebih tepatnya diartikan ‘siksa kubur’, karena sebelumnya, kata tersebut didahului oleh kalimat hendaklah ia mengingat mati. Jadi, arti dari

C (

tidak jauh dari kematian. Kata fitnah (kata yang dipilih oleh

3 Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf (Beirut: Darul Khair, t.t.), h. 215.

4

Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem (Surabaya: Risalah Gusti, 2006), h. 252.

5J.S. Badudu, Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia (Jakarta: Buku Kompas, 2005), cet. ke-2, h. 111.

6 Atabik Ali dan Zuhdi Muhdhar, Al-Ashri (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), cet. ke-8, h. 354.


(19)

penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf), dicoba, dan diuji merupakan sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan.

Di bawah ini contoh pilihan kata yang kurang sesuai yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf:

E F -4" G ="9

89 H0>I - " 8ﺏ J K + ی

-

*

C

L

<

M

>

N

O

8

<

,

3

4"

<

P

(

Q$ C

#

< "

R

+

S

9

J

7

))

)))))))

Al-Fudhail bin Iyadh menjelaskan, “Ada lima tanda celaka

seorang manusia: Kerasnya hati, bengisnya mata, tiadanya rasa malu, hasrat terhadap dunia, dan lamunan yang tiada terbatas.”8

Kata

+ ی

di atasditerjemahkan ‘menjelaskan’. Dalam konteks kalimat di atas, subjek sedang menyebutkan sesuatu, bukan menjelaskan. Jadi, menurut Penulis, kata tersebut lebih sesuai diterjemahkan ‘menyebutkan’. Begitu juga terjemahan kata

4" G

yang diterjemahkan ‘celaka’. Penggunaan kata celaka kurang sesuai, karena kata celaka berkedudukan sebagai kata kerja sedangkan pada struktur kalimat di atas lebih tepat menggunakan kata benda. Dalam kamus

al-Ashri, kata

4" G

berarti ‘kesengsaraan; kemalangan’.9 Begitu juga dalam kamus al-Munjid fî al-Lughah, kata

4" G

berarti

)

EN"OF ' # UE$G

T

10 yang dalam bahasa Indonesia berarti ‘kesengsaraan; lawan kata kebahagiaan’.

7 Al-Naisabury, Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf, h. 217.

8 Al-Naisabury, Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Penerj. Mohammad Luqman Hakiem, h. 255.

9

Atabik Ali, h. 1141.

10 Luis Mahluf, Al-Munjid fî al-Lughah, (Beirut: Al-Maktabah Al-Syarqiyah, 2002), cet. ke-39, h. 397.


(20)

Jadi, setelah merujuk beberapa kamus, menurut Penulis, kata

4" G

lebih tepat diterjemahkan ‘kesengsaraan’.

Diksi merupakan faktor utama dalam aktivitas penerjemahan. Penerjemah harus teliti dalam memilih kata agar ide dan pesan penulis tersampaikan dengan baik. Terkadang, penyampaian seseorang dalam menyampaikan ide yang dimaksud mengalami kesulitan, baik dalam menulis, berkomunikasi, maupun menerjemahkan. Hal ini disebabkan karena minimnya kosakata yang dimiliki. Sebaliknya, ada pula seseorang yang mempergunakan kata sangat boros, namun tidak ada isi yang tersirat di balik kata-kata itu. Inilah alasan utama Penulis mengkritik diksi/pilihan kata dalam terjemahan agar pilihan kata dapat tersampaikan sesuai pesan penulis dan mudah dipahami oleh para pembaca.

Sekarang ini, banyak sekali buku terjemahan di Indonesia yang telah membuka cakrawala pemikiran kita untuk selalu berhubungan dengan bangsa lain melalui karya mereka yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia. Khususnya, buku terjemahan dari bahasa Arab yang sebagian besar sudah dicetak berulang kali. Penulis menjadikan salah satu buku terjemahan tersebut sebagai bahan kritik yang fokus membahas masalah diksi.

Buku terjemahan yang akan menjadi bahan kritik adalah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf karya Imam Al-Qusyairy al-Naisabury, seorang sufi besar, pengarang dalam bidang tasawuf, dan ilmu-ilmu Islam. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mohammad Luqman Hakiem berjudul Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf.

Berdasarkan latar belakang itulah, Penulis memberi judul skripsi ini dengan Diksi dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan Al-Risâlah


(21)

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Pengamatan pada buku terjemahan Al-Risâlah Qusyairiyyah fî Ilmi

al-Tasawwuf memberi inspirasi kepada Penulis untuk mengangkat permasalahan pada kajian diksi/ pilihan kata. Agar penulisan ini tidak meluas, Penulis merumuskan masalah ini dengan bentuk pertanyaan yang akan dijawab setelah melalui telaah mendalam. Bentuk pertanyaannya adalah:

Apakah diksi yang dipilih penerjemah buku Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî

Ilmi al-Tasawwuf sudah tepat dan sesuai secara gaya bahasa?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan di atas, Penulis memiliki tujuan umum dalam penelitian ini, di antaranya membuktikan pentingnya memilih kata dalam penerjemahan sehingga tidak menimbulkan kerancuan arti dan tersampaikan apa yang diinginkan penulis buku. Selain itu, Penulis juga memiliki tujuan inti yang secara jelas dirumuskan berikut ini:

Mengetahui akurasi kata yang dipilih oleh penerjemah buku Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

D. Manfaat Penelitian

Di samping penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi kata dalam terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf. Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, khususnya, para


(22)

penerjemah agar dapat merujuk hasil penelitian ini guna mengetahui pilihan kata atau diksi yang tepat dan sesuai secara gaya bahasa. Selain itu, bagi penerjemah pemula yang ingin melakukan penerjemahan menyadari bahwa dalam penerjemahan itu perlu diperhatikan kemahiran dalam memilih diksi yang tepat dan sesuai agar para pembaca mudah menangkap isi atau pesan yang disampaikan penulis.

E. Tinjauan Pustaka

Sejauh yang Penulis temukan, penelitian tentang permasalahan diksi dilakukan oleh 5 orang, di antaranya: Umanih (2007) menganalisis diksi terhadap terjemahan Fiqh al-Mar`ah al-Muslimah, Rachmad Joeni Akbar (2006) menganalisis diksi terhadap Alquran terjemahan Departemen Agama surat al-Waqi‘ah, Elang Satya Nagara (2007) menganalisis diksi pada bab puasa buku terjemahan Fath al-Qarib, Euis Maemunah (2004) menganalisis diksi pada bab zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, dan Mohammad Hotib (2006) menganalisis diksi pada terjemahan buku Bulugh al-Maram bab riba “versi A. Hassan”. Umumnya, penelitian yang dilakukan mahasiswa Jurusan Tarjamah adalah analisis diksi pada terjemahan Alquran dan kitab-kitab Fiqh. Sementara itu, belum terdapat penelitian yang menganalisis atau mengkritik masalah diksi mengenai tasawuf, seperti yang akan Penulis teliti dalam buku terjemahan Al-Risâlah

al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.


(23)

Dalam penelitian ini, Penulis akan memakai teori Newmark dalam buku yang disusun oleh Rochayah Machali yang berjudul Pedoman bagi Penerjemah. Penulis juga akan menggunakan teori Eugene A. Nida. Selain itu, Penulis akan menggunakan teori Gorys Keraf yang terdapat dalam buku Diksi dan Gaya

Bahasa. Selanjutnya, sebagai alat untuk mengkritik, Penulis akan menggunakan teori Kunjana Rahardi dalam bukunya Seni Memilih Kata.

