Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN
3
bertutur atau menulis, serta menyatakan pikiran dan perasaan dalam bentuk tulis maupun lisan.
3
Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan- ungkapan yang individual atau karakteristik, atau yang memiliki nilai artistik
yang tinggi.
4
Dengan gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan seseorang yang mempergunakan bahasa. Diksi dan
gaya bahasa ini juga dapat dimanfaatkan dalam pemikiran strategis dan penerjemahan
pengalihan bahasa,
salah satunya
yaitu kegiatan
menerjemahkan teks asing ke dalam bahasa sasaran. Seperti teks di bawah ini,
ﷲﺍ ﱃﺍ ﻰﺳﻮﻣ ﻊﺟﺭ
Kata
ﺮ ﺠ
ﻊ
sendiri dalam kamus al-Munawwir, versi Arab-Indonesia, bermakna ‘kembali’, yaitu dari kata
َﻊَﺟَر -
ُﻊِﺟْﺮَﯾ -
ﺎًﻋْﻮُﺟُر
. Tetapi bila kata roja’a dalam teks di atas diterjemahkan dengan ‘kembali’ rasanya kurang
tepat dan kurang nyaman dibaca, karena setelah kata
ﺮ ﺠ
ﻊ ﻤ
ﻮ ﺴ
ﻰ
ada kalimat
إﻟ ﻰ
ا ﷲ
yang bila ditejemahkan secara harfiah menjadi “Musa kembali ke Allah”. Di sini, seorang penerjemah mempunyai pengaruh penting dalam
memilih kalimat yang sepadan dengan kalimat ‘kembali ke Allah’ yang telah diterjemahkan secara harfiah pada TSu di atas. Frase “kembali ke Allah” bagi
3
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Edisi ke-4 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 422.
4
Keraf, Diksi dan Gaya Bahasa, h. 23.
4
penulis berarti berpulang kepada sang Pencipta, dengan kata lain orang yang telah ‘kembali kepada Allah’ berarti orang yang telah tutup usia. Kata tutup
usia dalam bahasa Indonesia memiliki banyak sinonim persamaan kata yang maknanya hampir sama. Dikatakan “hampir sama” karena memang tidak
akan ada dua buah kata berlainan yang maknanya persis sama. Yang sama sebenarnya hanya informasinya saja, sedangkan maknanya tidak persis sama.
Kata-kata yang bersinonim dengan kata ‘tutup usia’ atau ‘berpulang kepada sang Pencipta’ diantaranya meninggal, wafat, gugur, tewas, dan mati. Dari
sederet kata bersinonim tersebut yang tepat untuk terjemahan kata
ﻊﺟر → ﷲا ﻰﻟا
pada teks sumber di atas adalah meninggal dan wafat. Kata gugur, tewas dan mati tidak cocok untuk terjemahan kata roja’a
→ ilallah, karena faktor kegiatan yang berbeda.Kata gugur diperuntukkan bagi para veteran
pahlawan negara yang tengah bertempur di medan peperangan, sedangkan kata tewas diperuntukkan bagi orang yang meninggal secara tak wajar atau
mengenaskan, misalnya karena kecelakaan akibat balapan motor di jalan lalu orang yang melakukan aksi balap tersebut tewas, dan kata mati diperuntukkan
bagi makhluk hidup selain manusia, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Dengan begitu, terjemahan dari teks
ﷲﺍ ﱃﺍ ﻰﺳﻮﻣ ﻊﺟﺭ
yaitu “Musa telah wafat.”
Selain itu, ada dua persyaratan yang dituntut bagi seorang penerjemah dalam menerjemahkan atau mengalihkan bahasa sumber BSu ke dalam
bahasa sasaran BSa, yaitu ketepatan dan kesesuaian dalam memilih kata. Di
5
sisi lain, semata-mata memperhatikan ketepatan tidak selalu membawa hasil yang diinginkan. Pilihan kata tidak hanya mempersoalkan ketepatan
pemakaian kata, tetapi juga mempersoalkan apakah kata yang dipilih itu dapat juga diterima atau tidak merusak suasana yang ada. Sebuah kata yang tepat
untuk menyatakan suatu maksud tertentu, belum tentu dapat diterima oleh para hadirin atau orang yang diajak bicara. Masyarakat yang diikat oleh
berbagai norma, menghendaki pula agar setiap kata yang dipergunakan harus cocok atau sesuai dengan situasi yang ada.
5
Dalam kitab-kitab klasik, khususnya versi terjemahannya, penulis banyak menemukan beberapa kata yang diterjemahkan kurang tepat dan
sesuai dalam penggunaannya. Perhatikan teks syair beserta terjemahannya dalam kitab terjemahan Ta’lim Muta’alim di bawah ini,
ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻲِﻫ ِﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ ﺎﻬﹸﻘِﺷﺎﻋﻭ ِﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ ﻦِﻣ
“ Dunia adalah sedikit perkara yang sedikit; dan orang yang sangat
mencintainya adalah sehina-hina suatu yang hina.” Terjemahan yang digaris bawahi di atas menurut penulis kurang tepat
dalam pemilihan katanya. Penulis sengaja memberi garis bawah pada sebagian terjemahan di atas dengan tujuan untuk menganalisisnya.