G. Metodologi Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian studi naskah terjemahan, yaitu dengan cara menginventarisir kata-kata terkait dengan masalah yang diteliti untuk menyingkap fakta yang ada sekaligus menemukan masalah-masalah baru. Setelah itu, Penulis mendeskripsikan masalah-masalah tersebut sesuai dengan data yang ada sehingga dapat mencapai maksud dan tujuan penelitian.

Penulis melakukan pencarian data dengan membaca dan menelaah berbagai kamus guna mengetahui diksi atau pilihan kata dengan tepat dan sesuai secara gaya bahasa. Penulis mengkritik pilihan kata atau diksi yang terdapat dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf.

Di samping itu, Penulis juga terus berkonsultasi dengan para ahli untuk mengetahui lebih jauh dalam memilih diksi yang tepat.

Dalam penulisan ini, Penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder berupa buku-buku tentang penerjemahan, buku mengenai semantik, kamus bahasa Arab, bahasa Indonesia, Linguistik, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.

Selain itu, Penulis menggunakan kajian pustaka (library research). Secara teknis, penulisan ini didasarkan pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah


(24)

(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development and

Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

H. Sistematika Penulisan

Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan bab yang memayungi topik penelitian ini. Bab ini menjelaskan latar belakang atau alasan pemilihan topik penelitian ini, pembatasan masalah, perumusan masalah yang berupa pertanyaan, tujuan, manfaat, tinjauan pustaka, dan metodologi penelitian. Bab ini sangat penting, karena akan berpengaruh terhadap bab-bab selanjutnya.

Bab II menyajikan teori penerjemahan, yang meliputi definisi, proses, dan metode penerjemahan. Mengingat penelitian ini berorientasi pada kritik atau penilaian, karenanya pada bab ini juga dipaparkan kerangka teori yang akan dipakai, diantaranya, teori diksi dan perantinya, ketepatan dan kesesuaian pemilihan kata, dan lain-lain. Bab ini akan menjadi alat kritik.

Bab III menyuguhkan hal yang terkait objek atau data penelitian ini, yaitu kajian tentang biografi singkat Imam al-Qusyairy al-Naisabury. Bab ini akan memperjelas penelitian.

Bab IV berupa kritik internal atau penilaian dengan menerapkan teori yang ada pada bab II. Bab ini akan membuktikan hasil penelitian.

Bab V merupakan bab yang mengakhiri penelitian ini dengan memberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan, dengan tidak lupa menyertakan saran.


(25)

BAB II

KERANGKA TEORETIK

A. Teori Terjemah 1. Definisi Penerjemahan

Dalam bidang penerjemahan ditemukan banyak definisi yang disampaikan oleh para ahli. Berbagai definisi penerjemahan tersebut sering dikutip dalam buku-buku tentang penerjemahan.

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikannya sebagai the replacement of

textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL), yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘mengganti bahan teks dalam bahasa sumber dengan bahan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran.’ Newmark (1981) juga mendefinisikan serupa, namun lebih jelas lagi,

rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan ‘menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dimaksudkan pengarang.’11

Kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa: (1) penerjemahan adalah upaya mengganti teks bahasa sumber dengan teks yang sepadan dalam bahasa sasaran; (2) yang diterjemahkan adalah makna yang sesuai dengan maksud pengarang.

Di sisi lain, Eugene A. Nida dan Charles R. Taber (1969), dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi


(26)

penerjemahan sebagai berikut:

Translating consists in reproducing in the receptor language the closest natural equivalent of the source language message, first in terms meaning and secondly in terms of style.

Menerjemahkan adalah kegiatan menghasilkan kembali di dalam bahasa penerima barang yang secara sedekat-dekatnya dan sewajarnya sepadan dengan pesan dalam bahasa sumber, pertama-tama menyangkut maknanya dan kedua menyangkut gayanya.

Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa penerima (sasaran) dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya bahasanya.12 Di sini Nida dan Taber tidak mempermasalahkan bahasa-bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan, yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam BSu bisa disampaikan dalam Bsa.13 Menurut mereka, terjemahan terbaik ialah terjemahan yang tidak berbau terjemahan.14

Menurut Benny Hoedoro Hoed, dalam bukunya Penerjemahan dan

Kebudayaan, penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber (BSu/TSu) ke dalam bentuk teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (BSa/TSa).15

Dalam bukunya Translation: Applications and Research, Brislin (1976)

12 Widyamartaya, Seni Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 1989), h. 11. 13

Zuchridin Suryawinata dan Sugeng hariyanto, Translation: Bahasan Teori dan Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.

14

Moch. Syarif Hidayatullah, Teori dan Permasalahan Penerjamahan, Diktat (Jakarta: t.pn., 2007), h. 42.

15 Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan

(Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 2006), h. 28.


(27)

menulis:

Translation is the general term referring to the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another (target), whether the languages are in written or oral form; whether the languages have a established orthographies or do not have such standardization or whether one or both languages is based on signs, as with sign languages of the deaf.

Secara bebas, definisi tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut:

Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan; baik kedua bahasa tersebut telah mempunyai sistem penulisan yang telah baku maupun belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat sebagaimana bahasa isyarat orang tuna rungu.16

Dari definisi di atas, Brislin memberi batasan pada istilah penerjemahan. Bagi dia penerjemahan adalah pengalihan buah pikiran atau gagasan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain. Kedua bahasa ini bisa serumpun, seperti bahasa Jawa dan Sunda, bisa dari lain rumpun, seperti bahasa Indonesia dan Arab, atau bahkan bahasa yang sama tetapi dipakai dalam kurun waktu yang berbeda.

Definisi lain tentang penerjemahan diungkapkan oleh Mc Guire (1980), yaitu:

Translation involves the rendering of a source language (SL) text into the target language (TL) so as to ensure that (1) the surface meaning of the two will be approximately similar and (2) the structure of the SL will be preserved as

16


(28)

closely as possible, but not so closely that the TL structure will be seriously distorted.

Definisi tersebut diterjemahkan sebagai berikut:

Penerjemahan melibatkan usaha menjadikan BSu ke BSa sehingga (1) makna keduanya menjadi hampir mirip dan (2) struktur BSa dapat dipertahankan setepat mungkin, tetapi jangan terlalu tepat sehingga struktur BSanya menjadi rusak.17

Definisi di atas terdapat beberapa hal yang kurang mengena. Pertama, yang dibicarakan adalah BSu dan BSa yang sangat umum, sehingga tidak khusus mengacu pada suatu terjemahan. Selain itu, definisi kedua mengandung kontroversi, yaitu setepat mungkin namun jangan terlalu tepat. Dari sini kita tidak tahu batas ketepatan yang dimaksud.

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa penerjemahan adalah memindahkan makna yang telah diungkapkan dalam bahasa yang satu (BSu) ke bahasa yang lain (BSa) dengan menyesuaikan kaidah kedua bahasa tersebut.

2. Proses Penerjemahan

Menerjemahkan bukan hanya sekadar menyadur, dengan pengertian menyadur sebagai pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak harus ke dalam bahasa lain. (Pengertian menyadur tersebut disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana). Selain memahami definisi penerjemahan, seorang penerjemah

17 Ibid., h. 15.


(29)

hendaknya mengetahui pula proses penerjemahan.18 Salah satu proses penerjemahan yang seringkali dianut oleh banyak teoritis penerjemahan adalah proses penerjemahan karya Nida (1975).

Nida membagi proses penerjemahan itu menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu ialah:

1. Analisis

2. Pengalihan (Transfer)

3. Penyelarasan (Restructuring)19 Tahap Pertama atau Analisis

Pada tahap pertama, sebelum penerjemah menganalisis teks yang akan diterjemahkan, ia akan dihadapkan dengan sebuah teks Bahasa Sumber (BSu), misalnya bahasa Arab. Pada waktu seorang penerjemah menghadapi teks BSu, dia harus memiliki latar belakang ilmu pengetahuan yang diterjemahkan itu. Kalau tidak, dia tentu akan mengalami kesulitan. Misalnya seorang penerjemah yang tidak menguasai bidang kedokteran diminta menerjemahkan teks-teks atau materi-materi di bidang kedokteran, dia tentu akan mengalami kesulitan dalam memahami isinya. Hal tersebut akan berakibat penerjemahannya melenceng dari isi atau pesan teks bahasa sumbernya (BSu).

Di samping seorang penerjemah harus menguasai masalah pokok dari materi yang diterjemahkan itu, dia harus pula menguasai BSu dengan baik sekali dan bahkan hampir sempurna dari segi kebahasaannya. Tujuan penganalisisan dari aspek kebahasaannya ini dimaksudkan bahwa si penerjemah harus mampu menganalisis pola kalimatnya, struktur bahasanya, kolokasinya, idiomnya,

18

Widyamartaya, h.14. 19


(30)

peribahasanya (kalau ada), gaya bahasanya, kata-katanya, dan sebagainya. Seorang penerjemah harus dapat menguasai segala sesuatu yang berhubungan dengan bahasa yang digunakan dalam teks BSu, agar dia dapat memahami seluruh isi atau maknanya.20 Untuk itu, penerjemah terlebih dahulu harus tahu bahan yang hendak diterjemahkan itu bahasa siapa: bahasa seorang pujanggakah, seorang noveliskah, seorang ahli hukumkah, seorang penulis iklankah, dan sebagainya.21

Di sisi lain, penerjemah juga harus menguasai (atau paling tidak banyak mengetahui) budaya yang dilibatkan dalam BSu karena penerjemahan itu sangat erat hubungannya dengan kebudayaan.

Tahap Kedua atau Tahap Pengalihan

Pada tahap ini, penerjemah harus mampu mencarikan padanan ke dalam BSa yang menyangkut semua kata, frasa, klausa, kalimat, dan bahkan mencarikan padanan untuk seluruh wacana. Pekerjaan ini tidak mudah, karena kadang-kadang terdapat ungkapan yang sukar sekali dicarikan padanannya dalam BSa. Malahan terdapat makna yang sama sekali tidak dapat dicarikan padanannya dalam BSa. Tetapi ada pendapat yang mengatakan bahwa pikiran atau gagasan yang dapat diungkapkan dalam suatu bahasa pasti juga dapat diungkapkan dalam bahasa yang lain, tentu saja cara pengungkapannya berbeda. Tetapi harus diingat bahwa kedua ungkapan itu (BSu dan BSa) tidak akan sama persis maknanya. Dengan demikian, penerjemah harus berusaha mencarikan padanannya yang paling dekat, karena setiap bahasa mempunyai sistem pengungkapan dan sistem pemaknaan yang berbeda dengan bahasa yang lain.22 Dalam tahap ini, penerjemah harus sering meminta bantuan orang lain.

20 Ibid., h. 6.

21

Widyamartaya, h. 16. 22


(31)

Tahap Ketiga atau Tahap Penyelarasan

Tahap ini merupakan tahap akhir, dan ini berarti bahwa tahap sebelumnya sudah diselesaikan dengan baik. Setelah seorang penerjemah menemukan semua padanan dalam BSa, dia harus menuangkan semua padanan itu ke dalam draft atau rencana terjemahannya. Tentu saja hasil terjemahannya masih kasar dan bersifat sementara serta masih memerlukan perbaikan di sana-sini. Dengan kata lain draft itu masih memerlukan penyelarasan. Barangkali kalimat-kalimatnya masih tampak kaku atau masih tampak seperti kalimat-kalimat yang berasal dari kalimat-kalimat BSu. Kalimat-kalimat terjemahan tersebut masih terpengaruh oleh bentuk bahasa sumbernya.23

Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orang lain melakukannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu dilakukan oleh orang lain. Ada dua alasan bagi hal ini: (1) penerjemah biasanya merasa sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara psikologis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah bagus, peristilahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya; (2) penerjemahan sebaiknya merupakan pekerjaan suatu tim. Dalam hal ini, penerjemah melulu menerjemahkan sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain.

Apabila penerjemah sendiri ingin melakukan penyerasian, maka sebaiknya penerjemah memberikan hasil terjemahan untuk beberapa lama, agar ia tidak ingat lagi proses pengambilan keputusan yang dilakukannya pada waktu menerjemahkan. Hal ini untuk menghindari pengaruh proses tersebut terhadap tindakan penyerasian yang akan dilakukannya. Sesudah itu, barulah ia dapat

23 Ibid.


(32)

memeriksa kembali hasil terjemahan tersebut dengan pikiran yang segar.24

3. Metode Penerjemahan

Menurut Newmark, sebagaimana dikutip oleh Rochayah Machali, ada dua metode penerjemahan, yaitu (1) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sumber (BSu); (2) metode yang memberikan penekanan terhadap bahasa sasaran (BSa). Dalam metode jenis yang pertama, penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan setepat-tepatnya makna kontekstual Tsu, meskipun dijumpai hambatan sintaksis dan semantis pada Tsa (yakni hambatan bentuk dan makna). Dalam metode kedua, penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi BSu.25

Metode-metode yang memberikan penekanan atau lebih berorientasi terhadap bahasa sumber antara lain:

1. Penerjemahan Kata demi Kata (Word-for-word translation)

Dalam metode penerjemahan jenis ini biasanya kata-kata TSa langsung diletakkan di bawah versi TSu. Kata-kata dalam TSu diterjemahkan di luar konteks, dan kata-kata yang bersifat kultural dipindahkan apa adanya. Contoh:

ﺙ X

$

V

<

)

Y ,B

dan di sisiku tiga pulpen-pulpen.

Umumnya metode ini digunakan sebagai tahapan prapenerjemahan pada penerjemahan teks yang sangat sukar atau untuk memahami mekanisme BSu. Jadi, dalam proses penerjemahan, metode ini dapat terjadi pada tahap analisis atau

24

Machali, h. 39. 25 Ibid., h. 49.


(33)

tahap awal pengalihan.

2. Penerjemahan Harfiah (Literal Translation)

Metode ini juga dapat dilakukan dalam penerjemahan awal. Kalimat-kalimat yang panjang dan sulit diterjemahkan secara harfiah dulu untuk kemudian disempurnakan. Dalam penerjemahan harfiah, penerjemah sudah mengubah struktur BSu menjadi struktur BSa. Namun, kata-kata dan gaya bahasa dalam TSu masih dipertahankan dalam TSa. Dengan sendirinya terjemahan seperti ini masih memperlihatkan model teks dari TSu dan belum dapat dikatakan sebagai terjemahan yang betul. Metode ini juga dipilih untuk menjaga agar jangan terjadi kebocoran dalam mengalihkan pesan.26 Contoh:

4 N Z I

Ringan selendang.27

Metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah melihat masalah yang harus diatasi.28

3. Penerjemahan Setia (Faithful Translation)

Penerjemah setia ini berupaya menghasilkan kembali makna kontekstual BSu yang tepat. Dalam melaksanakan hal itu, penerjemah akan berhadapan dengan kendala struktur gramatikal BSa. Dengan menggunakan metode ini, penerjemah mentransfer kata-kata kultural dan mempertahankan tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal (penyimpangan dari norma-norma BSu) dalam penerjemahan. Penerjemah berupaya setia sepenuhnya terhadap tujuan dan

26

Hoed, h. 56.