5
Ibid., h. 24.
6
Kata
ﱡﻞﻗﺃ
dan
ﱡﻝﺫﺃ
pada bait syair yang kedua merupakan nomina perbandingan. Nomina perbandingan dalam bahasa Arab ada dua pola, yaitu
pola komparatif dan pola superlatif.
6
Untuk komparatif, polanya adalah
َأ ُﻞَﻌْﻓ
+ ْﻦِﻣ
, yang dalam bahasa Indonesia sama maknanya dengan kata lebih + dari. Sedangkan untuk superlatif, polanya adalah
ُلﻌﹾﻓَﺃ
, yang dalam bahasa Indonesia sama maknanya dengan kata paling atau ter-. Jadi kata
ﺃ ﱡﻞﹶﻗ
dan
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ
pada teks syair di atas termasuk dalam jenis komparatif, karena ada
ﻦِﻣ
setelah kata aqollu dan juga pada kata adzallu. Kata
ﱡﻞﹶﻗﺃ
sendiri di dalam kamus mempunyai arti: yang paling sedikit, lebih sedikitkecil dari, dan
sedikit-sedikitnya. Sedangkan kata
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ
di dalam kamus mempunyai arti
‘yang sedikit’.
7
Begitu juga dengan kata
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ
, di kamus al-Munawwir kata tersebut mempunyai arti: mendapatinya rendah, hina, layak direndahkan, dan
berteman orang-orang yang hina.
8
Kemudian untuk kata
ﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ
di kamus yang sama, yakni al-Munawwir, mempunyai arti: yang rendah, dan yang hina.
9
Jadi, terjemahan keseluruhan untuk syair
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ
menjadi “lebih sedikit
6
Moch. Syarif Hidayatullah, Tarjim al-An: Cara Mudah Menerjemahkan Arab- Indonesia Pamulang: Dikara, 2010, h. 25.
7
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, h. 1152.
8
Ibid., h. 450.
9
Ibid., h. 450.
7
dari yang sedikit”, dan terjemahan keseluruhan untuk syair
ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ ﻞﻴِﻟﹼﺬﻟﺍ ﻦِﻣ
menjadi “lebih hina dari yang hina”.
Kata ‘perkara’ pada terjemahan
ﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ
yang diartikan oleh penerjemah dengan “sedikit perkara yang sedikit” sebaiknya dihilangkan,
karena kata ini telah mengalami penyempitan makna. Namun, bila terjemahan tersebut tetap dipakai, maka nilai estetika dari teks syair tersebut tidak
nampak. Sebab kata ‘perkara’ digunakan untuk masalah yang bersifat di luar sastra seperti masalah hukum yang melingkupi pidana, perdata, dan
sebagainya. Selain itu, penulisan terjemahan syair di atas seharusnya tidak menjorok
ke dalam. Karena salah satu syarat penulisan sebuah syair yaitu tidak menjorok ke dalam.
Kata syair sebenarnya berasal dari bahasa Arab baca: syi’run, yaitu semacam puisi lama dari daratan Arab. Syair itu sendiri muncul di Indonesia
setelah agama Islam beserta kesusastraan Islam tersebar di Indonesia, dan perkembangannya telah berlangsung sejak akhir abad 16 dan awal abad 17
Masehi. Penulisan syair ditulis dengan ciri-ciri bentuknya: a Terdiri dari 4 baris, b Masing-masing baris terdiri dari 8-12 suku kata, c berpola sajak a-
8
a-a-a, dan d Keempat barisnya berturut-turut mempunyai hubungan logis, serta penulisannya tidak menjorok ke dalam.
10
Jadi, menurut penulis terjemahan yang tepat untuk teks syair
ِﻞﻴِﻠﹶﻘﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻞﹶﻗﹶﺃ ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ ﻲِﻫ ِﻞﻴِﻟﱠﺬﻟﺍ ﻦِﻣ ﱡﻝﹶﺫﹶﺃ ﺎﻬﹸﻘِﺷﺎﻋﻭ
adalah, Lebih sedikit dari yang sedikit adalah dunia
Dan lebih hina dari yang hina adalah pencintanya
Bertolak dari permasalahan tentang pemilihan kata secara tepat terhadap contoh terjemahan di atas, penulis tertarik untuk mengambil pembahasan
tentang diksi sebagai bahan analisa dalam mengkaji skripsi penulis, khususnya terhadap terjemahan syair dalam kitab Ta’lim al-Muta’alim yang
dikarang oleh Syekh al-Zarnuji yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Achmad Sunarto. Kitab tersebut berisikan tentang nasihat-
nasihat keagamaan serta etika bagi seorang pelajar dalam menuntut ilmu. Di dalamnya juga banyak terdapat syair-syair dari para ulama terdahulu. Di masa
kini, kitab tersebut sering digunakan di sebagian majelis-majelis ta’lim remaja saat ini. Adapun judul penelitian yang akan penulis suguhkan bertema
“Analisis Diksi dan Konstruksi Kalimat Dalam Terjemahan Syair Ta’lim
al-Muta’allim”.
10
Soetarno, Peristiwa Sastra Melayu Lama Surakarta: Widya Duta, 1967, h. 31.
9