27 Moch. Syarif Hidayatullah, Teknik Menerjemah Teks Arab 1, (Jakarta: Transpustaka, 2005) h. 27.

28


(34)

realisasi teks penulis BSu.29 Dalam hasil penerjemahan metode ini, kadang-kadang terasa kaku dan seringkali asing. Contoh:

Dia (lk.) dermawan karena banyak abunya.

)+)

N"

9

%

4. Penerjemahan Semantik (Semanic Translation)

Penerjemah sangat menekankan pada penggunaan istilah, kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam terjemahannya.30 Perbedaan antara penerjemahan setia (3) dan penerjemahan semantik adalah bahwa metode (3) lebih kaku, tidak berkompromi dengan kaidah, dan lebih terikat oleh BSu sedangkan metode (4) lebih fleksibel. Contoh seperti dalam contoh (3), namun, dalam metode ini, hasil terjemahnnya lebih luwes.

Ia (laki-laki) adalah orang dermawan. =

N"9

%

Penerjemahan semantis harus pula mempertimbangkan unsur estetika teks BSu dengan mengkompromikan makna selama masih dalam batas kewajaran.

Metode-metode yang memberi penekanan atau lebih berorientasi terhadap bahasa sasaran antara lain:

1. Saduran (Adaptation)

Adaptasi merupakan metode penerjemahan yang paling bebas dan paling dekat dengan BSa. Istilah saduran dapat dimasukkan di sini asalkan penyadurannya tidak mengorbankan hal-hal penting dalam TSu, misalnya tema, karakter, atau alur. Biasanya metode ini dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Tetapi

29

Hidayatullah, h. 15. 30


(35)

dalam penerjemahan, terjadi peralihan budaya BSu ke budaya BSa, dan teks asli ditulis kembali serta diadaptasikan ke dalam Tsa.31

Contoh: BSu: Mumpung padhang rembulane

Mumpung jhembar kalangane

Klausa di atas dapat diadaptasi ke dalam bahasa Arab sebagai berikut:

6

V

>

B "

#

["

#

ﺏ "

$

[

#"

Selama bulan purnama bersinar.

Tidak diterjemahkan: Selama menyinari (kami) bulan purnama (kami). (pronominal persona “kami” tidak diterjemahkan).

Versi asli BSa adalah penggambaran budaya tentang betapa pengaruh bulan purnama di suatu suasana desa Jawa (yang mungkin temaram/gelap), sehingga tidak hanya “padhang rembulane” (terangnya sinar bulan) saja yang dilukiskan, tetapi juga “jembar kalangane” (luasnya lingkaran terang bulan). Keduanya disampaikan melalui lagu/irama bunyi [e] pada akhir klausa. Demikian pula pada penerjemahan ke dalam bahasa Arab tidak dapat menggambarkan budaya yang serupa. Alternatif versi BSa (bahasa Arab) adalah penggambaran netral dalam satu kalimat, dengan rima internal bunyi [na:] pada kata ana: rana: dan badruna:. Dalam budaya masyarakat Arab, bulan purnama

[$ﺏ

/badr/ sudah mengandung makna terang bulan dengan luas lingkaran penuh.32

2. Penerjemahan Bebas (Free Translation)

Metode ini merupakan penerjemahan yang mengutamakan isi dan mengorbankan bentuk teks BSu. Biasanya, metode ini berbentuk sebuah parafrase yang dapat

31

Machali, h. 53. 32


(36)

lebih panjang atau lebih pendek dari aslinya dan bentuk retorik (seperti alur) atau bentuk kalimatnya sudah berubah sama sekali. Metode ini sering dipakai di kalangan media massa.33 Contoh:

B C

>

+"

B

HJ

]

H^

9

8

B

+

N"F

3

E"

V

A"

B

M

>

O

8

Harta sumber malapetaka34

3. Penerjemahan Idiomatik (Idiomatic Translation)

Metode ini bertujuan mereproduksi pesan dalam teks BSu, tetapi sering dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada versi aslinya. Dengan demikian, banyak terjadi distorsi nuansa makna. Beberapa pakar penerjemahan seperti Seleskovitch menyukai metode terjemahan ini, yang dianggapnya “hidup” dan “alami (dalam arti akrab)”. Sebagai contoh adalah penerjemahan berikut ini:

8_"V; 4J>ﺕ 4"9a J(,

Sedia payung sebelum hujan.

4. Penerjemahan Komunikatif (Communicative Translation)

Metode ini berupaya memberikan makna kontekstual BSu yang tepat sedemikian rupa sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca.35 Sesuai dengan namanya, metode ini memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi. Yaitu khalayak pembaca dan tujuan penerjemahan. Melalui metode ini, sebuah versi TSu dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi TSa sesuai dengan

33

Machali, h. 53. 34

Hidayatullah, h. 4. 35 Ibid., h. 17.


(37)

prinsip di atas.36 Contoh:

#

?

[

9

8

#

?

Y

^

9

8

Y

^

9

8

9

K

b

Y

Dapat diterjemahkan ke dalam beberapa versi, di antaranya:

1. Kita tumbuh dari mani, lalu segumpal darah, dan kemudian segumpal daging (awam).

2. Kita berproses dari sperma, lalu zigot, dan kemudian embrio (terpelajar).37 Newmark memberikan komentar terhadap metode-metode di atas. Menurutnya, hanya metode semantik dan komunikatiflah yang dapat memenuhi tujuan utama penerjemahan, yaitu keakuratan dan keekonomisan. Pada umumnya, masih menurut Newmark, penerjemahan semantik ditulis pada tingkat linguistik penulis, sedangkan penerjemahan komunikatif pada tingkat linguistik pembaca. Penerjemahan semantik digunakan untuk menerjemahkan teks-teks ekspresif, sedangkan penerjemahan komunikatif untuk teks-teks vokatif dan informatif.38

B. Teori Diksi 1. Definisi Diksi

Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam Websters (Edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to

correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas penggunaan kata,

36

Machali, h. 55. 37

Hidayatullah, h. 5. 38 Ibid., h. 18.


(38)

terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan.39

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diksi adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan).40

Menurut Harimurti Kridalaksana, diksi adalah pilihan kata dan kejelasan lafal untuk memperoleh efek tertentu dalam berbicara di depan umum atau dalam karang-mengarang.41

Dalam buku Seni Menggayakan Kalimat, Widyamartaya mengutip pendapat Gorys Keraf bahwa pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu.42

Gorys Keraf juga menguraikan tiga kesimpulan utama mengenai diksi:

pertama, pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi; kedua, pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk

39 Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika Aditama, 2007), cet. ke-I, h. 7.

40

Alwi dkk., h. 264. 41

Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993) ed. 3.

42 Widyamartaya, Seni Menggayakan Kalimat (Yogyakarta: Kanisius, 1995), cet. ke-5, h. 44.


(39)

menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situsi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar; ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosakata atau perbendaharaan kata bahasa itu. Sementara itu, yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosakata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah bahasa.43

Dari beberapa pendapat di atas, secara umum Penulis menyimpulkan bahwa diksi adalah pilihan kata yang sesuai dengan makna atau gagasan yang ingin disampaikan oleh pembicara, penulis, dan penerjemah. Kata-kata tersebut harus tepat digunakan dalam situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar dan pembaca.

Dengan demikian, diksi yang baik dapat diketahui apabila sebuah tulisan mampu dipahami oleh pembaca sesuai dengan tingkat keahlian di mana tulisan itu ditujukan.

2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan

Penerjemah harus mengalihkan pesan atau amanat, bukan mengalihbahasakan kata per kata. Namun, pada praktiknya, dalam pengalihan pesan itu, sering terjemahan suatu kata atau istilah menjadi kendala yang agak sulit diatasi, demikian pula ungkapan. Terkadang kedua bahasa sedemikian berbeda sehingga penerjemah dihadapkan pada ketidakmungkinan menerjemahkan suatu kata. Di sinilah diperlukan kebijakan, kemampuan berbahasa Indonesia, keterampilan

43 Gorys Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007) cet. ke-17, h. 24.


(40)

menemukan kata yang tepat serta kreativitas seorang penerjemah agar teks terjemahannya dapat berterima. Di samping itu, ia pun harus mengenali apakah suatu kelompok kata merupakan frasa atau klausa biasa ataukah ungkapan atau peribahasa.

Masalahnya muncul jika penerjemah tidak tahu padanan peribahasa Indonesia atau memang dalam bahasa Indonesia tidak ada padanannya. Salah satu solusi adalah menerjemahkan makna peribahasa itu berdasarkan kamus.

Kata-kata yang sulit dicarikan padanannya biasanya menyangkut unsur budaya materi, religi, sosial, organisasi sosial, adat istiadat, kegiatan, prosedur, bahasa isyarat, ekologi (Newmark: 1988: 95, seperti yang dikutip oleh Nababan, 2004). Masalahnya, terkadang padanan kata itu ada dalam bahasa Indonesia, tetapi konotasinya berbeda. Atau sebaliknya, kata tersebut dalam teks asal memiliki berbagai makna yang harus dipilih dengan jeli oleh penerjemah. Memang persoalan memilih makna kata itu merupakan masalah permanen dalam penerjemahan yang dapat membuat kesal penerjemah karena terkadang ia telah paham betul apa yang dimaksud pengarang, tetapi mendapat kesulitan bagaimana menuangkannya dalam bahasa Indonesia gara-gara satu kata atau istilah saja. Contoh-contoh berikut yang menyangkut kebiasaan sehari-hari (pranata sosial, makanan-minuman, dll.), istilah keagamaan, istilah kekerabatan, kata ganti orang, nama diri, sebutan, gelar, kata sapaan, nama peralatan, tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan, buah-buahan,dan hewan.44

Dalam pencarian padanan, kita akan dihadapkan pada beberapa kasus.

44


(41)

Kasus berikut disarikan dari website yang ditulis oleh Ida Sundari Husen,45 di antaranya:

a. Istilah/kata yang memiliki padanan dalam bahasa Indonesia. • Kata tersebut sebetulnya ada padanannya dalam bahasa Indonesia, namun

dengan makna yang lebih luas, misalnya dalam bahasa Inggris, kata rice yang dapat berarti ’padi/beras/nasi’. Dalam hal ini, konteks sangat menentukan padanan kata yang dimaksud.

• Suatu kata dari bahasa sumber dapat memiliki makna ganda dan mempunyai dua padanan dalam bahasa Indonesia, misalnya, dalam bahasa Arab, kata maktab dapat berarti ’meja’ atau ’kantor’. Penerjemah harus memilih yang mana yang paling cocok dengan konteksnya.

• Banyak juga kata-kata yang sebetulnya memiliki padanan dalam bahasa Indonesia, tetapi dengan konotasi khusus, misalnya, dalam bahasa Inggris, kata

café bermakna ’warungkopi’; kitchen bermakna ’dapur’.

Rasa rendah diri dan kebiasaan berbahasa orang Indonesia tampaknya ikut menentukan dalam pengadopsian atau peminjaman istilah-istilah asing tersebut. Istilah "dapur" digunakan untuk dapur tradisional yang kotor, sedangkan kalau dapur itu bersih dan modern namanya kitchen. Dari istilah itu muncul kitchen-set di mana-mana. Sama halnya dengan keempat istilah lain yang tersebut di atas. Ada yang dipinjam bulat-bulat dalam bentuk aslinya, ada pula yang secara perlahan-lahan disulap menjadi bahasa Indonesia, seperti café atau kafe. Dalam petunjuk-petunjuk penerjemahan sering dikatakan bahwa penerjemah

harus menggunakan padanan istilah yang digunakan di Indonesia.

45

Ida Sundari Husen, “Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Menciptakan Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman?”, http://wartahpi.org/content/view/28/54/, 25 Mei 2005.


(42)

b. Istilah/kata yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Biasanya terdapat dalam istilah budaya yang menyangkut adat/kebiasaan, bangunan, tumbuhan, makanan dan minuman. Contoh, dalam bahasa Arab kata al-basyaam tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi di kamus al-Munawwir, kata tersebut diartikan ‘nama pohon’. Dalam hal ini, seorang penerjemah harus kreatif untuk mencari padanan yang cocok dalam bahasa Indonesia, misalnya dengan bertanya kepada ahli bahasa, baik sasaran, maupun sumber.

3. Peranti-peranti Diksi

a. Penggunaan Kata Bersinonim

Secara etimologi, kata sinonimi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’. Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Secara semantik, Verhaar mendefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa, atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain.46 Dikatakan kurang lebih, karena tidak akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.47

Dalam buku Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Abdul Chaer: 2002) juga disebutkan bahwa dalam buku-buku pelajaran bahasa sering dikatakan sinonim adalah persamaan kata atau kata-kata yang sama maknanya. Pernyataan ini jelas kurang tepat, sebab selain yang sama bukan maknanya, yang bersinonim

46 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), cet. ke-3, h. 82.

47 Abdul Chaer, Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 388.


(43)

pun bukan hanya kata dengan kata, tetapi juga banyak terjadi antara satuan-satuan bahasa lainnya. Seperti dalam contoh berikut:

a. Sinonim antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat), seperti antara

dia dengan nya, dalam kalimat “minta bantuan dia” dengan “minta bantuannya.”

b. Sinonim antara kata dengan kata, seperti antara mati dengan meninggal. c. Sinonim antara kata dengan frasa atau sebaliknya. Misalnya meninggal

dengan tutup usia.

d. Sinonim antara frasa dengan frasa. Misalnya, antara ayah ibu dengan

orangtua.

e. Sinonim antara kalimat dengan kalimat, seperti Adik menendang bola dengan Bola ditendang adik.

Tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim. Misalnya kata beras, salju, batu, kuning, dan lain-lain tidak memiliki sinonim. Ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar tetapi tidak pada bentuk jadian. Misalnya kata benar bersinonim dengan kata betul, tetapi kata

kebenaran tidak bersinonim dengan kata kebetulan. Sebaliknya, ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian. Misalnya, kata jemur tidak mempunyai sinonim tetapi kata menjemur ada sinonimnya, yaitu mengeringkan. Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak.48 Contoh kata yang dapat digantikan satu sama lain: kata semua bersinonim dengan kata seluruh, seperti dalam kalimat di bawah ini:

48


(44)

- Semua warga kota diungsikan. - Seluruh warga kota diungsikan.

Sedangkan kata yang tidak dapat digantikan satu sama lain adalah kata melihat,

melirik, menonton, meninjau, dan mengintip. Kata melihat memiliki makna umum; kata melirik memiliki makna melihat dengan sudut mata; kata menonton memiliki makna melihat untuk kesenangan; kata meninjau memiliki makna melihat dari tempat jauh; dan kata mengintip memiliki makna melihat dari atau melalui celah sempit. Contoh dalam kalimat:

- Ia mengintip bioskop. (salah) - Ia menonton bioskop. (benar)

Sinonim dipergunakan untuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada tempat tertsntu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengkongkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa itu) akan terwujud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk mana yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapinya.49

b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi

Makna denotasi dan konotasi dibedakan berdasarkan ada tidaknya nilai rasa dalam sebuah kata. Kata denotasi tidak bernilai rasa, sedangkan kata konotasi memiliki nilai rasa. Makna denotasi sering disebut makna konseptual, makna sebenarnya, makna lugas, makna polos, makna sesungguhnya sesuai dengan faktanya. Sedangkan konotasi itu bukanlah makna yang sebenarnya, melainkan makna

49

E. Zaenal Arifin dan S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Akademika Pressindo, 2006), cet. ke-8, h. 33.


(45)

kiasan.50 Contoh kata kurus bermakna denotasi ‘keadaan tubuh seseorang yang lebih kecil dari ukuran yang normal’.

Konotasi terbagi dua, yakni konotasi positif dan konotasi negatif. Konotasi positif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa tinggi, baik, sopan, santun, sakral, dan sejenisnya. Sementara itu, makna konotasi negatif adalah makna tambahan dari makna kata sebenarnya yang bernilai rasa rendah, kotor, jelek, dan sejenisnya.51 Contoh, kata ramping memiliki konotasi positif, nilai rasa yang mengenakkan. Sebaliknya, kata kerempeng memiliki konotasi negatif, nilai rasa yang tidak mengenakkan.

c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus

Kata umum adalah sebuah kata yang mengacu kepada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya.52 Kata khusus (hiponim) ialah bentuk (istilah) yang maknanya terangkum oleh bentuk kata umum (superordinat)nya.53

Pada umumnya, untuk mencapai ketepatan pengertian, lebih baik memilih kata khusus daripada kata umum, karena kata khusus memperlihatkan pertalian yang khusus atau kepada obyek yang khusus, maka kesesuaian akan lebih cepat diperoleh antara pembaca dan penulis. Misalnya, jika seorang mengatakan, “Si Cathy, kucing Rani, mencakar adik saya,” maka, kata si Cathy tidak akan menimbulkan salah interpretasi antara pembicara dan pendengar atau penulis dan pembaca. Karena, si Cathy mengacu kepada obyek yang khusus, yaitu kucing Rani yang bernama si Cathy.

50

Rahardi, h. 105.

51 Chaer, Linguistik Umum, h. 292. 52

Keraf, h. 90.

53 Mahmudah Fitriyah dan Ramlan A. Gani, Pembinaan Bahasa Indonesia (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007), cet. ke-1, h. 83.


(46)

d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret

Kata-kata abstrak ialah kata-kata yang sulit dipahami oleh pembaca/pendengar, karena referennya berupa konsep. Konsep ialah gambaran dari obyek atau proses yang berada di luar bahasa dan memahaminya harus menggunakan akal budi.54 Kata perdamaian, peradaban, dan lain-lain tidak dapat ditunjukkan dengan hanya memperlihatkan sesuatu benda, gambarnya atau modelnya, namun harus dijelaskan dengan definisi yang panjang lebar.

Kata konkret ialah kata-kata yang mudah dipahami karena referennya dapat dilihat, didengar, dirasakan, atau diraba. Contoh, kata mobil, meja,

komputer, ayam, kucing, dan lain-lain. Kata-kata tersebut referennya dapat ditunjukkan dengan cara melihat gambarnya.

Singkatnya, kata abstrak merupakan kata yang tidak mudah diserap oleh pancaindra. Sebaliknya, kata konkret merupakan kata yang mudah diserap oleh pancaindra.

e. Penggunaan Bentuk Idiomatis

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun gramatikal.55

Rahardi menuliskan dalam bukunya bahwa bentuk idiomatis sudah lekat dan tidak dapat diceraikan. Contoh, sesuai dengan, sehubungan dengan, berharap akan, berbicara tentang, dan lain-lain.56 Jadi, tidak cocok apabila ditulis sesuai

bagi, seharusnya sesuai dengan.

Dalam bahasa Indonesia ada dua macam bentuk idiom, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara

54 Ibid., h. 83.

55 Chaer, Linguistik Umum, h. 296. 56


(47)

keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna, contoh

membanting tulang, menjual gigi, dan meja hijau. Sedang pada idiom sebagian masih ada unsur yang memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, daftar hitam yang berarti ‘daftar yang berisi nama-nama orang yang dicurigai/dianggap bersalah.’57 Untuk mengetahui makna sebuah idiom sebuah kata (frasa atau kalimat) harus mencarinya di kamus.

4. Ketepatan Pilihan Kata

a. Persoalan Ketepatan Pilihan Kata

Ketepatan pilihan kata adalah kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembicara.58 Hal ini menyangkut pula masalah makna kata dan kosakata seseorang.

Dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara pembicara dan pendengar, atau antara penulis dan pembaca.

Contoh, Dengan adanya kegiatan penelitian sastra diharapkan dapat membantu menyediakan bahan-bahan guna penyusunan teori sastra Indonesia.

Suntingan: Kegiatan penelitian sastra Indonesia diharapkan dapat membantu lahirnya teori sastra Indonesia.59

Setiap penulis harus berusaha secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud tersebut, karena dengan begitu tidak akan menimbulkan

57 Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, h. 75. 58

Keraf, h. 87.


(48)

salah paham.

b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata

Beberapa syarat berikut hendaknya diperhatikan setiap orang agar bisa mencapai ketepatan pilihan katanya itu.

1. Membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannya, maka ia harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi emosional tertentu, ia harus memilih kata konotatif sesuai dengan sasaran yang akan dicapainya itu. 2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim. Penulis

harus berhati-hati memilih kata dari sekian sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya, sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan.

3. Membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya itu, maka akan mengakibatkan salah paham. Misalnya, bahwa-bawah, massa-masa,

karton-kartun, dan sebagainya.

4. Tidak boleh menafsirkan makna kata secara subjektif berdasarkan pendapat sendiri. Jika pemahaman itu belum dapat dipastikan, maka penulis harus dapat menemukan makna yang tepat di dalam kamus. Misalnya kata modern sering diartikan ‘canggih’. Padahal, kedua kata itu memiliki makna yang sangat berbeda.


(49)

5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut, seperti kata kultur-kultural. 6. Harus dapat menggunakan kata-kata idiomatik berdasarkan susunan yang

benar.

7. Harus dapat membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat menggambarkan sesuatu daripada kata umum.

8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang khusus. Kata-kata tersebut merupakan pengalaman-pengalaman yang dicerap oleh pacaindria, yaitu cerapan indria penglihatan, pendengaran, peraba, perasa, dan penciuman. Contoh, rujaknya pedas sekali (indria perasa).

9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal. Misalnya, kata sarjana dulu dipakai untuk menyebut semua orang cendekiawan. Sekarang dipakai untuk gelar universiter.

10.Memperhatikan kelangsungan pilihan kata. Kelangsungan pilihan kata adalah teknik memilih kata yang sedemikian rupa, sehingga maksud atau pikiran seseorang dapat disampaikan secara tepat dan ekonomis. Contoh,

Sesudah menjelang tahap akhir pertandingan itu, terjadilah keributan antara kedua kesebelasan. Lebih baik diganti Menjelang akhir

pertandingan, terjadilah keributan antara kedua kesebelasan.

Semua butir yang dikemukakan di atas dirangkum dari Diksi dan Gaya

Bahasa (Gorys Keraf) dan Seni Memilih Kata (Kunjana Rahardi). Butir a, b, f, g tidak disertakan contoh, karena sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya.


(50)

5. Kesesuaian Pilihan Kata

a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata

Kesesuaian pilihan kata mempersoalkan apakah kita dapat mengungkapkan pikiran kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan yang kita masuki. Dengan kata lain, pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak merusak suasana atau menyinggung perasaan orang yang hadir.

b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata

Ada beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau pembicara, agar kata-kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat tersebut adalah:

1. Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandar dalam suatu situasi yang formal. Bahasa substandar biasanya dipergunakan oleh seseorang yang tidak memperoleh kedudukan atau pendidikan yang tinggi. Kadang-kadang bahasa tersebut juga dipergunakan oleh kaum terpelajar dalam bersenda-gurau. Pada dasarnya, bahasa ini dipakai untuk pergaulan biasa, tidak dipakai dalam tulisan-tulisan.

2. Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja. Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara mempergunakan kata-kata populer. Kata-kata populer adalah kata-kata yang dikenal dan diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Kata-kata ilmiah biasa dipakai dalam diskusi-diskusi ilmiah, pertemuan-pertemuan resmi, dan tulisan-tulisan ilmiah. Contoh: Kata Populer Kata Ilmiah


(51)

bukti argumen

pertentangan kontradiksi

kekacauan anarki

kemunduran depresi

rasa kecewa frustasi

3. Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Jargon diartikan sebagai kata-kata teknis atau rahasia dalam suatu bidang ilmu tertentu, dalam bidang seni, perdagangan, kumpulan rahasia, atau kelompok khusus lainnya.

4. Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian kata-kata

slang. Kata-kata slang adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau murni. Kata-kata slang mengandung dua kekurangan: pertama, hanya sedikit yang dapat hidup terus; kedua, pada umumnya kata-kata slang selalu menimbulkan ketidaksesuaian. Kata-kata slang yang tumbuh secara populer, akan segera hilang dari pemakaiannya.Misalnya di Jakarta timbul kata-kata: mana tahan, eh ketemu lagi, dan lain-lain.

5. Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan. Yang dimaksud dengan kata percakapan adalah kata-kata yang biasa dipakai dalam percakapan atau pergaulan orang-orang yang terdidik. Suatu bentuk dari bahasa percakapan adalah singkatan-singkatan misalnya dok, prof, kep masing-masing untuk dokter, profesor, dan kapten. Hendaknya kata-kata tersebut dihindari dalam penulisan.

6. Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati). Ungkapan seperti ini disebut klise atau stereotip. Kata-kata yang membentuknya


(52)

tidak dirasakan usang, tetapi paduan kata-kata itulah yang dianggap tidak bertenaga lagi. Kata lekang yang berarti ‘retak atau belah’ akan memiliki tenaga untuk menggambarkan keadaan tanah yang terbelah karena musim kemarau yang panjang dan sinar matahari yang terik. Tetapi akan kehilangan tenaga dalam ungkapan seperti: Adat dan pusaka yang tak

lekang oleh panas, dan tak lapuk oleh hujan.

7. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial. Bahasa artifisial adalah bahasa yang disusun secara seni. Bahasa yang artifisial tidak terkandung dalam kata yang digunakan, tetapi dalam pemakaiannya untuk menyatakan suatu maksud. Fakta dan pernyataan yang sederhana dapat diungkapkan dengan sederhana dan langsung tak perlu disembunyikan. Contoh:

Artifisial: Ia mendengar resah kuda serta langkah pedati ketika langit bersih kembali menampakkan bimasakti, yang jauh.

Biasa : Ia mendengar derap kuda dan pedati ketika langit mulai terang. Syarat kesesuaian di atas disarikan dari buku Diksi dan Gaya Bahasa.60

60


(53)

BAB III SEPUTAR RISALAH QUSYAIRIYYAH, BIOGRAFI SINGKAT DAN

SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH

A. Seputar Risalah Qusyairiyyah Makna al-Risalah adalah topik atau kajian, sebagai jawaban atas persoalan atau

solusi bagi problema yang secara mendesak membutuhkan jawaban. Risalah ini disajikan oleh al-Qusyairy kepada mereka yang memusuhi dunia

tasawuf, dengan cara pandang taklid buta, tanpa melacak hakikat dan prinsip-prinsip tarikat. Mereka memusuhi tarikat ini dengan cara mencari celah-celah kesalahan yang ditampilkan sebagian pengaku tasawuf atau dari sisi kata-kata yang tinggi, yang tidak disandarkan pada nash, akal, ataupun bukti.

Situasi demikian merupakan keadaan setiap mazhab, pemikiran, dan tarikat. Di antara para pengikutnya ada yang memiliki pemahaman baik dan luas, di antara mereka ada yang secara fisik jembel lalu perbuatannya pun buruk. Sedangkan risalah ini merupakan suatu kemurnian yang benar yang bersumber dari kalbu yang dipenuhi oleh kecintaan kepada Allah dan Rasulullah serta cinta pada kebenaran yang menjadi tarikat Islamnya. Suatu Risalah yang ditujukan kepada orang-orang yang memahami secara salah terhadap tasawuf, semata karena kebodohannya terhadap hakikat tasawuf itu sendiri. Padahal, tasawuf merupakan sisi praktik, ruh, rasa, dan perilaku dalam Islam.

Al-Qusyairy ingin mengenalkan bahwa kebenaran itu tidak sebagaimana mereka pahami. Penganut tharikat yang menjalankannya secara benar adalah berdasarkan pada metode Alquran dan Sunah Rasul.


(54)

Risalah Qusyairiyyah juga ditujukan kepada ahli tasawuf untuk menjelaskan kepada mereka mengenai hakikat tarikat ini, berbagai hal yang disimpangkan dan disesatkan, sehingga mereka bisa berpijak pada jalan yang benar.

Risalah Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, karya monumental ulama besar, Abul Qasim al-Qusyairy al-Naisabury ini, merupakan buku utama yang menjadi rujukan jutaan kaum sufi selama kurang lebih seribu tahun, sejak dunia tasawuf muncul pada pertengahan kedua hijriah sampai pada periode sang pengarang. Di samping kajiannya yang sistematik, buku ini dilengkapi pengalaman-pengalaman kaum sufi yang sarat dengan muatan spiritual dan buku ini juga memberikan wawasan yang sempurna mengenai tasawuf.

Seputar tentang Risalah Qusyairiyyah di atas disarikan dari buku terjemahan Risalah Qusyairiyyah.

B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis 1. Biografi Singkat Penulis

a. Kelahiran

Imam Al-Qusyairy al-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk. Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad. Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.


(55)

b. Masa Kecil

Sedikit sekali informasi yang menerangkan masa kecilnya. Namun yang jelas, dia lahir sebagai yatim. Bapaknya meninggal dunia saat usianya masih kecil. Sepeninggal bapaknya, tanggungjawab pendidikan diserahkan pada Abu al-Qosim al-Yamany. Ketika beranjak dewasa, al-Qusyairy melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiran menuju Naisabur, yang saat itu menjadi Ibukota Khurasan. Pada awalnya, kepergiannya ke Naisabur untuk mempelajari matematika. Hal ini dilakukan karena al-Qusyairy merasa terpanggil menyaksikan penderitaan masyarakatnya, yang dibebani biaya pajak tinggi oleh penguasa saat itu. Dengan mempelajari Matematika, ia berharap, dapat menjadi petugas penarik pajak dan meringankan kesulitan masyarakat saat itu.61

Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al-Qusyairy sampai di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisabury, yang populer dengan panggilan al-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan-ucapan al-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Al-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu, al-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.

Akhirnya, al-Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat. Ustadz al-Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali al-Daqqaq dengan panggilan al-Syahid.

61 Buya Abd. Aziz Aru Bone, http://buyaku.blogspot.com/2007/03/tokoh-sufi-al-qusyairi-naisabury.html, 11-03-2007.


(56)

c. Kepandaian Berkuda

Al-Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

d. Perkawinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali al-Naisabury (al-Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405-412 H./1014-1021 M.

e. Putra-putrinya

Al-Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa‘id Abdullah, 2) Abu Sa‘id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu al-Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy‘ari. Abu al-Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun‘im, dan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.

Di antara salah satu cucunya adalah Abul As‘ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa‘id bin Abul Qasim al-Qusyairy.62

f. Wafatnya

Menurut Syuja‘ al-Hazaly, Imam al-Qusyairy menutup usia di Naisabur pada pagi Hari Ahad, tanggal 16 Rabiul Awal 465 H/ 1073 M, dalam usia 87 tahun. Dikisahkan bahwa beliau mempunyai seekor kuda yang telah mengabdi

62

Yusuf al-Bakhur al-Hasani, “Imam al-Qusyairy (Maha Guru Sufi).” http://www.al-hasani.com/melayu/cetak.php?id=12, 02-03-2008.


(1)

Kesimpulan di atas menunjukkan bahwa dalam buku terjemahan Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf sebagian besar diksi yang dipilih penerjemah masih belum tepat dan sesuai menurut gaya bahasa. Dengan kata lain, dari beberapa data yang ditemukan, sebagian diksi yang digunakan oleh penerjemah Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf belum umum dipergunakan oleh masyarakat Indonesia. Sebagian istilah-istilah tasawufnya masih mengikuti bahasa sumbernya atau tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal ini akan menimbulkan pembaca sulit memahami isi bacaan. Untuk itu, Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih dekat, tentunya dengan merujuk ke beberapa kamus. Dalam usulan terjemahan itu tidak sepenuhnya benar dan masih selalu dapat diperdebatkan.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, ada beberapa saran yang ingin saya sampaikan, di antaranya:

1. Apabila buku ini diterbitkan kembali, disarankan untuk meneliti kembali pilihan diksinya, agar memenuhi syarat ketepatan dan kesesuaian diksi. 2. Disarankan juga agar ada tim penyunting yang dapat mengurangi

kesalahan-kesalahan dalam pemilihan diksi.

3. Penerjemah berikutnya disarankan memberikan penjelasan atau catatan kaki terhadap kata yang tidak umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Dalam hal ini penerjemah harus merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia.


(2)

4. Sebaiknya penerjemah berikutnya dapat konsisten dalam menerjemahkan suatu teks, agar para pembaca dapat fokus terhadap isi bacaan.

Akhirnya, perlu saya kemukakan di sini bahwa terjemahan bukanlah terjemahan kalau tidak disertai masalah. Penerjemah telah berusaha keras menangkap dan mengungkap kembali pesan yang ada pada teks sumber. Jelas, ini tidak mudah dan karenanya saya menyampaikan penghargaan yang tinggi kepada penerjemah, yakni Bapak Mohammad Luqman Hakiem dan tim penyunting Risalah Gusti.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Rujukan dari Buku

Al-Naisabury, Abul Qasim al-Qusyairy. Risalah Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf. Penerjemah Mohammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti, 2006, cet. ke-6.

- - - -. Al-Risâlah al-Qusyairiyyah fî Ilmi al-Tasawwuf. Beirut: Darul Khair, t.t.

Arifin, E. Zaenal dan S. Amran Tasai. Cermat Berbahasa Indonesia. Jakarta: Akademika Pressindo, 2006, cet. ke-8.

Badudu, J.S. Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III. Jakarta: Gramedia, 1993, cet. ke-2.

Burdah, Ibnu. Menjadi Penerjemah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Chaer, Abdul. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta, 1994, cet. ke-1.

- - - -. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

- - - -. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

Fitriyah, Mahmudah dan Ramlan Abdul Gani. Pembinaan Bahasa Indonesia. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007, cet. ke-1.

Hakiem, Mohammad Luqman. Psikologi Sufi. Jakarta: Cahaya Sufi, 2008, cet. ke-2.

Hidayatullah, Moch Syarif. “Teori dan Permasalahan Penerjemahan”. Diktat. Jakarta: t.pn., 2007.

- - - -. Teknik Menerjemahkan Teks Arab 1. Jakarta: TransPustaka, 2005, cet. ke-2.


(4)

Utama, 2006, cet. ke-1.

Keraf, Gorys. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2007, cet. ke-17.

Machali, Rochayah. Pedoman bagi Penerjemah. Jakarta: Grasindo, 2000.

Mansyur, Moh. dan Kustiawan. Panduan Terjemahan. Jakarta: Moyo Segoro Agung, 2002.

Moeliono, Anton M. Masalah Bahasa yang dapat Anda Atasi Sendiri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.

Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQDA, 2007.

Putrayasa, Ida Bagus. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung: Refika Aditama, 2007, cet. ke-1.

Rahardi, Kunjana. Seni Memilih Kata. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2007, cet. ke-1.

Sugihastuti. Editor Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. ke-1.

Widyamartaya. Seni Menerjemahkan. Yogyakarta: Kanisius, 1989.

- - - -. Seni Menggayakan Kalimat. Yogyakarta: Kanisius, 1995, cet. ke-5.

Rujukan dari Internet

Al-Hasani, Yusuf Al-Bakhur. “Imam Al-Qusyairy (Maha Guru Sufi).” http://www.al-hasani.com/melayu/cetak.php?id=12, 02-03-2008.

Aru Bone, Buya Abd. Aziz. http://buyaku.blogspot.com/2007/03/tokoh-sufi-al-qusyairi-naisabury.html. 11-03-2007.


(5)

Husen, Ida Sundari. “Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan Menciptakan

Kata Baru atau Menerima Kata Pinjaman?”

http://wartahpi.org/content/view/28/54/. 25 Mei 2005. Rujukan dari Kamus

Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdhar. Al-Ashri. Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003, cet. ke-8.

Alwi dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2005, Ed. 3, cet. ke-3.

Badudu, J.S. Kamus Kata-Kata Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2005, cet. ke-2.

Kridalaksana, Harimurti. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia, 2001, cet. ke-5.

Mahluf, Luis. Al-Munjid fî al-Lughah. Beirut: al-Maktabah al-Syarqiyah, 2002, cet. ke-39.


(6)

Nomor : Istimewa

Lampiran : Satu Bundel Skripsi Hal : Pengajuan Dosen Penguji

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Adab dan Humaniora di

Tempat

Assalamu‘alaikum Wr.Wb.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Anna Saraswati NIM : 104024000830 Jurusan : Tarjamah

Judul Skripsi : Diksi dalam Terjemahan: Studi Kritik Terjemahan al- Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi al-Tasawwuf.

Dengan ini mengajukan permohonan sidang penguji dalam sidang skripsi, sebagai syarat kelulusan. Demikian surat ini saya sampaikan, atas perhatiannya saya sampaikan terima kasih.

Wassalamu‘alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 21 Mei 2008 Pemohon

Anna Saraswati